48 jabatan tertinggi sekalipun dalam karirnya selama pekerjaan tersebut halal dan
mereka sanggup dengan terjaganya batasan-batasan syariat. Dibolehkannya perempuan bekerja dan berperan dalam bidang politik.
Namun, jabatan kontroversial masih menjadi bahan perbedaan pandangan para ulama. Dimana sebagian ulama masih menganggap jabatan ini tidak layak bagi
seorang perempuan, tetapi dalam perkembangan masyarakat dari zaman ke zaman pendukung pendapat ini semakin berkurang. Bahkan, al-Maududi yang dikenal
dan dinilai sebagai ulama lebih tekstual mempertahankan ajaran Islam sudah memberikan dukungan kepada perempuan untuk menduduki jabatan perdana
menteri di Pakistan.
91
B. Ulama dalam Perpolitikan
1. Pengertian Ulama
Istilah ulama dalam Alquran adalah orang yang takut pada Allah Swt dan melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang,
92
sementara dalam kamus bahasa Indonesia adalah kata ulama bearti orang yang ahli dalam hal atau dalam
pengetahuan agama Islam alim.
93
Kata ulama di Aceh disebutkan dengan istilah Teungku dipanggil untuk orang yang berasal dari Dayah meskipun baru menginjak kakinya di Dayah baik
laki-laki maupun perempuan, sementara istilah Abuya, Teungku Syik, Abu, dan Abon dikhususkan bagi ulama yang telah teruji keilmuannya dan kesalehannya,
tidak terjadi kontradiksi antara ilmu yang diajarkan dengan pengalaman keilmuan dalam keseharian, disamping itu ulama juga mempunyai dayah sendiri sebagai
tempat mewariskan keilmuan yang dimiliki. Seperti ulama Abuya Syekh Muda Waly, yang mana Abuya berasal dari baha
sa arab yang artinya “bapak tercinta”, panggilan tersebut bisa jadi ada pengaruh dengan tradisi Minangkabau sumatera
barat, kemudian sering digunakan di Aceh seperti Teungku Syik Kruengkale,
91
Nasaruddin Umar, Akhlak Perempuan..., h. 314.
92
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, Bandung: Syaamil Cipta Media, 2005.
93
Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, Jakarta: Pustaka Amani, h. 597.
49 Teungku Syik Tanoh Abe, Abu Usman Kuta Krueng, Abon Samalanga dan lain-
lain.
94
Sejak dahulu istilah ulama khusus melekat pada orang yang banyak tahu tentang ilmu-ilmu agama Islam seperti tauhid, ilmu Fiqh dan ushul Fiqh, tafsir,
hadis dan ilmu hadis, akhlaq dan ilmu Arab. Bahkan ulama tersebut tidak hanya menguasai ilmu yang dipelajari namun mengamalkannya dengan sepenuh hati,
karena takut kepada Allah Swt. Seperti sesuai dengan Alquran yang berbunyi:
Artinya: “Dan demikian pula diantara manusia, makhluk bergerak yang
bernyawa dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya jenisnya. Diantara hamba-hamba Allah yang takut kepada-
Nya, hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Maha perkasa, Maha pengampun
”.Q.S. Fathir: 28.
95
Firman Allah Ta‟ala, Sesungguhnya yang takut kepada Allah Swt di antara hamba-hambanya hanyalah ulama yang memahami tentang Agama Islam. Jika
pemahaman tentang yang Maha Agung, yang Maha Kuasa, yang Maha Mengetahui, yang memiliki aneka sifat kesempurnaan, dan yang disifati dengan
nama-nama yang bagus itu sempurna dan utuh, maka rasa takut terhadap-Nya akan lebih besar, lebih kuat, dan lebih konsisten. Orang alim ialah yang takut
kepada Tuhan Yang Maha Pemurah dengan kegaiban perkara yang dimurkai Allah Swt.
96
Pada masa penjajahan Belanda di Aceh ulama juga memiliki peran yang amat besar dalam mempertahankan kedaulatan negara dari penjajahan. Ulama
pada saat itu tidak hanya sebagai pemimpin agama dan pengawal S yari‟at Islam
94
Mukhlisah, et. all., Percikan perempuan Aceh, Banda Aceh: yayasan Pena, 2007, h.1- 3.
95
Departen agama RI, Alquran Terjemahan..., h. 437.
96
Muhammad Nasib Ar- Rifa‟i, Kemudahan dari Allah; Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir,
Jakarta: Gema Insani Press, 1999, h. 964-965.
50 dalam masyarakat tetapi juga berperan sebagai pemimpin umat secara formal.
Ketika itu ulama melakukan peran ganda disamping sebagai orang yang memiliki otoritas di bidang agama dan mengajar agama kepada masyarakat juga berfungsi
sebagai pemimpin umat dalam berbagai hal dan sekaligus menjadi tempat berlindung.
Sikap ulama saat itu berada pada posisi yang berbeda dengan pemerintahan, ulama tidak mendukung kebijakan pemerintahan Belanda. Karena
pemerintah saat itu adalah diperintah oleh orang kafir, maka setiap kebijakannya tidak boleh didukung dan tidak boleh taat terhadap pemerintah yang di pimpin
oleh orang kafir. Pemerintahan Belanda hanya memeberikan beberapa kewenangan kepada ulama dalam menyelesaikan perkara yang tidak mengganggu
politik pemerintahan Belanda, yaitu dalam masalah harta warisan, perkawinan, dan perceraian. Tugas ulama sebagai warasat al-
Anbiya‟ tetap menjalankan misinya mengajarkan agama Islam, menegakkan syari‟at Islam.
97
Di masa awal Indonesia merdeka peran ulama masih sangat penting dalam masyarakat, ulama masih tetap menjadi pengayom masyarakat. Bahwa
masyarakat Aceh menaruh kepercayaannya kepada pemerintahan dan lembaga- lembaga lainnya. Namun dalam pemerintahan itu sendiri peran ulama mulai
berkurang, bahkan terkesan ulama mulai tidak lagi berperan sebagaimana masa- masa sebelumnya. Ulama dianggap sebagai penghalang kebijakan pemerintahan
dan ulama dianggap tidak mendukung program pemerintah. Hal ini dipicu oleh adanya anggapan bahwa ulama menginginkan berdirinya negara Islam, dan
hukum yang berlaku adalah hukum Islam. Sementara pemerintah menginginkan negara sekuler dengan menggunakan hukum sekuler pula. Sebenarnya keinginan
ulama tersebut sangat mendasar, di mana dalam masa yang cukup lama Aceh sudah terbiasa dengan syari‟at Islam, dan garis perjuanganpun didasarkan kepada
penerapan syari‟at Islam. Maka hampir semua komando perang melawan penjajah
berada di tangan ulama. Ketika masa perjuangan mempertahankan Negara Kesatuan Republik
Indonesia dari agresi Belanda yang kedua. Soekarno mengajak ulama Aceh untuk
97
Hafifuddin, Ulama dan Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh..., h. 4.
51 berjuang mengusir penjajahan Belanda dan berjanji untuk memenuhi permintaan
ulama memberikan hak untuk Aceh menerapkan S yari‟at Islam. Namun
kenyataannya setelah para ulama bersama masyarakat berjuang dengan gigih mengusir Belanda dan mampu mempertahankan Indonesia dari agresi penjajah
Belanda yang kedua kali, ternyata janji presiden Soekarno tidak pernah terealisasi. Ulama menagih janji pemerintah agar syari‟at Islam harus diterapkan di Aceh,
tetapi pemerintah tetap pada pendiriannya bahwa Indonesia adalah Negara Pancasila bukan Negara Agama. Maka saat itu hubungan antara ulama dan
pemerintah mulai tidak harmonis, bahkan pemerintah selalu mencurigai gerak- gerik ulama Aceh sebagai pengkritik dan pembenrontak.
98
2. Peranan Ulama dalam Masyarakat