Hubungan Pawang (Patron) – Anak (Klien) dalam Kesenian Kuda Lumping Di Desa Batang Pane III, Kec. Padang Bolak, Kab. Padang Lawas Utara

(1)

a

Hubungan Pawang (Patron) – Anak (Klien) dalam Kesenian Kuda Lumping

Di Desa Batang Pane III, Kec. Padang Bolak,

Kab. Padang Lawas Utara

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

DISUSUN OLEH: Lilis Suryani

090901003

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

LEMBAR PERSETUJUAN Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:

NAMA : LILIS SURYANI NIM : 090901003

DEPARTEMEN : Sosiologi

JUDUL : HUBUNGAN PAWANG (PATRON) DAN ANAK (KLIEN) DALAM KESENIAN KUDA LUMPING DI DESA BATANG PANE III, KECAMATAN: PADANG BOLAK, KABUPATEN: PADANG LAWAS UTARA

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

(Drs. Muba Simanihuruk, M.Si) (Dra. Lina Sudarwati M.Si) NIP. 196703171993031002 NIP. 196603181989032001

Dekan FISIP USU

(Prof. Dr. Badaruddin, M.Si) NIP. 196805251992031002


(3)

i

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang tiada hentinya memberikan berkat, rahmat, dan hidayah-Na kepada penulis, sehingga penulis dapat mengeyam pendidikan dan mengakhirinya dengan menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Hubungan Pawang (Patron) dan Anak (Klien) dalam Kesenian Kuda Lumping di Desa Batang Pane III, Kecamatan: Padang Bolak, Kabupaten: Padang Lawas Utara”. Shalawat beriring salam penulis hadiahkan kepada Baginda Rasullulah SAW sang pencerah dan tauladan bagi umatnya. Seluruh proses yang telah dilalui dalam menyelesaikan skripsi ini memberikan pemahaman yang berbeda bagi pernulis terhadap suatu masalah serta interperatsi yang lebih teliti dalam melihat data-data di lapanganyang bersifat kualitatif.

Penulis menyadari dalam penyelesaian skripsi ini , penulis memiliki banyak kekurangan dan kelemahan baik dalam penyajian data, interpretasi data, maupun dalam hal penulisan.Hal itu tidak terlepas dari keterbatasan penulis dalam bidang penelitian dan penulisan karya ilmiah. Untuk itu penulis sangat membuka diri untuk menerima kritik, saran, dan masukan dalam rangka penyempurnaan skripsi penulis.

Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak memperoleh dukungan dan bantuandari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis yaitu: Ayahanda Aan Jalaluddin dan Ibunda Hermawati. Terima kasih banyak telah membesarkan penulis dan mendidik penulis untuk menjadi orang yang berguna dan berhasil. Kepada Ibunda yang selalu memotivasi penulis dalam setiap aktivitas dan senantiasa setia mendengarkan keluh kesah penulis dan kepada Ayahanda yang selalu menasehati penulis untuk tetap semangat dalam menghadapi rintangan hidup ini yang kelak akan semakin mendewasakan pemikiran kita untuk menyikapi proses hidup yang terus berputar.


(4)

Ucapan terima kasih ini belum cukup bagi penulis untuk membalas semua pengorbanan dan kebaikan yang sudah diberikan. Semoga penulis dapat bermanfaat bagi semua orang dan membahagiakan kalian seperti yang Ayah dan Ibu harapkan. Amin. Serta izinkanlah penulis mengahaturkan terima kaish kepada seluruh elemen FISIP USU diantaranya:

1. Bapak Dekan FISIP USU Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, yang telah memberikan kesempatan bagi penulis dalam menghasilkan sebuah karya ilmiah.

2. Ibu Dra. Rosmiani, M.A selaku (PD II) FISIP USU sekaligus sebagai anggota penguji skripsi penulis yang telah banyak membantu mengarahkan penulis yang lebih baik.

3. Bapak Drs. Muba Simanihuruk, M.Si, sebagai dosen Penasehat Akademik sekaligus dosen Pembimbing penulis yang selama penyusunan skripsi sampai pada hasil skripsi ini telah memberikan semangat, dukungan dan ilmu yang berharga bagi penulis, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Semoga ilmu yang bapak berikan kepada penulis menjadi modal hidup penulis untuk kehidupan yang akan datang yang lebih baik lagi.

4. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si, selaku Ketua Departemen Sosiologi FISIP USU dan selaku Ketua Penguji, di tengah-tengah kesibukan sebagai ketua departemen beliau masih memberikan pengarahan, dukungan dan ilmu yang berguna kepada penulis selama kuliah di Departemen Sosiologi.

5. Bapak Drs. T. Ilham Saladin selaku Sekretaris Departemen Sosiologi Fisip USU.

6. Bapak/ibu Dosen dan staf Pengajar Departemen Sosiologi Fisip USU, terima kasih banyak atas ilmu yang selama ini telah ditransformasikan kepada penulis, semoga ilmu yang disampaikan kepada penulis dapat menjadikan bekal nantinya penulis terapkan dan amalkan ditengah-tengah masyarakat.


(5)

iii

7. Pegawai di Departemen Sosiologi FISIP USU, Kak Feni Khairifa, Kak Nubaity, Kak Sugi Astuti, dan elemen-elemen yang membantu penulis dari awal hingga akhir perkuliahan. Semoga FISIF USU khususnya Departemen Sosiologi menjadi lebih baik dan maju.

8. Pemberi senyuman dalam hidupku yaitu Adik-adik ku tercinta (Fajar Lukman, Kartika Tria Ananda,dan Dira Hestri Liana) dan saudara sepupuku (Wulan Devi Yanti) yang telah banyak menghibur penulis dan membangkitkan semangat penulis ketika penulis dalam kejenuhan dan telah membantu penulis ketika penulis berada di lapangan untuk mengambil data penelitian.

9. Pemberi warna dalam hidupku semoga kelak Allah meridhoi hubungan kita ,dan mengabulkan do’a penulis untuk menjadikan dirimu Imam dalam hidup penulis (Eko Wahyu Utomo), terima kasih atas kesabaran dan pengertianmu untuk mendampingi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, dan senantiasa memberikankan penulis semangat untuk menjalani proses-proses yang harus dilalui dalam penyelesaian skripsi ini.

10.Kepada saudara-saudaraku yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih atas kebaikan, nasehat dan dukungan kalian selama ini. Semoga semua itu tidak akan pernah dilupakan dalam hidup penulis.

11.Terindah dan teristimewa kepada teman-teman seperjuangan sosiologi 2009 yang tidak bisa dituliskan namanya satu per satu, terima kasih atas dukungan kalian semua, atas kerja sama yang sudah terjalin selama 4 tahun ini. Hal yang paling indah yang pernah penulis lalui adalah saat-saat bersama dengan orang-orang pintar seperti kalian, khususnya TIM ANBU RESEARCH yang telah memberikan kebersamaan yang tak bisa penulis lupakan saat praktek kerja lapangan di Pantai Labu. Begitu indah suka cita yang pernah kita lalui bersama dan kekompakan yang menjadikan kita lebih dekat dari sebelumnya.


(6)

12.Kost 448 A lantai 3 khususnya May Hermawani dan Elvi Sirait yang telah berkenan menerima penulis untuk dapat beristirahat, selama perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini. Penulis selalu saja merepotkan kalian dalam setiap waktunya bahkan tak mengenal waktu. Terima kasih atas kebaikan kalian, semoga pertemanan ini tidak berakhir sampai di sini saja. Penulis tidak bisa membalas kebaikan kalian dengan materi atau apapun, semoga kalian senantiasa sehat dan Allah membalas kebaikan kalian selama ini.

13.Terima kasih kepada May, Elvi dan Devi yang telah membantu penulis dalam mengartikan bahasa Jawa ke bahasa Indonesia.

14.Kakak dan Abang Senior dan Alumni, terima kasih atas bantuan serta dukungan yang sudah kalian berikan kepada penulis.

15.Buat Ikatan Mahasiswa Sosiologi (IMASI) dalam pengurusannya, semoga tahun-ketahun semakin baik. Patah tumbuh hilang berganti... selamat berjuang adik-adik 010,011,012.

16.Buat informan dalam penelitian ini, yaitu Ketua sanggar kesenian kuda lumping Turonggo Madyo Budoyo, terima kasih yang telah memberikan izin kepada anggota-anggotanya untuk dapat diwawancarai dan telah memberikan informasi yang dapat membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini serta informan lainnya yang telah berkenan memberikan informasi sebagai pelengkap data dalam penulisan skripsi ini.

Uraian terima kasih yang penulis sampaikan belum sebanding dengan apa yang telah penulis dapatkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua elemen. Adapun kesalahan dalam penulisan skripsi ini, penulis memohon maaf karena keterbatasan yang penulis miliki. Selain itu, kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Wassalam.

Medan, Penulis


(7)

v DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PERSETUJUAN

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL viiii

ABSTRAK ix

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Rumusan Masalah 8

1.3. Tujuan Penelitian 8

1.4. Manfaat Penelitian 8

1.5. Definisi Konsep 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA 12

2.1 Konsep Kesenian Sebagai Unsur Kebudayaan 12 2.2. Manfaat Kesenian Tradisional Bagi Anak 13

2.3. Hubungan Patron-Client Anggota dan Pawang

Dalam Kesenian Kuda Lumping 15

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 21

3.1. Jenis Penelitian 21

3.2. Lokasi Penelitian 21

3.3. Unit Analisis dan Informan 22 3.3.1. Unit Analisis 22


(8)

3.3.2. Informan 22 3.4. Tekhnik Pengumpulan Data 23 3.4.1. Data Primer 23 3.4.2. Data Sekunder 24

3.5. Interpretasi Data 24

3.6. Jadwal Kegiatan 25

3.7. Keterbatasan Penelitian 25

BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN 27 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian 27 4.1.1. Deskripsi Lokasi Desa Batang Pane III 27 4.1.2. Profil Desa Batang Pane III 27 4.1.3. Profil Sanggar Kuda Lumping

Turonggo Madyo Budoyo 32 4.2. Interpretasi Data Penelitian 34

4.2.1. Profil Sosial-Ekonomi Orang tua di Kalangan Anak

yang menjadi Anggota Kuda Lumping 34 4.2.2. Profil Pendidikan Anak yang Menjadi

Anggota Kuda Lumping 40 4.2.3. Faktor-Faktor Yang Mendukung Anak Menjadi Anggota

Kuda Lumping 45

4.2.4. Hubungan Patron-Client Anak Dalam Kesenian

Kuda Lumping 52

BAB V PENUTUP 59


(9)

vii

5.2. Saran 62

Daftar Pustaka 63


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Komposisi Agama di Desa Batang Pane III 28 Tabel 4.2. Komposisi Suku Bangsa di Desa Batang Pane III 29 Tabel 4.3. Komposisi Kualitas Pendidikan Masyarakat

Di Desa Batang Pane III 30 Tabel 4.4. Kepemilikan Tanah Orang Tua 35 Tabel 4.5. Pendidikan Orang Tua dan Cara Pandang Orang Tua

Terhadap Kuda Lumping 37

Tabel 4.6. Pandangan Anak Terhadap Pendidikan 40 Tabel 4.7. Orang Tua Yang Lebih Dulu Aktif di Sanggar


(11)

ix ABSTRAK

Penelitian ini lahir dari pemikiran semakin banyaknya anak-anak yang menjadi kuda lumping meskipun tidak diberi izin oleh orang tuanya dan banyaknya anak-anak yang lebih mematuhi peraturan pawang dibandingkan peraturan yang ada di keluarga. Selain itu, anak-anak yang menjadi anggota kuda lumping lebih banyak meluangkan waktunya untuk kesenian kuda lumping dibandingkan waktunya untuk sekolah. Dari masalah tersebut memunculkan pertanyaan hal-hal apakah yang membuat anak menjaga hubungan baiknya dengan pawang dan lebih mematuhi peraturan yang dibuat pawang dan bagaimana latar belakang anak-anak yang menjadi anggota kuda lumping ditinjau dari latar belakang sosial-ekonomi keluarga, pendidikan keluarga, suku bangsa keluarga dan pendidikan anak tersebut inilah yang kemudian dijadikan fokus penelitian.

Jenis penelitian ini adalah penelitian pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif. Tujuan penelitian kualitatif ini adalah untuk memahami permasalahan yang diteliti sehingga dapat memberikan masukan gambaran yang lebih mendalam tentang gejala-gejala dan gambaran yang akan diteliti. Adapun tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan yang terjadi antara pawang dan anak-anak yang menjadi anggota kuda lumping sehingga anak lebih patuh terhadap peraturan yang ada di sanggar atau yang dibuat oleh pawang. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan studi kepustakaan. Lokasi penelitian adalah di Desa Batang Pane III, Kecamatan: Padang Bolak, Kabupaten: Padang Lawas Utara Sedangkan interpretasi data dilakukan dengan menggunakan catatan dari setiap hasil turun lapangan.

Dari hasil temuan data di lapangan diketahui ada perbedaan pemikiran orang tua memberikan izin dan tidak memberikan izin kepada anaknya. Berdasarkan nilai kultur dimana orang tua yang lebih aktif menjadi anggota kuda lumping ternyata sangat mendukung anak menjadi anggota kuda lumping dengan alasan agar dapat diwariskan secara terus menerus oleh anak-cucu, sementara berdasarkan nilai pendidikan orang tua, orang tua menginginkan anaknya untuk fokus belajar dan mengeyam pendidikan setinggi-tingginya dan melarang anak menjadi anggota kuda lumping. Namun anak-anak tidak menghiraukan larangan orang tuanya bahkan anak lebih patuh terhadap peraturan dari pawang. Hubungan yang terjalin antara pawang dan anggota kuda lumping disebut sebagai hubungan patron-klien yang mana hubungan ini memiliki ketergantungan dan timbal balik yang sama-sama menguntungkan kedua belah pihak. Oleh karena itu, anak-anak lebih banyak meluangkan waktunya di kesenian kuda lumping karena anak merasa dihargai dan dilindungi oleh pawang yang tidak meraka dapat dari orang tuanya. Untuk membalas kebaikan dari pawang (patron) maka anak-anak (klien) selalu mematuhi apapun perkataan pawang (klien) sebagai wujud balasan yang diberikan anak-anak (klien) kepada patron.


(12)

ABSTRAK

Penelitian ini lahir dari pemikiran semakin banyaknya anak-anak yang menjadi kuda lumping meskipun tidak diberi izin oleh orang tuanya dan banyaknya anak-anak yang lebih mematuhi peraturan pawang dibandingkan peraturan yang ada di keluarga. Selain itu, anak-anak yang menjadi anggota kuda lumping lebih banyak meluangkan waktunya untuk kesenian kuda lumping dibandingkan waktunya untuk sekolah. Dari masalah tersebut memunculkan pertanyaan hal-hal apakah yang membuat anak menjaga hubungan baiknya dengan pawang dan lebih mematuhi peraturan yang dibuat pawang dan bagaimana latar belakang anak-anak yang menjadi anggota kuda lumping ditinjau dari latar belakang sosial-ekonomi keluarga, pendidikan keluarga, suku bangsa keluarga dan pendidikan anak tersebut inilah yang kemudian dijadikan fokus penelitian.

Jenis penelitian ini adalah penelitian pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif. Tujuan penelitian kualitatif ini adalah untuk memahami permasalahan yang diteliti sehingga dapat memberikan masukan gambaran yang lebih mendalam tentang gejala-gejala dan gambaran yang akan diteliti. Adapun tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan yang terjadi antara pawang dan anak-anak yang menjadi anggota kuda lumping sehingga anak lebih patuh terhadap peraturan yang ada di sanggar atau yang dibuat oleh pawang. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan studi kepustakaan. Lokasi penelitian adalah di Desa Batang Pane III, Kecamatan: Padang Bolak, Kabupaten: Padang Lawas Utara Sedangkan interpretasi data dilakukan dengan menggunakan catatan dari setiap hasil turun lapangan.

Dari hasil temuan data di lapangan diketahui ada perbedaan pemikiran orang tua memberikan izin dan tidak memberikan izin kepada anaknya. Berdasarkan nilai kultur dimana orang tua yang lebih aktif menjadi anggota kuda lumping ternyata sangat mendukung anak menjadi anggota kuda lumping dengan alasan agar dapat diwariskan secara terus menerus oleh anak-cucu, sementara berdasarkan nilai pendidikan orang tua, orang tua menginginkan anaknya untuk fokus belajar dan mengeyam pendidikan setinggi-tingginya dan melarang anak menjadi anggota kuda lumping. Namun anak-anak tidak menghiraukan larangan orang tuanya bahkan anak lebih patuh terhadap peraturan dari pawang. Hubungan yang terjalin antara pawang dan anggota kuda lumping disebut sebagai hubungan patron-klien yang mana hubungan ini memiliki ketergantungan dan timbal balik yang sama-sama menguntungkan kedua belah pihak. Oleh karena itu, anak-anak lebih banyak meluangkan waktunya di kesenian kuda lumping karena anak merasa dihargai dan dilindungi oleh pawang yang tidak meraka dapat dari orang tuanya. Untuk membalas kebaikan dari pawang (patron) maka anak-anak (klien) selalu mematuhi apapun perkataan pawang (klien) sebagai wujud balasan yang diberikan anak-anak (klien) kepada patron.


(13)

1

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Indonesia dikenal sebagai negara majemuk, hal ini dikarenakan Indonesia terdiri dari banyak sekali suku bangsa dan budaya. Suku bangsa tersebut tersebar luas ke seluruh wilayah negara Indonesia hingga ke pelosok daerah. Suku bangsa memiliki asal-usulnya masing-masing dan karakteristik yang mendukung asal-usulnya, yang mana suku bangsa yang ada dalam suatu masyarakat juga memiliki makna tersendiri bagi anggota masyarakatnya dan diwariskan secara terus-menerus di lingkungan keluarga dan komunitasnya.

Salah satu suku bangsa itu adalah suku Jawa. Suku Jawa yang dimaksud yaitu mereka yang memiliki asal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istemewa Yogyakarta. Suku Jawa memiliki pandangan hidup dan kepercayaan yang unik. Orang-orang suku Jawa meyakini bahwa apapun yang ada di dunia ini adalah kesatuan hidup. Manusia harus dapat bersatu dengan alam sehingga keseimbangan hidup akan diperoleh.

Budaya Jawa berkembang seiring dengan penyebaran penduduk suku Jawa ke berbagai wilayah di dunia sejak masa penjajahan Belanda hingga masa sekarang. Seperti yang sudah kita ketahui penduduk Jawa telah menyebar hingga ke benua Amerika yaitu di Suriname ketika masa penjajahan Belanda untuk dipekerjakan sebagai buruh perkebunan milik Belanda. Kebudayaan Jawa juga terbentuk sejak jaman kerajaaan-kerajaan Hindu-Budha yang berkuasa di pulau Jawa, sehingga sebagian besar hasil-hasil kebudayaan Jawa dipengaruhi oleh unsur Hindu-Budha. Selain itu dalam sistem kepercayaan, suku Jawa masih banyak yang menganut kepercayaan kejawen. Kepercayaan kejawen adalah kepercayaan terhadap


(14)

warisan nenek moyang yang masih memiliki banyak unsur agama Hindu-Budha.

Keberadaan suku Jawa awal mulanya hidup pada masyarakat Jawa di Pulau Jawa. Pulau Jawa identik dengan jumlah penduduknya yang padat, maka pada masa pemerintahan Soeharto diadakan program transmigrasi dengan tujuan untuk mengurangi penduduk yang padat ke daerah yang jarang penduduknya. Seiring dengan penyebaran penduduk yang berlangsung pada program transmigrasi, wilayah Sumatera Utara menjadi salah satu target program transmigrasi. Suku Jawa di Medan dewasa ini berjumlah 628.898 jiwa atau 33% dari total jumlah penduduk kota Medan 1.904.272 (BPS Kota Medan 2003).

Hildred Geertz (1982) menjelaskan orang Jawa di dalam kehidupan sehari-hari sangat kuat memegang tradisi leluhurnya, baik dari tutur kata, kekerabatan, hubungan sosial maupun seni budayanya. Keluarga inti merupakan orang-orang yang terpenting di dalam meneruskan suatu tradisi. Mereka itulah yang memberi bimbingan moral dan mengajari nilai-nilai budaya Jawa kepada kerabat-kerabat terdekat. Di dalam siklus kehidupan mereka tidak lepas dari masalah kekuatan-kekuatan gaib (makhluk-makhluk halus) dan sesaji (sajen), sehingga selalu ada upacara-upacara untuk terhindar dari makhluk-makhluk halus dan tetap menjaga serta melestarikan kesenian tradisional suku jawa.

Berbicara mengenai kesenian tradisional Jawa, kesenian kuda lumping merupakan salah satu warisan budaya peninggalan nenek moyang masyarakat Jawa dalam bentuk kesenian tradisional. Kesenian kuda lumping juga terdapat di berbagai wilayah Indonesia, dengan versi yang berbeda-beda. Kesenian kuda lumping menampilkan sekelompok prajurit tengah menunggang kuda. Tarian ini menggunakan kuda yang terbuat dari bambu yang dianyam dan dipotong menyerupai bentuk kuda. Anyaman kuda ini dihias dengan cat dan kain beraneka warna. Tarian kuda lumping biasanya hanya menampilkan adegan prajurit berkuda, akan tetapi beberapa penampilan kuda lumping juga menyuguhkan


(15)

3

atraksi kesurupan, kekebalan, dan kekuatan magis, seperti atraksi memakan beling dan kekebalan tubuh terhadap deraan pecut (Purwadi, 2005:33).

Berbicara mengenai kuda lumping, tentu tidak dapat dipisahkan dengan komunitas yang mendukungnya. Salah satu wilayah pemukiman Jawa yang ada di Sumatera Utara tersebut terletak di Desa Batang Pane III, Kecamaatan Padang Bolak, Kabupaten Padang Lawas Utara. Di daerah ini juga terdapat suku bangsa yang lain seperti: suku Sunda, Mandailing, Nias, Padang, Aceh, Karo, dan Bugis. Suku-suku bangsa tersebut saling membaur dengan yang lain baik dalam kehidupan sehari-hari dimasyarakat maupun di lingkungan keluarga. Walaupun sudah membaur dengan suku bangsa yang lain, tradisi pada msayarakat Jawa masih tetap dipertahankan. Hal ini dapat terlihat pada kehidupan sehari-hari mereka.

Di Desa Batang Pane III ini, kesenian kuda lumping disebut dengan sanggar Turonggo Madyo Budoyo, merupakan salah satu dari beberapa sanggar kesenian yang ada di daerah tersebut. Keberadaan sanggar Turonggo Madyo Budoyo masih kental dengan kebudayaan Jawa. Sanggar Turonggo Madyo Budyo memiliki arti sebagai satu kesatuan sanggar yang bertujuan untuk tetap melestarikan kesenian kuda lumping (pelan-pelan melalui budaya tetap bertujuan kokoh melestarikan kesenian). Sejarah sanggar kesenian kuda lumping di Desa Batang Pane III ini berawal dari sejarah dan Motto dari Paguyuban Suku Jawa yang disebut dengan Paguyuban Pujakesuma.

Paguyuban Pujakesuma berdiri pada tanggal 10 Juli 1980. Sebelum berdirinya paguyuban ini, paguyuban ini adalah sebuah sanggar dan perkumpulan seni dari budaya Jawa yang bernama IKJ (Ikatan Kesenian Jawa) yang didirikan oleh Letkol Sukardi. Dengan seiring perkembangan waktu maka pada Tahun 1979-an IKJ diubah namanya menjadi Paguyuban Pujakesuma (Putera Jawa Kelahiran Sumatera/Keberadaan Sumatera), Paguyuban ini pada awalnya didirikan oleh Bapak Danu. Ia merupakan tokoh kesenian Jawa pada masa itu, kemudian Paguyuban diresmikan pada Tahun 1980.


(16)

Berdasarkan keputusan yang ditetapkan pada masa itu, paguyuban ini berdiri sebagai wadah berkumpulnya orang-orang yang berketurunan Jawa, keturunan Jawa meliputi seluruh Pulau Jawa baik apakah seorang tersebut berasa dari Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, dan juga DKI Jakarta. Dalam musyawarah mereka, mereka menjelaskan bahwa yang terpenting adalah orang Jawa yang lahir di Sumatera atau berada di Sumatera maupun di luar pulau Jawa. (Margaret P Gauthama, dalam Budaya Jawa dan Masyarakat modern, hal:21)

Pujakesuma yang merupakan orgnisasi orang Jawa, meggunakan falsafah orang Jawa yaitu memayu

hayuning bawana. Pada masyarakat Jawa tradisional (umunya kelas bawah) falsafah memayu hayuning

bawana ini memberikan kewajiban pada manusia untuk memelihara dan melestarikan alam, karena alam telah memberikan kehidupan bagi manusia. Falsafah hidup orang Jawa yang digunakan oleh Paguyuban Pujakesuma, merupakan sebagai penanaman dan pelestarian budaya Jawa serta etika dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Selain itu, etika adalah nilai-nilai dan norma-norma yang dipergunakan masyarakat untuk mengetahui bagaimana harus bersikap dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Di Paguyuban ini, orang-orang Jawa yang masih memiliki dan mencintai budaya Jawa berkumpul dalam satu ikatan. Paguyuban Pujakesuma sendiri juga memberi pelayanan bagi orang-orang Jawa dan juga menjadi jembatan untuk mempertahankan tradisi Jawa di tanah perantauan termasuk salah satunya kesenian kuda lumping.

Kesenian kuda lumping hingga saat ini masih menjadi sebuah pertunjukan yang cukup membuat hati para penonton terpikat dan fenomenal kepada rakyat banyak. Walaupun peninggalan budaya ini keberadaanya mulai bersaing ketat oleh masuknya budaya dan kesenian asing ke tanah air, tarian ini masih memperlihatkan daya tarian tinggi karena kesenian kuda lumping menampilkan pertunjukan yang begitu ekstrim dan adanya kekuatan magis yang mendukung pertunjukkan kuda lumping.


(17)

5

Seperti halnya dengan sanggar seni kuda lumping Turonggo Madyo Budoyo memiliki corak yang berbeda diantara sanggar lainnya, dimana dalam pertunjukkannya para pemain kuda lumping banyak yang kesurupan, atraksinya yang cukup menegangkan bahkan yang kesurupan tidak harus menjadi anggota kuda lumping, tetapi para penonton yang menjadi incaran pemain akan ikut kesurupan juga. Selain itu, anak-anak yang masih di bawah umur 17 tahun sudah menjadi pemain yang bertugas sebagai orang yang mabuk atau kesurupan bukan sebagai penarinya saja.

Berdasarkan pra-observasi sebelumnya, peneliti melihat bahwa anak-anak yang menjadi anggota kuda lumping lebih mengutamakan keseniannya dibandingkan untuk memilih sekolah bahkan ketika anak-anak berada di sekolah pun anak-anak-anak-anak (anggota kuda lumping) tersebut di saat jam istirahat mengisi waktunya untuk beraksi. Mereka beraksi seakan- akan kesurupan dan mempertujukan kepada teman-temannya, ada beberapa orang tua mereka yang melarang anaknya untuk menjadi anggota kuda lumping namun anak-anak tetap saja menjadi anggota kuda lumping.

Di lain pihak, konflik dalam kehidupan bermasyarakat pun tercipta adanya hubungan yang kurang harmonis, seperti anak-anak yang menjadi anggota kuda lumping kerap kali memanggil setan di malam hari yang dilakukan dengan membakar kemenyan yang membuat resah masyarakat. Beberapa orang tua yang anaknya menjadi anggota kuda lumping sangat meresahkan keadaan tersebut. Orang tua mereka tidak memberikan izin kepada anaknya untuk menjadi anggota kuda lumping tetapi anak tersebut menentang orang tuanya dan tetap menjadi anggota kuda lumping.

Hal ini sanggat berbeda ketika anak berada di dalam sanggar kuda lumping. Dimana anak dan pawang seolah-olah saling memiliki kehidupan yang sama-sama menjaga hubungan yang baik di dalam sanggar kuda lumping. Anak –anak selalu patuh terhadap peraturan sanggar dan menghormati peraturan yang dibuat oleh pawang. Namun dengan hal-hal tersebut tidak menjadikan sanggar ini untuk menutup kesenian kuda lumping akan tetapi tetap lestari dan diwariskan hingga saat ini. Bahkan sanggar Turonggo


(18)

Madyo Budoyo tetap saja berani menerima anak-anak yang mendaftar untuk menjadi anggota kuda lumping meskipun anak-anak yang tidak diberi izin oleh orang tuanya.

Oleh karena itu, akan lebih menarik bila dikaji lebih dalam lagi bagaimana identitas diri atau profil anak-anak dalam kesenian kuda lumping tersebut ditinjau dari latar belakang suku bangsa keluarga, latar belakang sosial-ekonomi keluarga, dan latar belakang pendidikan anak yang sebagian anak menentang keinginan orang tuanya untuk tidak menjadi anggota kuda lumping, faktor-faktor apa saja yang menyebabkan anak masuk menjadi anggota kuda lumping dan menerima begitu saja untuk menjadi yang kesurupan saat pertunjukan kuda lumping berlangsung.

Mengapa anak-anak selalu bersikap lebih baik dan menghormati hubunganya dengan pawang dibandingkan dengan orang tuanya. Apakah hubungan itu tercipta dengan sendirinya atau apakah penyebab dari hubungan yang terjadi antara pawang dan anak-anak sehingga anak-anak selalu patuh terhadap peraturan sanggar atau peraturan yang dibuat pawang. Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Pawang (Patron) - Anak (Klien) dalam Kesenian Kuda Lumping (Studi Deskriptif: Desa Batang Pane III, Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten Padang Lawas Utara).

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini perumusan masalahnya adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana profil anak-anak dalam kesenian kuda lumping?

2. Bagaimana proses terjadinya hubungan patron-klien dalam kesenian kuda lumping? 1.3.Tujuan Penelitian


(19)

7

1. Untuk mengetahui profil anak-anak dalam kesenian kuda lumping mengenai latar belakang suku bangsa keluarga, latar belakang ekonomi keluarga, dan latar belakang pendidikan anak yang menjadi anggota kuda lumping.

2. Untuk mengetahui bagaimana hubungan patron klien itu terjadi sehingga anak-anak memiliki sikap yang kurang baik terhadap orang tuanya

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah: 1.4.1. Manfaat Teoritis

1. Untuk meningkatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu sosiologi pada khususnya sosiologi pendidikan dan kajian mengenai interaksi sosial.

2. Untuk menambah referensi hasil penelitian yang juga dijadikan sebagai rujukan untuk penelitian bagi mahasiswa sosiologi selanjutnya, serta diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan memperluas cakrawala pengetahuan.

1.4.2. Manfaat Praktis

1. Menjadi sumbangan pemikiran untuk kesenian tradisional agar tetap melestarikan kesenian daerah yang ada di tengah-tengah perkembangan tekhnologi.

2. Menjadi sumbangan pemikiran terhadap masyarakat untuk memiliki kemampuan dan keinginan agar tetap melestarikan kesenian tradisional di manapun mereka berada meskipun di luar wilayah asalnya

3. Untuk memberikan masukan-masukan kepada pihak-pihak tertentu yang membutuhkannya, terutama bagi masyarakat Jawa dan anak–anak yang ikut dalam kesenian kuda lumping.


(20)

1.5. Defenisi Konsep

Dalam penelitian ilmiah defenisi konsep sangat diperlukan untuk mempermudah dan memfokuskan penelitian. Agar tidak menimbulkan kesalah pahaman konsep yang dipakai, maka harus ada batasan-batasan makna dan arti tentang yang dipakai dalam penelitian. Batasan konsep-konsep dalam penelitian ini yaitu:

1. Profil

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Profil adalah identitas dari individu atau organisasi yang memberikan informasi kepada yang membutuhkan, dengan maksud untuk mengenali, memahami, dan mempelajari individu atau organisasi tersebut. Berdasarkan konteks penelitian ini profil yang dimaksud penulis adalah identitas diri berdasarkan latar belakang pendidikan orang tua, latar belakang sosial-ekonomi orang tua, dan latar belakang pendidikan anak.

2. Anak

Anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa anak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi (0-1 tahun) usia bermain/oddler (1-2,5 tahun), pra sekolah (2,5-5), usia sekolah (5-11 tahun) hingga remaja (11-18 tahun). Anak membutuhkan orang lain untuk dapat membantu mengembangkan kemampuanya, karena anak lahir dengan segala kelemahan sehingga tanpa orang lain anak tidak mungkin dapat mencapai taraf kemanusian yang normal.

Menurut John Locke (dalam Gunarsa, 1986) anak adalah pribadi yang masih bersih dan peka terhadap ransangan-ransangan yang berawal dan diperoleh dari lingkungan.

Pengertian anak menurut UU RI No. 4 tahun 1979

Anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum pernah menikah. Batas 21 tahun ditetukan karena berdasarkan pertimbangan usaha kesejahteraan sosial, kematangan pribadi, dan


(21)

9

kematangan mental seorang anak dicapai pada usia tersebut. Sementara menurut UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ditegaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum usia 18

tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan

09:44 wib). Dalam konteks penelitian ini yang menjadi definisi anak adalah anak yang menjadi anggota kuda lumping dimana berusia 12-18 tahun (berada di bangku sekolah antara kelas 6 SD-SMA).

3. Kuda lumping

Kuda lumping juga disebut jaran kepang at sekelompok prajurit tengah menunggang yang dianyam dan dipotong menyerupai bentuk kuda. Anyaman kuda ini dihias dengan cat dan kain beraneka warna. Tarian kuda lumping biasanya hanya menampilkan adegan prajurit berkuda, akan tetapi beberapa penampilan kuda lumping juga menyuguhkan atraksi seperti atraksi memaka

4. Pawang

Pawang dalam kesenian kuda lumping adalah seseorang yang mempunyai pengetahuan khusus dan berpengalaman tentang roh halus dan kesenian kuda lumping.

5. Endang

Endang dalam kesenian kuda lumping merupakan sosok roh halus atau gaib yang diyakini para anggota kuda lumping sebagai roh halus yang dapat membantu mereka untuk kesurupan dan sebagai penjaga diri mereka.

6. Kejawen

kejawen adalah kepercayaan terhadap warisan nenek moyang yang masih memiliki banyak unsur agama Hindu-Budha.


(22)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Konsep Kesenian Sebagai Unsur Kebudayaan

Koentjaraningrat (1980), mendeskripsikan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar. Selanjutnya ia membedakan wujud kebudayaan dibagi menjadi tiga, yaitu pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide, gagasan, nilai, norma dan peraturan. Kedua, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleksitas tindakan berpola oleh manusia dalam masyarakat, dan ketiga, kebudayaan sebagai benda hasil karya manusia. Kesenian sebagai hasil karya atau simbolisasi manusia merupakan sesuatu yang misterius. Namun secara universal, jika berbicara masalah kesenian orang akan langsung terimaginasi dengan istilah “indah”.

Kuda lumping sebagai hasil karya seni merupakan sistem komunikasi dari ”bentuk” dan “isi”. Bentuk yang berupa realitas “gerak, musik, busana, dan peralatan lainnya” secara visual tampak oleh mata oleh Lavi (dalam Ahimsa, 2001:61). Namun isi yang berupa tujuan, harapan, dan cita-cita adalah “komunikasi maya” yang hanya dapat dipahami oleh masyarakat pendukung budayanya. Kesenian kuda lumping kedudukannya dimasyarakat memiliki tiga fungsi, yaitu fungsi ritual, fungsi pameran atau festival kerakyatan, dan fungsi tontonan yaitu kepuasan batin semata.

Dalam fungsinya sebagai ritual, kuda lumping memiliki berbagai simbol yang bernilai ritual atau alat kelengkapan lainnya seperti mantra maupun berupa prilaku (gerakan maupun bunyi-bunyian). Untuk kepentingan pameran atau festival akan tampak pengaruh besar mempopulerkan kreativitas, sedangkan untuk kepentingan atau kepuasan batin akan menjadi sarana yang bersifat use atau kegunaan yang bermanfaat. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka kesenian sebagai unsur kebudayaan tidak hanya


(23)

11

dilihat sebagai hasil “ciptaan” berupa benda, produk manusia, tetapi dalam hal ini lebih dipandang sebagai suatu “simbol”, lambang yang mengatakan “sesuatu tentang sesuatu”, sehingga berhadapan dengan makna dan pesan.

2.2. Manfaat Kesenian Tradisional Bagi Anak

Anak merupakan tumpuan harapan bagi orang tua, bangsa dan negara, karenanya tidak berlebihan jika anak kerap dicatat sebagai generasi pewaris penerus cita-cita.Warisan budaya adalah merupakan suatu media yang tepat untuk memberikan informasi dan pendidikan tentang nilai-nilai hidup yang berkualitas. Maka dari itu kesenian tradisional mengandung beberapa nilai yang dapat ditanamkan. Nilai-nilai tersebut antara lain rasa senang, rasa bebas, rasa berteman, rasa demokrasi, penuh tanggung jawab, rasa patuh, rasa saling membantu yang ke semuanya merupakan nilai-nilai yang sangat baik dan berguna dalam kehidupan masyarakat.

Pada intinya permainan dalam kesenian tradisional merupakan bagian dari tingkah laku manusia, yang juga merupakan bagian kebudayaan. Kebudayaan adalah keseluruhan kompleks yang di dalamnya termasuk ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan lain serta kebiasaan manusia sebagai anggota masyarakat. Pada kenyataannnya anak yang bermain dalam kesenian tradisional kurang merangsang perkembangan mental anak dalam proses interaksi dengan lingkungan selama bermain. Padahal, bermain adalah merupakan bentuk kegiatan yang dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan aspek-aspek fisik anak.

Kegiatan bermain bagi anak memiliki fungsi sebagai kegiatan rekreasi memberikan kesenangan dan kepuasan di waktu luang serta sebagai kegiatan edukatif dalam membantu proses perkembangan psikis dan sarana sosialisasi bagi anak di luar pengetahuan yang anak dapat disaat jam sekolah. Seperti yang terjadi di Desa Batang Pane III, Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten Padang Lawas Utara, dimana anak-anak yang


(24)

menjadi anggota kesenian kuda lumping lebih menonjolkan sikap kepedulian mereka terhadap organisasi atau sanggar kesenian mereka.

Anak-anak lebih menikmati peran mereka dalam lingkungan organisasi dan lebih memelihara serta mematuhi segala bentuk peraturan atau nilai yang ada di sanggar kesenian kuda lumping. Anak-anak yang menjadi anggota kuda lumping tidak saja memainkan pertunjukan kuda lumping disaat pertunjukan berlangsung akan tetapi anak-anak acap kali memainkan pertunjukan kuda lumping di luar sanggar. Di sisi lain, apa yang anak-anak tersebut butuhkan tidak jarang ketua sanggar atau pun anggota sanggar kuda lumping memberikan bantuan sesuai apa yang anak tersebut butuhkan. Sehingga dalam kejadian ini, ketua sanggar disebut dengan patron. Patron dianggap pelindung bagi anak (klien) karena patron dapat membantu klien-kliennya dalam memenuhi kebutuhan yang klien butuhkan.

2.3. Teori Hubungan Patron Klien (Patron-Client Relationship) dalam Perspektif Sosiologi

Istilah ‘patron’ berasal dari ungkapan bahasa Spanyol yang secara etimologis berarti ‘seseorang yang memiliki kekuasaan (power), status, wewenang dan pengaruh’, sedangkan klien berarti ‘bawahan’ atau orang yang diperintah dan yang disuruh (Usman, 2004:132). Teori ini hadir untuk menjelaskan bahwa di dalam sebuah interaksi sosial masing-masing aktor melakukan hubungan timbal balik. Hubungan ini dilakukan baik secara vertikal (satu aktor kedudukannya lebih tinggi) maupun secara horizontal (masing-masing aktor kedudukannya sama).

Patron klien sendiri merupakan interaksi sosial yang berasal dari hubungan vertikal. Satu aktor memiliki peran yang lebih tinggi dibandingkan aktor yang lain. Aktor yang lebih tinggi ini kemudian memberikan bantuan yang diperlukan kepada aktor yang lebih rendah, sehingga secara norma aktor yang lebih rendah tersebut merasa harus membalas kebaikan aktor yang kedudukannya lebih tinggi tersebut.


(25)

13

Oleh karena itu relasi patron klien sering juga disebut pertukaran antara aktor yang lebih tinggi dengan aktor yang lebih rendah.

Pelras (1981, dalam Layn: 2008, 45) menguraikan arti dari hubungan patron dan klien. Menurutnya, “patron” berasal dari kata “patronus” yang berarti “bangsawan”, sementara “klien” berasal dari kata

“clien” yang berarti pengikut. Jika ditambahkan dengan kata “hubungan” maka hubungan patron klien dapat diartikan sebagai hubungan yang tidak setara yang berlangsung antara seorang bangsawan dengan sejumlah pengikut jelata berdasarkan pertukaran barang dan jasa yang di dalamnya ketergantungan klien terhadap patron dibalas dengan dukungan perlindungan patron terhadap klien.

Burke (2001:106, dalam Pabbabari 2010) mendefinisikan patronase sebagai sistem politik yang berlandaskan pada hubungan pribadi antara pihak-pihak yang tidak setara antara pimpinan (patron) dan pengikutnya (klien). Masing-masing pihak mempunyai sesuatu untuk ditawarkan. Klien menawarkan dukungan politik dan penghormatan kepada patron yang ditampilkan dalam berbagai bentuk simbolis (sikap kepatuhan, bahasa yang hormat, hadiah dan lain-lain). Di sisi lain patron menawarkan kebaikan, pekerjaan, dan perlindungan kepada klientnya.

Menurut Levinson & Melvin Ember, hubungan patron-klien yang terlihat sebagai suatu fakta sosial-kultural, dan hanya didasarkan pada perjanjian informal menjadi pembungkus yang halus dari hubungan sosial, politik dan ekonomi yang diwarnai ketidak setaraan. Padahal, dalam hubungan yang diwarnai ketidak setaraan, maka peluang untuk terjadinya eksploitasi menjadi sangat besar (Levinson, 1996: 106).

Diantara para ilmuwan yang fokus pada kajian mengenai relasi patron dan klien, kita perlu merujuk pada James Scott karena memberikan pemahaman paling detail mengenai hal ini. Scott (1972, dalam Layn: 2008, 45) memberikan definisi bahwa ikatan patron klien didasarkan dan berfokus pada pertukaran yang tidak setara yang berlangsung antara kedua belah pihak, serta tidak didasarkan pada kriteria askripsi. Oleh karena itu siapa saja yang memiliki modal maka ia dapat berstatus sebagai patron. Hal ini berbeda dengan


(26)

definisi menurut Pelras yang mendasarkan bahwa patron adalah para bangsawan, sementara Scott tidak mempermasalahkan asal usul golongan tersebut, asal memiliki modal aktor tersebut melakukan pertukaran secara vertikal maka dia layak disebut patron.

Scott (1976, dalam Hariadi, 1987:48), hubungan patron klien merupakan hubungan yang antara dua pihak yang menyangkut persahabatan, dimana seorang individu dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber-sumber yang dimilikinya untuk memberikan perlindungan dan atau keuntungan bagi seseorang yang statusnya lebih rendah (klien), dan sebaliknya si klien membalas dengan memberikan dukungan dan bantuan secara umum termasuk pelayanan pribadi kepada patron. Dalam hubungan ini pertukaran tersebut merupakan jalinan yang rumit dan berkelanjutan, biasanya baru terhapus dalam jangka panjang. Imbalan yang diberikan klien bukan imbalan berupa materi melainkan dalam bentuk lainnya. Si patron tidak akan mengharapkan materi atau uang dari klien tapi mengharapkan imbalan lainnya yang dibutuhkan si patron.

Dalam memahami hubungan patron klien, ada satu hal penting yang mendasari hubungan ini. Hubungan patron kilen berawal dari adanya pemberian barang atau jasa dalam berbagai bentuk yang sangat berguna atau diperlukan oleh salah satu pihak, sementara bagi pihak yang menerima barang atau jasa tersebut berkewajiban untuk membalas barang tersebut (Scott: 1992, 91-91, dalam Pahrudin: 2009).

Scott memberikan contoh terhadap hasil temuannya dengan melihat hubungan timbal balik yang terjadi antara petani penggarap dengan pemilik lahan. Supaya bisa menjadi patron, pemilik lahan memanfaatkan modal yang dmilikinya untuk merekrut klien. Mereka memberikan pekerjaan berupa menggarap lahan yang dimiliki patron. Selain patron juga tidak segan-segan melindungi kliennya dengan memberikan jaminan ketika paceklik tiba maupun melindungi para penggarap lahan terhadap makelar. Dari perlindungan inilah patron mengharapkan hadiah dari kliennya, tergantung pada apa yan dibutuhkan oleh sang patron kelak.


(27)

15

Dalam patron klien, hubungan dibangun tidak berdasarkan pemaksaan atau kekerasan. Hubungan ini identik terjadi dalam bentuk hubungan pertemanan atau hubungan yang sama-sama menguntungkan (simbiosis mutualisme). Seperti yang disampaikan oleh Scott (1972) yang mengatakan bahwa hubungan patronase mengandung dua unsur utama yaitu pertama adalah bahwa apa yang diberikan oleh satu pihak adalah sesuatu yang berharga di mata pihak lain, entah pemberian itu berupa barang ataupun jasa, dan bisa berbagai ragam bentuknya.

Dengan pemberian barang dan jasa pihak penerima merasa berkewajiban untuk membalasnya, sehingga terjadi hubungan timbal balik. Kedua adanya unsur timbal balik yang membedakan dengan hubungan yang bersifat pemaksaan atau hubungan karena adanya wewenang formal (Putra 1988:3, dalam Pabbabari 2010). Sekalipun hubungan patron klien terbangun bukan atas dasar paksaan, namun hubungan ini tetaplah tidak seimbang. Ketidakseimbangan terjadi karena ada satu aktor (patron) yang mendominasi aktor yang lain (klien). Patron memiliki sesuatu modal yang bisa ditawarkan kepada klien, sementara klien hanya bisa memberikan hadiah sebagai bentuk timbal balik.

Seperti dalam kasus pemilik lahan dengan para penggarap, tentu penggarap sebagai klien lebih tergantung kepada sang patron. Begitu juga para anak-anak yang menjadi anggota kuda lumping lebih meluangkan waktunya dan mematuhi peraturan yang ditetapkan oleh pawang untuk sanggar kuda lumping Turonggo Madyo Budoyo. Kebaikan hati pawang memberikan izin kepada anak-anak untuk menjadi anggota kuda lumping, sangat berharga untuk anak-anak yang menjadi kuda lumping. Anak merasa dibutuhkan dan dihargai keberadaanya oleh pawang dan keinginan anak-anak untuk memiliki endang atau ingin mewarisi kesenian kuda lumping dapat terwujud.

Hubungan patron klien ini juga mempunyai akhir atau bisa diakhiri. Bagi Scott, ada ambang batas yang menyebabkan seorang klien berpikir bahwa hubungan patron klien ini telah berubah menjadi hubungan yang tidak adil dan eksploitatif yaitu ambang batas yang berdimensi kultural dan dimensi


(28)

obyektif. Dimensi kultural disini oleh Scott diartikan sebagai pemenuhan terhadap kebutuhan minimum secara kultural para klien. Pemenuhan kebutuhan minimum kultural itu misalnya acara ritual, kebutuhan sosial kolektif atau kelompok dll.

Sedangkan dimensi obyektif lebih cenderung kepada pemenuhan kebutuhan dasar atau minimun yang mendasarkan pada kepuasan diri. Seperti lahan yang cukup untuk memberi makan, memberi bantuan untuk orang sakit dll. Jika para patron tidak sanggup memenuhi 2 dimensi kebutuhan tersebut dalam konteks kepuasan para klien, maka menurut Scott klien akan berpikir hubungan patron klien ini menjadi hubungan yang sifatnya dominatif dan eksploitatif.

Untuk itulah dalam relasi patron klien masing-masing aktor memiliki posisi tawar. Klien meskipun sangat bergantung kepada sang patron, tetap memiliki posisi tawar. Begitu juga dengan patron, modal yang dimilikinya tidak serta merta membuatnya bisa melakukan eksploitasi kepada klien maupun memberikan keputusan yang merugikan klien. Selama masih merasa memperoleh keuntungan dari pihak lain, hubungan patron klien masih terus berlangsung.

Selain itu ada pendapat yang mengatakan bahwa pertukaran barang atau jasa yang terjadi dalam hubungan patron klien adalah tidak seimbang dan tidak menguntungkan pada dasarnya merupakan pandangan yang subyektif atau berdasarkan perspektif luar. Perspektif semacam ini mengemuka karena hubungan patronase terlalu diperhitungkan dan dipertimbangkan secara ekonomis. Padahal jika diperhatikan secara lebih mendalam akan ditemukan sebuah kenyataan bahwa bukankah hubungan tersebut tidak akan terjadi kalau masing-masing pihak yang terlibat tidak diuntungkan. Atau dalam ungkapan lain dapat dikatakan bahwa hubungan semacam ini dapat terus berlangsung dalam kurun waktu yang lama karena para pelaku yang terlibat di dalamnya mendapatkan keuntungan.


(29)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Metodologi penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata–kata tertulis atau lisan dari orang– orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 2006:4).

Penelitian deskriptif merupakan metode penelitian yang berusaha menggambarkan, memahami, dan menafsirkan makna suatu peristiwa tingkah laku manusia dalam situasi tertentu serta mengiterpretasikan objek sesuai dengan apa adanya. Dimana di dalam penelitian ini, pendekatan kualitatif dimaksudkan mendeskripsikan mengenai ”Hubungan Patron-Klien dalam Kesenian Kuda Lumping di Desa Batang Pane III, Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten Padang Lawas Utara”. Dengan demikian penelitian ini berusaha mengurutkan, menganalisa, mengklasifikasi, memperbandingkan, dan sebagainya. Sehingga pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan yang bersifat deduktif (Ginting, 2005:14).

3.2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Desa Batang Pane III, Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten Padang Lawas Utara. Penulis sebelumnya telah melakukan observasi lapangan di lokasi tersebut dan melakukan wawancara pada pengurus sanggar Turonggo Madyo Budoyo. Dari hasil wawancara tersebut lokasi ini sangat menarik diteliti dimana anak-anak yang menjadi anggota kuda lumping tidak hanya menjadi anggota penari tetapi kerap kali menjadi yang kesurupan. Pemilihan dan penempatan lokasi penelitian tentunya memiliki alasan yang didasari oleh berbagai aspek, di antaranya :


(30)

1. Adanya faktor kedekatan antara lokasi penelitian dengan daerah asal tempat tinggal peneliti sehingga memudahkan berbagai akses dalam mengumpulkan data.

2. Faktor sarana dan prasarana yang cukup memadai dan mendukung untuk penyelesaian penelitian.

3.3. Unit Analisis dan Informan 3.3.1. Unit Analisis

Salah satu ciri karakteristik dari penelitian sosial (social research) adalah menggunakan apa yang disebut dengan “Unit of analysis” ada sejumlah unit analisis yang lazim digunakan pada kebanyakan penelitian sosial yaitu individu, kelompok dan sosial (Danandjaja, 2005 : 31). Dalam penelitian ini, yang menjadi unit analisis atau objek kajian adalah anak-anak yang menjadi anggota dalam kesenian kuda lumping, ketua sanggar kesenian kuda lumping “Turonggo Madyo Budoyo” dan masyarakat yang berada di sekitar sanggar kesenian kuda lumping.

3.3.2. Informan

Informan adalah orang-orang yang menjadi sumber informasi dalam penelitian yang merupakan sumber informasi yang aktual dalam menjelaskan tentang masalah penelitian. Adapun yang menjadi informan penelitian ini, yaitu: ketua seni kuda lumping, anak-anak yang menjadi anggota dalam kesenian kuda lumping, dan orang tua yang anaknya menjadi anggota kuda lumping.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Keabsahan dalam penelitian perlu suatu data untuk mendukung kebenaran yang akan diteliti, melalui pengumpulan data yang dilakukan langsung oleh peneliti dalam situasi sesungguhnya. Maka jenis pengumpulan data yang dapat diperoleh melalui data primer dan data sekunder.


(31)

Data primer adalah data yang berangkat dari data lapangan lokasi penelitian untuk mencari data– data yang lengkap dan berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. Adapun tekhnik pengumpulan data ini dilakukan dengan cara:

3.4.1.1. Observasi

Observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan (Bungin, 2007:115). Observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja panca indera mata serta dibantu dengan panca indera lainnya. Dalam hal ini peneliti dapat melihat secara langsung kegiatan yang sedang berlangsung ketika anak-anak sedang bermain kuda lumping.

3.4.1.2. Wawancara Mendalam

Metode wawancara merupakan proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau yang diwawancarai. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan wawancara kepada orang-orang yang menjadi informan, dan penelitian ini biasa disebut dengan metode interview guide yakni aturan-aturan daftar pertanyaan sebagai acuan bagi peneliti untuk memperoleh data yang diperlukan.

Metode pengumpulan data dengan wawancara yang dilakukan berulang– ulang kali dan membutuhkan waktu yang cukup lama bersama informan di lokasi penelitian (Bungin, 2007:108). Wawancara mendalam yang dimaksud adalah percakapan yang sifatnya luwes terbuka dan tidak baku. Dalam hal ini peneliti melakukan wawancara mendalam terhadap informan pada anak-anak yang menjadi anggota kuda lumping dan ketua sanggar kuda lumping.

3.4.2. Data Sekunder

Tehnik pengumpulan data sekunder adalah pengumpulan data yang dilakukan melalui penelitian studi kepustakaan dengan menghimnpun berbagai informasi yang diperlukan untuk mendukung data


(32)

diperoleh dari buku-buku ilmiah, tulisan ilmiah, jurnal yang diperoleh peneliti dari perpustakaan atau internet, laporan penelitian yang berkaitan dengan topik penelitian yang dianggap relevan dan keabsahan dengan masalah yang diteliti.

3.5. Interpretasi Data

Interpretasi data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia, yaitu pengamatan dan wawancara mendalam yang sudah ada dalam catatan lapangan. Data-data yang sudah diperoleh dari lapangan kemudian dipelajari dan kumpulkan untuk dapat dianalisis berdasarkan dukungan teori dan kajian pustaka yang telah disusun. Pada tahap inilah data dikerjakan dan dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga dapat menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab persoalan-persoalan yang diajukan dalam penelitian ini. Data diinterpretasikan secara kualitatif dengan menafsirkan data dan menyajikan secara deskriftip.

3.6. Jadwal Kegiatan

NO

Kegiatan Bulan Ke-

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 Pra Proposal

2 ACC Judul

3 Penyususunan Proposal penelitian

  

4 Seminar Proposal Penelitian

5 Revisi Proposal

Penelitian

 

6 Penelitian ke Lapangan

  

7 Pengumpulan Data dan Analisis Data

   

8 Penulisan Laporan Akhir

  

9 Bimbingan Skripsi   


(33)

3.7. Keterbatasan Penelitian

Setiap orang pasti memiliki banyak keterbatasan yang berbeda-beda, begitu juga dengan peneliti yang memiliki banyak keterbatasan dalam penelitian ini. Adapun yang menjadi keterbatasan dalam penellitian ini adalah:

1. Faktor internal, yaitu keterbatasan yang berasal dari diri peneliti sendiri yakni sedikitnya literatur yang diperoleh peneliti, peneliti memiliki keterbatasan waktu dan kemampuan sehingga kurang mengerti apa yang peneliti maksud. Dalam penelitian ini, peneliti belum dapat mendeskripsikan secara mendalam mengenai masalah yang diteliti, sehingga analisis mengenai masalah tersebut belum maksimal.

2. Faktor eksternal, yaitu berupa kendala-kendala yang muncul dari luar diri peneliti, seperti kendala waktu para informan dikarenakan sebagian dari infroman memiliki kesibukan lain sehingga intensitas pertemuan antara peneliti dengan informan harus menyesuaikan waktu luang yang dimiliki informan tersebut. Kemudian tingkat pendidikan dari beberapa informan yang diantaranya tergolong rendah ternyata menyebabkan peneliti kurang efektif dalam mendapatkan informasi, dan ada pula beberapa informan yang memiliki sikap kurang terbuka dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan oleh peneliti.


(34)

BAB IV

DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.1. Deskripsi Lokasi Desa Batang Pane III

Desa Batang Pane III secara geografis memiliki luas wilayah 3000 Ha atau 30 Km2. Desa Batang Pane III masuk dalam wilayah Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten Padang Lawas Utara. Desa Batang Pane III ini terbagi menjadi 3 Blok yang di beri nama Blok A, Blok B, dan Blok C. Mayoritas masyarakat di Desa batang Pane III adalah suku Jawa dan mayoritas beragama Islam. Masyarakat di Desa Batang Pane III bermata pencaharian sebagai petani karet dan sawit, serta ada beberapa yang membuka industri kecil.

Berbagai sarana umum yang terdapat di Desa Batang Pane III adalah Puskesmas Pembantu (Pustu), Taman Kanak-kanak atau Pendidikan anak usia dini (PAUD), Sekolah Dasar (SD atau MI), juga terdapat pemakaman umum untuk masyarakat desa sementara bagi anak-anak yang ingin melanjutkan pendidikanya ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menegah Atas (SMA) terdapat di Desa sebelah yaitu Desa Batang Pane II yang berjarak 10 km.

4.1.2. Profil Desa Batang Pane III

A. Batas Wilayah Desa

Berjarak ± arah Timur dari Kantor Camat Padang Bolak, dengan batas-batas sebagai berikut: - Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Siancimun, Kecamatan Halongonan.

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Huristak, Kecamatan Huristak.

- Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Batang Pane II, Kecamatan Padang Bolak.

- Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Hutanopan, Kecamatan Halongonan. B. Keagamaan


(35)

Keagamaan yang dianut oleh masyarakat di Desa Batang Pane III dapat terlihat dalam tabel berikut: Tabel 4.1. Komposisi Agama di Desa Batang Pane III

No Agama Jumlah (Orang)

1 Islam 2591

2 Protestan 201

3 Khatolik -

4 Hindu -

5 Budha -

Sumber: Data Statistik Kependudukan Kantor Kepala Desa Batang Pane III Tahun 2010-2011

Dari data di atas terlihat bahwa agama yang dianut masyarakat di Desa Batang Pane III ada dua agama yaitu Islam dan Protestan. Mayoritas agama yang dianut masyarakat yang ada di Desa Batang Pane III adalah agama Islam dengan jumlah 2591 orang kemudian menyusul agama Protestan dengan jumlah 201 orang.

C. Kependudukan

1. a. Jumlah Penduduk seluruhnya di Desa Batang Pane III adalah 2.792 jiwa.

b. Jumlah Kepala Keluarga (KK) adalah 784 KK.

D. Suku

Tabel 4.2. Komposisi Suku Bangsa di Desa Batang Pane III

No Suku Jumlah (Orang)

1 Jawa 2193

2 Batak 350


(36)

3 Sunda 167

4 Banjar 56

5 Minang 26

Sumber: Data Statistik Kependudukan Kantor Kepala Desa Batang Pane III Tahun 2010-2011.

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa mayoritas suku bangsa yang ada di Desa Batang Pane III adalah Suku Jawa dengan jumlah 2193, meskipun berada di luar pulau Jawa, keberadaan suku Jawa yang ada di Desa Batang Pane III masih menempati posisi paling atas kemudian menyusul suku Batak yang seharusnya menempati posisi atas harus berada di bawah suku Jawa. Keadaan ini menggambarkan keberadaan suku Jawa di Desa Batang Pane III masih sangat kental dengan suku Jawa.

E. Kondisi Sosial Ekonomi

Berdasarkan jumlah penduduk dari data tahun 2010–2011 ditinjau dari segi kondisi sosial ekonomi masyarakat Desa Batang Pane III adalah merupakan desa yang mayoritas masyarakatnya bermata pencaharian dari hasil perkebunan karet atau sawit dan ada beberapa masyarakat lainnya bekerja di sektor industri kecil.

Dari jumlah KK (784 KK) yang ada ± 770 KK (92 %) adalah petani karet dan sawit. Selebihnya 17 KK ada yang bekerja sebagai Pegawai, Wiraswasta, Karyawan dan lain-lain. Dilihat dari tingkat penghasilan rata-rata masyarakat Desa Batang Pane III terdorong ke dalam kategori (miskin, menengah, dan kaya). Dari luas Desa 3000 Ha dimiliki oleh :

- 150 Ha (35 %) dimiliki oleh 5 KK(Kaya) - 200 Ha (45 %) dimiliki oleh 20 KK (Sedang)

- 1518 Ha (20,8 %) dimiliki oleh 759 KK (rata-rata tiap warga memiliki 2 Ha) - 387 Ha (12,9 %) dimiliki oleh PT. STA


(37)

F. Kualitas Pendidikan Masyarakat

Tabel 4.3. Komposisi Kualitas Pendidikan Masyarakat di Desa Batang Pane III

No Status Jumlah (Orang)

1 Pendidikan Tinggi 13 Orang

2 SLTA 122 Orang

3 SD/SLTP 974 Orang

4 Tidak Sekolah 1684 Orang

Sumber: Data Statistik Kependudukan Kantor Kepala Desa Batang Pane III Tahun 2010-2011

Dari data di atas dapat dijelaskan bahwa kualitas pendidikan masyarakat masih sangat rendah. Masyarakat masih kurang memperhatikan pendidikan untuk merubah pola pikir yang lebih maju dan kepentingan masa depan mereka. Data di atas menunjukan bahwa lebih banyak penduduk yang tidak sekolah dibandingkan yang tamatan SLTA saja.

G. Kondisi Sosial Budaya Desa Batang Pane III

Desa Batang Pane III adalah desa kecil yang sebagian besar masyarakatnya sangat kental dengan tradisi-tradisi peninggalan leluhur. Upacara-upacara adat yang berhubungan dengan siklus hidup manusia (lahir–dewasa dan berumah tangga–mati), seperti upacara kelahiran, khitanan, perkawinan dan upacara-upacara yang berhubungan dengan kematian, hampir selalu dilakukan oleh warga masyarakat. Selain itu, kenduri, syukuran, gotong-royong, bersih desa dan semacamnya masih juga dilakukan setiap tahun.

Toleransi dan sikap tolong menolong masyarakat Desa Batang Pane III masih kuat. Salah satunya ialah tradisi menjenguk orang sakit (tetangga atau sanak famili) masih dilakukan oleh masyarakat. Biasanya ketika menjenguk orang sakit, bukan makanan saja yang dibawa, tetapi mereka mengumpulkan


(38)

bantuan berupa materi bersama-sama antar warga yang lain kemudian disumbangkan kepada keluarga yang sakit dengan tujuan untuk meringankan beban biaya.

Kesenian tradisional kuda lumping juga masih mampu mereka pertahankan di samping keberadaan mereka yang berada di luar pulau jawa. Mereka masih mampu melestarikan kesenian kuda lumping dari generasi ke generasi selanjutkan bahkan kesenian kuda lumping masih mampu bersaing dengan kebudayaan yang semakin modern seperti saat sekarang ini.

4.1.3. Profil Sanggar Kuda Lumping “Turonggo Madyo Budoyo”

1. Asal Mula Berdirinya Sanggar Turonggo Madyo Budoyo

Jaranan adalah istilah yang mereka gunakan untuk menyebut kuda lumping. Jaranan yang pertama dibentuk di Desa Batang Pane III adalah dengan sebutan sanggar 3 in 1 (Tri in One) pada tahun 1986 yang dipimpin oleh Mbah Waryo. Nama sanggar 3 in 1 memiliki makna menyatukan 3 RT kedalam 1 wadah untuk mempererat hubungan silaturahmi antar warga yang sama-sama memiliki tujuan untuk mendirikan dan melestarikan kesenian Kuda Lumping.

Dalam pelaksanaannya kesenian ini berjalan dengan pasif disebabkan keanggotaan sanggar ini masih didomisili oleh bapak-bapak yang sudah paruh baya sehingga pada akhirnya kelompok ini menjadi vakum. Sanggar 3 in 1 berjalan hanya 2 tahun dikarenakan Mbah Waryo meninggal dunia, dan digantikan oleh anaknya yang bernama Trimo atau yang sering dipanggil masyarakat dengan Mbah Mo. Namun tetap saja seperti bapaknya Mbah Waryo kegiatan ini masih saja vakum dan keanggotaan pun semakin menghilang satu persatu.

Pada tahun 1996 barulah sanggar Jaranan 3 in 1 berubah nama menjadi Turonggo Madiyo Budoyo yang masih dipimpin oleh Mbah MO. Makna dari nama sanggar ini yaitu agar masyarakat secara bertahap atau pelan-pelan bertujuan untuk melestarikan kesenian kuda lumping sebagai kesenian tradisional Jawa serta menanamkan sejak dini kepada anak-anak tentang kesenian tradisonal Jawa yang salah satu


(39)

peninggalan dari kesenian tradisional itu berupa kesenian kuda lumping. Kegiatan sanggar pun masih kurang aktif karena adanya pro-kontra dari masyarakat sekitar.

Pada tahun 2006 barulah Sanggar ini memiliki struktur organisasi yang kompleks dengan sistem hirarki dan dalam pelaksanaan kegiatannya sudah aktif. Kegiatan yang sudah aktif didorong karena keanggotaanya bukan hanya terdiri dari sesepuh desa saja tetapi anak-anak sudah masuk menjadi anggota dan meramekan kegiatan sanggar dan masyarakat sudah sangat menerima keberadaan sanggar Turonggo Madiyo Budoyo.

Adapun susunan kepengurusan kelompok ini adalah sebagai berikut:

Peran (Jabatan) Orang (Petugas/Anggota)

Ketua Pak Trimo

Wakil Pak Ramlan

Sekertaris Pak Yeni Bendahara Pak Iswanto Penelengkapan Pak Sukardi Sesepuh Pak Ramlan

Pak Muryanto Pak Munasri Pak Waji

Penari Kategori anak-anak = 24 orang Kategori dewasa = 7 orang

Panjak/pemukul Sepuluh orang

Gambuh Lima orang

Pawang Pak Trimo

Wakil Pawang Pak Ndut dan Pak Muhari Sinden/Penyanyi Dua orang


(40)

2. Visi Dan Misi Sanggar Turonggo Madiyo Budoyo

Adapun Visi dari sanggar Turonggo Madiyo Budoyo ini yaitu:

- Untuk tetap melestarikan dan mempertahankan kesenian tradisional Jawa meskipun berada di daerah Perantauan.

- Menanamkan nilai tradisi Jawa sejak dini kepada generasi penerus. Adapun Misi dari sanggar Turonggo Madiyo Budoyo ini yaitu:

- Mengajak kepada generasi muda agar tetap melestarikan kesenian tradisional jawa dan menghindari perjudian dan minuman berakohol.

- Mengenalkan kesenian tradisional Jawa kepada masyarakat umum yang memiliki latar belakang suku yang berbeda-beda.

4.2. Interpretasi Data Penelitian

4.2.1. Profil Sosial-Ekonomi Orang Tua di Kalangan Anak yang Menjadi Anggota Kuda Lumping

Berdasarkan data yang dikutip dari lapangan bahwa sebagian besar orang tua dari anak yang menjadi anggota kuda lumping di sanggar Turonggo Madiyo Budoyo rata-rata memiliki mata pencaharian seperti masyarakat umumnya yaitu bertani sawit dan karet serta memiliki hewan ternak seperti sapi. Bertani sawit ataupun karet menjadi mata pencaharian yang utama bagi orang tua untuk dapat menafkahi keluarga, sedangkan memiliki hewan ternak hanya dijadikan mata pencaharian sampingan serta tabungan untuk keperluan anak yang sewaktu-waktu dibutuhkan.

Hasil dari bertani sawit ataupun karet tergantung dari luas tanah yang dimiliki masing-masing orang tua anak yang menjadi anggota kuda lumping. Ada orang tua yang mampu menghasilkan mata pencaharian


(41)

tiap bulan sekitar Rp. 2.000.000,- - Rp. 4.000.000,- dari hasil sawit serta dari hasil karet menghasilkan tiap bulan sekitar Rp. 1.000.000,- - Rp. 2.000.000,-. Dengan hasil mata pencaharian yang dimiliki oleh orang tua, orang tua juga memberikan hasil mata pencaharian tersebut kepada anak untuk memenuhi segala kebutuhannya. Baik itu kebutuhan di dalam rumah, di lingkungan sekolah dan di lingkungan masyarakat sekitar.

Tabel 4.4: Kepemilikan Tanah Orang Tua NO Nama Usia Luas Tanah/Jenis Tanaman

1 Dimah 43 Tahun 3 Ha/Sawit dan 2 Ha/Karet 2 Suratih 36 Tahun 1 Ha/Sawit dan ½ Ha/Karet 3 Ramlan 60 Tahun 1, ½ Ha/Sawit dan 1 Ha/Karet 4 Su’alman 60 Tahun 2, ½ Ha/Sawit

5 Poka 40 Tahun 1 Ha/Sawit dan 1, ½ Ha/Karet Sumber: Wawancara Penelitian

Dengan hasil perekonomian yang dimiliki orang tua, anak tetap saja tidak menghiraukan larangan orang tuanya untuk tidak menjadi anggota kuda lumping. Ibu Dimah (43 Tahun) menuturkan:

“ ya ibu ma bapak inikan memenuhi kebutuhan hidup dengan bertani sawit dan karet. Adekkan tau sendiri semua orang-orang di sini ngasih makan anak-anaknya dengan hasil panen sawitkan. Kami punya ladang sawit tu 3 hektar kalau karetnya 2 hektar gitu, ya adek kalikan sendiri berapa hasil yang diperolehnya, adek kan tau, wong adek orang sini. Tapi biarpun kami ini sudah memenuhi kebutuhan anak, kok masih di anggap kuranglah buat anak ibu itu. Malah ikut jaranan, padahal hasilnya gak seberapa lo”. (Sumber: wawancara pada tanggal 5 Februari 2013 ).”

Hal ini diperkuat oleh penuturan Yadi (18 tahun) yakni:

“ memang sih orang tua ku itu slalu ngasih apa yang aku ma mbak, tapi biarpun gitu kan aku pengen punya uang sendiri, kerja tempat orang gak di kasih ya udah aku ikut jaranan ajah mbak, kalau dijaranankan bisa sekalian jadi pemain terus dapat uang, orang tua pun gak bisa ngelarang, mau ngelarangpun kayak mana aku kan udah masuk duluan tanpa izin dulu.beda loh mbak uang yang di kasih orang tua dengan uang yang di dapat dengan usaha sendiri, lebih enak uang yang di dapat sendiri, mau di


(42)

habiskanpun semuanya gak ada yang marah. Lagian jadi anggota jaranan itu b isa terkenal lo mbak,siapa yang gak tau jaranan turongo ini,semua orang tau, ya kalu aku ikut jaranan pasti orang pada kenal aku”

(Sumber: wawancara pada tanggal 8 Februari 2013).

Dari data di atas terlihat bahwa perekonomian orang tua yang sudah mapan, ternyata tidak memiliki pengaruh untuk melarang anak menjadi anggota kuda lumping. Bagi anak, menjadi anggota kuda lumping memberikan trance bagi dirinya sehingga anak mudah dikenal oleh masyarakat. Selain itu untuk mencari kebutuhan yang dihasilkan sendiri, anak ikut manjadi anggota kuda lumping dengan tujuan memperoleh uang dan bisa menjadikan kepuasan tersendiri bagi anak. Uang yang diperoleh dari hasil pertunjukan kuda lumping tersebut, membuat anak merasa bangga karena dapat menghasilkan uang dari hasil pekerjaannya.

Sebagian uang yang diperoleh dari hasil pertunjukan kuda lumping ditabung oleh anak. Hal ini bertujuan jika suatu waktu orang tua tidak memberikan uang jajan atau uang yang dibutuhkan anak untuk keperluan tertentu, anak bisa menggunakan uang yang ditabungnya tersebut. Ciplek (11 tahun) menuturkan:

“ kalau saya sudah tampil dan terkadang bapak itu gak sengaja melihat, ya habis tampil jaranan saya pulang ke rumah pasti dimarahi bapak, makanya kalau habis tampil saya jarang pulang ke rumah, malas selalu ribut sama bapak. Udah gitu nanti dihukum lah saya ini ma bapak. Ya hukumannya saya gak dikasih uang jajan kalau gak dikurangi gitu uang jajanya, ya gak apa-apalah mbak. Toh saya juga masih punya sisa uang dari tampil jaranan, jadi gak begitu takutlah untuk kekurangan uang jajan. Apalagi uang yang dikasih pawang kalau habis main jaranan itu sekali tampil saya di kasih Rp. 30.000,- ,kadang kalau yang nyelenggarakan bayar mahal saya di kasih Rp.50.000,-. Kan itu sudah banyak sih mbak, apalagi kalau dalam 1 minggu itu kelompok jaranan kami bisa 2 kali tampil pasti saya punya uang lebih kan mbak.” (Sumber: wawancara pada tanggal 10 Februari 2013)

Seperti yang diungkapkan informan di atas dapat digambarkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara perekonomian orang tua dengan alasan anak menjadi angota kuda lumping. Perekonomian keluarga yang sudah mapan tidak membuat anak untuk mengurungkan niatnya menjadi anggota kuda lumping. Adapun alasan anak yang tetap menjadi anggota anggota kuda lumping meskipun perekonomianya orang tua mereka sudah mapan, dikarenakan anak ingin membangun komunitas yang ada di sanggar kuda lumping Turonggo Madyo Budoyo. Dengan komunitas yang telah terbentuk, anak merasa


(43)

memiliki ketenaran di masyarakat karena telah menjadi anggota kuda lumping. Sehingga anak memiliki kepuasan tersendiri bagi dirinya yang tidak didapat dari keluarganya.

Selain itu, latar belakang keluarga berdasarkan kualitas pendidikanya juga memiliki sikap tidak memberikan izin kepada anaknya untuk menjadi anggota kuda lumping.

Tabel 4.5: Pendidikan Orang Tua dan Cara pandang Orang Tua Terhadap Kuda Lumping

No Nama Pendidikan Terakhir

Pandangan Mengenai Kuda Lumping 1 Suratih Sekolah Dasar Merusak masa depan anak,

karena anak jadi malas belajar dan sekolah.

2 Su’alman Sekolah Rakyat Kekuatan supranatural atau endang yang dimiliki anak dapat menguasai pikiran anak

3 Bejo Sekolah Menengah Pertama

Seharusnya anak-anak hanya dijadikan penari pembuka saja jangan yang jadi kesurupan,biar anak itu bisa sama-sama patuh dengan peraturan sanggar dan peraturan di keluarga. 4 Kariman Sekolah Rakyat kesenian kuda lumping

yang sekarang lebih banyak mengandung unsur uangnya

5 Paenem Sekolah Menengah Pertama

Tidak menecerminkan nilai yang menghormati peninggalan para leluhur. Sumber: Wawancara Penelitian

Ibu Suratih (36 tahun) mengatakan:

“…. Biarpun Ibu ini berasal dari suku Jawa, ibu tetap tidak mendukung anak ibu menjadi anggota jaranan. bukan ibu tidak mau melestarikan kesenian jawa, toh kesenian jawa sekarang ini lebih banyak main-mainnya. Apalagi ibu tidak mau anak ibu itu seperti ibu yang hanya tamatan Sekolah Dasar ajah, ibu kan kepengen anak ibu itu lebih baik dari ibu, kalau bisa sekolahnya ampe kuliah. Bisa punya kerjaan yang lebih baik dari bapaknya juga, dan bisa membanggakan keluarga dengan prestasi belajarnya. Tapi


(44)

belum juga dewasa, waktu belajar anak ibu saja sudah diganggu dengan jaranan, anak ibu jadi malas sekolah loh dek, malas belajar, kayak gitu bagaimana anak ibu bisa maju, apalagi sekarang dunia itu

semakin keras, kadang juga tamatan S1 pun bisa jadi pengangguran kan.” (Sumber: wawancara pada

tanggal 1 Februari 2013).

Hal ini dipertegas oleh pernyataan Bapak Su’alman (60 tahun) yakni:

“ biarpun kita ini tinggal di desa tapi kita juga harus punya pemikiran yang maju biar gak di bodoh-bodohin orang. Bapak sangat miris melihat anak sekarang ini, disuruh belajar banyak kali alasannya,yang capeklah yang ngantuklah ada saja jawabanya. Bapak itu maunya anak bisa sekolah yang benar yang serius jangan maen-maen kayak sekarang ini, maunya maen saja gak mikirin masa depan kayak mana. Udah bapaknya gak bisa baca tulis masa iya anaknya mau sengsara juga gak bisa baca tulis.

Nanti mau jadi orang yang sukses dan benar gak punya ijazah kayak mana, baru nyesal.” (Sumber:

wawancara pada tanggal 14 Februari 2013 )

Dari data di atas, terlihat jelas bahwa semakin tinggi tingkat rasionalitas keluarga terhadap pendidikan anak, maka semakin rendahnya izin yang diberikan keluarga terhadap anak untuk menjadi anggota kuda lumping. Sebaliknya semakin rendahnya kepedulian keluarga terhadap pendidikan dan perkembangan anak, dapat menjadikan anak tidak berpikir secara baik untuk menyeleksi perbuatan yang baik atau buruk untuk dilakukan dalam proses interaksi. Keluarga tidak menginginkan hal yang sama terjadi pada anaknya, keluarga berusaha memberikan yang terbaik untuk masa depan anaknya.

Hal ini sudah sangat berbeda dengan orang-orang tua terdahulu yang mendukung kuda lumping, di mana mereka berpandangan dengan menjadi anggota kuda lumping mereka dapat lebih terlindungi dari marabahaya. Budiono (1984: 127) menjelaskan, bahwa perkembangan ilmu pengetahuan teknologi modern berpengaruh terhadap pandangan hidup orang Jawa dalam melanjutkan tradisi nenek moyangnya. Penghayatan akan makna simbolis tradisional dan religius sudah berubah, sekarang lebih rasional dan daya simboliknya sudah berubah makna.

Perkembangan ilmu pengetahuan tersebut membuat para orang tua ingin anaknya dapat sekolah lebih maju. Ada kekhawatiran dengan berhubungan dengan makhluk halus dapat mengganggu pikiran


(45)

anaknya. Hal ini sudah sangat berbeda dengan orang-orang tua terdahulu yang mendukung kuda lumping, di mana mereka berpandangan dengan menjadi anggota kuda lumping mereka dapat lebih terlindungi dari marabahaya

Selain itu, sebagian besar keluarga tidak memberikan izin kepada anak untuk menjadi anggota kuda lumping karena anak yang menjadi anggota kuda lumping sekarang ini sudah dijadikan sebagai anggota yang kesurupan sehingga mengganggu pola pikir anak, waktu belajar anak, dan anak-anak lebih banyak meluangkan waktunya untuk kesenian kuda lumping.

4.2.2. Profil Pendidikan Anak yang Menjadi Anggota Kuda Lumping

Di zaman yang semakin modern seperti sekarang ini, manusia juga dituntut untuk dapat berkembang sesuai perkembangan zaman. Seperti halnya anak, anak juga harus mampu menghadapi perkembangan zaman yang menuntut pola pikir yang luas dan kemampuan untuk bisa bersaing dengan perkembangan zaman. Dengan memiliki kesadaran tersebut, maka pendidikan merupakan salah satu alternative bagi anak agar dapat menyeimbangi perkembangan zaman.

Pendidikan yang dapat menyeimbangi perkembangan zaman ternyata tidak begitu penting untuk di raih bagi anak-anak yang menjadi anggota kuda lumping. Anak-anak meninggalkan dunia pendidikan formal mereka dan lebih memilih menjadi anggota kuda lumping. Hal ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 4.6: Pandangan Anak Terhadap Pendidikan No Nama Usia Pendidikan

Terakhir

Pandangan Terhadap Pendidikan 1 Mugiyono 15 tahun SMP Pendidikan membuat pikiran jenuh

karena pelajaran yang berat dan membingungkan tidak seperti kuda lumping yang bebas berekpresikan diri.

2 Putri 16 tahun SMP Belajar untuk sekolah itu tidak


(46)

membuat dia senang dan tidak memiliki arti apa-apa karena setinggi-tingginya perempuan sekolah ujung-ujungnya menjadi ibu

rumah tangga.

3 Yadi 18 tahun SD Sudah bisa baca dan menghitung saja lebih sudah cukup, setidaknya orang lain tidak bisa membodohinya lagian orang kuliah atau S1 saja jadi pengangguran.

4 Ciplek 11 tahun SD Belajar kuda lumping lebih enak dibandingkan belajar untuk sekolah terlalu banyak peraturan dan tingkatan yang harus ditempuh dari SD –SMP-SMA-kuliah.

5 Juliandi 13 tahun SMP Banyak orang-orang pintar yang pada akhirnya membodohi orang, memakan uang rakyat dan biaya pendidikan yang semakin mahal membuat orang-orang susah tidak bisa belajar kan.

Sumber: Wawancara Penelitian

Dalam dunia pendidikan, anak diajarkan berbagai macam pengetahuan yang mengarah pada pembentukan kepribadian yang baik. Anak diberi bekal sesuai dengan aturan nilai dan norma yang berlaku baik di lingkungan sekolah atau lingkungan masyarakat. Pendidikan tidak hanya membantu membentuk kepribadian saja tetapi menuntun kita menuju kehidupan yang lebih baik. Dimana semakin tinggi kesadaran seseorang akan pendidikan maka semakin rendah tingkat kebodohan manusia untuk berada di dalam kehidupan yang tidak layak. Selain itu, pendidikan dapat membantu seseorang untuk menciptakan sesuatu yang baru dalam menyaingi perkembangan zaman yang semakin maju. Bapak Ramlan (60 tahun) yakni:

“….anak zaman saiki angel dilurui, dikongkon sing apik ora gelem, isone ngelawan wae, sakareppe awake dewe ngelakoni urip iki. Kongkon sekolah wae uwes ora gelem, opomeneh di kongkon bayar sekolah, wes ora makin gelem. Sakjane bayar sekolah iki kan nganggo duit, opo-opokan zaman saiki larang. Oleh-oleh wae nduwe kerjanan neng jobo sekolahan, contoe: dadi anggota pramuka, latihan atletik kan podo-podo ndukong bocah semanget sekolah. ora koyok jaranan, uwes awake lorro, pikiran ora


(47)

karuan dadi bocah ora nggenah sekolah. Sakjane bapak kepengene iku bocah dadi wong sing apik, sekolah ne tinggi, iso mbanggane wong tuo, ora nggae isin wong tuo, dadi kan urippe iso di segeni wong liyo.uwes bapak iki tamatan SMP masa iyo bocah e tamatan SMP, podo kambe bapake. (Yang artinya: anak zaman sekarang ini susah di kasih tau,disuruh yang benar gak mau,bisanya hanya melawan saja, sesuka hatinya saja menjalani hidup ini. Disuruh sekolah saja tidak mau, apalagi disuruh bayar sekolah, semakin tidak mau. Padahal sekolah itukan bayar pake duit,apalagi di zaman sekarang ini serba mahal. Boleh-boleh saja punya kegiatan di luar sekolah, seperti: mengikuti kegiatan pramuka, latihan atletik yang sama-sama mendukung kegiatan sekolah. tidak seperti jaranan, udah badan capek dan sakit, pikiran pun tidak karuan sehingga membuat anak menjadi tidak teratur sekolahnya. Sebenarnya Bapal itu mau anak Bapak jadi orang benar, sekolah tinggi, bisa membanggakan oramg tua, tidak membuat malu orang tua, dan orang lain dapat menghargai hidupnya. Masa bapaknya tamatan SMP anaknya juga tamatan SMP,kan sekarang zaman udah maju,segala sesuatunya membutuhkan kekratifan diri yang dimiliki).” (Sumber: wawancara pada tanggal 7 Februari 2013).

Hal yang sama juga dituturkan oleh perkataan Ibu Poka (40 tahun) yakni:

“…. Kalau anak itu sekolah yang baik, belajar yang tekun dan kalau bisa sekolah ampe kuliahkan pastinya buat orang tua bangga. Apalagi sekarang udah banyak orang-orang di sini yang pergi sekolah ke berbagai kota hanya untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik dan maju, terus kakak-kakak atau abang alumninya di sekolah juga udah pada kuliah dan punya kerjaan yang mapan ampe gak lagi nyusahin orang tuanya bahkan ngirimin tiap bulan untuk keluarga di kampung. Ini apa, anak ibu itu di suruh nyontoh kakaknya yang udah sukses di bilang itukan karena kakak itu pintar lagian rezeki itu kan udah Tuhan yang ngatur bu. Ya kayak ibu inilah, kalau adek-adeknya ngerjain Pr terus ibu gak tau kan kasihan sih nak, ibu ini kayak gak berguna jadinya. Ya udah ibu ini gak pernah makan bangku sekolahan dulu ya sekarang yang diharapkan anak-anaknya bisa sekolah tinggi-tinggi.”. (Sumber: wawancara pada tanggal 9 Februari 2013).

Kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan anak yang lebih baik tidak dihiraukan bagi anak yang menjadi anggota kuda lumping. Anak tidak begitu memperdulikan bagaimana pendidikan yang seharusnya ia peroleh untuk masa depan mereka. Pendidikan dianggap sesuatu yang membuat pikiran mereka jenuh dan membosankan. Mugiyono (15 tahun) menuturkan:

“ Mbak ini kok nyaranin aku ngelanjutkan sekolah lagi lo, lah orang tuaku ajah udah nyerah nyuruh aku lanjut ke SMA. Aku itu udah gak mampu lagi mbak belajar dan nerima ilmu-ilmu dari pelajaran di sekolah itu, buat aku pusing ajh, lah waktu masih SMP ajah aku jarang masuk sekolah karena malas. Dah aku bilang ma bapak ku, dari pada bapak capek-capek ngabisin uang itu untuk aku sekolah lebih baik bapak belikan aku tanah biar aku urus ajh, nanti aku di sekolahpun sering bolos lagi kayak mana,kan buat bapak malu ajah jadinya .jadi anggota jaranan juga kan lebih berguna sih mbak,berguna melestarikan kesenian tradisional jawa.” (Sumber: wawancara pada tanggal 10 Februari 2013).


(1)

Alamat : Desa Batang Pane III, Blok A, RT I

Peneliti berjalan terus menerus dan menghampiri satu per satu rumah yang menjadi anggota kuda lumping. Saat di persimpangan jalan, peneliti berjumpa dengan seorang laki-laki yang tidak lain bernama Mahput. Mahput seorang pelajar di kelas IX SMP N 5 Padang Bolak. Ia sudah 2 tahun menjadi angggota kuda lumping. Dalam waktu 1 bulan ia sudah dapat mempelajari segala bentuk tarian dan mempelajari alat musik sebagai pendukung pertunjukan kuda lumping. Seperti hal nya dengan teman-teman yang menjadi anggota kuda lumping, menjalankan aturan dan tahapan ritual tidak menjadi sesuatu yang berat untuk dilakukannya. Ia memperoleh izin dari orang tuanya untuk menjadi anggota kuda lumping dan sangat didukung oleh kedua orang tua dan saudara-saudaranya.

Menurut hasil wawancara dengan Mahput, peneliti memperoleh informasi yang cukup mendukung untuk mendapatkan data penelitian. Mahput sangat bangga menjadi anggota kuda lumping karena dengan menjadi anggota kuda lumping ia sudah dapat mewariskan keebudayaan tradisional Jawa dan dapat menghibur orang banyak. Sebagai anak yang masih sekolah, ia lebih mementingkan waktu untuk belajar kuda lumping. Belajar kuda lumping tidak rumit seperti mempelajari pelajaran di sekolah dan belajar kuda lumping ada permainanya yang tidak membuat bosan.

1.4.3. Profil Orang Tua Anggota Kuda Lumping

1. Nama : Ibu Paenem Usia : 56 Tahun

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Desa Batang Pane III, Blok A, RT I

Saat pertama peneliti mewawancarai ibu berusia 56 tahun dengan 5 orang anak ini dimana 2 orang anaknya perempuan dan 3 orang anaknya laki-laki. Ibu Paenem terlihat sangat bingung. Namun setelah


(2)

peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelliti barulah Ibu Paenem kelihatan sedikit tenang. Ibu Paenem adalah orang tua dari Teguh. Kesibukan sehari-hari Ibu Paenem hanya mengurus kegiatan berumah tangga saja. Beliau tidak setuju anaknya menjadi anggota kuda lumping. Adapun alasan beliau tidak menyetujui anaknya menjadi anggota kuda lumping karena adanya hal kesurupan di pertunjukan kuda lumping. Namun karena Teguh memaksakan diri menjadi anggota kuda lumping, akhirnya Beliau memberikan izin kepada Teguh untuk menjadi anggota kuda lumping dengan syarat tidak menjadi anggota yang kesurupan.

Menurut hasil wawancara peneiliti dengan Ibu Paenem diperoleh informasi bahwasanya tidak ada perubahan yang berbeda ketika anaknya sebelum menjadi anggota kuda lumping dan sesudah menjadi anggota kuda lumping. Teguh tetap menjadi anak yang patuh dan masih mau menjalankan kewajibanya sebagai anak yang beragama islam. Ketika Teguh menyalahi sikap atau perbuatan yang sudah melanggar aturan di keluarga, Ibu Paenem hanya memberikan teguran saja agar Teguh dapat menyeimbangkan kegiatan kuda lumping dan kegiatan di rumah serta menjalankan kewajiban umat islam

2. Nama : Bapak Muryanto Usia : 50 Tahun

Pekerjaan : Petani Sawit

Alamat : Desa Batang Pane III, Blok A, RT III

Untuk mencari informasi mengenai anak yang diberikan izin oleh orang tuanya menjadi anggota kuda lumping peneliti terus menuju ke rumah Bapak Muryanto. Masyarakat memangilnya dengan sebutan Pak Mur. Pak Mur sangat bersikap ramah saat peneiliti mengutarakan maksud dan tujuan peneliti kepada Pak Mur. Pak Mur memiliki anak 3 orang dimana 2 anak laki dan 1 anak perempuan. Kedua anak laki-lakinya menjadi anggota kuda lumping. Beliau memberikan izin kepada anak-anaknya untuk menjadi anggota kuda lumping karena kuda lumping merupakan salah satu peninggalan dari kesenian tradisional yang masih mampu bersaing dengan kebudayaan asing.


(3)

Dengan menjadikan anak-anaknya berkecimpung di kesenian kuda lumping berarti ikut melestarikan kesenian tradisional Jawa. Selain itu Pak Mur juga merupakan salah satu penggerak kesenian kuda lumping pada awal berdirinya sanggar 3 in 1 yang sekarang lebih dikenal masyarakat dengan sebutan sanggar Turonggo Madiyo Budoyo.

Tidak ada masalah bagi Pak Mur ketika anak-anaknya lebih mementingkan waktu belajar untuk kuda lumping di bandingkan belajar untuk sekolah. Beliau dapat memahami dengan sikap anak-anaknya. Di kesenian kuda lumping kedua anaknya bebas berekspresi dan menuangkan semua kemauannya. Tidak seperti pelajaran sekolah yang membuat anak-anaknya selalu mengeluh pusing. Kemauan anak tidak dapat dilarang, sehingga Beliau mengikuti kemauan anak-anaknya dan yang terpenting anak-anaknya masih mau untuk tetap sekolah.

3. Nama : Ibu Dimah Usia : 43 Tahun

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Desa Batang Pane II, Blok A, RT I

Peneliti kembali menelusuri jalan dan menuju ke rumah Ibu Dimah. Saat peneliti tiba di rumah Ibu Dimah, Ibu Dimah sedang duduk santai di tengah rumahnya. Kemudian peneliti di persilahkan masuk dan peneliti langsung mengutarakan maksud dan tujuan kedatangan peneliti menghampiri Ibu Dimah.

Ibu Dimah sangat terbuka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan peneliti kepada Ibu Dimah. Beliau memiliki anak 2 orang dan salah satu anaknya yang bernama Yadi menjadi anggota kuda lumping. Beliau tidak setuju anaknya menjadi anggota kuda lumping. Beliau beranggapan menjadi anggota kuda lumping termasuk perbuatan syirik. Perbuatan syirik di dalam ajaran agama islam sangatlah bertentangan. Letak dari perbuatan syirik itu berupa menyembah atau memuja-muja endang sebagai roh halus yang dapat melancarkan kegiatan kuda lumping. Dalam kesurupan yang memakan ayam hidup-hidup


(4)

sangatlah dilarang dalam ajaran Islam, dan anaknya sudah tidak tepat waktu menjalankan shalat 5 waktu serta kurang membaca al-qur’an.

Beliau sangat menyesali ketika anaknya menjadi anggota kuda lumping dan tidak mau meneruskan pendidikan pesantren di Jawa. Kuda lumping memberikan pengaruh yang sangat luar biasa yang bisa menguasai anaknya menjadi pembangkang, dan tidak taat untuk mematuhi peraturan orang tua. Dari pengaruh kuda lumping atau endang yang dimiliki, Beliau hanya mampu menegur dan berdo’a kepada Tuhan Yang Maha Esa agar anaknya segera diberi kesadaran dan bisa berkurang dari pengaruh endang kuda lumping.

4. Nama : Bapak Ahmad Yenni Usia : 32 Tahun

Pekerjaan : Petani Sawit dan Pemukul Gambah Alamat : Desa Batang Pane II, Blok A, RT I

Saat peneliti mewawancarai Bapak Yenni yang berusia 32 tahun ini, beliau sedang memiliki kesibukan untuk pergi membantu orang pesta atau masyarakat setempat menyebutkan dengan istilah rewang. Jadi peneliti hanya diberi waktu 30 menit untuk melakukan wawancara dengan beliau. Bapak Yenni ini memiliki anak 3 orang.Ketiga anaknya semua berjenis kelamin laki-laki. Dari ketiga anaknya tersebut hanya anak pertama saja yang ikut menjadi anggota kuda lumping di sanggar Turonggo Madiyo Budoyo.

Bapak Yenni adalah orang tua dari Eko Hariyanto. Beliau mengizinkan anaknya untuk menjadi anggota kuda lumping. Hal ini dikarenakan beliau juga ikut dalam anggota kepengurusan sanggar Turonggo Madiyo Budoyo. Selain itu, beliau sangat senang ketika anaknya pamitan kepada beliau untuk menjadi anggota lumping, tanpa harus memaksakan kehendak beliau untuk menjadikan anaknya masuk ke sanggar Turonggo Madiyo Budoyo. Menurut beliau memberikan izin kepada anak untuk masuk menjadi


(5)

anggota kuda lumping berarti telah ikut serta melestarikan kesenian tradisional Jawa yang telah di wariskan secara turun-temurun oleh keluarga beliau di daerah perantauan. Dengan hal tersebut, membantu kesenian tradisonal jawa agar tidak ada di daerah perantauan dan masyarakat di luar suku jawa dapat mengenal kesenian jawa.

Menurut hasil wawancara peneliti dengan Bapak Yenni diperoleh informasi bahwasanya tidak ada perbedaan pertunjukan kuda lumping zaman dahulu dengan zaman sekarang. Pertunjukan kuda lumping di tampilkan dengan tujuan untuk dapat menghibur orang banyak. Tidak ada perubahan yang terlalu mencolok dari anaknya sebelum ikut kuda lumping dan sesudah ikut menjadi anggota kuda lumping. Anaknya tetap menjadi kepribadian yang riang dan mudah di nasehati. Jikapun terjadi perubahan sikap pada diri anaknya itu merupakan pengaruh dari endang yang dimiliki anaknya menjadi anggota kuda lumping. Beliau sangat memaklumi dan mengerti akan perubahan tersebut.

5. Nama : Ibu Rohayati Usia : 37 Tahun

Pekerjaan : Petani Sawit dan Ibu Rumah Tangga Alamat : Desa Batang Pane II, Blok A, RT I

Saat pertama peneliti datang ke rumah Ibu Rohayati, beliau sedang mengambil air minum ke rumah tetangganya. Jadi peneliti harus menunggu di depan rumah beliau. Setelah beliau menyelesaikan pekerjaanya dan menemui peneliti, peneliti langsung mengutarakan maksud dan tujuan dari kedatangan peneliti. Dari hasil wawancara bersama dengan beliau diperoleh informasi bahwa beliau memiliki anak 2 orang. Dari kedua anaknya semua ikut menjadi anggota kuda lumping.

Ibu Yati adalah orang tua dari Putri Hidayati. Beliau sangat menyetujui kedua nakanya menjadi anggota kuda lumping. Dengan alasan melestarikan warisan kesenian jawa, anak juga dapat mengenal


(6)

kesenian jawa sejak usia dini. Selain itu, kedua anaknya dapat membantu perekonomian keluarga. Kedua anaknya mendapatkan imbalan yang cukup membantu perekonomian keluarga, dan pawang sanggar Turonggo Madiyo Budoyo juga terkadang memberikan bantuan kepada keluarga Ibu Yati untuk kebuthan sehari-harinya.