Penodaan dan Delik Agama

6 pasti berbenturan dengan keyakinan bagi orang lain yang menjadi HAM-nya. Benturan ide, negara tidak berwenang untuk melerainya. Tapi benturan ide yang menjurus pada meresahkan masyarakat, akan mengundang negara untuk hadir menertibkannya. Ketiga, apa yang dimaksud dengan melindungi HAM sama saja artinya dengan melanggar sebagian HAM milik orang lain. Batas-batas HAM yang dimiliki setiap orang adalah ketika kebebasan beragama dan keyakinannya telah membuat orang lain yang seagama dengannya merasa tidak nyaman dan terganggu karenanya. Oleh karena itu, dalam HAM dan juga demokrasi, setiap orang harus berani mengorbankan HAM dirinya untuk menghormati HAM orang lain. Dengan cara ini, kehidupan sosial yang harmonis akan tercapai. Setiap orang bisa merasa ternodai jika ajaran agama yang diyakini ditafsirkan secara radikal dan anarkis oleh orang lain. Sebab, kebebasan berpikir bagi dirinya, bisa jadi adalah penodaan dan penistaan bagi orang lain. Sesuatu yang sangat logis untuk dimengerti. Oleh karena itu, bagi pengamal kebebasan beragama, hargai pula HAM milik orang lain agar tidak dicap sebagai penoda dan penista agama.

2. Penodaan dan Delik Agama

Kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah bagian dari demokrasi dan HAM yang harus dihormati. Agar kebebasan beragama tidak berlangsung secara anarkis, maka perlu diadakan peraturan yang menjamin pelaksanaan kebebasan beragama dapat berlangsung secara tertib. Di sini peran negara diundang, ketika kebebasan beragama menjadi masalah sosial di ranah publik. Peran negara ini diamanatkan pada Pasal 29 2 UUD RI yang menegaskan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaanya itu. Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 8 juga ditegaskan bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. Mafhum mukhalafah dari pasal ini dapat berarti negara menjamin agar kemerdekaan dan kebebasan beragama itu berjalan secara baik, saling hormat-menghormati dan tidak menimbulkan persoalan di masyarakat. 7 Atas dasar ini, negara merasa perlu untuk mengatur masalah delik 8 agama dalam suatu undang-undang, misalnya dalam KUHP. Istilah delik agama pertama kali dikenalkan oleh Oemar Seno Adji, dan memang dapat menimbulkan kebingungan karena mengandung beberapa pengertian: a delik menurut agama; b delik terhadap agama; c delik yang berhubungan dengan agama. Prof. Oemar Seno Adji seperti dikutip Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa delik agama hanya mencakup delik terhadap agama dan delik yang berhubungan dengan agama. 9 Berbeda dengan yang di atas, Surat Kejaksaan Agung RI No. B- 1177D.1101982 tanggal 30 Oktober 1982 tentang Tindak Pidana Agama dala UU No. 1PNPS1965 menyebut istilah delik penyelewengan agama dan delik antiagama. Penyelewengan agama berarti perbuatan menafsirkan atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang bersangkutan. Sedangkan dalam delik antiagama meliputi dua hal, yaitu delik penodaan penghinaan agama dan delik agar orang tidak menganut suatu agama. Di negara-negara Eropa seperti Inggris, istilah delik agama itu dikenal dengan istilah ”blashphemy.” Black’s Law Dictionary mengartikan: ”the offence of speaking matter relating to god, Jesus Christ, or the book of common prayer, intended to wound the feelings of mindkind or to excite contempt a nd hatred againts the crurch by law established or to promote immorality. Pasal 156a KUHP sering disebut sebagai pasal penodaan agama bisa dikategorikan sebagai delik terhadap agama. Sedang delik kategori c tersebar dalam beberapa perbuatan seperti merintangi pertemuan upacara agama dan upacara penguburan jenazah pasal 175; mengganggu pertemuan upacara agama dan upacara penguburan jenazah pasal 176; menertawakan petugas agama dalam menjalankan tugasnya yang diizinkan dan sebagainya. 8 Delik delict, actus reus atau tindak pidana criminal act atau perbuatan pidana adalah perbuatan atau tindakan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana bagi barangsiapa orang atau badan hukum yang melanggar larangan tersebut. Pengertian yang sama diperoleh dari J. Dressler yang mengartikan criminal act sebagai actus reus may be defined as such result of human conduct as the law seeks to prevent. Untuk dapat dipidana, seseorang tidak cukup hanya karena melanggar aturan hokum crimincal act. Orang tersebut harus juga mempunyai kesalahan mens rea yang dapat berupa kesengajaan intention atau kealpaan, yang merupakan unsure utama dalam criminal responsibility. Dikutip dari Ifdhal Kasim, “Perkembangan Delik Agama dari Masa ke Masa”, makalah dalam Konsultasi Publik RUU KUHP: Perlindungan HAM Melalui Reformasi Hukum Pidana , Hotel Santika Jakarta, 3-4 Juli 2007. 9 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996, h. 331. 8 Pasal 156a yang sering dijadikan rujukan hakim untuk memutus kasus penodaan agama, berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara selama -lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang maha Esa.” Pasal ini bisa dikategorikan sebagai delik terhadap agama. Asumsinya, yang ingin dilindungi oleh pasal ini adalah agama itu sendiri. Agama, menurut pasal ini, perlu dilindungi dari kemungkinan-kemungkinan perbuatan orang yang bisa merendahkan dan menistakan simbol-simbol agama seperti Tuhan, Nabi, Kitab Su ci dan sebagainya. Meski demikian, karena agama “tidak bisa bicara” maka sebenarnya pasal ini juga ditujukan untuk melindungi penganut agama. 10 Pasal tersebut masuk dalam Bab V KUHP tentang Kejahatan terhadap Ketertiban Umum. Di sini tidak ada tindak pidana yang secara spesifik mengatur tindak pidana terhadap agama. Pasal 156a merupakan tambahan untuk men- stressing -kan tindak pidana terhadap agama. Dalam pasal 156 disebutkan: ” Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaa n atau kedudukan menurut hukum tata negara. 11 Benih-benih delik penodaan agama juga dapat dilihat dalam pasal 1 Undang-Undang No. 1PNPS1965 tegas menyebutkan larangan mengusahakan dukungan umum dan untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama. Ketentuan pasal ini selengkapnya berbunyi: Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang utama di Indonesia atau melakukan 10 Prof. H. Oemar Seno Adji, Hukum Acara Pidana dalam Prospeksi, Jakarta: Erlangga, 1981, cet. 3, h. 79-80. 11 Dalam penjelasan pasal ini disebutkan bahwa tindak pidana yang dimaksud di sini ialah semata- mata pada pokoknya ditujukan kepada niat untuk memusuhi atau menghina. Orang yang melakukan tindak pidana tersebut di sini, di samping mengganggu ketenteraman orang beragama pada dasarnya mengkhianati sila pertama dari negara secara total, karena itu sudah sepantasnya kalau perbuatan itu dipidana. 9 kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama itu. Mengapa aturan tentang penodaan agama perlu dimasukkan dalam KUHP? Pertanyaan ini barangkali bisa dijawab dengan memperhatikan konsideran dalam UU No. 1PNPS1965 tersebut. Di sana disebutkan beberapa hal, antara lain: Pertama , undang-undang ini dibuat untuk mengamankan Negara dan masyarakat, cita-cita revolusi dan pembangunan nasional dimana penyalahgunaan atau penodaan agama dipandang sebagai ancaman revolusi. Kedua, timbulnya berbagai aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinankepercayaan masyarakat yang dianggap bertentangan dengan ajaran dan hukum agama. Aliran-aliran tersebut dipandang telah melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama, sehingga perlu kewaspadaan nasional dengan mengeluarkan undang-undang ini. Ketiga, karena itu, aturan ini dimaksudkan untuk mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran- ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan; dan aturan ini melindungi ketenteraman beragama tersebut dari penodaanpenghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Keempat, seraya menyebut enam agama yang diakui pemerintah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu [Confusius], undang-undang ini berupaya sedemikian rupa agar aliran-aliran keagamaan di luar enam agama tersebut dibatasi kehadirannya. Pasal 156a dalam praktiknya memang menjadi semacam peluru yang mengancam, daripada melindungi warga Negara. Ancaman itu terutama bila digunakan oleh kekuatan yang anti demokrasi dan anti pluralisme, sehingga orang dengan mudah menuduh orang lain telah melakukan penodaan agama. Dalam pratiknya pasal ini seperti “pasal karet” hatzaai articelen yang bisa ditarik-ulur, mulur-mungkret untuk menjerat siapa saja yang dianggap menodai agama. Pasal ini bisa digunakan untuk menjerat penulis komik, wartawan, pelaku ritual yang berbeda dengan mainstream , aliran sempalan, dan sebagainya. Karena kelenturannya itu, “pasal karet” bisa direntangkan hampir tanpa batas. 12 12 Rumadi, ”Delik Penodaan Agama dan Kehidupan Beragama dalam RUU KUHP,” makalah dalam Annual Conference Kajian Islam di Lembang Bandung, 26 – 30 November 2006. 10 Pada dasarnya, pasal ini tidak hanya bisa dipakai untuk menjerat aliran- aliran seperti Lia Eden dan Ahmadiyah, misalnya, melainkan juga bisa dikenakan kepada aliran-aliran atau organisasi agama yang suka membuat kekerasan dan onar di dalam masyarakat yang mengatasnamakan agama tertentu. Sayangnya, dalam praktiknya, pasal 156a ini tidak pernah diterapkan baik oleh Polisi maupun Hakim untuk melindungi korban. Dalam kasus Lia “Eden” Aminudin, misalnya, yang justru ditangkap dan diadili ketika ada tekanan massa. Lia sebagai korban justru dikorbankan dan dijerat dengan pasal ini karena ada tekanan dari FPI yang dipicu oleh Fatwa MUI yang menganggapnya sesat. 13 Kerisauan sebagian kalangan terhadap pasal penodaan agama ini diwujudkan dalam pengajuan Judicial Review kepada Mahkamah Konstitusi oleh pemohon yang tergabung dalam Tim Advokasi Kebebasan Beragama, yang terdaftar dengan nomor 140PUU-VII2009 perihal Pengajuan UU No. 1PNPS1965 terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam putusan yang dibacakan pada tanggal 19 April 2010, MK memutuskan menolak seluruh permohonan Judicial Review UU No. 1PNPS1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama yang diajukan oleh Tim Advokasi Kebebasan Beragama TAKB. Dalam ringkasan pertimbangan hukum yang diajukan MK, antara lain dinyatakan bahwa: 14 1 UU tersebut di atas tetap dipertahankan berdasarkan suatu pertimbangan filosofis bahwa ”praktik keberagamaan yang terjadi di Indonesia adalah berbeda dengan praktik keberagamaan di negara lain yang tidak dapat disamakan dengan Indonesia. 2 Bahwa ”kebebasan beragama merupakan salah satu HAM yang sangat fundamental. Bahwa ”penafsiran keyakinan atas ajaran agama merupakan bagian dari kebebasan yang berada pada forum internum. 3 Bahwa kebebasan beragama tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab sosial dan kewajiban dasar untuk mewujudkan HAM bagi setiap orang, sebab hanya dengan cara inilah ”kebebasan beragama seseorang tidak melukai kebebasan beragama orang lain. 13 Ibid. 14 Dikutip dari Ioanes Rakhmat, “Catatan Kritis atas Keputusan MK,” dalam Koran Tempo, 12 Mei 2010. 11 4 Bahwa penafsiran yang bebas dilakukan tetap ”harus berkesesuaian dengan pokok-pokok ajaran agama melalui metodologi yang benar berdasarkan sumber ajaran agama yang bersangkutan sehingga kebebasan melakukan penafsiran terhadap suatu agama tidak bersifat mutlak atau absolut. Beberapa pertimbangan hukum yang diajukan MK cukup memuaskan pihak-pihak yang masih mempertahankan keberadaan UU tersebut. Tetapi di pihak lain, kritik pedas diarahkan kepada MK yang dianggap tetap melanggengkan UU yang jelas-jelas bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia.

3. Politik Hukum dan Siyasah Syar’iyyah