Laporan Akhir 23
e. Gangguan Estetika. Lahan yang terisi sampah secara terbuka akan
menimbulkan kesan pandangan yang sangat buruk sehingga mempengaruhi estetika lingkungan sekitarnya. Hal ini dapat terjadi baik di lingkungan
permukiman atau juga lahan pembuangan sampah lainnya. Proses pembongkaran dan pemuatan sampah di sekitar lokasi pengumpulan
sangat mungkin menimbulkan tumpahan sampah yang bila tidak segera diatasi akan menyebabkan gangguan lingkungan. Demikian pula dengan ceceran sampah
dari kendaraan pengangkut sering terjadi bila kendaraan tidak dilengkapi dengan penutup yang memadai.
Di TPA ceceran sampah terutama berasal dari kegiatan pembongkaran yang tertiup angin atau ceceran dari kendaraan pengangkut. Pembongkaran sampah di
dalam area pengolahan maupun ceceran sampah dari truk pengangkut akan mengurangi estetika lingkungan sekitarnya
Sarana pengumpulan dan pengangkutan yang tidak terawat dengan baik merupakan sumber pandangan yang tidak baik bagi daerah yang dilalui. Lokasi
TPA umumnya didominasi oleh ceceran sampah baik akibat pengangkutan yang kurang baik, aktivitas pemulung maupun tiupan angin pada lokasi yang sedang
dioperasikan. Hal ini menimbulkan pandangan yang tidak menyenangkan bagi masyarakat yang melintasi tinggal berdekatan dengan lokasi tersebut.
f. Kemacetan Lalu lintas. Lokasi penempatan sarana prasarana pengumpulan
sampah yang biasanya berdekatan dengan sumber potensial seperti pasar, pertokoan, dan lain‐lain serta kegiatan bongkar muat sampah berpotensi
menimbulkan gangguan terhadap arus lalu lintas. Arus lalu lintas angkutan sampah terutama pada lokasi tertentu seperti transfer
station atau TPA berpotensi menjadi gerakan kendaraan berat yang dapat mengganggu lalu lintas lain; terutama bila tidak dilakukan upaya‐upaya khusus
untuk mengantisipasinya.
Laporan Akhir 24
Arus kendaraan pengangkut sampah masuk dan keluar dari lokasi pengolahan akan berpotensi menimbulkan gangguan terhadap lalu lintas di sekitarnya
terutama berupa kemacetan pada jam‐jam kedatangan. Pada TPA besar dengan frekwensi kedatangan truck yang tinggi sering
menimbulkan kemacetan pada jam puncak terutama bila TPA terletak berdekatan dengan jalan umum.
g. Gangguan Kebisingan
Kebisingan akibat lalu lintas kendaraan berat truck timbul dari mesin‐mesin, bunyi rem, gerakan bongkar muat hidrolik, dan lain‐lain yang dapat mengganggu
daerah‐daerah sensitif di sekitarnya. Di instalasi pengolahan kebisingan timbul akibat lalu lintas kendaraan truk
sampah disamping akibat bunyi mesin pengolahan tertutama bila digunakan mesin pencacah sampah atau shredder.
Kebisingan di sekitar lokasi TPA timbul akibat lalu lintas kendaraan pengangkut sampah menuju dan meninggalkan TPA; disamping operasi alat berat yang ada.
h. Dampak Sosial
Hampir tidak ada orang yang akan merasa senang dengan adanya pembangunan tempat pembuangan sampah di dekat permukimannya. Karenanya tidak jarang
menimbulkan sikap menentang oposisi dari masyarakat dan munculnya keresahan. Sikap oposisi ini secara rasional akan terus meningkat seiring dengan
peningkatan pendidikan dan taraf hidup mereka, sehingga sangat penting untuk mempertimbangkan dampak ini dan mengambil langkah‐langkah aktif untuk
menghindarinya.
2.3.2. Resiko Lingkungan
Laporan Akhir 25
Komponen lingkungan yang diperkirakan akan terkena dampak akibat adanya kegiatan pembangunan sistem penyediaan air bersih akan mencakup:
a. Geo‐fisik‐Kimia; yang meliputi: kuantitas dan kualitas air tanahpermukaan, kualitas udara, kondisi tanah, dan kebisingan
b. Biologis: baik keanekaragaman maupun kondisi florafauna c. Sosio ekonomi budaya; yang meliputi: kependudukan, kesehatan
masyarakat, pola kehidupan masyarakat, mata pencaharian, estetika, kecemburuan masyarakat, persepsi masyarakat terhadap
proyek, nilai jual tanah, situs sejarah, adat, dan lain‐lain d. Prasarana umum: jalan, saluran drainase, jaringan PLNTelkom,
perpipaan air bersih air limbah, dll
2.4. Tempat Pembuangan Akhir
TPA merupakan fasilitas fisik yang digunakan untuk tempat pengolahan akhir sampah. Pada TPA sistem sanitary landfill, sampah yang diolah akan ditimbun
merata secara berlapis, kemudian dipadatkan dan ditutup dengan tanah atau material lain pada setiap akhir hari operasi Tchobanolous dkk., 1993. Sampah
yang ditimbun di TPA akan mengalami reaksi fisik, kimia dan biologi secara bersama‐sama serta saling berhubungan melalui proses dekomposisi sampah
yang kemudian akan menghasilkan gas landfill CO2, CH4, dan H2S dan cairan lindi sampah leachate. Leachate menjadi hal yang penting diperhatikan dalam
pengoperasian dan pengelolaan TPA karena memiliki sifat mudah bereaksi dengan air, tanah maupun udara sehingga dapat mengakibatkan pencemaran
lingkungan. Sedangkan gas landfill yang terbentuk akan meningkatkan tekanan internal TPA yang dapat menyebabkan terjadinya self combustion, keretakan dan
bocornya tanah penutup. Untuk meminimalkan resiko lingkungan tersebut, maka penentuan lokasi TPA
harus memenuhi syarat‐syarat kelayakan lingkungan. Menurut Rahman dkk.
Laporan Akhir 26
2008, penentuan lokasi TPA harus memperhatikan karakteristik lokasi, kondisi sosial ekonomi masyarakat, ekologi dan faktor penggunaan lahan. Rahmatiyah
2002 menjelaskan lebih rinci bahwa proses pemilihan lokasi TPA perlu mempertimbangkan tiga hal penting, yaitu :
1. pertimbangan operasional; secara operasional TPA memerlukan lahan yang cukup untuk menampung segala jenis sampah dan zonesi
ketersediaan lahan harus memperhatikan rencana regional serta aspek aksesibilitas keterjangkauan;
2. pertimbangan ekologi; yang perlu diperhatikan adalah keberlanjutan lokasi TPA setelah tidak dipergunakan lagi;
3. pertimbangan topografi, geologi dan hidrologi; lebih mengarah pada aspek persyaratan fisik lahan, misalnya berdasarkan relief atau topografi
dapat dipilih lokasi‐lokasi yang bebas dari bahaya banjir ataupun erosi dan berdasarkan aspek hidrologi, lokasi TPA harus berada di wilayah dengan
muka air tanah yang dalam, sehingga lindi sampah tidak mencemari air tanah.
Di Indonesia, penentuan lokasi TPA dilakukan berdasarkan Standar Nasional Indonesia SNI 03‐3241‐1994 yang membagi kriteria pemilihan lokasi TPA
menjadi tiga, yaitu : a kelayakan regional untuk menentukan zone layak atau zone tidak layak,
b kelayakan penyisih untuk menentukan tingkat kesesuaian dari beberapa alternatif lokasi yang telah diperoleh pada penilaian tahap
pertama, c kelayakan rekomendasi untuk menetapkan lokasi terbaik dari beberapa
alternatif lokasi yang telah diperoleh pada penilaian sebelumnya. Penelitian ini diawali dengan penentuan kriteria pemilihan lokasi TPA
Laporan Akhir 27
berdasarkan SNI 03‐ 3241‐1994 tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah. Pada penelitian ini ditetapkan 15 kriteria pemilihan
lokasi TPA, yang dikelompokkan dalam dua kategori kelayakan, yaitu ; a kelayakan regional, meliputi ; kemiringan lereng, kondisi geologi, jarak
terhadap badan air, jarak terhadap permukiman penduduk, jarak terhadap kawasan budidaya pertanian, jarak terhadap kawasan
lindung, jarak terhadap lapangan terbang, dan jarak terhadap perbatasan daerah,
b kelayakan penyisih, meliputi ; luas lahan, zona penyangga, permeabilitas tanah, kedalaman muka air tanah, intensitas hujan,
bahaya banjir dan transportasi sampah. Selanjutnya dilakukan pengumpulan dan olah data spasial masing‐masing kriteria
tersebut dengan memanfaatkan peta tematik. Penentuan lokasi TPA dilakukan melalui tiga tahap penilaian. Penilaian tahap pertama dilakukan dengan metode
binary untuk menentukan zone layak atau tidak layak sebagai lokasi TPA berdasarkan delapan kriteria penilaian kelayakan regional. Pada lahan yang
memenuhi kriteria penilaian diberi nilai 1 dan lahan yang tidak memenuhi kriteria penilaian diberi nilai 0. Sehingga zone layak TPA ditetapkan apabila nilai lahan
mencapai jumlah maksimal delapan. Penilaian tahap kedua dilakukan dengan metode Analytical Hierarchy Process AHP dan Weighted Linear Combination
WLC untuk menentukan tingkat kesesuaian lahan dari beberapa alternatif lokasi yang telah diperoleh pada penilaian tahap pertama berdasarkan tujuh kriteria
penilaian kelayakan penyisih. AHP digunakan untuk menentukan bobot dan nilai dari masing‐masing kriteria penilaian, sedangkan WLC digunakan untuk operasi
perhitungan nilai kesesuaian sebagai lokasi TPA. Hasil penilaian tingkat kesesuaian lahan masing‐masing lokasi dikelompokan
dalam 5 tingkat kesesuaian, yaitu : sangat rendah 30‐41, rendah 42‐53, sedang
Laporan Akhir 28
54‐65, tinggi 66‐77 dan sangat tinggi 78‐90. Penilaian tahap ketiga kelayakan rekomendasi dilakukan dengan metode overlay peta hasil penilaian tahap
sebelumnya dengan Peta Rencana Umum Tata Ruang Kabupaten Klungkung untuk menetapkan lokasi terbaik dari beberapa alternatif lokasi yang telah
diperoleh pada penilaian sebelumnya.
Laporan Akhir 29
Laporan Akhir 30
Laporan Akhir 31
BAB III KAJIAN PENGELOLAAN TPA SENTE
3.1. Aspek Sejarah