Desi Dahlan, M.Pd. 10
E. Permasalahan yang Terkait Regulasi SKB Lima Menteri Sehubungan dengan Pemenuhan Beban Kerja Guru
Pemberlakukan SKB lima menteri yang dilatarbelakangi oleh permasalahan ketimpangan distribusi dan bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan di seluruh
Indonesia. Sebelumnya beban kerja minimal 24 jam minggu telah diberlakukan, namun masih terdapat pengakuan ekuivalensi jam selain jam tatap muka di kelas. Dengan SKB
lima menteri ini, beban kerja minimal 24 jamminggu betul-betul merupakan jam tatap muka di kelas sehingga timbul berbagai permasalahan. Secara umum permasalahannya
adalah terjadinya kekacauan, ketidakharmonisan diantara banyak guru, dan banyak guru kehilangan pekerjaan serta terancam dicabut tunjangan sertifikasinya. Untuk lebih
jelasnya, permasalahan yang terjadi, antara lain sebagai berikut ini.
1. Kecenderungan Tugas Guru hanya untuk Mengajar pada Jam Tatap Muka. Tuntutan beban kerja minimal 24 jam tatap mukaminggu dirasa cukup berat.
Tugas guru yang diamanatkan dalam Undang-undang Guru dan Dosen Nomor 14 tahun 2005 untuk mendidik, mengajar, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi masih jauh dari harapan. Hal ini disebabkan tenaga dan pikiran yang cukup banyak terpakai untuk jam tatap muka di kelas. Pemenuhan jam minimal pada
sebagian sekolah terkadang diperoleh dengan penambahan struktur kurikulum minimal. Berdasarkan SKB 5 menteri, sekolah harus melakukan penghitungan beban
mengajar dengan struktur kurikulum minimal. Konsekwensinya pelaksanaan struktur kurikulum minimal adalah sebagian guru PNS pada satuan pendidikan tertentu tidak
mampu memenuhi kewajiban mengajar 24 jam. Sehingga pada praktiknya banyak sekolah yang mengembangkan struktur program kurikulum maksimal. Namun
terkadang penambahan struktur kurikulum terlalu atau over , sehingga dirasa di luar batas kewajaran. Menurut struktur kurikulum minimal Jumlah jam pelajaran per
minggu 38 jam, dengan struktur kurikulum maksimal menjadi lebih besar dari 38 jam, bahkan ada yang mencapai 50 jamminggu.
Mengajar dengan jumlah jam tatap muka yang cukup banyak dengan kondisi raw input guru yang memang bermasalah telah menghasilkan mutu guru yang tidak
siap berkembang menjadi profesional. Tunjangan pendapatan guru melalui program sertifikasi, dalam prakteknya dianggap jauh dari harapan. Kemendikbud sendiri
menilai bahwa program sertifikasi tidak signifikan dalam meningkatkan mutu dan profesionalisme guru.
Desi Dahlan, M.Pd. 11
2. Guru Mengajar di Beberapa Sekolah. Kekurangan jam minimal tatap muka 24 jam mengakibatkan guru-guru berusaha
untuk mencukupkan jam mengajar di sekolah lain, berarti guru harus mengajar di beberapa tempat. Hal itu tentunya membutuhkan waktu, biaya, dan tenaga yang
lebih banyak, sehingga tidak efisien. Ketidakefisienan akan tampak sekali untuk daerah-daerah di Pulau Kalimantan bahkan di beberapa daerah di Sumatera Barat
yang jarak antar sekolahnya berjauhan, demikian pula jarak antara satu KabupatenKota dengan KabupatenKota lainnya. Seandainya tuntutan mengajar yang
diberikan kepada guru terlalu berat, kemungkinan besar guru menjadi kurang konsentrasi dan selanjutnya peserta didik yang menjadi korbannya. Selain itu dengan
terbuangnya waktu dengan banyaknya jam mengajar, apalagi jika mengajar di sekolah lain yang membutuhkan waktu perjalanan yang cukup lama akan mengakibatkan guru
tidak memiliki waktu untuk membaca menulis dan melakukan kegiatan peningkatan profesionalisme.
3. Hilangnya jumlah jam guru nonsertifikasi dan kesempatan mengajar guru honorer. Sebelum dikeluarkannya SKB lima menteri, beban mengajar mata pelajaran umumnya
dibagi merata kepada sejumlah guru yang ada di sekolah. Namun, setelah keluarnya aturan setiap guru wajib memiliki beban mengajar minimal 24 jam pelajaran per
minggu, beban mengajar untuk guru nonsertifikasi disunat. Guru honorer pun telah dan berpotensi diberhentikan dari sekolah negeri. Hal ini dilakukan untuk mencapai
target 24 jam mengajar, maka sekolah negeri memprioritaskan guru PNS untuk memenuhi beban mengajar. Juknis SKB Lima Menteri menyatakan pada sub bagian
Menata guru yang belum mengajar untuk mengajar pada sekolah lain bahwa Wajib mengajar paling sedikit 24 jam tatap muka dalam 1 satu minggu dapat dipenuhi
dengan mengajar di sekolah lain baik negeri maupun swasta sesuai dengan mata pelajaran yang diampu pada KabupatenKota tempat sekolah tersebut berada atau
KabupatenKota lain.
4. Terancamnya Tunjangan Profesi. Selama ini, masih banyak guru yang menikmati tunjangan profesi dengan adanya
ekuivalensi jam. Dengan diberlakukannya SKB lima menteri, maka jam minimal tatap muka tidak lagi dapat dipenuhi sehingga konsekuensinya tidak menerima tunjangan
profesi. Akibat dari jumlah jam mengajar yang tidak mencapai 24 jam memang sudah tampak seperti diberitakan bahwa tunjangan 710 guru di Kabupaten Tanah Datar,
Sumatera Barat tidak bisa dibayarkan Kompas.com, 24 Agustus 2012. Hal ini
Desi Dahlan, M.Pd. 12
disebakan Pemerintah Kabupaten terlambat mengantisipasi SKB 5 Menteri Kompas.com, 29 Agustus 2012 karena pada saat itu sedang dilakukan pendataan dan
verifikasi terhadap guru penerima tunjangan sertifikasi. Data guru Kabupaten Bogor juga memperlihatkan bahwa pada tahun 2012 dari 251 guru PNS di SMAN yang sudah
sertifikasi, sebanyak 20,32 persen 51 orang memiliki jumlah jam mengajar kurang dari 24 jam. Dengan demikian masih cukup banyak guru yang belum memenuhi
persyaratan menerima tunjangan profesi.
5. Hilangnya budaya ilmiah. Dengan banyaknya jam mengajar yang harus dipenuhi akan menyebabkan hilangnya
waktu bagi guru untuk membaca dan menulis. Tambahan beban mengajar dan kewajiban guru untuk melakukan penelitian atau bahkan publikasi karya ilmiah
sebagai persyaratan kenaikaan pangkat atau golongan, jelas-jelas kurang sesuai dengan upaya peningkatan profesionalisme.
6. Ketidakharmonisan diantara guru dan bertentangan dengan pendidikan karakter. Dampak dari beban kerja guru adalah persaingan antar guru untuk berebut jam
pelajaran. Permendiknas hanya menghitung jam tatap muka dalam kelas sebagai patokan untuk memberi tunjangan sertifikasi. Sementara, pada dasarnya pendidikan di
luar kelas jauh lebih ampuh untuk membina karakter siswa dibandingkan dengan teori yang diajarkan di dalam kelas. Dalam pendidikan karakter, guru diharuskan lebih aktif
bertatap muka di luar kelas, sehingga guru dan siswa bisa lebih dekat sehingga tujuan pendidikan lebih mudah diberikan.
F. Upaya Pemenuhan Beban Kerja Guru