11
4 Bahwa penafsiran yang bebas dilakukan tetap ”harus berkesesuaian dengan
pokok-pokok ajaran agama melalui metodologi yang benar berdasarkan sumber ajaran agama yang bersangkutan sehingga kebebasan melakukan
penafsiran terhadap suatu agama tidak bersifat mutlak atau absolut. Beberapa pertimbangan hukum yang diajukan MK cukup memuaskan
pihak-pihak yang masih mempertahankan keberadaan UU tersebut. Tetapi di pihak lain, kritik pedas diarahkan kepada MK yang dianggap tetap melanggengkan UU
yang jelas-jelas bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia.
3. Politik Hukum dan Siyasah Syar’iyyah
Kebebasan beragama dan berkeyakinan di satu sisi, dan pengaturan tentang penodaan agama di sisi lain, secara hukum sudah final putusannya berdasarkan
keputusan Mahkamah Konstitusi. Pada artikel ini, saya akan memberikan analisis dengan acuan yang berbeda berdasarkan perspektif politik hukum dan Siyasah
Syar‟iyyah terhadap peraturan dan kebijakan negara tentang kebebasan beragama. Sebelumnya akan diuraikan lebih dulu tentang apa yang dimaksud dengan politik
hukum dan Siyasah Syar‟iyyah itu.
a. Politik Hukum
Para ahli hukum memberikan definisi dan deskripsi yang beragam tentang apa yang dimaksud dengan politik hukum. Soedarto memberikan
pengertian politik hukum sebagai kebijakan dari negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang
dikehendaki, yang diperkirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-
citakan.
15
Padmo Wahjono mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan
dibentuk dan tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu.
16
Menurut Satjipto Rahardjo, politik hukum adalah aktivitas memilih
15
Soedarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap Hukum Pidana, Bandung: Sinar Baru, 1983, h. 20.
16
Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986, h. 160. Baca pula Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004, h. 26-27.
12
dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.
17
Satjipto Rahardjo juga memberikan ancang-ancang tentang studi politik hukum ini, yaitu 1. Tujuan apa yang hendak dicapai dengan sistem
hukum yang ada; 2. Cara-cara apa dan yang mana, yang dirasa paling baik untuk bisa dipakai untuk mencapai tujuan tersebut; 3. Kapan waktunya hukum
itu perlu diubah dan melalui cara-cara bagaimana perubahan itu sebaiknya dilakukan; dan 4. Dapatkah dirumuskan suatu pola yang baku dan mapan yang
bisa membantu dalam proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut secara baik.
18
Menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara, secara harfiah politik hukum dapat diartikan sebagai kebijakan hukum
legal policy
yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintahan negara
tertentu. Politik hukum nasional dapat meliputi: 1 pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara konsisten; 2 pembangunan hukum yang intinya
adalah pembaruan terhadap ketentuan hukum yang telah ada dan yang dianggap usang, dan penciptaan ketentuan hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi
tuntutan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat; 3 penegasan fungsi lembaga penegak atau pelaksana hukum dan pembinaan anggotanya; 4
meningkatkan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi kelompok elit pengambil kebijakan.
19
Menurut Mahfudz MD, politik hukum adalah legal policy atau arah hukum yang diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan negara yang
bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama. Dalam arti yang seperti ini, politik hukum harus berpijak pada tujuan negara
dan sistem hukum yang berlaku di negara tersebut.
20
Dari berbagai definisi politik hukum yang dikemukakan para ahli di atas, saya berpendirian bahwa politik hukum sesungguhnya adalah cita-cita
yang diwujudkan dalam kebijakan negara untuk mensejahteran warganya melalui berbagai peraturan yang disusun. Pasal-pasal penodaan agama dalam
17
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1991, h. 352.
18
Ibid, h. 352-3.
19
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Op. Cit., h. 30-31.
20
Moh. Mahfudz MD, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, Jakarta: LP3ES, 2006, h. 5.
13
KUHP maupun UU No. 1 PNPS 1965 sesungguhnya didedikasikan negara untuk menjamin kehidupan beragama yang harmonis dan bersahabat.
Dalam masalah agama dan hal-hal yang berhubungan dengannya, peran negara sesungguhnya diatur secara jelas dalam konstitusi dan peraturan
lainnya yang intinya adalah: ”Negara menjamin kebebasan warganya untuk menjalankan agama dan kepercayaannya masing-
masing.” Secara filosofis, jaminan ini adalah komitmen dan janji agung negara kepada warganya yang
wujud konkretnya berupa disusunnya berbagai peraturan organik dan kesediaan aparatus negara untuk mengimplementasikan peraturan tersebut.
Negara yang demokratis sama sekali tidak bisa mengekang pikiran- pikiran warganya dalam menafsirkan pokok-pokok ajaran suatu agama. Tetapi
negara memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga ketertiban. Apa saja yang memungkinkan suatu tertib hukum dan sosial terganggu, negara harus hadir dan
wajib mencegah dan menindaknya. Dengan kata lain, sepanjang kebebasan beragama dan berkeyakinan
seseorang atau kelompok tidak mengganggu kebebasan beragama dan berkeyakinan orang atau kelompok lain, maka negara hanya diam saja. Namun,
ketika kebebasan beragama telah menimbulkan masalah di masyarakat, atau terjadi benturan fisik akibat perbedaan pandangan di antara mereka, maka
negara wajib menegakkan hukum yang berlaku.
b. Siyasah Syar’iyyah