Laporan Akhir 32
Ditinjau  dari  aspek  pemilihan  lokasi,  luas  lahan  dan  penanganan  tambal sulam  dalam  mengatasi  melubernya  sampah,  mengindikasikan  adanya
perencanaan  yang  tidak  matang,  karena  memang  pada  awalnya  lokasi  tersebut tidak dimaksudkan sebagai TPA secara profesional, akan tetapi secara historisnya
berpijak pada kondisi darurat. Artinya, segala permasalahan yang timbul baik dari dimensi  fisik  maupun  sosial  budaya  tidak  diprediksi  sedari  awal,  dan
penanganannya pun bersifat post factum setelah ada kasus baru ditindaklanjuti. Perkembangan  saat  ini,  TPA  Sente  sempat  mengalami  ledakan  sehingga
menimbulkan  keresahan  masyarakat  sekitarnya,  terutama  mereka  yang bermukim di Banjar Sente. Letaknya yang tidak terlalu jauh dan berada persis di
bawah TPA menyebabkan masyarakat banjar ini merasa sebagai pihak yang paling mendapatkan efek buruk dari beroperasinya TPA Sente. Selama hampir 20 tahun
masyarakat  merasa  kualitas  kesehatan  mereka  menurun,  karena  banjar  mereka hampir  selalu  diselimuti  asap  hasil  pembakaran  sampah.  Pun,  mereka
mengeluhkan serbuan lalat dan aroma kurang sedap yang acapkali terhirup. Pasca  adanya  ledakan,  Masyarakat  Banjar  Sente  sempat  mengajukan
protes  yang  ditujukan  kepada  Pemerintah  Kabupaten  Klungkung,  dan  menuntut agar  TPA  tersebut  ditutup.  Berkat  kesigapan  Pemkab,  dengan  diadakannya
audiensi  antara  pemerintah  yang  langsung  diwakili  oleh  Bupati  Klungkung, aspirasi masyarakat diakomodir, sehingga gejolak sosial tersebut dapat diredam.
3.2.  Identifikasi Kondisi Persampahan di Kabupaten Klungkung
Berdasarkah  hasil  evaluasi  kebersihan  kota‐kota  di  Indonesia,  disimpulkan bahwa  tidak  seluruh  sampah  dibuang  ke  TPA.  Menurut  Damanhuri,2004,  hal
tersebut  disebabkan  pengelolaan  sampah  saat  ini  masih  mengandalkan  sistem kumpul‐angkut‐buang. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengurangi beban
dalam  penanganan  sampah  yaitu  dengan  mereduksi  volume  sampah  baik  dari sumber  maupun  di  tempat  pengolahan  sampah.  Sampah  mempunyai  potensi
untuk  didaur  ulang.  Proses  daur  ulang  harus  memperhatikan  komposisi  dan
Laporan Akhir 33
karakteristik sampah yang dominan. Proses daur ulang juga dilakukan di sumber timbulan dan TPS atau pada skala kawasan, sehingga dapat meminimalkan biaya
pengangkutan ke TPA . Pengelolaan sampah terintegrasi atau terpadu dapat didefinisikan sebagai
pemilihan  dan  penerapan  teknik‐teknik,  teknologi,  dan  program‐program manajemen  yang  sesuai  untuk  mencapai  sasaran  dan  tujuan  yang  spesifik
pengelolaan  sampah.  Menurut  Tchobanoglous,  1997,  pengelolaan  sampah terpadu  yakni:  pengurangan  sampah  di  awal  sumber  source  reduction,  daur
ulang  recycling,  pengolahan  limbah  waste  transformastion  dan  landfilling. Namun,  pada  intinya,  setiap  elemen  pada  konsep  pengelolaan  sampah
terpaduterintegrasi harus berjalan dengan semestinya dan terus dikembangkan karena  saling  berkesinambungan  serta  saling  melengkapi  satu  dengan  yang
lainnya. Contohnya, tahap kegiatan daur ulang baru bisa berjalan ketika kegiatan pengurangan  sampah  di  awal  sumber  telah  berjalan.  Sama  halnya  dengan
pengolahan  limbah  dapat  dilakukan  setelah  kegiatan  daur  ulang  telah  berjalan, sehingga  sampah  yang  diolah  hanyalah  sampah  yang  tidak  dapat  didaur  ulang.
Sesuai  dengan  Permen  PU  21PRTM2006  tentang  Kebijakan  dan  Strategi Nasional  Pengembangan  Persampahan,  yang  diperlukan  suatu  perubahan
paradigma  yang  lebih  mengedepankan  proses  pengelolaan  sampah  yang  ramah lingkungan,  yaitu  dengan  melakukan  upaya  pengurangan  dan  pemanfaatan
sampah  sebelum  akhirnya  dibuang  ke  TPA  target  20  pada  tahun  2010. Paradigma baru tersebut adalah konsep 3R dalam konsumsi dan pola produksi di
semua tingkatan dengan memberikan prioritas tertinggi bagi pengolahan limbah yang  berorientasi  pada  timbulan  sampah,  minimasi  limbah  dengan
memanfaatkan  barang  yang  dapat  digunakan  lagi  dan  barang  yang  dapat didekomposisi  secara  biologis,dan  penerapan  pembangunan  limbah  yang  ramah
lingkungan. Menurut  data  dari  Kantor  Lingkungan  Hidup  Kabupaten  Klungkung,
karakteristik  sampah  yang  dihasilkan  dibedakan  atas  sampah  organik
Laporan Akhir 34
dedaunan,kertas  dan  sampah  anorganik    plastic,  besi  dan  sebagainya. Umumnya  sampah  organik  di  Bali  adalah  sekitar  75  dan  selebihnya  sampah
anorganik sekitar 25 . Perbedaan karakteristik sampah ini akan mempengaruhi strategi  dan  cara  pengolahan  sampah  sehingga  sampah‐sampah  yang  dihasilkan
benar‐benar dapat menjadi sumberdaya yang akan memberikan nilai tambah dan peningkatan penghasilan bagi masyarakat.
Volume  Timbulan  Sampah  Di  Kabupaten  Klungkung  berdasarkan  hasil perhitungan  dan  penelitian  di  lapangan,  menghasilkan  rata‐rata  sebanyak  123,7
m3  hari  dengan  kepadatan  sampah  densitas  sebesar  0.704  kgL.  Rata‐rata komposisi fisik sampah dari tiap‐tiap komposisi sampah pemukiman berdasarkan
hasil  penelitian  di  lapangan.  Komposisi  fisik  sampah  di  Kecamatan  Banjarangkan didominasi  oleh  sampah  basah  yaitu  sebesar  59.  sedangkan  sampah  plastik
sebesar 22, sampah kertas sebesar 7, sampah kayu sebesar 6, dan sampah karetkulit sebesar 6.
3.3.  Identifikasi Pengelolaan Sampah di TPA Sente