87
“Moal,  da  tos  biasa” Tidak,  karena sudah biasa, adalah jawaban buruh
ketika  ditanya  apakah  bunyi  mesin bisa  membuat  mereka  tuli.  Alasan
tersebut  membuat  mereka  tidak berupaya  untuk  menuntut  fasilitas
perlindungan  untuk  telinga.  Jelas  ini menggambarkan kondisi tidak sehat,
d i t a m b a h   l a g i   b e n a n g   y a n g mengeluarkan  debu  ketika  sedang
d i t e n u n ,   d a n   m e n g g a n g g u pernapasan  gejala  ringannya
dimulai dengan batuk-batuk.
3. Jaminan Sosial
tidak  mau  lagi  menyetor  iuran jaminan  Republika,  Selasa,  1  Juli
2003. Kemudian di Bandung hingga Desember  2002,  “masih  terdapat
208 perusahaan baru dengan tenaga kerja  52.058  orang  yang  belum
tercatat  sebagai  peserta  Jamsostek. Kondisi  ini  diperparah  dengan
m i n i m n y a   p e r l i n d u n g a n   d a n keselamatan  kerja  Dinamika,  edisi
J a n u a r i - M a r e t   2 0 0 3  .     I n i menunjukkan  bahwa  kelompok
pengusaha formal yang mapan pun kesulitan  dalam  membayarkan
jaminan sosial bagi buruh resminya, apalagi  jika  ditambah  keharusan
untuk  memberikan  jaminan  bagi buruh  informalnya  atau  buruh  tidak
resminya.
Apakah  kemudian  tuntutan  jaminan s o s i a l   u n t u k   b u r u h   i n f o r m a l
b e r l e b i h a n   a t a u k a h   w a j a r ? Sebetulnya  apabila  melihat  risiko
kecelakaan dan kesehatan kerja yang dihadapi  oleh  buruh,  tuntutan  itu
sangat  wajar.  Karena  jaminan  sosial berbasiskan  relasi  kerja  biasanya
meliputi  kecelakaan  kerja,  sakit, kecacatan,  melahirkan,  tunjangan
hari  tua,  dan  sebagainya.  Jaminan sosial formal adalah suatu kepastian
yang  jelas  ukurannya,  sedangkan jaminan  sosial  informal  sebaliknya.
Jaminan  sosial  informal  dianggap kemurahan  hati  majikan  dan
The  term  social  protection  is largely used to refer to longer-
term policies that aim to protect and promote the economic and
social security or well-being of the poor Cook, 2003: 18.
S e b a g i a n   o r a n g   m u n g k i n berpendapat  bahwa  segala  upaya
yang  dilakukan  untuk  meningkatkan kesejahteraan  buruh  formal  pun
mengalami  banyak  hambatan, apalagi  buruh  informal.    Sebagai
contoh  adalah  masalah  jaminan sosial.  Sebanyak  285  perusahaan
114 di Jatim, 171 di Bali, dan Nusa Tenggara  dihapus  kepesertaannya
dari  PT.  Jamsosotek.  Masalahnya adalah  perusahaan  tersebut  sudah
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL 8 No. 3 DESEMBER 2003
88
bukannya  kewajiban  majikan. Kesejahteraan  yang  lebih  seperti
jaminan sosial yang stabil, dipandang terlalu  mewah  bagi  mereka,
meskipun dengan kondisi kerja yang sedemikian buruknya. Apabila terjadi
kecelakaan  kerja  Sk  memang  mau bertanggung  jawab  tapi  tidak  jelas
ketetapan  bakunya.  Hanya  sesekali m e r e k a   m e n d a p a t   b a n t u a n
k e s e h a t a n ,   i t u   p u n   h a n y a diprioritaskan untuk beberapa orang
buruh terutama kerabat.
Kemudian  bagi  buruh  perempuan, kehamilan merupakan lampu kuning
untuk  bersiap-siap  kehilangan pekerjaan.  Saat melahirkan adalah
lampu  merah  atau  saat  terputusnya hubungan kerja, seperti contoh kasus
Tuti tadi. Jadi di sini jangan harap ada cuti  hamil,  melahirkan,  dan  terlebih
lagi cuti haid.
Di  subsektor  ini  tunjangan  hari  raya THR boleh dikatakan sebagai satu-
satunya  jaminan  sosial  karena keberadaannya  bisa  dipastikan.
Biasanya menjelang hari raya Sk tidak memperoleh order  satu  hingga  tiga
bulan;  dengan  demikian  buruh dirumahkan sementara waktu bahkan
selamanya,  dengan  hanya  dibekali uang THR. THR secara umum ada di
setiap  UK  subkontrak  meskipun minim,  yaitu  sekitar  Rp  150.000,00
sampai Rp 200.000,00. Untuk dana THR  tiap  tahunnya,  subkontraktor
m e n d a p a t k a n   p i n j a m a n   d a r i “Asalkan  ngomong  sama  bu
Haji  Sk,  pasti  dikasih  uang pengganti  pengobatan.  Tapi
harus  memperlihatkan  surat dokter.” Idoh, buruh tenun PT.
X,  sepupu subkontraktor
“A h ,   b o r o - b o r o   j a m i n a n kesehatan.  Lagipula  di  sini
hanya  pernah  terjadi  satu kecelakaan,  yaitu  terlontar
toropong  bagian  alat  tenun. Langsung  dibawa  ke  rumah
s a k i t … S e l u r u h   b i a y a ditanggung  bu  Haji.”  Tomo,
mandor  PT.  X ,  menantu subkontraktor
“Kalau  sakit  kemudian  bolos, upah dipotong Rp 8.000,00 per
hari, tapi dikasih Rp 10.000,00 untuk  penggantian  obat.  Itu
pun  kalau  pakai  surat  dokter, tapi  biasanya  tidak  perlu  ke
dokter  karena  sakitnya  paling c u m a   s e h a r i   d u a
hari…sekarang  ini  saya  siap- siap  untuk  keluar  menjelang
m e l a h i r k a n …   s e t e l a h melahirkan kecil kemungkinan
bagi  saya  bisa  bekerja  lagi karena  sudah  terisi  posisinya
oleh orang lain, yang sekarang sudah  mulai  mengantri  untuk
masuk  …”  Tuti,  buruh  malet PT. Z, tetangga subkontraktor
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL 8 No. 3 DESEMBER 2003
89
prinsipal,   dengan  pengembalian pinjaman melalui pemotongan upah
maklun. Jadi sebetulnya kontribusi Pr adalah sebagai pemberi hutang dan
bukannya pemberi jaminan sosial.
Di  sisi  lain,  pola  relasi  sosial  dan produksi  yang  terbangun  dalam
hubungan  informal  ini  terutama h u b u n g a n   k e k e r a b a t a n   d a n
ketetanggaan  memberikan  jaminan secara  sosial-ekonomi  bagi  buruh
subkontrak  untuk  tetap  memperoleh kelangsungan  pekerjaan,  pinjaman,
dan  sebagainya,  dengan  berbagai aturan  atau  kedisiplinan  yang  relatif
lebih  longgar  dibandingkan  dengan hubungan formal pada usaha-usaha
b e s a r.   K e d e k a t a n   h u b u n g a n antarwarga  seperti  ini  merupakan
modal  sosial  untuk  kelangsungan hidup masyarakat tersebut.
Komunitas  sebagai  social  safety  net selalu  menjadi  andalan  individu
maupun  kelompok miskin. Berbagai label  muncul  untuk  menunjukkan
fenomena  ini,  misalnya  coping strategies,  coping  mechanism,  dan
j a m i n a n
s o s i a l i n f o r m a l  t r a d i s i o n a l  p r i b u m i
indigenous social security system. Semua  konsep  ini  mengacu  pada
strategi  dan  mekanisme  bertahan dalam  menghadapi  kesulitan
ekonomi,  yaitu  melalui  penurunan kualitas  hidup  dan  pemanfaatan
jaringan sosial yang dekat.   Strategi i n i   m e l i p u t i :   p e n g u r a n g a n
pengeluaran  untuk  konsumsi  secara k u a l i t a s   d a n   k u a n t i t a s ,
mengembangkan  jaringan  sosial yang  dekat  atau  sumber  daya
eksternal yaitu komunitas yang terdiri atas  kerabat,  teman,  dan  tetangga
misalnya  dalam  arisan,  utang- piutang,  koperasi,  serta  membuat
jaringan  yang  kuat  dengan  institusi m
”Perusahaan  ini  milik  orang kita,  bukan  babah  sebutan
untuk  keturunan  Cina  yang biasanya memiliki perusahaan
besar  dan  formal  jadi  lebih santai.  Di  sini  kami  boleh
terkantuk-kantuk  bahkan
14 14
15
15
Prinsipal mendirikan koperasi simpan-pinjam bagi buruh-buruhnya yang berada di dalam maupun di luar pabriknya subkontraktor
Snel dan Staring 2001 dan James Midgley dalam Von Benda Beckmann, 2000
tertidur…tidak   akan  ditegur karena  toh  masih  saudara,
tetangga…”  Hani,  buruh h a r i a n   P T.   X ,   t e t a n g g a
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL 8 No. 3 DESEMBER 2003
90
keagamaan  misalnya,  melalui keaktifan  di  pengajian  dan  program
zakat.
Tetapi  kita  harus  waspada  jika  krisis melanda  banyak  orang  secara
bersama-sama,  misalnya,  musim kemarau  berkepanjangan  dan
depresi ekonomi nasional Cook, dkk, 2003: 20. Dalam kondisi seperti  itu,
tak ada satu pun tempat atau jaringan sosial  untuk  bergantung.   Akhirnya
penyelamatan sosial atau pekerjaan sosial menjadi tugas pemerintah yang
dibantu  LSM,  seperti  program  JPS Jaring  Pengaman  Sosial,  program
pemberdayaan  masyarakat,  dan sebagainya.  Program  yang  banyak
mendapatkan  bantuan  dari  institusi multilateral  ini  seperti  World  Bank,
UNDP,  ADB  memang  menimbulkan pro dan kontra, tetapi tulisan ini tidak
akan  berpanjang  lebar  dengan masalah itu.
4.  Kesejahteraan:  Antara Konseptual dan Praksis
Kebahagiaan  dan  kesejahteraan well-being bisa  dilihat  secara
subjektif  maupun  objektif.   Secara subjektif  biasanya  menyangkut
k e s e n a n g a n    p l e a s u r e s    d a n tergantung pengalaman hidup orang
yang  bersangkutan.  Sedangkan kebahagiaan  objektif  merujuk  pada
pendapat  para  filsuf  menyangkut aktualisasi diri manusia yang didapat
dengan mengaktifkan rasionya. Oleh karena  itu,  menurut  Aristoteles,  ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi agar  manusia  benar-benar  bahagia
atau sejahtera, yaitu: 1 aktivitas yang bernilai, 2 kenikmatankesenangan,
3 memiliki kebijaksanaan moral dan intelektual.
Kita  akan  lihat pencapaian  sejahtera  dan  bahagia
buruh subkontrak melalui analisis tiga syarat ini.
Boks 2
Deni adalah seorang buruh tenun berusia 14 tahun. Ia harus rela melepaskan keinginannya untuk melanjutkan sekolah ke SLTP karena orang tuanya tidak
sanggup membiayai. Ia harus ikut pula membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Pihak subkontraktor sendiri mengaku tidak tega
untuk mempekerjakan anak-anak, tetapi karena rasa kasihan melihat kondisi keluarga  anak  tersebut  yang  juga  masih  kerabat  jauh,  maka  anak  tersebut
diterima bekerja di pabriknya. Menurut keterangan ibunya, yang juga bekerja di pabrik yang sama, dengan bekerja anaknya terhindar dari pergaulan bebas
anak-anak  muda  pengangguran  di  sekitar  rumah,  yang  kerjanya  hanya nongkrong, minum-minum, dan ngobat.
16 16
Bertens, 1999. JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL 8 No. 3 DESEMBER 2003