JAS Vol 4 No 2 Situasi Krisis Titik Balik Kekuatan Buruh

(1)

(2)

SITUASI KRISIS:

TITIK BALIK KEKUATAN BURUH?

Situasi krisis secara umum

membawa dampak yang

beragam bagi buruh. Pada dasarnya perbedaan dampak tersebut dapat dikategorikan secara sektor, wilayah dan

gender. Sebagaimana

dibuktikan oleh berbagai studi dampak krisis terhadap kegiatan ekonomi pada skala usaha kecil, menengah, dan besar, menunjukkan wajah yang berbeda yang ditentukan oleh lokasi geografis, sektor, orientasi pasar, dan sumber bahan baku. Kesimpulan berbagai studi menunjukkan bahwa wilayah perkotaan Jawa mengalami dampak krisis yang

paling buruk sedangkan daerah-daerah di luar Jawa mengalami dampak krisis yang paling baik. Dalam persoalan perburuhan, gambar yang muncul sebagai dampak krisis menunjukkan pola yang sama: buruh di Jawa mengalami dampak yang lebih keras dibandingkan buruh di luar Jawa. Dari sisi sektor, buruh di sektor industri manufaktur dan jasa merasakan pahitnya dampak krisis sedangkan buruh di sektor pertanian atau yang terkait dengan sektor

pertanian sebaliknya

mengecap manisnya krisis. Sisi lain dari dampak krisis yang


(3)

wilayah perkotaan adalah munculnya potensi peluang solidaritas buruh kerah putih dan kerah biru. Potensi peluang ini berawal dari munculnya kesadaran para buruh kerah putih di sektor jasa

terutama keuangan,

transportasi (penerbangan) dan pariwisata (perhotelan) bahwa pada hakikatnya mereka adalah buruh yang sangat lemah posisinya berhadapan dengan majikan ketika mereka

mengalami pemutusan

hubungan kerja yang

semena-mena, sebagaimana yang terjadi terhadap buruh kerah biru.

Dampak negatif krisis yang dialami buruh pada umumnya merupakan kombinasi antara

penurunan kemampuan

ekonomi yang diikuti oleh

penurunan tingkat

kesejahteraan; dan faktor sosial-politik: penurunan posisi tawar terhadap majikan. Penurunan posisi tawar tidak hanya dialami oleh buruh yang kehilangan pekerjaan, terutama dalam proses Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), tetapi juga oleh buruh yang mengalami dampak positif krisis dalam bentuk kenaikan upah. Meskipun secara ekonomi upah meningkat, tetapi peningkatan ini tidak bergerak bersama dengan meningkatnya posisi tawar.

Jurnal Analisis Sosial edisi ini mengangkat persoalan riil yang muncul di lingkungan buruh


(4)

Persoalan-persoalan riil ini merupakan gambar yang diperoleh melalui studi, kegiatan pembelaan dan

pendampingan maupun

keterlibatan dan observasi yang intens dan sistematis yang dituangkan dalam tulisan-tulisan di dalam jurnal ini. Pengangkatan persoalan riil yang dihadapi buruh sengaja dimunculkan sebagai salah satu upaya untuk memberikan per-bandingan dan masukan mengenai kesenjangan antara kebijakan ketenaga-kerjaan dan pengalaman buruh sebagai sasaran kebijakan. Dengan demikian diharapkan masukan ini dapat memper-kaya

pertimbangan proses

penyusunan kebijakan maupun pemikiran yang bertujuan

dalam timbangan keadilan.

Perbedaan dampak krisis berdasarkan sektor ditunjukkan dalam jurnal ini melalui kasus-kasus sektor industri, perkebunan dan jasa, mulai dari jasa keuangan/ perbankan, pariwisata hingga jasa tenaga kerja migran. Secara umum berdasarkan kasus tersebut dampak positif krisis hanya dialami oleh buruh yang bekerja di sektor perkebunan kopi di Jawa Timur. Sebagai komoditas ekspor, kopi memperoleh keberuntungan akibat krisis. Akan tetapi, dampak positif krisis terhadap perkebunan kopi tidak seindah

yang diharapkan.

Sebagaimana pola lokasi dan pe-ngelompokan komunitas


(5)

yang membentuk kantung-kantung komunitas yang cenderung eksklusif, dampak positif krisis hanya dinikmati oleh masyarakat

perkebunan. Hal ini

menimbulkan kecemburuan di

kalangan masyarakat

nonperkebunan di sekitarnya yang diwujudkan dengan penjarahan kebun kopi. Akibatnya masa petik kopi dipercepat dan konsekuensinya masa kerja buruh perkebunan semakin pendek.

Buruh di sektor-sektor yang lain meng-alami masa suram yang ditandai dengan PHK dan deportasi untuk buruh migran yang bersifat masif, diawali dengan proses PHK yang tidak mengacu pada peraturan yang

perlawanan untuk

memperjuangkan hak melalui berbagai cara: unjuk rasa, mogok kerja, pengaduan ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau lembaga-lembaga pembela buruh lainnya. Penting

untuk dicatat bahwa

upaya-upaya tersebut tidak banyak terbantu digaungkan media massa, karena media massa lebih tertarik menyebarluaskan gegap gempita reforma-si dan perubahan yang sangat cepat dan memang penting untuk dicermati yang terjadi di aras nasional berkaitan dengan isu dan tingkah laku elit politik negeri. Dapat disimpulkan bahwa persoalan perburuhan di masa krisis dan reformasi tergeser dari agenda dan


(6)

Sisi dinamika kehidupan buruh yang lain yang justru berdenyut di saat krisis adalah organisasi/kelompok buruh.

Terbukanya peluang

membangun organisasi buruh dengan diratifikasinya konvensi ILO mengenai kebebasan berserikat oleh pemerintah Indonesia melalui sebuah

Keputusan Presiden,

dimanfaatkan benar. Segera dideklarasikan apa yang disebut sebagai serikat buruh, baik yang muncul murni dari bawah yang berangkat dari basis massa buruh atau serikat buruh masa lalu yang lahir kembali, maupun serikat buruh yang dilahirkan oleh orang yang memiliki keperdulian terhadap buruh, elit politik atau

kemunculan serikat buruh masih diwarnai dengan kegiatan-kegiatan untuk

mengidentifikasi dan

memfokuskan akti-vitas. Hal ini menyebabkan eksistensi serikat buruh belum tertanam di kalangan buruh di basis dan kemanfaatannya untuk buruh belum dirasakan. Konsekuensi dari kondisi tersebut adalah kesenjangan antara kebutuhan riil buruh di basis dengan aktivitas para pengurus/aktivis serikat buruh.

Aspek yang penting dalam membicarakan dampak krisis adalah gender. Baik sektor industri, perkebunan maupun jasa, buruh perempuan merupakan proporsi yang signifikan dalam komposisi


(7)

yang mem-PHK buruh, jumlah buruh perempuan ter-PHK propor-sional dengan jumlah mereka yang tadinya terserap. Buruh industri padat karya

yang 80% buruhnya

perempuan dengan sendirinya mem-PHK lebih banyak buruh perempuan dibandingkan buruh laki-laki. Selain gender, faktor usia dan status perkawinan juga merupakan aspek yang penting untuk dipertimbangkan dalam menyikapi dampak krisis. Perempuan-perempuan tua dan berkeluarga tampak-nya merupakan kelompok yang termasuk paling rentan terhadap krisis. Sebagai-mana ditunjukkan dalam kasus industri padat karya dan perkebunan, perempuan

pekerjaan atau mengalami penurunan penghasilan menghadapi persoalan berat dalam mengelola rumah tangga. Penurunan kondisi di tempat kerja membawa konsekuensi yang sama di dalam rumah tangga. Dalam kaitan itu, dalam pem-bahasan persoalan buruh perempuan, gambar konkrit dan lengkap mengenai situasi mereka hanya mungkin diperoleh

apabila selalu

mengkomunikasikan posisi dan peran perempuan di rumah tangga dan di tempat kerjanya. Seluruh situasi seorang perempuan buruh pada hakikat-nya merupakan perwujudan hasil interaksi peran perempuan yang bersangkutan di wilayah rumah


(8)

tempat kerja (publik)1.

Masih dalam lingkup aspek gender, menarik untuk dicermati ketika dalam hiruk-pikuk bermunculannya serikat buruh, perempuan tetap tidak terlibat di dalamnya. Meskipun berbagai aksi demonstrasi dan perjuangan hak banyak dilakukan di sektor-sektor yang dominan perempuan, representasi perempuan dalam struktur kepengurusan serikat buruh masih tetap minimal dan posisi 1

Penting untuk diperhatikan bahwa pengertian mengenai lingkup wilayah tempat kerja tidak dapat dibatasi hanya tempat kerja yang berada di luar wilayah rumah tangga: pabrik, toko, rumah majikan atau tempat-tempat kerja yang lain, tetapi juga rumah perempuan yang bersangkutan sendiri ketika melakukan pekerjaan subkontrak atau pekerjaan rumahan (home-work)

perempuan bila ada, masih posisi tradisional: sekretaris atau bendahara. Fenomena ini bersifat umum terjadi di berbagai latar belakang dan asal-muasal munculnya serikat buruh. Bias peran gender perempuan yang masih banyak mewarnai serikat buruh merupakan sebuah agenda advokasi tersendiri yang sudah harus mulai digarap.

Jurnal ini diawali oleh Saut C.

Manalu, seorang aktivis dari

LBH Bandung yang membagi pengalamannya mencermati situasi krisis di lapangan perburuhan dan mendampingi buruh berbagai sektor memperjuangkan haknya. Dengan fokus pada situasi


(9)

dan jasa keuangan serta pariwisata di kota Bandung, tulisannya membeberkan dampak krisis yang dialami buruh dan analisisnya mengenai kaitan antara situasi yang muncul dengan kebijakan pemerintah yang inkonsisten dan penuh warna kesenjangan menyangkut per-lindungan buruh dan hak berserikat.

Yuniyanti Chuzaifah dari

Perkumpulan Solidaritas

Perempuan membagi

observasi dan pengalamannya di lapangan buruh migran. Deportasi masif adalah dampak yang paling menonjol yang dialami buruh perempuan migran, disamping makin menjadinya eksploitasi terhadap mereka di semua

hingga kembali pulang. Dalam kondisi yang kian eksploitatif

tersebut, perangkat

perlindungan belum kunjung terbentuk meskipun upaya ke arah itu tidak pernah surut dilakukan. Pemikiran ke depan ke arah pemberdayaan buruh migran sekembalinya ke Indonesia juga dilontar-kan penulis untuk dijadikan agenda pemikiran.

Gambar kondisi buruh perkebunan akibat krisis hasil penelitian Keppy Sukesi dari Pusat Penelitian Peran Wanita Universitas Brawijaya di Malang memberikan informasi penting bahwa eksklusifisme

komunitas perkebunan

membawa dampak negatif bagi buruh. Harapan kepastian kerja


(10)

di saat krisis sirna karena kecemburuan sosial dari masyarakat di luar lingkaran perkebunan yang mengalami dampak negatif krisis: kehilangan pekerjaan dan penghasilan. Penelitian Keppy Sukesi juga menjelaskan bagaimana logika perkebunan

mem-pekerjakan buruh

perempuan yang pada

umumnya telah berkeluarga yang mem-berikan keuntungan tersendiri terhadap perkebunan melalui mekanisme subsidi rumah tangga yang dilakukan perempuan.

Persoalan PHK bagi buruh perempuan dan indikasi penyempitan kesempatan kerja bagi buruh perempuan berkeluarga di sektor industri

perkotaan dibahas oleh

Indrasari Tjandraningsih,

peneliti AKATIGA sekaligus penulis editorial ini. Penelitian yang dilakukan akhir tahun lalu menunjuk-kan beberapa indikasi bahwa prospek pekerjaan perempuan di sektor ini akan makin sempit bagi perempuan berkeluarga akan tetapi makin lebar bagi gadis-gadis belia. Perempuan berkeluarga akan ter-lempar ke sektor informal dalam bentuk-bentuk hubungan kerja yang lebih lepas dan tidak permanen: subkontrak, putting out system, outwork, mengikuti kecenderungan penerapan flexible labour yang tampaknya akan menjadi tren ke depan. Konsekuensi dari flexible labour adalah kerentanan


(11)

Arief W. Djati dari Yayasan AREK di Surabaya mengulas

perkembangan situasi

pergerakan buruh di Jawa

Timur melalui kasus

metamorfosa sebuah jaringan buruh menjadi serikat buruh. Tulisan ini menunjukkan kesenjangan yang terjadi antara perjuangan politik di satu sisi dan perjuangan ekonomi yang merupakan masalah sehari-hari buruh di sisi lain. Konteks umum kesulitan ekonomi sangat disadari sebagai sebuah prioritas yang perlu

diselesaikan sebelum

melangkah untuk membangun perjuangan politik menuju terciptanya gerakan buruh yang kuat.

Ratna Saptari, koordinator

program CLARA-Changing Labour Relations in Asia di Amsterdam melengkapi diskusi mengenai gerakan buruh dengan melontarkan isu perempuan. Tulisannya yang komprehensif merangkum situasi buruh perempuan yang terbentuk akibat asumsi peran gender perempuan yang

mengandung implikasi

terhadap posisi mereka di pabrik dan di sekitaran gerakan buruh. Selain peran gender, seksualitas perempuan juga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap situasi dan apresiasi peran mereka selain juga menjadi faktor yang menyebabkan perempuan sendiri gamang menentukan sikap. Kompleksitas situasi


(12)

perempuan di lingkungan tempat kerja akibat aspek gender dan


(13)

pula dalam keterlibatannya dalam gerakan buruh.

Jurnal ini dilengkapi pula dengan ruang metodologi yang mengurai Metode Pendekatan

Partisipasi yang

prinsip-prinsipnya sangat tepat dalam proses pemberdayaan

masyarakat, termasuk

masyarakat buruh. Bagian ini ditulis bersama oleh Ratna I.

Yosodipuro, Alma Arief dan

Amin Robiarto. Metode ini

mengandung sinergi maksud melakukan penelitian dan memberdayakan masyara-kat karena pada hakikatnya masyarakat sendirilah yang menjadi subyek dan pelaku penelitian itu.

Sebuah kronik berita mengenai perkembangan singkat situasi organisasi buruh disajikan oleh

Ristadi K. Widodo dari

AKATIGA sebagai rangkaian dari pembuatan basis data (data base) perburuhan. Kronik berita ini akan menjadi sebuah sajian rutin untuk memperbarui informasi mengenai situasi terbaru mengenai berbagai topik perburuhan, sebagai salah satu wujud pelayanan AKATIGA terhadap kebutuhan informasi pihak yang mempunyai keperdulian terhadap permasalahan


(14)

(15)

ECONOMIC CRISIS:

THE TURNING POINT OF LABOUR

BARGAINING POSITION?

Economic crisis in general brings various impacts to labour. Basically, the impact can be categorised into sectors, regions, and gender. Research on the impact of the crisis to business activities (small, medium, and large scale enterprises) shows different impact to different levels. The difference is determined by geographical situation, sectors, market orientation, and material resources. The research result shows that geographically the worst situation with regard to WKH PHQWLRQHG FULVLV KLW -DYD¶V urban area, while the outer islands are relatively better.

Concerning the labour matters, the crisis hit labour in Java worse than those in the outer islands. Viewed from work sectors, labour in the manufacture and service industries are hit by the crisis worse than those in the agricultural or its related industries. The other impact of economic crisis is an indication of awareness raising of the urban based white collar on their weak position as worker, particularly those in the financial, transportation (airlines) and tourism (hotels) industries. Due to the crisis, both the blue collar and the white collar face working


(16)

the white collar as those of the blue collar, have a weak bargaining position.

The combined socio-economic and socio-political factors can generally be identified as the negative impact of economic crisis to labour. The first factor is related to the decline of economic capacity which is followed by the decline of welfare. The second factor is related to the decline of ODERXU¶V EDUJDLQLQJ SRVLWLRQ particularly when they have to negotiate with their employers. 7KH GHFOLQH RI ODERXU¶V bargaining position is experienced by those who are affected by both the negative (working separation) and the positive impact (wage increase) of the crisis. For the second

who face wage increase), the economic improvement has nothing to do with the improvement of their bargaining position.

The present edition of Journal of Social Analysis Journal tries WRUDLVHODERXU¶VUHDOSUREOHPLQ its connection with economic crisis. The mentioned problem as it is showed in articles in this journal, is obtained from research, plea and advocacy activities, intensive and systematic observation. /DERXU¶V SUREOHP LV intentionally raised up as one among others way to make a comparison of and a recommendation on the lack EHWZHHQODERXU¶VSROLF\RQRQH VLGH DQG ODERXU¶V H[SHULHQFH on the other. Furthermore, the


(17)

recommendation can be used to improve policy arrangement process and to develop thoughts. At the end, all efforts DUHGLUHFWHGWRLPSURYHODERXU¶V position in equitable perspective.

The present journal raise the differences of the impact of the crisis in the industrial, plantation and service sectors. The last mentioned sector is particularly that of the financial/banking, tourism, and migrant workers. Studies on the three sectors show that the positive impact of economic crisis is experienced only by those who work in coffee plantation in East Java. As an export commodity, coffee industries are benefited by the crisis. Nevertheless, the benefit

number of people. The geographical condition of coffee plantation has formed an exclusive community which raise jealousy to the non-plantation community in the surrounding area. Moreover, the jealousy has led to the plundering of coffee plantation. Consequently, the harvesting time is moved earlier which PDNH WKH ODERXU¶V ZRUNLQJ period shortened.

Labour in other sectors face similar situation i.e. cannot avoid mass working separation. It is often happened that the separation is conducted without referring to the prevailing regulation. For those categorised as migrant labour, they face deportation from the country where they work. Such


(18)

opposition to fight for their rights i.e. demonstrations, strikes, accusation to Legal Aid ,QVWLWXWHRUWRDQ\RWKHUODERXU¶V advocacy institutes. It is found that such actions do not have enough media coverage, since the media at the moment covers more on reformation and rapid political change at the national level. It does not mean that the mentioned coverage is not important, indeed it is important to observe on any issues related WRWKHEHKDYLRXURIWKHQDWLRQ¶V political elites. It can be concluded that during

economic crisis and

UHIRUPDWLRQ SHULRG ODERXU¶V problem is removed from public attention.

raise during the crisis is that UHODWHG WR ODERXU¶V RUJDQLVDWLRQ i.e. labour activists who make use of the opportunity to form trade unions. At present it is possible for everybody to form trade unions since the Indonesian government through the Presidential Decree has UDWLILHG ,/2¶V convention on the freedom of union. It is soon declared what is called trade unions i.e. those ZKLFK LV ³ERWWRP XS´ WUDGH XQLRQ WKH ROG ³UH-ERUQ´ WUDGH union, or trade union which is established by those who have concern on labour matters whether they are political elites or political activists. At the EHJLQQLQJ WKH ³QHZ´ WUDGH unions try to identify and to focus on what activities will they do. Therefore, at the


(19)

experience yet, the existence and the advantage of such unions. The mentioned situation leads to a lack between the real needs of labour on one side and the XQLRQ¶VSURJUDPVRQWKHRWKHU

Gender is another important issue within the context of the impact of economic crisis. Women labour constitute the majority in the industrial, plantation and service sectors. In sectors that apply working separation, the number of the separated women labour is more or less similar to those recruited before. The labour intensive industries - in which 80% of their labour are women - dismiss women more than men. It is noted that apart from gender, age and marital status

WR HPSOR\HUV¶ FRQVLGHUDWLRQ whether they are going to dismiss their labour or not. It is likely that old married women are the vulnerable group during the crisis. Cases on the labour intensive and the plantation sectors show that married women face hard problem in managing their household. The mentioned problem is particularly applied to those who lose their job or face wage decline. The worsening working condition brings similar situation to the household. Concerning the mentioned condition, it is important to be considered, that in order to get a concrete and a complete picture on women labour, the discussion has to cover both the domestic and the public roles of women. Principally, all


(20)

labour is a result of the interaction between the domestic and the public roles (working place)1.

With regard to trade union and gender aspects, it is found that women are poorly represented in the union, despite to the fact WKDWYDULRXV³QHZ´WUDGHXQLRQV are established nowadays. (YHQ WKRXJK ODERXU¶V demonstrations and strikes occur in women dominated

sectors, women

UHSUHVHQWDWLYHV LQ WKH XQLRQ¶V board are very few. If they do so, women normally occupy the VR FDOOHG ³WUDGLWLRQDO´ SRVLWLRQ 1

The definition of working place cannot be limited only to that which is located outside the home i.e. IDFWRU\ HPSOR\HU¶V KRPH RU DQ\ other working places. Included in WKHGHILQLWLRQLVWKHZRPHQ¶VKRPH itself i.e. when they do sub contract or home-based work.

treasurer. This is a general phenomenon regardless the background of the union. Gender bias as it is happened in trade union become an agenda for advocacy activities.

The first article in the present journal is written by Saut C. ManaluDQ1*2¶VDFWLYLVWIURP Bandung Legal Aid Institute. He shares his experience in observing the economic crisis within the labour context. He also assists labour of various sectors in fighting for their rights. Saut C. Manalu discusses the labour situation in industrial, financial and tourism sectors in Bandung. He presents a description of the FULVLV¶ LPSDFW RQ ODERXU LQ WKH mentioned sectors. Moreover, he analyses the relationship


(21)

VLWXDWLRQ DQG WKH JRYHUQPHQW¶V SROLF\ +H QRWHV WKH SROLF\¶V LQFRQVLVWHQF\ D SRRU ODERXU¶V protection and a poor implementation on the right to organise.

Yuniyanti Chuzaifah from the

Association of Women Solidarity (Perkumpulan Solidaritas Perempuan) shares her experience in observing migrant workers. Mass deportation is the most prominent impact faced by women migrant workers. Furthermore, exploitation occurs in all steps i.e. from the departure time until the arrival time. In such a situation, law protection is not yet performed, even though any efforts have been done continuously. The writer also poses an idea on

workers in Indonesia - at the time when they finish their working contract abroad.

Keppy Sukesi from Centre of

Women Studies of Malang based Brawijaya University conducted a research on the impact of economic crisis on plantation workers. The research result shows that the exclusive nature of plantation community brings negative impact to the workers. During the crisis there is no more expectation of working continuity for them. The reason behind the mentioned phenomenon is related to the jealousy of the outer community who lose their job and their income. The research also describes the reason behind the recruitment of


(22)

employers be able to get a higher profit through the ZRPHQ¶VKRXVHKROGVXEVLG\

The next article is written by

Indrasari Tjandraningsih, a

researcher of AKATIGA and the writer of this editorial. She particularly focuses her analyses based on a research of working separation of married women workers in labour intensive industries in urban area. She also discusses the possibility of the limitation of working opportunity for women workers in the mentioned industries. The research - which was conducted at the end of 1998 - indicates that working opportunity in the mentioned sector become narrow for married women but become

women. It is likely that married women will move to informal sector (non-permanent work) such as sub-contracting, putting out system, outwork. Such phenomenon follows the tendency of the application of flexible labour which is likely become the future trend. Flexible labour system however, leads to a vulnerable working condition.

Arief W. Djati from Surabaya

based AREK Foundation, writes on the development of labour movement in East Java. He discusses the changing process of a labour network into a trade union. Furthermore, he shows a gap between political fight on one side and economic fight - which LV WKH UHDO GDLO\ ODERXU¶V


(23)

is fully understood that for labour, economic problem needs to be solved first in order to be capable for political fight i.e. to form a strong labour movement.

Women issue within the context of labour movement is written by Ratna Saptari, a program co-ordinator of an Amsterdam based Changing Labour Relations in Asia (CLARA). She writes a comprehensive article on the situation of women labour and its relations with their gender role. She points out that gender UROH DQG ZRPHQ¶V VH[XDOLW\ LQIOXHQFH ZRPHQ¶V SRVLWLRQ LQ their working place (factory) and in the labour movement. Both factors contribute to ZRPHQ¶V XQFHUWDLQW\ LQ

Furthermore, she mentions that all factors in the domestic and the public sphere, and its UHODWLRQ ZLWK ZRPHQ¶V VH[XDOLW\ DQGJHQGHULQIOXHQFHZRPHQ¶V involvement in labour movement.

A supplement article discusses a Participatory Method Approach, is written by Ratna I.

Yosodipuro, Alma Arief and

Amin Robiarto. The approach

can precisely be applied in SHRSOH¶V HPSRZHUPHQW DFWLYLWLHV LQFOXGLQJ WKHODERXU¶V The Participatory Method Approach tries to cover both the research and the empowerment activities. More-over, it treats people as the subject of the research.


(24)

development of trade union is written by Ristadi K. Widodo, from AKATIGA. The chronicle is a part of a labour data base which is still in progress. An up to date information on labour matters will be presented regularly in the chronicle. The publication of the chronicle is a SDUW RI $.$7,*$¶VLQIRUPDWL-on service directed to those who have concern on labour matters. Œ


(25)

KEBIJAKAN PERBURUHAN

DI MASA KRISIS

Saut Christianus Manalu1

Pengantar

Jatuhnya nilai rupiah ternyata berakibat buruk bagi perekonomian Indonesia. Akibat langsung dari masalah ini adalah total hutang luar negeri Indonesia semakin membengkak. Devaluasi nilai rupiah telah meningkatkan angka inflasi sehingga meningkatkan biaya hidup mayoritas rakyat Indonesia.

Menghadapi kesulitan ini, satu-satunya cara yang dilakukan pemerintahan Soeharto adalah meminta bantuan pinjaman

uang dari IMF. IMF bersedia membantu, akan tetapi Indonesia harus menyetujui dan memenuhi sejumlah persyaratan yang ditetapkan secara sepihak oleh IMF. Di antaranya keputusan penting dalam syarat-syarat pinjaman itu adalah Pemerintah

Indonesia harus

menghapuskan monopoli BUMN, sekaligus menghapus subsidi sebagian jenis sembako. Jika persyaratan ini dituruti, maka harga-harga sembako seperti gula, kacang kedele, dan tepung terigu, akan melonjak antara 250% - 500%.


(26)

Harga-harga sembako tersebut dipastikan akan naik karena Pemerintah Indonesia akhir-nya menyetujui syarat-syarat pinjaman dari IMF, yaitu menghapus subsidi minyak bumi, listrik, dan jenis subsidi-subsidi lainnya sejak bulan April 1998.2

Bagi seluruh rakyat Indonesia, krisis yang tadinya hanya sebatas krisis moneter berubah menjadi krisis ekonomi. Apalagi pada saat itu Indonesia mengalami beberapa bencana alam, seperti musim kemarau panjang yang menyebabkan kekeringan dan gagalnya panen, serta kebakaran hutan di Riau dan Kalimantan. Rusaknya perekonomian telah 1

Staf Divisi Perburuhan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung. 2

Singh, Kavaljit, Citizen's Guide to the Globalisation of Finance, Madhyam Books, Delhi - India, 1998, p.81 - 94.

menyebab-kan sebagian besar rakyat Indonesia berada dalam kesengsaraan, terutama kesulitan makanan dan job insecurity.

Dalam perkembangan saat ini, perubahan-perubahan yang terjadi di Indonesia ternyata lebih merupakan perubahan-perubahan yang diharapkan oleh IMF dan lembaga-lembaga keuangan lainya, seperti World Bank (WB), Asia Develop-ment Bank (ADB), UNDP, dll, daripada sebagai perubahan-perubahan yang dituntut reformasi rakyat. Beberapa contoh perubahan yang telah dilakukan

Pemerintahan Habibie

menunjukkan hal itu. Misalnya, dikeluarkannya undang-undang kepailitan, dilikuidasinya


(27)

dilaksanakannya program Jaring Pengaman Sosial,

swastanisasi BUMN,

diciptakannya pegadilan niaga, dilakukannya sistem multi partai, mulai dilaksanakannya clean government, mulai diperketatnya peng-awasan terhadap korupsi, dll. Tentu saja perubahan-perubahan itu sangat disukai oleh IMF karena memberikan jaminan atas keselamatan modal yang telah dipinjam-kan dan memberikan

harapan akan adanya

keuntungan lebih besar dari akumulasi modal yang telah dan akan ditanamkan di Indonesia.

Akibat Krisis bagi Buruh di Indonesia

Krisis ekonomi global yang melanda hampir seluruh

belahan dunia dalam tiga tahun ini, telah menyebabkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial masyarakat. Krisis ekonomi juga telah mengakibatkan banyak negara ber-kembang jatuh miskin, termasuk Korea Selatan, Mexico, dan Philipina. Indonesia yang sebelumnya diproyeksikan akan menjadi negara-negara industri baru, ternyata ikut jatuh miskin juga.

Tentu saja golongan

masyarakat yang paling menderita akibat terjadinya krisis adalah golongan

masyarakat ekonomi

menengah ke bawah, termasuk kaum buruh.

Bagi buruh di Indonesia, krisis ekonomi global telah menyebabkan kesulitan-kesulitan yang berlipat ganda.


(28)

Banyak perusahaan yang bangkrut karena terbelit utang dan sebagian lagi berjalan tersendat-sendat. Meskipun masih ada perusahaan yang tetap stabil dan berkembang, mereka memanfaatkan kondisi krisis ini sebagai alasan untuk tidak memberikan upah dan kesejahteraan yang layak kepada buruh-buruhnya. PHK masal akibat bangkrutnya banyak perusahaan menjadi tidak terelakkan. Repotnya, lapangan kerja di luar sektor manufaktur, seperti sektor agraris, tak mampu lagi menampung korban PHK. Sementara itu mereka harus bersaing pula dengan pengangguran lain yang belum sempat bekerja dan dengan calon tenaga kerja baru yang masih bersekolah. Mencari pekerjaan di negara lain pun

sudah semakin susah, karena negara-negara yang tadinya dapat menampung tenaga kerja Indonesia pun mengalami krisis ekonomi yang sama beratnya dengan Indonesia. Tentu saja, negara-negara itu lebih mementingkan nasib buruh dan penganggurannya sendiri daripada nasib buruh dan pengangguran dari negara lain.

Beberapa masalah yang sangat menonjol akibat krisis ekonomi adalah sebagai berikut :

1. PHK masal

Krisis ekonomi global telah menyebabkan PHK masal di

negara-negara yang

mengalaminya, terutama di negara-negara Asia, Afrika


(29)

Selatan, dan Amerika Latin3. Bagi Indonesia, buntut dari krisis ekonomi adalah

ambruknya banyak

perusahaan, apalagi modal sebagian besar perusahaan tersebut sangat bergantung kepada pinjaman bank, baik nasional maupun internasional. Akibatnya, jutaan buruh menjadi korban PHK masal.

Selain karena krisis ekonomi, PHK masal ini menjadi tak terelakkan karena ada ketentuan dari IMF yang harus ditaati pemerintah Indonesia, seperti restrukturi-sasi perusahaan dan reformasi perban-kan. Kedua keputusan inilah yang menyebabkan pemerintah Indonesia harus melakukan likuidasi terhadap

sejumlah bank, yang

3

Newsweek, August 3, 1998.

selanjutnya menyebabkan PHK terhadap sekitar 17 ribu buruh perbankan pada Februari ± Maret 1999. Perjanjian dengan IMF inilah yang dapat menjelaskan sebab-sebab pemerintah Indonesia tidak dapat berbuat banyak untuk mengatasi masalah ini.4

Menurut laporan resmi kantor perwakilan ILO di Jakarta, 5,4 juta tenaga kerja Indonesia kehilangan pekerjaan.5 Menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Jawa Barat, Iyus Atmadja, S.H., sejak krisis 4

Berdasarkan laporan dari APEC Labour Rights Monitor (ALARM), issue no.31/April 1999, PHK masal terhadap ribuan buruh akibat penutupan perusahaan, terjadi juga pada perusahan-perusahan TNC Jepang di Selandia Baru, seperti perusahan-perusaha-an asembling Mitsubishi, Honda, Toyota dan Nissan. Demikian juga perusahaan-perusahaan

onderdilnya seperti Kensons, Yasaki dan Alkatel.

5

Suara Pembaruan, 1 September 1998.


(30)

ekonomi 1.000 (4,3%) dari 23.090 perusahaan skala besar, kecil, dan menengah yang ada di Jawa Barat sudah

melakukan Pemutusan

Hubungan Kerja (PHK) dan sebagai akibatnya, 99.000 buruh menjadi korban.6 Di Kodya Bandung hingga bulan September 1998, buruh yang mengalami PHK berjumlah 6.780 orang dari 81 perusahaan.7 Jumlah ini akan menjadi lebih besar lagi jika ditambah dengan PHK yang terjadi di sektor informal. Dari jumlah tersebut, Depnaker Jawa Barat hingga saat ini tidak pernah memberikan laporan atau data yang lengkap mengenai bagaimana proses PHK dilakukan, alasan

terjadinya PHK, dan

6

Pikiran Rakyat, 6 Mei 1999. 7

Pikiran Rakyat, 2 September 1998.

bagaimana perlindungan hak-hak buruh akibat PHK tersebut.

Berdasarkan pengamatan LBH Bandung terhadap kasus-kasus yang masuk dan wawancara dengan para buruh di Bandung, jumlah korban PHK di Jawa Barat belum semuanya didata oleh Depnaker Jawa Barat.8 Karena itu, jumlah korban PHK diperkirakan jauh lebih besar dari yang sudah diungkapkan. Sebagai contoh, dalam dua 8

Berdasarkan keterangan kawan-kawan buruh di wilayah industri tekstil Majalaya dan Palasari, banyak perusahaan yang melakukan PHK masal dalam rentang waktu yang cukup panjang, sehingga tidak terdeteksi sebagai PHK masal. Sebagai contoh yang terjadi di perusahaan garmen subkontraktor PT H di Palasari, sebelum krisis jumlah buruhnya sekitar 1.000 orang, sekarang tinggal 600 orang. Perusahaan tidak pernah melakukan PHK, akan tetapi menciptakan kondisi yang membuat buruhnya mengundurkan


(31)

bulan ini IPTN telah melakukan pensiun dini terhadap sekitar 1.000 buruhnya. Proses pensiun ini tidak dilaporkan kepada Depnaker, dengan

alasan bukan PHK.

Berdasarkan keterangan dari buruh yang masih bekerja, IPTN akan melakukan lagi PHK terhadap ribuan buruh yang lain. Proses pensiun dini tidak menimbulkan protes yang cukup berarti dari buruh, selain karena mereka merasa kesal akibat kehilangan pekerjaan, juga karena IPTN berani membayar jumlah uang pesiun dini yang cukup besar, yaitu antara 30 sampai 40 juta rupiah per orang.9 Jumlah ini

diri. 9

Sebelum pensiun dini terjadi, Divisi Perburuhan LBH Bandung pernah memberikan materi tentang PHK bagi buruh-buruh IPTN, dalam diskusi tersebut jelas terlihat bahwa banyak yang kecewa seandainya mereka di PHK atau

sangat jauh lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah uang pesangon yang akan mereka terima, seandainya IPTN memberlakukan PHK terhadap para buruh.10

Selama musim PHK masal, tidak ada satu pun kekuatan

massa buruh yang

terorganisasi pernah

menentang atau menghentikan terjadinya PHK masal. Sebelum Indonesia meratifikasi Konvensi ILO No. 87 pada tanggal 5 Juni 1998, SPSI merupakan satu-satunya serikat buruh yang diakui terkena pensiun dini meskipun uang pensiunnya besar.

10

Sebagai perbandingan dapat dilihat pada jumlah pesangon yang diterima oleh 1.320 buruh PT Pindad yang terkena PHK. Dalam pembayaran pesangon PT Pindad hanya membayar pesangon berdasarkan Permenaker No.3 tahun 1996, yaitu sebanyak 2 kali PMTK, ditambah uang jasa bagi yang berhak menerimanya.


(32)

pemerintah. Dalam kapasitasnya sebagai serikat buruh tingkat nasional, SPSI tidak pernah melakukan usaha apapun untuk menentang PHK masal. Serikat-serikat buruh tingkat nasional lainnyapun, yang berdiri setelah ratifikasi11, tidak pernah melakukan usaha-usaha untuk menentang laju PHK masal, bahkan beberapa

di antaranya lebih

mementingkan organisasi daripada mengurusi nasib buruh. Sebenarnya, ada beberapa serikat buruh tingkat tempat kerja yang aktif dalam menentang PHK masal dan ada yang berhasil menekan laju terjadinya PHK masal. Akan tetapi, banyak juga di antara mereka yang gagal

bahkan pengurusnya

11

Hingga saat ini di tingkat nasional sudah ada 18 serikat buruh.

dirumahkan dan di intimidasi oleh perusahaan, seperti yang dialami oleh pengurus Serikat Buruh PT NT Majalaya.12

Sikap dan respon dari partai politik lebih menyedihkan lagi. Sebelum terjadinya krisis, Golkar, PPP dan PDI sama

sekali tidak pernah

menunjukkan usaha yang berarti untuk menentang terjadinya PHK masal. Demikian juga dengan 45 partai politik lainnya yang berdiri setelah Soeharto mundur, termasuk empat partai politik yang mengklaim dirinya sebagai partai buruh.13 Semua 12

Wawancara dengan pengurus Serikat Buruh PT NT Majalaya, Februari 1999.

13

Dalam penghitungan suara yang sudah berjumlah 70%, semua partai buruh, belum menunjukkan adanya harapan akan memperoleh kursi di DPR, DPRD I maupun di DPRD II. Hal ini sangat ironis sekali jika melihat hampir 1/3


(33)

partai politik sibuk memfokuskan dirinya kepada kampanye pemilu tanpa menyinggung masalah buruh. Padahal, salah satu materi kampanye yang paling baik adalah memperjuangkan nasib buruh yang sudah di ujung tanduk. Sebagai contoh, sewaktu terjadi aksi ribuan buruh bank yang menuntut jumlah uang pesangon kepada BPPN, tidak ada satu pun materi kampanye dari partai-partai politik yang mengambil tema atau mendukung aksi yang dilakukan buruh bank, padahal aksi itu dilakukan bertepatan dengan massa kampanye. Demikian juga dengan PHK masal terhadap 1.132 buruh PT Maspion, baik yang berlokasi di Gresik

pemilih adalah buruh.

maupun yang di Sidoarjo,14 serta PHK masal terhadap 1.450 buruh PT Mayora,15 tidak ada partai politik yang menunjukkan keperdulian terhadapnya. Sebagai reaksi terhadap sikap parpol, para buruh PT Mayora yang sedang melakukan aksi massa di depan kantor Menaker pada saat pemilu tanggal 7 Juni 1999, menyatakan menolak memberikan suaranya dalam pemilu tersebut.16

Terhadap terjadinya PHK masal yang terjadi selama krisis, tidak ada satu pun

lembaga yang mampu

menghentikannya.

14

Kompas, 24 Februari 1999. 15

Wawancara dengan anggota Serikat Buruh Jakarta, Juni 1999 dan dari penuturan buruh PT Mayora kepada beberapa media televisi tanggal 7 Juni 1999, Pikiran Rakyat, 2 Juni 1999.

16


(34)

Berdasarkan kesaksian para buruh di beberapa wilayah industri di Kabupaten Bandung, SPSI sama sekali tidak mempersoalkan terjadinya PHK masal. Mereka hanya mengurusi uang pesangon, yang dalam banyak kasus, para buruhnya ternyata menerima pesangon lebih kecil dari yang ditentukan dalam peraturan yang berlaku17. Bahkan, SPSI kadang-kadang menganjurkan terjadinya PHK dengan iming-iming mereka akan memperjuangkan uang

pesangon. Sikap ini

sebenarnya merupakan

kebiasaan SPSI yang sudah berlangsung sejak lama.18 17

Pengaduan ke LBH Bandung, kasus PHK masal terhadap seluruh buruh (457 buruh) PT IM Majalaya, Februari 1999.

18

Klien LBH Bandung terhadap 53 buruh PT IT Cimahi, November 1998. Perlakuan ini sudah dilakukan sebelum reformasi,

Sikap Depnaker, mulai dari Disnaker, Depnaker, P4D, Kanwil, P4P, dan Menteri Tenaga Kerja pun hampir sama dengan sikap SPSI. Dalam

kasus-kasus PHK

perseorangan dan PHK masal, sebagian besar anjuran Disnaker/Depnaker, P4D dan Keputusan P4P adalah menyetujui atau mengabulkan terjadinya PHK, meskipun tanpa dasar hukum ataupun bukan karena alasan krisis ekonomi.19 Demikian juga dengan Menteri Tenaga Kerja, meskipun mempunyai hak untuk melakukan veto, jarang sekali ia menggunakan haknya untuk melakukan veto terhadap putusan P4P. Pemerintah, DPR, aparat keamanan, seperti yang dilakukan terhadap PHK masal 273 buruh CV W Cimahi, 1996.

19


(35)

penegak hukum serta lembaga pengadilan, sekalipun tidak jauh berbeda, tidak dapat berbuat banyak menghadapi PHK masal. Mereka cenderung tidak mempersoalkan terjadi-nya PHK, asal perusahaan membayar uang pesangon.

Tidak semua PHK terjadi karena alasan kriris ekonomi. Banyak PHK, baik masal maupun perorangan yang terjadi selama krisis ekonomi, dilakukan secara sewenang-wenang oleh pengusaha semata-mata hanya untuk mematahkan perjuangan kaum buruh dalam menuntut hak-haknya. Sebagai contoh, PHK masal terhadap 53 orang buruh perempuan PT IT, Cimahi (November 1998) dilakukan buruh-buruh itu karena

ditangani oleh LBH Bandung.

melakukan mogok, menuntut diberikannya cuti haid, dan pengurangan beban dan jam kerja.20 Demikian juga dengan PHK masal yang menimpa 40 orang buruh PT GA, Ujung Berung (Maret, 1999),21 terhadap kurang lebih 1.727 buruh Tyfountex, Solo,22 terhadap 1.232 buruh PT Maspion (meskipun akhirnya dikerjakan kembali setelah Menteri Tenaga Kerja Fahmi Idris menjatuhkan veto terhadap keputusan P4P),23 dan terhadap buruh hotel PW

Bandung24 hanyalah

mengulang perilaku represif lama yang sudah berlangsung di masa Orde Baru, yaitu

semata-mata untuk

20

Klien LBH Bandung. 21

Wawancara dengan buruh PT GA. 22

Kompas, 8 September 1998. 23

Kompas, 24 Februari 1999. 24

Wawancara dengan buruh Hotel PW.


(36)

mematahkan perjuangan kaum buruh dalam menuntut hak-haknya. Di massa Orde Baru tindakan PHK masal selalu ditentang pemerintah beserta

aparat keamanannya.

Seringkali Orde Baru menyatakan aksi buruh seperti ini memiliki tuntutan yang tidak masuk akal dan tanpa dasar hukum, melanggar hukum, meng-ganggu stabilitas nasional, dan di-tunggangi oleh pihak ketiga.

Sebelum terjadi krisis ekonomi, PHK terhadap buruh sudah sangat mudah dilakukan, apalagi dengan terjadinya krisis. Hukum perburuhan memberi peluang yang begitu besar dan mudah bagi pengusaha untuk melakukan

PHK terhadap buruh.

Berdasarkan Permenaker No.

3 tahun 1996, pasal 25 : (ayat 1):

Dalam hal pemutusan hubungan kerja perorangan bukan karena kesalahan pekerja, maka uang pesangon ditetapkan sebesar 2 (dua) kali ketentuan pasal 21 kecuali atas persetujuan kedua belah pihak ditetapkan lain, uang jasa ganti kerugian sesuai dengan ketentuan pasal 22 dan 23.

(ayat 2)

Dalam hal pemutusan hubungan kerja masal karena perusahaan tutup, besarnya uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian ditetapkan berdasarkan ketentuan pasal 21, pasal 22 dan pasal 23.

(Ayat 3)

Dalam hal pemutusan hubungan kerja masal yang disebabkan oleh efisiensi perusahaan, uang pesangon ditetapkan 2(dua) dua kali ketentuan pasal 21, uang jasa dan ganti kerugian sesuai dengan ketentuan pasal 22 dan pasal 23 kecuali atas persetujuan kedua belah pihak ditetapkan lain.


(37)

Berdasarkan peraturan pasal di atas, pengusaha mempunyai hak yang dilindungi hukum

untuk melakukan PHK

terhadap buruh, baik karena kesalahan yang dilakukan oleh

buruh maupun tanpa

kesalahan. Selain itu, hal lain yang memudahkan pengusaha melakukan PHK terhadap buruh adalah jumlah pesangon yang diberikan sangat kecil.25 Meskipun ada ketentuan pada pasal 2 (1, 3, dan 4) yang

melarang pengusaha

melakukan PHK, dengan adanya ketentuan dalam pasal 25 maka larangan PHK 25

Kecilnya uang pesangon telah menjadi pemicu aksi besar-besaran buruh-buruh perbankan dari bulan Februari - Maret 199, yang terkena PHK masal akibat dilikuidasinya 38 bank swasta oleh BPPN pada bulan Februari 1999. Mereka melakukan aksi untuk menuntut pesangon yang lebih besar dari ketentuan Permenaker

tersebut menjadi tidak mempunyai arti apa-apa. Berdasarkan alasan ini juga, maka dalam masa krisis, perusahaan tidak mempunyai hambatan yang cukup berarti

dalam melakukan PHK

terhadap para buruhnya.

Selain dari perangkat hukum perburuhan yang tidak membela kepentingan kaum buruh, lembaga penyelesaian perselisihan perburuhan dan pengadilan juga memudahkan pengusaha melakukan PHK terhadap buruh, baik masal maupun perorangan. Dalam

anjuran-anjuran dan

keputusan-keputusan yang dikeluarkan

Disnaker/Depnaker, P4D, P4P, dan pengadilan, seringkali buruh yang tidak memiliki


(38)

kesalahan apapun di PHK tanpa dasar hukum. Alasan yang digunakan lembaga itu sederhana saja, yaitu antara buruh dan majikan tidak harmonis lagi sehingga hubungan kerja tidak dapat dilanjutkan, karena itu PHK diizinkan. Longgarnya alasan-alasan untuk melakukan PHK

sangat memudahkan

pengusaha melakukan kolusi

dengan aparat untuk

melakukan PHK terhadap buruh. Kondisi warisan Orde Baru ini masih berlangsung hingga sekarang.

2. Skorsing dan merumahkan buruh

Selain melakukan PHK masal, banyak perusahaan juga merumahkan dan melakukan skorsing terhadap buruhnya.

Tidak semua tindakan merumahkan dan skorsing dilakukan karena alasan krisis ekonomi, tetapi juga karena aksi yang dilakukan buruh sebelumnya. Sebagai contoh,

tindakan pengusaha

merumahkan 97 buruh PT PEP Karawang (Texmaco Group) pada bulan Januari 1999, gara-gara para buruh melakukan aksi massa memprotes penghapusan tunjangan sembako dan kecilnya uang insentif yang dianggap tidak memenuhi rasa keadilan. Dari 97 orang buruh yang dirumahkan, terdapat ketua PUK±SPSI PT PEP, yang dituduh perusahaan sebagai dalang dan yang bertanggung jawab terhadap terjadinya aksi buruh. Padahal dalam kesaksiannya dan diakui oleh teman-temannya, aksi ini


(39)

dilakukan secara spontan sebagai reaksi terhadap buruknya kebijaksanaan perusahaan, dan pada saat aksi terjadi, Ketua PUK-SPSI sedang tidak bekerja. Perkembangan terakhir dari peristiwa ini adalah, 17 orang mengundurkan diri, 75 dipekerjakan kembali, dan 5 orang sampai sekarang masih dirumahkan. Mereka ini, termasuk Ketua PUK-SPSI26 dianggap sebagai pentolan massa buruh.

Kasus lain terjadi juga terhadap 200 buruh PT Gladiatex Cimahi27 dan terhadap 16 orang buruh PT NT Majalaya yang dirumahkan sejak Januari 1999 gara-gara mendirikan serikat buruh. Alasan 26

Kronologis dan wawancara dengan, Ketua PUK-SPSI PT PEP. 27

Pikiran Rakyat, 9 Juni 1999.

perusahaan merumahkan

mereka adalah untuk

melakukan efisiensi karena pabrik kekurangan order. Padahal, menurut keterangan buruh yang masih aktif bekerja, hingga saat ini order bahkan lebih ramai.28

3. Pembersihan aktivis buruh

Banyak juga PHK

perseorangan maupun PHK

masal dan tindakan

merumahkan buruh pada masa krisis, dilakukan pengusaha semata-mata untuk mem-bersihkan aktivis buruh dengan memanfaatkan isu krisis. Dirumahkannya 16 orang buruh PT NT Majalaya, PHK terhadap 40 orang buruh PT GA Ujungberung dengan 28

Wawancara dengan Ketua Serikat Buruh PT NT, Majalaya.


(40)

alasan efisiensi, dan PHK terhadap sembilan orang buruh PT SI Cimahi, merupakan beberapa contoh di mana perusahaan memanfaatkan isu krisis ekonomi untuk melakukan pembersihan aktivis buruh.

Enam belas orang buruh PT NT di rumahkan, setelah mereka mendeklarasi-kan berdirinya Serikat Buruh PT NT. Semua yang dirumahkan

adalah pengurus dan

organisator buruh di pabrik itu. Enam belas orang inilah yang menjadi kelompok inti Serikat Buruh PT NT yang sudah mempersiapkan berdirinya serikat buruh dengan melakukan pendidikan dan pengorganisasian kepada kawan-kawannya sejak empat tahun yang lalu. Karena itu jika

mereka di PHK, maka semua pekerjaan itu kembali ke angka nol. Para buruh menolak tindakan pengusaha dan menuntut tetap bekerja seperti biasa, apalagi upah selama dirumahkan hanya dibayar sebesar 50%. Tuntutan para buruh ditolak, bahkan pengusaha mengarang cerita tentang pencurian kain, lalu pengusaha mengizinkan para buruh bekerja kembali kalau mereka dapat menyebutkan nama-nama para pencuri kain tiga tahun yang lalu, yang tidak mereka ketahui. Kalau mereka tidak dapat menyebutkan orang-orang tersebut, maka perusahaan akan melakukan PHK ter-hadap mereka.29

PHK masal terhadap 40 orang buruh PT GA dilakukan setelah 29


(41)

mereka mogok menuntut kenaikan upah 100% dan berdirinya Serikat Buruh Mandiri (independen). Semua organisator dan calon pengurus serikat berada dalam rombongan tersebut. Sehari sebelum terjadinya PHK, Depnaker Kodya Bandung sejak sore hari sampai jam 02.00 dini hari, berada di perusahaan bersama dengan pengusaha. Mereka menonton rekaman video pemogokan yang ternyata direkam secara lengkap oleh pengusaha melalui handycam. Melalui

rekaman tersebutlah

pengusaha melakukan PHK terhadap para aktivis buruh. Selain menonton video pengusaha, Depnaker juga mempelajari Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Serikat Buruh Mandiri (SBM)

yang sudah berdiri

sebelumnya, di PT TNR dan PT ST Ujungberung. Terhadap tuntutan buruh untuk mendirikan SBM, pengusaha menolak mentah-mentah dan tetap mempertahankan SPSI yang sudah ada sebelumya. Padahal SPSI ditolak oleh 80% buruh karena sama sekali tidak pernah membela kepentingan buruh di pabrik itu.

Demikian juga PHK terhadap sembilan orang buruh PT SI Cibaligo Cimahi dilakukan untuk mengeluarkan sembilan buruh yang selama ini menjadi organisator buruh di pabrik

tersebut. Perusahan

melakukan PHK terhadap mereka dengan alasan efisiensi. Kalau memang benar demikian, maka buruh yang terkena efisiensi pastilah buruh


(42)

yang tidak terlalu produktif. Padahal sembilan orang ini merupakan tenaga muda dan sangat produktif. Alasan efisiensi menjadi tidak masuk akal, karena selain yang sembilan orang tadi, perusahaan tersebut belum melakukan PHK lagi sampai sekarang sekarang.30

4. Upah rendah

Selama krisis, UMR telah mengalami kenaikan dua kali, yaitu pada bulan Agustus 1998 dan bulan April 1999, kenaikan terakhir sebesar 16%. Jumlah UMR sebulan adalah sebesar Rp 231.000,00 untuk DKI dan Rp 230.000,00 untuk Botabek dan sebagian Jawa Barat. Menurut Dirjen Binawas Depnaker, besarnya kenaikan 30

Wawancara dengan para buruh.

UMR baru memenuhi 80% Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) buruh.31 Kenaikan UMR menjadi tidak berarti dibandingkan dengan kenaikan

harga barang-barang

kebutuhan pokok di pasaran yang berkisar antara 100%± 400%. Karena itu, setelah adanya UMR baru, buruh tetap melakukan aksi-aksi menuntut upah yang lebih tinggi dari UMR.

Berdasarkan catatan pola konsumsi buruh yang dibuat oleh salah seorang buruh di Cimahi pada bulan Desember 1998, pengeluaran minimal

bulanan untuk buruh

perempuan lajang sebesar Rp 274.000,00 per bulan, untuk laki-laki lajang Rp 357.000,00 per bulan, dan bagi buruh 31


(43)

berkeluarga dengan seorang anak yang belum sekolah sebesar Rp 466.126,00.32 Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan AKATIGA pada bulan Januari ± Maret 1998, jumlah upah berdasarkan KHM untuk buruh perempuan lajang sebesar Rp 345.000,00 dan bagi laki-laki lajang sebesar Rp 347.000,00. Upah yang diterima buruh pada saat itu baru memenuhi 50% dari komponen KHM. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Global Exchange, salah satu LSM yang berada di San Fransisco, pada tahun 1998, upah minimum bagi seorang buruh lajang berdasarkan biaya hidup adalah sebesar Rp 350.000,00.33 Mengacu kepada 32

Herningsih, Ani, Pola Konsumsi Buruh, Kelompok Buruh Bandung, Desember 1998.

33

FEER, Sweating It Out, December

ketiga sumber di atas, maka jumlah kenaikan UMR bagi buruh di Indonesia masih belum memenuhi standar.

Berdasarkan peraturan-peraturan se-belumnya,

demikian juga dalam

Permenaker No. 1 tahun 1999, upah buruh masih dimasukkan sebagai komponen biaya produksi, tidak ditentu-kan

berdasarkan besaran

keuntungan perusahaan.

Artinya keuntungan

perusahaan atas hasil kerja buruh, sepenuhnya masih dimiliki perusahaan dan belum dimiliki buruh. Di bidang pengupahan, reformasi sama sekali tidak terjadi. Hal ini ditunjukkan, selain jumlah upah yang masih di bawah standar,


(44)

juga sama sekali tidak memenuhi prinsip utama dari pengupahan itu sendiri, yaitu pembagian atas keuntungan didasarkan pada nilai lebih dari barang yang dihasilkan buruh.

Bagi buruh di Indonesia, kenaikan upah menjadi suatu hal yang paling sulit diperjuangkan. Hal ini disebabkan oleh tiga hal, pertama karena kekuatan organisasi buruhnya belum ada, kedua karena pemerintah Indonesia masih menerapkan buruh murah sebagai daya tarik investasi asing, ketiga karena kebijakan Trans National Corporations (TNCs) juga tidak menghendaki tingginya upah.34

34

Chossudovsky, Michel, The Globalisation of Poverty - Impacts of IMF and World Bank Reforms, Third World Networ, Penang -

Perusahaan-perusahan

Transnational (TNCs), melalui kebijakan lembaga-lembaga keuangan seperti WB, ADB, IMF, dll, organisasi internasional serta perjanjian-perjanjian internasional lainnya, telah mengatur tata ekonomi dunia yang menguntungkan para TNCs. TNCs, melalui cabang-cabang dan para subkontraktor-nya yang tersebar di seluruh dunia mengatur produksinya secara seragam. Dengan cara demikian, maka negara-negara tersebut akan bersaing memperebutkan order dan masuknya investasi asing melalui beberapa kebijakan dalam negeri termasuk kebijakan buruh murah.35

Malaysia, 1997, p. 75 - 98.

35 Ibid.


(45)

Bagi perusahaan-perusahaan transnasio-nal, upah buruh murah dari negara-negara berkembang jelas sangat mereka harapkan karena tingginya upah di negara-negara asal mereka. Dalam menentukan komponen biaya

produksi, TNC pun

menempatkan upah dalam bagian komponen yang sangat kecil dibandingkan dengan komponen produksi lainnya. 5. Flexible workers

Dalam beberapa tahun belakangan ini banyak

perusahaan mulai

mengusahakan mengurangi biaya upah buruh, dengan cara mengatur sistem kerja buruh yang berdampak pada kecilnya

upah. Bentuk yang

dikembangkan adalah

hubungan kerja yang bersifat fleksibel seperti casual workers, buruh paruh waktu, kontrak musiman (dalam jangka waktu tertentu), maupun buruh tetap yang bekerja penuh akan tetapi beban kerjanya sangat banyak.36 Di Indonesia, sistem kerja permanen mulai dihindari dan digantikan dengan sistem kerja kontrak. Dalam Undang-undang No. 25 tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan, sistem kontrak juga diatur, artinya secara tegas Indonesia mulai mempopulerkan sistem kerja kontrak. Dalam kejadian sehari-hari, sistem kontrak ini pun sudah banyak diterapkan

baik di

perusahaan-perusahaan swasta nasional 36

$QJHOHV %RQJ * ³/DERXULQJ LQ the Milenium : General Labour 7UHQGV LQ $VLD 3DFLILF´ GDODP ALARM Update No. 26, November


(46)

maupun di TNCs.

Di masa krisis, bentuk kontrak ini berjalan tanpa mengikuti ketentuan yang berlaku, yaitu Permenaker No. 2 tahun 1993 tentang Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu. Berdasarkan peraturan tersebut, buruh hanya boleh dikontrak sebanyak 2 kali dengan total jangka waktu untuk 2 masa kontrak selama-lamanya 2 tahun, dan jika telah melebihi ketentuan tersebut, buruh harus menjadi buruh tetap. Perkembangan saat ini, banyak perusahaan mengontrak

buruhnya selama ada

pekerjaan dan jika perusahaan masih membutuhkan mereka; jika pekerjaan habis, maka kontrak pun berakhir. Seandainya suatu saat

1998.

perusahaan ber-niat

mempekerjakan mereka, perusahaan akan membuat kontrak baru lagi.37

6. Pelanggaran hak berorganisasi

Karena tekanan luar negeri,

Pemerintah Indonesia

meratifikasi Konvensi ILO No.87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlidungan Hak untuk Berorganisasi berdasarkan Keputusan Presiden No. 83 tahun 1998, yang ditetapkan pada tanggal 5 Juni 1998. Keputusan ini kemudian dikuti dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 5/1998 tentang Pendaftaran Organisasi Pekerja yang 37

Wawancara dengan buruh PT W, KH Group, Ciparay - Majalaya Kabupaten Bandung, Mei 1999.


(47)

ditetapkan pada tanggal 27 Mei

1998. Dengan adanya


(48)

maka berdirilah banyak serikat buruh, baik lokal maupun nasional di luar SPSI.

Meskipun keputusan

kebebasan organisasi ini sudah dikeluarkan, pelanggaran hak berserikat masih saja terjadi. Pelanggaran ini dilakukan oleh Depnaker, pengusaha, Apindo, SPSI, dan Tentara. Bentuk-bentuk pelanggaran yang terjadi dapat berupa: 1) melarang berdirinya serikat

buruh; 2) menolak

mendaftarkan serikat buruh; 3) melarang menggunakan kata serikat buruh selain serikat pekerja; 4) melarang berdirinya serikat buruh independen selain SPSI; 5) menskorsing para organisator dan pengurus serikat buruh; 6) melakukan PHK terhadap pengurus serikat buruh; 7) melakukan stigma

serikat buruh sebagai organisasi terlarang. Pelanggaran-pelanggaran di atas tentu saja melanggar dan bertentangan dengan Konvensi ILO No.87.

Beberapa contoh untuk menjelaskan pelanggaran tersebut adalah sebagai berikut:

Pelanggaran Hak

Berserikat di PT MAF Majalaya.

Setelah melakukan

pengorganisasian selama dua tahun, buruh PT MAF mendeklarasikan berdirinya serikat buruh pada tanggal 27 Septermber 1998 dan satu minggu kemudian telah didaftarkan di Disnaker

Kabupaten Bandung.

3HQJJXQDDQ NDWD ³VHULNDW EXUXK´ VHPSDW GLWHQWDQJ oleh Apindo. Setelah memperoleh izin Depnaker, Kepala Desa memanggil para pengurus serikat buruh, di sana sudah menunggu polisi dari Polda, Koramil Majalaya, Polsek


(49)

Majalaya, Camat Majalaya. Dalam undangan para pembesar daerah tersebut

menuduh mereka

melakukan organisasi terlarang yaitu organisasi Negara Islam Indonesia, dan tuduhan ini ditolak oleh buruh. Menurut pengakuan lurah, yang memerintahkan dan membuat undangan itu adalah Koramil Majalaya. Setelah sidang di kantor Desa, besoknya Ketua dan Sekretaris Serikat Buruh di ± PHK oleh pengusaha. Para buruh menolak PHK dan melakukan aksi menolak PHK terhadap pemimpin mereka, dan tuntutan mereka berhasil. Akan tetapi beberapa hari berikutnya dua orang polisi memanggil Ketua Serikat Buruh ke salah satu ruangan di perusahaan, yang dijaga oleh dua orang tentara. Di ruangan itulah Ketua Serikat Buruh di PHK oleh polisi.

Pelanggaran Hak

Berserikat di PT NT. Di PT NT, Disnaker menolak mendaftarkan Serikat Buruh PT NT. Alasan yang

dikemukakan, karena serikat buruh bukan serikat pekerja dan pengurus serikat buruh sedang dalam masa skorsing. Ketika terjadi sidang perselisihan

perburuhan dengan

pengusahanya, P4D pun

menolak keberadaan

Serikat Buruh PT NT dan menganjurkan agar mereka diwakili oleh SPSI atau serikat yang terdaftar.

Alasan utama pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi ILO No. 87 bukanlah karena ada perubahan mendasar mengenai politik perburuhan, melainkan karena kepentingan Indonesia untuk mendapatkan bantuan luar negeri. Sewaktu Indonesia berusaha keras mencari pinjaman luar negeri, muncullah kecaman keras dari

anggota House of

Representatives Mr. Bernard Sanders yang mengatakan bahwa pinjaman IMF kepada


(50)

Indonesia adalah illegal. Alasan yang dikemukakan Mr. Sanders berdasarkan buruknya kondisi perburuhan di Indonesia dari Annual Human Rights Report 1996 yang dibuat oleh US State Department. Dalam laporan tersebut diutarakan bagaimana

buruknya per-lakuan

pemerintah terhadap aktivis

buruh dan kebebasan

berorganisasi yang

bertentangan dengan Konvensi ILO. Selain itu, Mr. Sanders juga mengajukan argumentasi, bahwa pinjaman USA bagi luar negeri hanya dapat diberikan bagi negara-negara yang telah

menjalankan hak-hak

perburuhan berdasarkan ketentuan-ketentuan standar perburuh-an.38 Atas dasar 38

Representative Bernie Sanders, ³6DQGHUV RQ ,QGRQHVLDQ %DLORXW ,WV ,OOHJDO´Multinational Monitor,

desakan ini, maka pemerintah pun mengeluarkan kebijakan

politik yang cukup

kontroversial, misalnya membebaskan Ketua SBSI Dr. Muhtar Pakpahan dan Ketua PPBI Dita Indah Sari.

7. Intervensi militer

Pada bulan Agustus 1998, Menhankam Pangab dan Menko Polkam menyetujui permintaan Menaker agar GDODP ³SHU-undingan bipartit DQWDUD EXUXK GDQ PDMLNDQ´ militer dan kepolisian tidak ikut campur. Persetujuan ini

dilakukan dengan

mengeluarkan instruksi Menhankam Pangab dan Menko Polkam kepada aparat November 1997, dan Marijke Torf, ³5HLQLQJLQWKH,0)7KH&DVH)RU Denying the IMF New Funding and 3RZHU´ Multinational Monitor,


(51)

di level daerah.39 Instruksi tersebut belum efektif karena intervensi militer di daerah tetap terjadi. Misalnya dalam aksi buruh di PT PEP Texmaco Karawang Januari 1999, kesatuan Brimob terlibat aktif menekan para buruh untuk segera menghentikan mogok, dan setelah itu semua buruh discreening. Demikian juga dengan pemogokan di PT NT,

Maret 1999, setelah

pemogokan selesai, polisi terlibat aktif mengintimidasi buruh. Dalam kasus PHK terhadap sembilan orang PT SI, Brimob, Kopassus, dan Polisi aktif melakukan PHK

terhadap mereka.

Ketidakefektifan instruksi tersebut antara lain disebabkan karena SK Bakorstranas No.

January/February 1998. 39

Pikiran Rakyat, 22 Agustus 1998.

02/90 masih belum dicabut.

Intervensi militer yang masih berlangsung hingga saat ini sebenarnya menunjukkan wajah asli politik perburuhan pemerintah Indonesia. Artinya, represi terhadap buruh masih merupakan suatu kebijakan politik. Kebijakan ini pasti akan terus berlangsung karena pemodal asing yang akan masuk ke Indonesia, pasti menginginkan stabilitas nasional, upah rendah, dan tidak ada kekuatan buruh yang terorganisir yang dapat mengganggu atau mengurangi keuntungan yang bakal mereka peroleh.

Bagaimana Sikap

Pemerintah?


(52)

berlangsung, pekerjaan terberat yang dilakukan

pemerintah, selain

mengembalikan hutang luar negeri dan memperbaiki kondisi ekonomi dan politik, adalah mengatasi masalah pengangguran. Hal ini menjadi sangat penting karena jumlahnya menjadi berlipat ganda dan sangat berpotensi meledak dalam social unrest.

Untuk menanggulangi masalah pengangguran, ada beberapa program yang dijalankan pemerintah melalui Depnaker, misalnya dengan mengadakan

Pelatihan Program

Penanggulangan

Pengangguran Pekerja

Trampil40. Selain oleh

Depnaker, pekerjaan

mengatasi para pengangguran 40

Pikiran Rakyat, 8 September 1998.

dilakukan oleh instansi lain, misalnya oleh Bappenas dengan Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP). Hal yang sama dilakukan demikian juga oleh pengusaha, misalnya oleh Apindo dengan membuka Pusat Informasi Kerja (PIK) di luar negeri khusus bagi pekerja trampil seperti korban PHK puluhan bank-bank swasta.41

Program yang dilakukan oleh lembaga-lembaga di atas tentu saja baik bagi pengangguran, terutama untuk mengatasi masalah jangka pendek. Akan tetapi, masalah pengangguran tidak sama dengan masalah perburuhan. Masalah utama

pengangguran adalah

mendapat-kan pekerjaan dan 41

Suara Pembaruan, 5 September 1998.


(53)

penghasilan, sedang-kan masalah utama buruh adalah memperjuangkan

kesejahteraan, melawan

eksploitasi, dan

mempertahankan pekerja-an (job security).

Di bidang perburuhan kebijakan-kebijakan dan sikap pemerintah serta perilaku-perilaku pengusaha dalam hubungan kerja tidak menunjukkan perubahan yang lebih baik. Buruknya kondisi perburuhan masih terus berlangsung, seperti yang terjadi di perusahaan PT BNC Bandung. Sekitar 40 orang buruh, yang merupakan bagian besar buruh PT BNC masih menerima upah di bawah UMR, yaitu antara Rp 150.000,00 Rp 223.000,00. Padahal menurut para

buruhnya hampir, setiap bulan Kanwil Depnaker Jawa Barat berhubungan dengan pihak

manajemen perusahaan

tersebut.42 Beberapa fakta yang disebutkan di atas juga terjadi, bahkan, dilakukan

sendiri oleh aparat

pemerintahan. Fakta ini jelas

menunjukkan bahwa

pemerintah sendiri membiarkan terjadinya pelanggaran hak-hak buruh dan buruknya kondisi kerja.

Demikian juga dengan sikap

pemerintah terhadap

perselisihan perburuhan, tetap tidak berpihak kepada buruh. Sebagai contoh adalah putusan terhadap kasus dua aktivis buruh melawan PT BSTM Dayeuhkolot.43 Dua 42

Wawancara dengan buruh PT BNC, April 1999.

43


(54)

aktivis buruh PT BSTM di PHK tanpa kesalahan. Alasan dari pihak perusahaan adalah karena perusahaan melakukan efisiensi. Menurut pihak buruh, mereka di PHK kerena mereka dianggap aktivis buruh di perusahaan tersebut. Pihak buruh tetap menuntut bekerja, tetapi perusahaan tetap menolak menerima mereka. Karena harapan bekerja kembali sudah tipis, mereka akhirnya menuntut uang pesangon.

Dalam negosiasi dengan pihak perusahaan, pihak buruh menuntut lima kali ketentuan Menteri Tenaga Kerja, akan tetapi pihak perusahaan hanya mau membayar dua setengah kali. Karena tidak terjadi

sekepakatan, mereka

mengajukan masalah ini

kepada Disnaker Kabupaten Bandung dan akhirnya sampai di P4D. Dalam keterangannya kepada P4D, baik pihak pengusaha maupun pihak

buruh mengutarakan

kesanggupan pengusaha membayar pesangon hanya sampai dua setengah kali

peraturan. Dalam

keputusannya, P4D

menyatakan lain, yaitu hanya

mengizinkan pesangon

sebesar dua kali pesangon dalam peraturan menteri jadi lebih kecil dari yang sudah

disetujui pengusaha.

Keputusan ini jelas merugikan pihak buruh.

Contoh di atas hanyalah sebagian contoh dari banyak kasus yang biasa ditangani P4D. Ketua PP Serikat Pekerja TSK juga menyatakan bahwa


(55)

(56)

berpihak kepada pengusaha dan merugikan buruh44.

Dalam masa krisis, seharusnya pemerintah memiliki sense dan keberpihakan terhadap rakyat. Akan tetapi, kebijakan dan praktek yang dilakukan di bidang perburuhan sama sekali tidak berpihak kepada buruh.

Kesimpulan

Krisis ekonomi telah mengakibatkan protes dari rakyat, termasuk dari kaum buruh. Mereka menuntut reformasi total, artinya reformasi dalam bidang struktur dan sistem ekonomi maupun sistem ideologi atau politik. Akan tetapi tuntutan reformasi hanya menghasilkan jatuhnya Soeharto, sementara 44

Pikiran Rakyat 15 Agustus 1998.

infrastruktur masih tetap utuh dan suprastruktur politik mengalami sedikit perubahan.

Dalam perjalanan selanjutnya, reformasi yang dilakukan

pemerintah bukanlah

menjalankan reformasi yang diharapkan oleh rakyat. Reformasi yang dijalankan selama ini tidak lebih dari

sekadar melaksanakan

pekerjaan-pekerjaan yang dibebankan oleh IMF dan pemodal asing lainnya kepada

Indonesia, sebagai

konsekuensi dari syarat-syarat pinjaman hutang luar negeri. Karena itu, reformasi yang diharapkan oleh rakyat jauh melenceng dari sasaran, termasuk reformasi di bidang perburuhan.


(57)

Berdasarkan fakta-fakta di atas, maka untuk melakukan reformasi dalam kebijakan perburuhan, pemerintah harus

melakukan perubahan

kebijakan secara substansial. Kebijakan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Hapuskan semua campur tangan militer dalam masalah-masalah per-buruhan.

2. Hapuskan semua campur tangan kepolisian dalam masalah-masalah

perburuhan.

3. Menjalankan implementasi Konvensi ILO No. 87 secara total.

4. Mengubah sistem

pengupahan nasio-nal berdasarkan kehendak bipartit buruh - majikan. 5. Cabut SK Bakorstranas No.2

tahun 1990.

6. Mengubah semua ketentuan normatif yang selama ini merugikan buruh dengan peraturan-perundangan yang baru.

Bagi kaum buruh sendiri, berdasarkan pengalaman selama ini, maka untuk memperbaiki nasibnya, mereka harus berusaha sendiri dengan


(58)

berjuang secara terorganisir. Karena itu, serikat buruh sebagai alat mutlak ada dan

harus diperjuangkan.

Menggantungkan pada

kebijakan pemerintah sama

saja artinya dengan

memperpanjang masa


(59)

KRISIS YANG MENGHEMPAS NASIB

BURUH MIGRAN

Yuniyanti Chuzaifah1

Pendahuluan

Data krisis regional menunjukkan bahwa sejak Oktober 1997 nilai bath turun 44%, rupiah 38%, ringgit

Malaysia 21,5%, dan

Singapore $ 7,2%.2

Menurunnya nilai tukar rupiah dan tidak stabilnya situasi ekonomi yang dibarengi dengan kekacauan politik, 1

Manager Program Departemen Perserikatan Solidaritas Perempuan, Alumni Jurusan Filsafat IAIN Jakarta, aktivis kelompok studi Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI).

2

Rex Varona, A Year After; Surveying the Impact of the Asian Crisis on Migrant Workers, AMC, 1999.

membuat perekonomian

Indonesia mengalami collapse. Situasi ini mengakibatkan larinya investor asing, tumbangnya berbagai sektor usaha seperti properti, manufaktur, dll, sehingga PHK masal terjadi. Setidaknya dalam kurun waktu 6 bulan dari

Juni-Desember 1997,

sebanyak 2 juta orang kehilangan pekerjaan karena serangan krisis ini.3 Berdasarkan data, selama

1998, pengangguran

membengkak hingga

3

South China Morning Post, 6 Januari 1998.


(60)

31.807.804 orang (Kompas, 29 September 1998).

Kesempatan kerja di dalam negeri menjadi sangat terbatas, sehingga peluang kerja ke luar negeri menjadi alternatif yang dianggap menjanjikan bagi mayoritas masyarakat miskin, khususnya di pedesaan. Sayangnya, negara-negara

penerima buruh migran seperti Hong Kong, Malaysia, Korea, Singapura, dan Jepang juga mengalami serangan krisis

ekonomi serta

penganggurannya pun

meningkat, sehingga daya tampung untuk menerima tenaga asing juga sangat terbatas. Lihat tabel berikut ini :

Tabel 1

Dampak Langsung Krisis di Asia (hingga 31 Mei 1998)

Negara GDP Tingkat Pengangguran Tenaga Kerja Lokal (angka perkiraan kehilangan pekerjaan selama krisis) Jun 1997 ±

Des 1998 Tenaga Kerja Migran (angka deportasi/ PHK selama krisis) Jun 1997 ±

Des 1998 95-97 rata-rata 1998 target

1997 1998 perkiraan Hong

Kong

5,0% 3,5% 2,9% 4,0% (terburuk dalam 14 tahun; 133.600 kehilangan pekerjaan pada Mei 6.000 lebih kehilangan pekerjaan (Juni 1997 - Mei 1998) Tidak ada deportasi masal; 27.200 pembantu rumah tangga diberhentik


(61)

1998) an

(Juli 1997 - Maret 1998) Indonesi

a

7,3% -10% 14,2% 16,0% (15,2 Juta kehilangan pekerjaan)

2 juta kehilangan pekerjaan

tidak ada data

Japan 2,0% 2,0% 4,3% 4,3% (tertinggi sejak 1953)

- -

Korea 7,2% <1,0 %

2,6% 6,5% (tertinggi sejak tahun 1980-an; 2 juta kehilangan pekerjaan) 276.00 kehilangan pekerjaan (Juni 1997 - Januari 1998)

300.000 dideportasi (Juni 1997 - Januari 1998); lebih dari 100.000 akan dipulangka n pada tahun 1998 Malaysi a

8,6% 2,0% 2,5% 3,7% (500.000 kehilangan pekerjaan) 10.000 buruh di-PHK (Juni - Desember 1997); 25.860 di PHK (Januari - Mei 1998) 10.000 dideportasi (Juni 1997 - Januari 1998); 3.030 di PHK (Januari - Mei 1998); 200.000 akan dipulangka n pada tahun 1998 Filipina 5,2% 3,0% 7,9% 8,4%

(4,3 juta kehilangan pekerjaan sampai April 1998) 1.015 juta kehilangan pekerjaan (April 1997 - April 1998)

tidak ada data

Singapu ra

7,8% 2,5 ke

1,8% - Lebih dari 2.300 di PHK

3.161 pekerja


(62)

4,5% ilegal ditangkap (Januari - Maret 1998) Thailand 5,2% -3,0

ke ± 3,5%

3,0% 6,0% (1,8 juta kehilangan pekerjaan)

200.000 pekerja di PHK

6.000 pekerja dari Burma dipulangka n (Juni 1997 - Januari 1998); 300.000 akan dipulangka n pada tahun 1998 Sumber : AMC Information, diolah.

Sebagaimana dapat dilihat dalam tabel, krisis di berbagai negara seperti Korea, Malaysia, dan Singapura membawa dampak langsung terhadap menyempitnya kesempatan kerja bagi buruh migran akibat deportasi dan expelled. Kasus-kasus buruh migran akibat krisis ekonomi mengemuka di antaranya: pendeportasian masal puluhan ribu buruh, penggagalan

penyelundupan buruh migran dengan berbagai kekerasan,

dan penyekapan di

penampungan.

Berbagai kasus tersebut, sayangnya, tidak banyak terekspose media selama krisis moneter ini. Penyebabnya industri media pun sempat

mengalami guncangan,

sehingga jumlah space dikurangi karena kertas mahal. Di samping itu pemberitaan


(63)

tentang momen-momen politik cukup signifikan menggeser pemberitaan tentang buruh migran. Setidaknya dari dokumentasi Solidaritas

Perempuan jumlah

pemberitaan buruh migran antara sebelum dan setelah krisis terlihat menurun hingga 60%. Padahal kualitas maupun kuantitas isu yang ditemukan di lapangan semakin banyak dan beragam.

Meskipun belum melakukan penelitian khusus tentang dampak krisis ini terhadap buruh migran, Solidaritas Perempuan (SP) mencatat fenomena yang paling menonjol yang didapatkan dari data-data pengaduan kasus, proses pengorganisasi-an di kantong-kantong buruh migran,

dan data sekunder dari pemberitaan di media massa.

Problem dan Prospek Buruk

Migran di Tengah Krisis

Ekonomi.

Problem di negara asal

Rumah-rumah di sepanjang jalan beberapa desa di Solokuro, Payaman, Drajad, dan desa-desa lain di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur tampak lebih teratur dan mewah. Kondisi tersebut berbeda dengan pemandangan lima tahun sebelumnya, ketika kandang ternak dan bau kotorannya menebar ke mana-mana, dan sepanjang pinggiran jalan desa dihampari sawah ladang yang diolah petani lokal. Saat ini sawah-sawah dan ternak telah dijual oleh pemiliknya untuk ongkos


(64)

berangkat keluar negeri menjadi buruh migran. Jadi,

walaupun rumah-rumah

tampak mewah, dengan dijualnya sawah dan ternak, setidaknya lima anggota keluarga buruh migran menjadi penganggur dan mereka hanya meng-harapkan uang kiriman dari salah seorang anggota keluarganya yang menjadi buruh migran.

Masalah muncul ketika buruh migran sebagai gantungan hidup keluarga harus pulang akibat krisis, sementara sawah dan ternak sebagai sumber hidup sudah terjual sehingga

sumber penghasilan

berkurang. Parahnya lagi, biaya hidup di desa-desa kantong buruh migran ini sangat tinggi, dengan asumsi arus uang yang masuk ke desa

tersebut tinggi sebagai hasil bekerja di luar negeri. Yang terjadi saat ini, rumah-rumah mereka mewah tetapi seluruh isinya sudah terjual, pendidikan anak-anaknya terhenti, dan mereka harus mencari pekerjaan alternatif menjadi buruh atau pedagang kecil-kecilan.

Kasus terjualnya sawah karena proses pemiskinan ini juga terjadi di wilayah-wilayah lain, salah satunya di desa Ciranggon Karawang, sebagai kantong pengiriman buruh migran. Pada tahun 1990, pemilik sawah berjumlah 300 orang lebih, tetapi pada pertengahan 1998 tinggal 20

orang.4 Salah satu

penyebabnya adalah calon 4

Interview dengan Fajrin (mantan pegawai kalurahan) dan Organizer Solidaritas Perempuan, 1998.


(1)

pengembang), dan aministratif (untuk kepentingan birokrasi).

Studi Food Security

Studi ini merupakan eksplorasi terhadap dinamika keamanan pangan serta penyebab kerentanan sistem keamanan

pangan dalam

komuniti-komuniti desa dan kota. Gambaran tentang dinamika interaksi tersebut memperlihatkan bahwa akar persoalan pangan yang dialami komuniti-komuniti di tingkat mikro berkaitan dengan faktor sosial-ekonomi-politik yang komp-leks pada konteks skala kemasyarakatan yang lebih luas. Proses-proses yang terjadi dalam skala makro telah mendorong sistem-sistem keamanan pangan komuniti miskin di kota dan desa ke posisi yang rentan terhadap

sejumlah ancaman. Akar

permasalahan yang

mengakibatkan kerentanan itu

bersumber dari

pendekatan-pendekatan

pembangun-an ekonomi yang mendorong mereka kepada suatu posisi yang rentan, tanpa sungguh-sungguh memikirkan dan mem-persiapkan pola-pola penyesuaian yang tepat untuk menghadapi sumber-sumber kerentanan yang bersangkutan.

Advokasi

dan

Jaringan

Sawarung

AKATIGA secara aktif terlibat

dalam pembentukan

Saresehan Warga Bandung (Sawarung), yaitu jaringan yang terdiri dari berbagai organisasi baik Perguruan Tinggi maupun LSM; yang


(2)

bersepakat untuk secara bersama-sama mendorong agar ruang partisipasi warga Bandung semakin diperluas dalam penyelenggaraan pembangunan, khususnya di wilayah Bandung. Visi Sawarung adalah mewujud-kan suatu tatanan penyelenggaraan urusan publik yang lebih baik (local good governance), yang demokratis, trans-paran, partisipatif, serta bertanggung jawab. Sesuai dengan visinya tersebut, Sawarung akan berperan sebagai pemberi input terhadap pihak legislatif dalam hal ini DPRD Jabar sekaligus sebagai kontrol sosial terhadap pihak eksekutif dalam hal ini Pemda Jabar. Sawarung merumuskan dua langkah strategis untuk mencapai tujuan tersebut yakni :

1. Strategi penguatan internal

lembaga (penyempurnaan aspek kelembagaan melalui jaringan informasi, perumusan konsep-konsep dan diskusi periodik; perluasan jaringan kerja dan mengembangkan aliansi strategis)

2. Strategi penguatan masyarakat (pendidikan publik melalui diseminasi informasi;

pembelaan/advokasi;

moni-toring program pemerintah; dan lain-lain)

PUTSA Kodya Bandung

Dikaitkan dengan persoalan

akan semakin

terdesentralisasinya

pemerintahan di Indonesia, maka dapat dipastikan banyak urusan yang semula menjadi urusan pemerintah pusat bergeser menjadi urusan


(3)

Pemda. Perijinan bagi UKM yang sebelumnya ditangani oleh pemerintah pusat melalui departemen vertikal yakni DepKop dan PPK, pada waktunya nanti akan menjadi urusan Pemda. Untuk itu kesiapan Pemda dalam pelayanan perijinan bagi UKM menjadi penting, terutama menyangkut mekanisme

pelayanannya dan

kemampuannya me-ngenali sosok UKM yang saat ini

definisinya masih

µGLSHUGHEDWNDQ¶ 6H-hubungan dengan berbagai hal tersebut, maka upaya-upaya untuk meningkatkan kinerja Pelayanan Umum Terpadu Satu Atap (PUTSA) Kodya Bandung menjadi semakin mendesak untuk dilakukan, terutama dalam rangka persiapan menjelang

berlakunya UU no 22/99 tentang Pemerintahan Daerah. PUTSA diharapkan dapat menjadi jawaban bagi persoalan perijinan yang masih menjadi salah satu kendala bagi perkembangan UKM. Kegiatan peningkatan kinerja PUTSA ini merupakan kerjasam antara PEMDA KODYA BANDUNG, AKATIGA, THE ASIA FOUNDATION dan USAID.

/RNDNDU\D µ([FKDQJHV D

6FKRRO IRU $OWHUQDWLYH 3UD[LV¶ se Asia

Arena - organisasi regional Asia yang menggalang aktivis-intelektual Asia, AKATIGA, dan Selendang Lila (YSL) ± jaringan kerja perempuan Jakarta dari berbagai latar belakang profesi,


(4)

menyelenggarakan lokakarya satu minggu yang diikuti kurang lebih 35 partisipan dari seluruh Asia. Lokakarya berlangsung pada bulan September di Bandung dengan tema lokakarya adalah µ%H\RQG WKH Financial Crisis: Alternatives in $FWLRQ¶. Lokakarya dipilih sebagai bentuk nyata pertukaran (exchanges) antar praksis-praksis alternatif di dalam masyarakat sipil, dengan tujuan utama penggalangan VROLGDULWDV µmovements¶ mendorong terbentuknya aliansi antar aktivis dan intelektual serta memacu pencarian-pencarian alternatif. Diharapkan para peserta lokakarya terfasilitasi untuk memahami seluk beluk daya dampak krisis kepada kehidupan masyarakat sehari-hari dan pada saat yang

sama sekaligus menjelajahi rangkaian kemungkinan, peluang dan alternatif yang diarahkan kepada terwujudnya perubahan.

Informasi

dan

Publikasi

Untuk memberikan dukungan kepada studi-studi yang dilakukan AKATIGA dan sekaligus memberikan pelayanan infor-masi kepada pihak luar, maka AKATIGA mengembangkan database informasi. Database informasi ini terdiri dari database informasi krisis, database informasi pengembangan institusi, database berita media, dan database informasi umum. Akses terhadap informasi database tersebut bisa


(5)

menghubungi bagian informasi AKATIGA atau melalui internet ke website AKATIGA yaitu http://www.akatiga.or.id

Publikasi terbaru yang dikeluarkan AKATIGA terdiri dari :

ƒ Buku Lingkungan Binaan Untuk Rakyat dengan penyunting Tjuk Kuswartojo. Buku ini merupakan kumpulan pengamatan dan gagasan Prof. Hasan

Poerbo tentang

pem-bangunan dan pengelolaan lingkung-an binaan, yang beliau tulis antar tahun 1983 ± 1993. ƒ Buku Sosiologi Agraria

dengan penyunting M.T. Felix Sitorus dan Gunawan Wiradi. Buku ini merupakan kumpulan tulisan terpilih dari Prof. Sediono M.P.

Tjondronegoro yang menganalisis struktur agraria dan dinamikanya, termasuk konflik agraria dan reforma agraria.

Kedua penulis tersebut, yaitu Prof. Hasan Poerbo dan Prof. Sediono M.P. Tjondronegoro, masing-masing adalah anggota Advisory Board dan Ketua Badan Pengurus Yayasan AKATIGA. Œ


(6)