Beban Kerja Guru Antara Tuntutan dan Profesionalitas

(1)

BEBAN KERJA GURU:

ANTARA TUNTUTAN DAN PROFESIONALITAS

Disampaikan dalam

Seminar Nasional Pendidikan Ikatan Alumni Biologi FMIPA Universitas Negeri Padang

Tanggal 17 - 18 November 2012

Oleh:

Desi Dahlan, M.Pd.

Guru SMA Negeri 2 Sungai Tarab Kabupaten Tanah Datar

JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI PADANG


(2)

BEBAN KERJA GURU:

ANTARA TUNTUTAN DAN PROFESIONALITAS

Oleh

Desi Dahlan, M.Pd.

Guru SMA Negeri 2 Sungai Tarab Kabupaten Tanah Datar A. PENDAHULUAN

Salah satu bentuk aktualisasi tugas guru sebagai tenaga profesional adalah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Undang-undang dan peraturan pemerintah ini diharapkan dapat memfasilitasi guru untuk selalu mengembangkan keprofesiannya secara berkelanjutan. Pelaksanaan program pengembangan keprofesian berkelanjutan ini diharapkan dapat meningkatkan kompetensi paedagogik, profesional, sosial dan kepribadian untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan masa depan yang berkaitan dengan profesinya sebagai guru.

Pemerintah banyak mengeluarkan kebijakan menyangkut tentang guru sehubungan dengan pentingnya peran guru dalam pendidikan. Menurut Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang kemudian dikuatkan oleh Peraturan Pemerintah RI Nomor 74 tentang Guru, dijelaskan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Profesional sendiri memiliki pengertian sebagai suatu pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.

Untuk meningkatkan kesejahteraan guru, mereka yang telah memiliki sertifikat pendidik dan memenuhi kriteria akan menerima tunjangan profesi. Menurut Permendiknas Nomor 36 tahun 2007 tentang Penyaluran Tunjangan Profesi Guru, guru yang telah memiliki sertifikat pendidik dan nomor registrasi guru dari Departemen Pendidikan Nasional diberi tunjangan profesi jika memiliki beban kerja sekurang-kurangnya 24 (dua puluh empat) jam pelajaran tatap muka dalam satu minggu bagi guru kelas dan guru mata pelajaran.


(3)

Regulasi tentang beban kerja guru diatur dalam Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada pasal 35 ayat 1 dan 2, diikuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun tentang Guru pada pasal 52. Pemenuhan beban kerja guru selanjutnya di atur dalam Permendiknas Nomor 39 tahun 2009, yang kemudian dirubah dengan dikeluarkannya Permendiknas nomor 30 tahun 2011. Seiring dengan hal tersebut, maka diluncurkan Peraturan Bersama Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, dan Menteri Agama, Nomor 05/X/PB/2011, Nomor SPB/03/M.PANRB/ 10/2011, Nomor 48 Tahun 2011, Nomor 158/PMK.01/2011, Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Penataan dan Pemerataan Guru Pegawai Negeri Sipil. Peraturan Bersama ini mulai berlaku efektif pada tanggal 2 Januari tahun 2012 dan harus selesai pada 31 Desember 2013.

Surat Keputusan Bersama (SKB) 5 Menteri mewajibkan guru sertifikasi untuk mengajar 24 jam/minggu. Apabila seorang guru tidak dapat memenuhi 24 jam/minggu bagi yang sudah sertifikasi, maka tunjangan sertifikasinya tidak dibayarkan dan bahkan sertifikatnya akan dicabut. Oleh sebab itu, Bupati dan Walikota diminta mengambil kebijakan pemerataan guru sesuai dengan SKB 5 menteri, sehingga para guru yang telah mengantongi sertifikat dapat memenuhi beban kerja minimal.

Dikeluarkannya peraturan tersebut cenderung disebabkan oleh permasalahan dan keluhan tentang pemerataan dan distribusi guru. Jumlah guru di Indonesia sebetulnya relatif mencukupi, bahkan menurut Kepala Badan Pengembangan SDM dan Penjamin Mutu Pendidikan Syawal Gultom, rasio guru berbanding peserta didik di Indonesia merupakan yang termewah di dunia. Rasio di Indonesia 1:18 yang lebih baik dibadingkan dengan Jerman (1:20) atau Korea (1:30) (Susetiawati, 2011). Namun karena ketimpangan distribusi, maka ada sekolah tertentu di daerah tertentu kekurangan guru. Sementara di beberapa daerah lainnya jumlahmya melebihi kebutuhan.

Kondisi menjadi kurang kondusif karena dasar pembagian jam mengajar belum sepenuhnya merujuk pada ketentuan SKB Lima Menteri, namun lebih didasarkan senioritas, kedekatan bukan kompetensi kinerja. Seharusnya guru yang diprioritaskan untuk melaksanakan tugas minimum 24 jam tatap muka dan maksimum 40 jam tatap muka perminggu didasarkan pada kriteria pada Juknis SKB lima menteri dengan memperhatikan guru bersertifikat pendidik, masa kerja tertinggi sebagai guru, pangkat dan golongan tertinggi, guru yang mengampu mata pelajaran sesuai dengan latar belakang pendidikannya, perolehan angka kredit tertinggi, tugas tambahan, dan prestasi kerja berdasarkan Penilaian Kinerja Guru.


(4)

Jumlah guru bersetifikat semakin banyak, sedangkan jam pelajaran tersedia sangat terbatas. Berdasarkan data Kemendikbud RI, dari 2,9 juta guru saat ini, sekitar 1,1 juta diantaranya sudah bersetifikat, 731.000, yang menerima tunjangan sertifikasi. Kewajiban mengajar 24 jam/tatap muka/minggu suatu sisi positif karena tugas guru menjadi optimal dan efektif, di sisi lain pembagian jam pelajaran membingungkan guru dan kepala sekolah, adanya kebijakan ini akhirnya harus mengorbankan guru nonsertifikasi dan tidak jarang guru honorer.

Polemik tunjangan sertifikasi guru terus bergulir. Beban kerja minimal 24 jam tatap muka dalam seminggu yang tertuang dalam Permendiknas No 39 Tahun 2009 tersebut berpotensi memicu persaingan tak sehat antar guru. Beban kerja 24 jam tatap muka yang menjadi syarat pemberian tunjangan sertifikasi, pada banyak kasus sering tidak dapat terpenuhi. Untuk mengatasinya mereka diberi kesempatan untuk mencukupi jumlah jam mengajarnya di sekolah lain baik di dalam satu kabupaten/kota atau di kabupaten/kota lain.

Reaksi keras mengenai beban kerja guru disebaban karena keputusan pemerintah terkait dengan penetapan beban kerja guru, karena hanya menilai jumlah jam tatap muka di kelas sebagai patokan untuk pemberian tunjangan sertifikasi. Sementara, pada dasarnya fungsi guru tidak hanya mengajar dalam kelas, tapi juga memberi pendampingan dan pembinaan terhadap siswa di luar kelas. Jika ini tidak di tanggapi, guru akan kesulitan memenuhi beban kerja tersebut.

Dengan kondisi demikian, terjadi kecenderungan guru hanya akan mengejar beban kerja tatap muka, dan kesulitan melakukan pendampingan terhadap siswa. Persaingan antar guru untuk berebut jam kerja juga bisa terjadi. Hal ini diperparah dengan buruknya distribusi guru. Semakin banyak jumlah guru, akan semakin sulit bagi guru untuk memenuhi jam kerja. Ketentuan yang terdapat dalam Permendiknas Nomor 39 tahun 2009 dan Permendiknas No 30/2011, justru menuai banyak masalah, terutama terhadap beban mengajar minimal guru. Batas waktu Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan perencanaan kebutuhan dan retribusi guru pada akhir Desember 2011 belum sepenuhnya menyelesaikan permalahan beban kerja guru.

B. BEBAN KERJA GURU PROFESIONAL

Guru yang profesional adalah guru yang melaksanakan tugas pembelajaran secara berkualitas. Untuk mewujudkan pembelajaran yang berkualitas, guru memiliki kemampuan merancang dan melaksanakan pembelajaran serta menilai hasil pembelajaran. Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber


(5)

penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Seorang guru yang profesional adalah juga agen pembelajaran yang diharapkan dapat meningkatkan martabat dan perannya dan pada gilirannya dapat meningkatkan mutu pendidikan nasional. Pengakuan sebagai tenaga profesional tersebut dibuktikan dengan sertifikat pendidik yang diperoleh melalui sertifikasi.

Sertifikat pendidik merupakan sertifikat yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi sebagai bukti formal pengakuan yang diberikan kepada guru sebagai tenaga profesional. Tujuan sertifikasi guru adalah untuk menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas, diantaranya sebagai agen pembelajaran. Sertifikasi guru juga merupakan sarana untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dan acuan dalam meningkatkan profesionalisme guru, mutu proses dan hasil pendidikan, serta martabat guru (Mardapi, 2012:4)

Strategi yang dapat ditempuh untuk meningkatkan profesialisme guru adalah: 1) melakukan pelatihan yang efektif, setelah pelatihan harus ada umpan balik berupa ujian, 2) magang pada guru yang profesional, 3) membaca buku atau hasil penelitian tentang guru yang profesional, 4) melakukan refleksi diri terhadap proses pembelajaran yang telah dilakukan, 5) melakukan refleksi diri terhadap prilaku yang ditampilkan di depan kelas dan di sekolah, 6) melakukan evaluasi diri terhadap kinerja yang telah dicapai. Selain itu untuk meningkatkan profesionalisme guru, kepala sekolah harus memantau kinerja guru melalui obervasi di kelas dan menggali informasi dari peserta didik tentang pelaksanaan pembelajaran, dan menganalisis hasil ujian sekolah dan hasil ujian nasional.

Kewajiban guru sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru Pasal 52 ayat 1 mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan yang melekat pada pelaksanaan tugas pokok sesuai dengan beban kerja guru. Beban kerja guru paling sedikit memenuhi 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan paling banyak 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu pada satu atau lebih satuan pendidikan yang memiliki izin pendirian dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Pemenuhan beban kerja paling sedikit 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan paling banyak 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu dilaksanakan dengan ketentuan paling sedikit 6 (enam) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu pada satuan pendidikan tempat tugasnya sebagai Guru Tetap.


(6)

C. Kondisi Penyebab Kekurangan Beban Mengajar Guru

Penyebaran guru yang tidak merata menimbulkan terjadinya pendayagunaan guru yang tidak efisien di beberapa tempat. Seorang guru tidak dapat memenuhi jumlah jam mengajar sebanyak 24 (dua puluh empat) jam tatap muka per minggu disebabkan salah satu atau beberapa kondisi sebagai berikut.

1. Jumlah peserta didik dan rombongan belajar terlalu sedikit.

Jumlah peserta didik terlalu sedikit atau jumlah rombongan belajar juga sedikit, akan mengakibatkan jumlah jam tatap muka untuk mata pelajaran tertentu belum mencapai angka 24 jam per minggu. Hal ini terjadi pada sekolah baru, esk sekolah satu atap, atau sekolah lama dengan jumlah rombel kecil (walaupun memiliki jumlah ruangan kelas yang berlebih).

2. Jam pelajaran dalam kurikulum sedikit.

Jumlah jam pelajaran mata pelajaran tertentu dalam struktur kurikulum bervariasi. Ada jumlah jam pelajaran yang hanya 2 jam per minggu. Jika ditambah dengan kondisi jumlah siswa dan rombongan belajar sedikit, mengakibatkan guru yang mengajar pelajaran tersebut tidak dapat memenuhi kewajiban minimal 24 jam tatap muka per minggu.

3.Jumlah guru di satu sekolah untuk mata pelajaran tertentu terlalu banyak.

Kondisi ini biasanya terjadi kerena kesalahan dalam proses rekruitmen atau karena perubahan beban mengajar guru dari 18 jam menjadi 24 jam pelajaran per minggu. Pada beberapa sekolah dijumpai guru yang masih memiliki kekurangan beban kerja, namun ditambah lagi dengan datangnya PNS baru pada mata pelajaran yang sama. Jumlah guru yang melebihi dari kebutuhan yang direncanakan, mengakibatkan ada guru yang tidak dapat mengajar 24 jam per minggu.

4.Sekolah pada daerah terpencil atau sekolah khusus.

Sekolah yang berlokasi di daerah terpencil biasanya memiliki jumlah peserta didik yang sedikit. Kondisi ini terjadi karena populasi penduduk juga sedikit. Karena rombongan belajarnya sedikit, mengakibatkan guru mengajar tidak dapat memenuhi jam dengan menambah jam pada sekolah lain. Akibatnya, beban kerja tidak mencapai 24 jam per minggu. Sekolah tertentu yang karena kekhususan programnya, jumlah peserta didiknya sangat sedikit. Salah satu contoh adalah sekolah luar biasa, atau sekolah yang membuka program keahlian yang langka, tapi memiliki nilai strategis melestarikan budaya seni tradisi (SMK Jurusan Pedalangan dan Pertanian).


(7)

D. Beberapa Regulasi terkait Upaya Pemenuhan Beban Kerja Guru

Untuk memenuhi beban kerja bagi Guru dalam Permendiknas nomor 36 tahun 2007 dan Permediknas nomor 39 tahun 2009, disamping jam tatap muka dikelas, Menteri menetapkan ekuivalensi beban kerja, seperti :

a. Beban kerja kepala satuan pendidikan yang memperoleh tunjangan profesi adalah paling sedikit 6 (enam) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu atau membimbing 40 (empat puluh) peserta didik bagi kepala satuan pendidikan yang berasal dari Guru bimbingan dan konseling atau konselor.

b. Beban kerja wakil kepala satuan pendidikan yang memperoleh tunjangan profesi adalah paling sedikit 12 (dua belas) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu atau membimbing 80 (delapan puluh) peserta didik bagi wakil kepala satuan pendidikan yang berasal dari Guru bimbingan dan konseling atau konselor.

c. Beban kerja ketua program keahlian satuan pendidikan yang memperoleh tunjangan profesi adalah paling sedikit 12 (dua belas) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu. d. Beban kerja kepala perpustakaan satuan pendidikan yang memperoleh tunjangan

profesi adalah paling sedikit 12 (dua belas) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu. e. Beban kerja kepala laboratorium, bengkel, atau unit produksi satuan pendidikan yang

memperoleh tunjangan profesi adalah paling sedikit 12 (dua belas) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu.

f. Beban kerja Guru bimbingan dan konseling atau konselor yang memperoleh tunjangan profesi adalah mengampu bimbingan dan konseling paling sedikit 150 (seratus lima puluh) peserta didik per tahun pada satu atau lebih satuan pendidikan.

g. Beban kerja pembimbing khusus pada satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan inklusi atau pendidikan terpadu yang memperoleh tunjangan profesi adalah paling sedikit 6 (enam) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu.

Bagi guru yang tidak dapat memenuhi beban kerja sebagai mana yang dibicarakan sebelumnya, diberi tugas mengajar pada satuan pendidikan formal yang bukan satuan administrasi pangkalnya sebagai guru kelas atau guru mata pelajaran yang sesuai dengan sertifikat pendidik dengan kewajiban melaksanakan tatap muka paling sedikit 6 jam tatap muka pada satuan administrasi pangkalnya. Guna memenuhi beban kerja guru dan pengawas sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang Guru, pemerintah kembali meluncurkan regulasi baru yaitu Permendiknas No.39 Tahun 2009 tentang Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan. Permendiknas ini ini terdiri dari 8 pasal yang didalamnya memuat berbagai ketentuan tentang beban kerja guru, guru BK/konselor, kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru pembimbing khusus


(8)

dan pengawas sekolah. Dalam Permendiknas ini dikemukakan pula tentang ketentuan bagi guru yang tidak dapat memenuhi beban kerja 24 jam tatap muka dengan cara:

a. mengajar mata pelajaran yang paling sesuai dengan rumpun mata pelajaran yang diampunya dan/atau mengajar mata pelajaran lain yang tidak ada guru mata pelajarannya pada satuan administrasi pangkal atau satuan pendidikan lain;

b. menjadi tutor program Paket A, Paket B, Paket C, Paket C Kejuruan atau program pendidikan keaksaraan;

c. menjadi guru bina atau guru pamong pada sekolah terbuka

d. menjadi guru inti/instruktur/tutor pada kegiatan Kelompok Kerja Guru/Musyawarah Guru Mata Pelajaran (KKG/MGMP);

e. membina kegiatan ektrakurikuler dalam bentuk kegiatan Praja Muda Karana (Pramuka), Olimpiade/Lomba Kompetensi Siswa, Olahraga, Kesenian, Karya Ilmiah Remaja (KIR), Kerohanian, Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra), Pecinta Alam (PA), Palang Merah Remaja (PMR), Jurnalistik/Fotografi, Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), dan sebagainya; f. membina pengembangan diri peserta didik dalam bentuk kegiatan pelayanan sesuai

dengan bakat, minat, kemampuan, sikap dan perilaku siswa dalam belajar serta kehidupan pribadi, sosial, dan pengembangan karir diri;

g. melakukan pembelajaran bertim (team teaching) dan/atau; h. melakukan pembelajaran perbaikan(remedial teaching).

Tepat dua tahun setelah digulirkannya Permendiknas nomor 39 tahun 2009, maka dikeluarkan aturan bahwa ketentuan yang telah dinyatakan pada Permendiknas sebelumnya diperpanjang hingga tanggal 31 Desember 2011, dan dalam jangka waktu tersebut, dinas pendidikan provinsi/kabupaten/kota dan Kantor Wilayah Departemen Agama dan Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota harus selesai melakukan perencanaan kebutuhan dan redistribusi guru baik di tingkat satuan pendidikan maupun di tingkat kabupaten/kota. Namun, dengan tidak diberlakukannya Permendiknas nomor 39 tahun 2009 ini memunculkan kembali permasalahan pada waktu yang lalu. Pendistribusian guru yang belum sepenuhnya berjalan, mengakibatkan banyak guru yang tidak dapat memenuhi beban kerja minimal 24 jam.

Untuk menjamin pemerataan guru antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan, antarkabupaten, antarkota, dan antarprovinsi serta dalam upaya mewujudkan peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan formal secara nasional dan pencapaian tujuan pendidikan nasional telah ditetapkan Peraturan Bersama Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, dan Menteri Agama Nomor


(9)

05/X/PB/2011, SPB/03/M.PAN-RB/10/2011, 48 Tahun 2011, 158/PMK.01/2011, 11 Tahun 2011 tentang Penataan dan Pemerataan Guru Pegawai Negeri Sipil.

SKB lima menteri diharapkan mampu untuk meningkatkan mutu pendidikan di seluruh Indonesia dengan menarik kembali urusan penataan guru dari kabupaten/kota ke propinsi dan pusat. Pada suatu sisi, SKB ini dirasa sangat positif karena memungkinkan peningkatan mobilitas guru, khususnya ketika ingin memenuhi syarat minimal 24 jam tatap muka dalam seminggu untuk mendapatkan tunjangan profesi. Setelah diketahui daerah yang memiliki kelebihan guru, akan dilakukan penataan dan pemerataan sesuai kebutuhan. Namun, sekali lagi solusi yang digulirkan oleh pemerintah ini menuai banyak kritikan karena mengalami banyak kendala.

Salah satu batu sandungan dari pelaksanaan SKB lima menteri adalah otonomi daerah yang dinyatakan dalam Undang-undang nomor 32 tahun 2004. Euforia reformasi tahun 1998 telah mendorong otonomisasi daerah yang terkesan dilakukan secara tergesa-gesa, dan dalam hal tertentu dapat dikatakan sebagai terlalu dipaksakan, atau bahkan kebablasan. Akibatnya, setelah lebih dari satu dasa warsa pelaksanaan otonomi daerah, maka banyak pihak yang menyerukan perlunya peninjauan kembali, khususnya dalam hal otonomi pendidikan. SKB akan berbenturan dengan ego pejabat birokrat di Kabupaten/Kota yang masih merasa memiliki hak untuk memindahkan atau memutasi guru berdasarkan kepentingannya. Skala kebutuhan akan guru mata pelajaran tertentu, terkadang diabaikan karena Diknas setempat tidak mempunyai akurasi data terkait kebutuhan guru disebuah sekolah. Diperlukan pengangkatan pejabat yang memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan dan menanggalkan kepentingan pribadi dan golongan. Untuk itu pejabat misalnya kepala dinas pendidikan yang diangkat selayaknya adalah mereka yang betul-betul memahami tentang pendidikan. Hal ini baru saja diantisipasi dengan pemetaan guru pada masing-masing satuan pendidikan, kabupaten/kota, hingga tingkat propinsi. Hanya saja langkah penataan dan pemerataan guru bukanlah sesuatu yang mudah seperti membalik telapak tangan, karena bagaimanapun memindahkan guru ke satuan pendidikan atau Kabupaten/Kota lain membutuhkan banyak pertimbangan. Selain itu terdapat daerah dengan jumlah guru yang terlalu kegemukan dan sebaliknya ada juga daerah yang terlalu kekurangan guru, sehingga penataan dan pemerataan guru melibatkan lebih banyak guru.


(10)

E. Permasalahan yang Terkait Regulasi SKB Lima Menteri Sehubungan dengan Pemenuhan Beban Kerja Guru

Pemberlakukan SKB lima menteri yang dilatarbelakangi oleh permasalahan ketimpangan distribusi dan bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan di seluruh Indonesia. Sebelumnya beban kerja minimal 24 jam/ minggu telah diberlakukan, namun masih terdapat pengakuan ekuivalensi jam selain jam tatap muka di kelas. Dengan SKB lima menteri ini, beban kerja minimal 24 jam/minggu betul-betul merupakan jam tatap muka di kelas sehingga timbul berbagai permasalahan. Secara umum permasalahannya adalah terjadinya kekacauan, ketidakharmonisan diantara banyak guru, dan banyak guru kehilangan pekerjaan serta terancam dicabut tunjangan sertifikasinya. Untuk lebih jelasnya, permasalahan yang terjadi, antara lain sebagai berikut ini.

1. Kecenderungan Tugas Guru hanya untuk Mengajar pada Jam Tatap Muka.

Tuntutan beban kerja minimal 24 jam tatap muka/minggu dirasa cukup berat. Tugas guru yang diamanatkan dalam Undang-undang Guru dan Dosen Nomor 14 tahun 2005 untuk mendidik, mengajar, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi masih jauh dari harapan. Hal ini disebabkan tenaga dan pikiran yang cukup banyak terpakai untuk jam tatap muka di kelas. Pemenuhan jam minimal pada sebagian sekolah terkadang diperoleh dengan penambahan struktur kurikulum minimal. Berdasarkan SKB 5 menteri, sekolah harus melakukan penghitungan beban mengajar dengan struktur kurikulum minimal. Konsekwensinya pelaksanaan struktur kurikulum minimal adalah sebagian guru PNS pada satuan pendidikan tertentu tidak mampu memenuhi kewajiban mengajar 24 jam. Sehingga pada praktiknya banyak sekolah yang mengembangkan struktur program kurikulum maksimal. Namun terkadang penambahan struktur kurikulum terlalu atau over , sehingga dirasa di luar batas kewajaran. Menurut struktur kurikulum minimal Jumlah jam pelajaran per minggu 38 jam, dengan struktur kurikulum maksimal menjadi lebih besar dari 38 jam, bahkan ada yang mencapai 50 jam/minggu.

Mengajar dengan jumlah jam tatap muka yang cukup banyak dengan kondisi

raw input guru yang memang bermasalah telah menghasilkan mutu guru yang tidak siap berkembang menjadi profesional. Tunjangan pendapatan guru melalui program sertifikasi, dalam prakteknya dianggap jauh dari harapan. Kemendikbud sendiri menilai bahwa program sertifikasi tidak signifikan dalam meningkatkan mutu dan profesionalisme guru.


(11)

2. Guru Mengajar di Beberapa Sekolah.

Kekurangan jam minimal tatap muka 24 jam mengakibatkan guru-guru berusaha untuk mencukupkan jam mengajar di sekolah lain, berarti guru harus mengajar di beberapa tempat. Hal itu tentunya membutuhkan waktu, biaya, dan tenaga yang lebih banyak, sehingga tidak efisien. Ketidakefisienan akan tampak sekali untuk daerah-daerah di Pulau Kalimantan bahkan di beberapa daerah di Sumatera Barat yang jarak antar sekolahnya berjauhan, demikian pula jarak antara satu Kabupaten/Kota dengan Kabupaten/Kota lainnya. Seandainya tuntutan mengajar yang diberikan kepada guru terlalu berat, kemungkinan besar guru menjadi kurang konsentrasi dan selanjutnya peserta didik yang menjadi korbannya. Selain itu dengan terbuangnya waktu dengan banyaknya jam mengajar, apalagi jika mengajar di sekolah lain yang membutuhkan waktu perjalanan yang cukup lama akan mengakibatkan guru tidak memiliki waktu untuk membaca menulis dan melakukan kegiatan peningkatan profesionalisme.

3. Hilangnya jumlah jam guru nonsertifikasi dan kesempatan mengajar guru honorer.

Sebelum dikeluarkannya SKB lima menteri, beban mengajar mata pelajaran umumnya dibagi merata kepada sejumlah guru yang ada di sekolah. Namun, setelah keluarnya aturan setiap guru wajib memiliki beban mengajar minimal 24 jam pelajaran per minggu, beban mengajar untuk guru nonsertifikasi disunat. Guru honorer pun telah dan berpotensi diberhentikan dari sekolah negeri. Hal ini dilakukan untuk mencapai target 24 jam mengajar, maka sekolah negeri memprioritaskan guru PNS untuk memenuhi beban mengajar. Juknis SKB Lima Menteri menyatakan pada sub bagian Menata guru yang belum mengajar untuk mengajar pada sekolah lain bahwa Wajib mengajar paling sedikit 24 jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu dapat dipenuhi dengan mengajar di sekolah lain baik negeri maupun swasta sesuai dengan mata pelajaran yang diampu pada Kabupaten/Kota tempat sekolah tersebut berada atau Kabupaten/Kota lain.

4. Terancamnya Tunjangan Profesi.

Selama ini, masih banyak guru yang menikmati tunjangan profesi dengan adanya ekuivalensi jam. Dengan diberlakukannya SKB lima menteri, maka jam minimal tatap muka tidak lagi dapat dipenuhi sehingga konsekuensinya tidak menerima tunjangan profesi. Akibat dari jumlah jam mengajar yang tidak mencapai 24 jam memang sudah tampak seperti diberitakan bahwa tunjangan 710 guru di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat tidak bisa dibayarkan (Kompas.com, 24 Agustus 2012). Hal ini


(12)

disebakan Pemerintah Kabupaten terlambat mengantisipasi SKB 5 Menteri (Kompas.com, 29 Agustus 2012) karena pada saat itu sedang dilakukan pendataan dan verifikasi terhadap guru penerima tunjangan sertifikasi. Data guru Kabupaten Bogor juga memperlihatkan bahwa pada tahun 2012 dari 251 guru PNS di SMAN yang sudah sertifikasi, sebanyak 20,32 persen (51 orang) memiliki jumlah jam mengajar kurang dari 24 jam. Dengan demikian masih cukup banyak guru yang belum memenuhi persyaratan menerima tunjangan profesi.

5. Hilangnya budaya ilmiah.

Dengan banyaknya jam mengajar yang harus dipenuhi akan menyebabkan hilangnya waktu bagi guru untuk membaca dan menulis. Tambahan beban mengajar dan kewajiban guru untuk melakukan penelitian atau bahkan publikasi karya ilmiah sebagai persyaratan kenaikaan pangkat atau golongan, jelas-jelas kurang sesuai dengan upaya peningkatan profesionalisme.

6. Ketidakharmonisan diantara guru dan bertentangan dengan pendidikan karakter.

Dampak dari beban kerja guru adalah persaingan antar guru untuk berebut jam pelajaran. Permendiknas hanya menghitung jam tatap muka dalam kelas sebagai patokan untuk memberi tunjangan sertifikasi. Sementara, pada dasarnya pendidikan di luar kelas jauh lebih ampuh untuk membina karakter siswa dibandingkan dengan teori yang diajarkan di dalam kelas. Dalam pendidikan karakter, guru diharuskan lebih aktif bertatap muka di luar kelas, sehingga guru dan siswa bisa lebih dekat sehingga tujuan pendidikan lebih mudah diberikan.

F. Upaya Pemenuhan Beban Kerja Guru

Upaya pemenuhan beban kerja minimal guru untuk mendaatkan tunjangan profesi dapat dilakukan engan beberapa cara, antara lain sebagaimana berikut ini.

1. Penataan dan pemerataan guru

Penataan guru adalah proses menata ulang agar rasio, kualifikasi akademik, distribusi, dan komposisi guru PNS sesuai dengan kebutuhan riil masing-masing satuan pendidikan. Tugas Pemerintah Propinsi dalam melakukan penataan dan pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan, mencakup sosialisasi program penataan dan pemerataan guru PNS pada tingkat kabupaten/kota; verifikasi data guru dan analisis kebutuhan guru; penyediaan Peta Guru yang menginformasikan tentang kelebihan dan/atau kekurangan guru PNS di setiap kabupaten/kota hingga pemindahan guru PNS antarkabupaten/kota. Hal yang sama juga dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Perkembangan yang terpantau


(13)

umumnya baru sabatas verifikasi data guru dan pemetaan. Upaya pemerataan sudah berjalan, namun dengan persentase yang belum begitu tinggi. Namun, harus diingat bahwa upaya penataan dan pemerataan guru ini merupakan program jangka panjang dan bertahap yang tidak dapat diselesaikan dalam waktu yang dekat. Sementara pemenuhan beban mengajar merupakan hal yang sangat mendesak yang sudah harus dicarikan solusinya.

2. Penambahan Struktur Kurikulum Minimal

Upaya pemenuhan beban kerja pada tingkat satuan pendidikan juga disamping melakukan langkah yang sama seperti halnya Dinas Pendidikan Propinsi dan Kabupaten/Kota (penghitungan beban kerja guru, pemetaan guru, penataan dan pemetaan) adalah dengan cara penambahan struktur kurikulum. Disamping itu menempatkan guru pada tugas tambahan yang memungkinkan untuk dilakukan (wakil kepala sekolah, kepala laboratorium, dan kepala perpustakaan), dan penambahan rombongan belajar.

3. Penataan rombongan belajar

Dalam juknis SKB 5 menteri, menata jumlah peserta didik per rombongan belajar merupakan salah satu upaya meningkatkan jumlah jam tatap muka dalam jangka panjang. Penambahan rombongan belajar sering terkedala dengan sarana/prasarana yang dimiliki sekolah. Masih banyak sekolah yang tidak melaksanakan aturan berlaku. Setiap kelas untuk jenjang SMA seharusnya diisi oleh 20-32 siswa tetapi masih banyak sekolah yang menampung sampai 40 siswa untuk satu kelas. Hal ini memengaruhi kesempatan guru memenuhi jumlah mengajarnya. Seandainya sekolah ingin membuat jumlah siswa per rombongan belajar menjadi lebih sedikit, sekolah menghadapi kendala keterbatasan jumlah ruang kelas.

4. Meningkatkan daya tampung sekolah

Penambahan jumlah peserta didik aka meningkatkan jumlah rombongan belajar dan jumlah jam tatap muka per minggu.

5. Ekuivalensi kegiatan

Ekuivalensi jam tatap muka dapat menjadi solusi pemenuhan beban kerja tatap muka bagi guru yang bertugas pada satuan pendidikan layanan khusus, berkeahlian khusus, dibutuhkan atas dasar pertimbangan kepentingan nasional, dan satuan pendidikan di suatu kabupaten/kota karena alasan akses dan waktu tidak dapat mengajar pada sekolah lain. Usulan ekuivalensi tersebut harus dilengkapi dengan bukti tertulis yang dibuat oleh kepala sekolah satuan administrasi pangkalnya dan disahkan


(14)

kepala dinas pendidikan kabupaten/kota tempat sekolah berada. Untuk sekolah luar biasa pengesahannya dilakukan oleh kepala dinas pendidikan provinsi.

Bagi guru yang bertugas pada satuan pendidikan layanan khusus, berkeahlian khusus, dibutuhkan atas dasar pertimbangan kepentingan nasional, dan satuan pendidikan di suatu kabupaten/kota karena alasan akses dan waktu, tidak dapat mengajar pada sekolah lain, ekuivalensi kegiatan untuk pemenuhan beban mengajar 24 (dua puluh empat) jam tatap muka sesuai yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 39 Tahun 2009 sebagaimana yang diubah menjadi Permendiknas Nomor 30 Tahun 2011 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan beserta pedoman pelaksanaannya.

G. Harapan tentang Beban Kerja Guru di Masa yang akan Datang

Pemenuhan beban kerja guru yang sesuai dengan SKB Lima Menteri telah diantisipasi dengan berbagai pihak, antara lain oleh Pemerintah (dalam hal ini Dinas Pendidikan Propinsi dan Kabupaten/Kota), Kepala Satuan Pendidikan, dan terutama guru yang bersangkutan. Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah belum sepenuhnya menjamin pemenuhan beban mengajar bagi guru. Masing-masing guru berusaha untuk mencari solusinya ke sekolah lain agar tunjangan profiesinya tetap dapat dibayarkan. Padahal, pemenuhan beban kerja guru seharusnya bukan merupakan tanggung jawab guru. Jika memang semua yang seharusnya terlibat melaksanakan perannya dengan baik, guru tidak seharusnya mencari sekolah lain untuk memenuhi jumlah jam mengajar.

Dampak yang ditimbulkan dengan diberlakukannya beban mengajar minimal 24 jam tatap muka per minggu seperti yang tercantum pada SKB 5 Menteri pada tanggal 3 Oktober 2011 dengan menuai banyak reaksi. Banyak pihak yang mengharapkan adanya revisi terhadap beban kerja guru, yang sebenarnya ditujukan untuk peningkatan kualitas pendidikan, namun membuahkan banyak kekecewaan baik dari guru, peserta didik, maupun pengamat pendidikan.

Ketua umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Sulistiyo mengusulkan perubahan aturan tentang beban kerja guru pada Peraturan Pemerintah No 74 Tahun 2008 tentang Guru, khususnya Pasal 52 ayat (2) tentang beban kerja guru paling sedikit memenuhi 24 jam tatap muka dan paling banyak 40 jam dalam satu minggu, Hal ini disebabkan, masih banyak guru yang belum memenuhi syarat mengajar 24 jam per seminggu (suaramerdeka.com, Jumat (21/9). PGRI berpendapat, waktu mengajar secara tatap muka yang ideal adalah 18 jam seminggu. "Sisanya, diambil dari tugas yang dapat disetarakan dengan tatap muka, seperti tugas sebagai kepala sekolah, pembina kegiatan


(15)

siswa, atau pembina ekstrakurikuler, atau tugas-tugas lainnya". Dampak dari beban kerja yang cukup banyak mengakibatkan kegiatan sekolah non tatap muka seolah menjadi

mati suri .

Rencana perubahan PP No. 74 tahun 2008 tentang guru, diharapkan dapat sejalan dengan rencana pemerintah yang akan menambah jam belajar. PGRI menyambut baik rencana pemerintah untuk menambah jam belajar siswa di sekolah. Meski demikian, harus ada jaminan dari pemerintah bahwa rencana tersebut dapat menumbuhkembangkan potensi para peserta didik. Kebijakan seperti itu sudah lama diterapkan di sejumlah negara di Eropa. Selain memberikan pendidikan secara formal di dalam kelas, para siswa juga dibina untuk mengembangkan potensi mereka masing-masing sesuai dengan bidangnya. Jika kebijakan tersebut dilaksanakan, diharapkan posisi guru dapat semakin dihargai sehingga para guru dapat semakin mantap untuk mengembang profesinya sebagai tenaga pengajar dan dapat lebih fokus untuk mendidik,"

Daftar Pustaka

Kemdiknas. 2005. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

_______. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 36 tahun 2007 tentang Penyaluran Tunjangan Profesi Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan.

_______. 2008. Pedoman Penghitungan Beban Kerja Guru. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik Dan Tenaga Kependidikan.

________. 2008. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru.

_______. 2009. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 39 tahun 2009 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan.

_______. 2011. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 30 tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 39 tahun 2009 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan.

_______. 2011. Petunjuk Teknis Peaksanaan Peraturan Bersama tentang Penataan dan Pemerataan PNS.

Mardapi, D. 2012. Strategi Meningkatkan Profesionalisme Guru. Yogyakarta: Pusat Kajian dan Advokasi Pendidikan Yogyakarta, UNY.

Susetiawati, Endang. 2011. Catatan Atas SKB 5 Menteri. Edukasi. kompasiana.com/ 2011/11/29/ catatan-atas-skb-5-menteri/.


(16)

___________. 2012. http://www.suaramerdeka.com/ v1/index.php/read/ cetak/2012/09/22/ 199652/16/ Penambahan-Jam-Belajar-Perlu-Persiapan-Matang


(1)

2. Guru Mengajar di Beberapa Sekolah.

Kekurangan jam minimal tatap muka 24 jam mengakibatkan guru-guru berusaha untuk mencukupkan jam mengajar di sekolah lain, berarti guru harus mengajar di beberapa tempat. Hal itu tentunya membutuhkan waktu, biaya, dan tenaga yang lebih banyak, sehingga tidak efisien. Ketidakefisienan akan tampak sekali untuk daerah-daerah di Pulau Kalimantan bahkan di beberapa daerah di Sumatera Barat yang jarak antar sekolahnya berjauhan, demikian pula jarak antara satu Kabupaten/Kota dengan Kabupaten/Kota lainnya. Seandainya tuntutan mengajar yang diberikan kepada guru terlalu berat, kemungkinan besar guru menjadi kurang konsentrasi dan selanjutnya peserta didik yang menjadi korbannya. Selain itu dengan terbuangnya waktu dengan banyaknya jam mengajar, apalagi jika mengajar di sekolah lain yang membutuhkan waktu perjalanan yang cukup lama akan mengakibatkan guru tidak memiliki waktu untuk membaca menulis dan melakukan kegiatan peningkatan profesionalisme.

3. Hilangnya jumlah jam guru nonsertifikasi dan kesempatan mengajar guru honorer.

Sebelum dikeluarkannya SKB lima menteri, beban mengajar mata pelajaran umumnya dibagi merata kepada sejumlah guru yang ada di sekolah. Namun, setelah keluarnya aturan setiap guru wajib memiliki beban mengajar minimal 24 jam pelajaran per minggu, beban mengajar untuk guru nonsertifikasi disunat. Guru honorer pun telah dan berpotensi diberhentikan dari sekolah negeri. Hal ini dilakukan untuk mencapai target 24 jam mengajar, maka sekolah negeri memprioritaskan guru PNS untuk memenuhi beban mengajar. Juknis SKB Lima Menteri menyatakan pada sub bagian Menata guru yang belum mengajar untuk mengajar pada sekolah lain bahwa Wajib mengajar paling sedikit 24 jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu dapat dipenuhi dengan mengajar di sekolah lain baik negeri maupun swasta sesuai dengan mata pelajaran yang diampu pada Kabupaten/Kota tempat sekolah tersebut berada atau Kabupaten/Kota lain.

4. Terancamnya Tunjangan Profesi.

Selama ini, masih banyak guru yang menikmati tunjangan profesi dengan adanya ekuivalensi jam. Dengan diberlakukannya SKB lima menteri, maka jam minimal tatap muka tidak lagi dapat dipenuhi sehingga konsekuensinya tidak menerima tunjangan profesi. Akibat dari jumlah jam mengajar yang tidak mencapai 24 jam memang sudah tampak seperti diberitakan bahwa tunjangan 710 guru di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat tidak bisa dibayarkan (Kompas.com, 24 Agustus 2012). Hal ini


(2)

disebakan Pemerintah Kabupaten terlambat mengantisipasi SKB 5 Menteri (Kompas.com, 29 Agustus 2012) karena pada saat itu sedang dilakukan pendataan dan verifikasi terhadap guru penerima tunjangan sertifikasi. Data guru Kabupaten Bogor juga memperlihatkan bahwa pada tahun 2012 dari 251 guru PNS di SMAN yang sudah sertifikasi, sebanyak 20,32 persen (51 orang) memiliki jumlah jam mengajar kurang dari 24 jam. Dengan demikian masih cukup banyak guru yang belum memenuhi persyaratan menerima tunjangan profesi.

5. Hilangnya budaya ilmiah.

Dengan banyaknya jam mengajar yang harus dipenuhi akan menyebabkan hilangnya waktu bagi guru untuk membaca dan menulis. Tambahan beban mengajar dan kewajiban guru untuk melakukan penelitian atau bahkan publikasi karya ilmiah sebagai persyaratan kenaikaan pangkat atau golongan, jelas-jelas kurang sesuai dengan upaya peningkatan profesionalisme.

6. Ketidakharmonisan diantara guru dan bertentangan dengan pendidikan karakter.

Dampak dari beban kerja guru adalah persaingan antar guru untuk berebut jam pelajaran. Permendiknas hanya menghitung jam tatap muka dalam kelas sebagai patokan untuk memberi tunjangan sertifikasi. Sementara, pada dasarnya pendidikan di luar kelas jauh lebih ampuh untuk membina karakter siswa dibandingkan dengan teori yang diajarkan di dalam kelas. Dalam pendidikan karakter, guru diharuskan lebih aktif bertatap muka di luar kelas, sehingga guru dan siswa bisa lebih dekat sehingga tujuan pendidikan lebih mudah diberikan.

F. Upaya Pemenuhan Beban Kerja Guru

Upaya pemenuhan beban kerja minimal guru untuk mendaatkan tunjangan profesi dapat dilakukan engan beberapa cara, antara lain sebagaimana berikut ini.

1. Penataan dan pemerataan guru

Penataan guru adalah proses menata ulang agar rasio, kualifikasi akademik, distribusi, dan komposisi guru PNS sesuai dengan kebutuhan riil masing-masing satuan pendidikan. Tugas Pemerintah Propinsi dalam melakukan penataan dan pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan, mencakup sosialisasi program penataan dan pemerataan guru PNS pada tingkat kabupaten/kota; verifikasi data guru dan analisis kebutuhan guru; penyediaan Peta Guru yang menginformasikan tentang kelebihan dan/atau kekurangan guru PNS di setiap kabupaten/kota hingga pemindahan guru PNS antarkabupaten/kota. Hal yang sama


(3)

umumnya baru sabatas verifikasi data guru dan pemetaan. Upaya pemerataan sudah berjalan, namun dengan persentase yang belum begitu tinggi. Namun, harus diingat bahwa upaya penataan dan pemerataan guru ini merupakan program jangka panjang dan bertahap yang tidak dapat diselesaikan dalam waktu yang dekat. Sementara pemenuhan beban mengajar merupakan hal yang sangat mendesak yang sudah harus dicarikan solusinya.

2. Penambahan Struktur Kurikulum Minimal

Upaya pemenuhan beban kerja pada tingkat satuan pendidikan juga disamping melakukan langkah yang sama seperti halnya Dinas Pendidikan Propinsi dan Kabupaten/Kota (penghitungan beban kerja guru, pemetaan guru, penataan dan pemetaan) adalah dengan cara penambahan struktur kurikulum. Disamping itu menempatkan guru pada tugas tambahan yang memungkinkan untuk dilakukan (wakil kepala sekolah, kepala laboratorium, dan kepala perpustakaan), dan penambahan rombongan belajar.

3. Penataan rombongan belajar

Dalam juknis SKB 5 menteri, menata jumlah peserta didik per rombongan belajar merupakan salah satu upaya meningkatkan jumlah jam tatap muka dalam jangka panjang. Penambahan rombongan belajar sering terkedala dengan sarana/prasarana yang dimiliki sekolah. Masih banyak sekolah yang tidak melaksanakan aturan berlaku. Setiap kelas untuk jenjang SMA seharusnya diisi oleh 20-32 siswa tetapi masih banyak sekolah yang menampung sampai 40 siswa untuk satu kelas. Hal ini memengaruhi kesempatan guru memenuhi jumlah mengajarnya. Seandainya sekolah ingin membuat jumlah siswa per rombongan belajar menjadi lebih sedikit, sekolah menghadapi kendala keterbatasan jumlah ruang kelas.

4. Meningkatkan daya tampung sekolah

Penambahan jumlah peserta didik aka meningkatkan jumlah rombongan belajar dan jumlah jam tatap muka per minggu.

5. Ekuivalensi kegiatan

Ekuivalensi jam tatap muka dapat menjadi solusi pemenuhan beban kerja tatap muka bagi guru yang bertugas pada satuan pendidikan layanan khusus, berkeahlian khusus, dibutuhkan atas dasar pertimbangan kepentingan nasional, dan satuan pendidikan di suatu kabupaten/kota karena alasan akses dan waktu tidak dapat mengajar pada sekolah lain. Usulan ekuivalensi tersebut harus dilengkapi dengan bukti tertulis yang dibuat oleh kepala sekolah satuan administrasi pangkalnya dan disahkan


(4)

kepala dinas pendidikan kabupaten/kota tempat sekolah berada. Untuk sekolah luar biasa pengesahannya dilakukan oleh kepala dinas pendidikan provinsi.

Bagi guru yang bertugas pada satuan pendidikan layanan khusus, berkeahlian khusus, dibutuhkan atas dasar pertimbangan kepentingan nasional, dan satuan pendidikan di suatu kabupaten/kota karena alasan akses dan waktu, tidak dapat mengajar pada sekolah lain, ekuivalensi kegiatan untuk pemenuhan beban mengajar 24 (dua puluh empat) jam tatap muka sesuai yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 39 Tahun 2009 sebagaimana yang diubah menjadi Permendiknas Nomor 30 Tahun 2011 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan beserta pedoman pelaksanaannya.

G. Harapan tentang Beban Kerja Guru di Masa yang akan Datang

Pemenuhan beban kerja guru yang sesuai dengan SKB Lima Menteri telah diantisipasi dengan berbagai pihak, antara lain oleh Pemerintah (dalam hal ini Dinas Pendidikan Propinsi dan Kabupaten/Kota), Kepala Satuan Pendidikan, dan terutama guru yang bersangkutan. Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah belum sepenuhnya menjamin pemenuhan beban mengajar bagi guru. Masing-masing guru berusaha untuk mencari solusinya ke sekolah lain agar tunjangan profiesinya tetap dapat dibayarkan. Padahal, pemenuhan beban kerja guru seharusnya bukan merupakan tanggung jawab guru. Jika memang semua yang seharusnya terlibat melaksanakan perannya dengan baik, guru tidak seharusnya mencari sekolah lain untuk memenuhi jumlah jam mengajar.

Dampak yang ditimbulkan dengan diberlakukannya beban mengajar minimal 24 jam tatap muka per minggu seperti yang tercantum pada SKB 5 Menteri pada tanggal 3 Oktober 2011 dengan menuai banyak reaksi. Banyak pihak yang mengharapkan adanya revisi terhadap beban kerja guru, yang sebenarnya ditujukan untuk peningkatan kualitas pendidikan, namun membuahkan banyak kekecewaan baik dari guru, peserta didik, maupun pengamat pendidikan.

Ketua umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Sulistiyo mengusulkan perubahan aturan tentang beban kerja guru pada Peraturan Pemerintah No 74 Tahun 2008 tentang Guru, khususnya Pasal 52 ayat (2) tentang beban kerja guru paling sedikit memenuhi 24 jam tatap muka dan paling banyak 40 jam dalam satu minggu, Hal ini disebabkan, masih banyak guru yang belum memenuhi syarat mengajar 24 jam per seminggu (suaramerdeka.com, Jumat (21/9). PGRI berpendapat, waktu mengajar secara tatap muka yang ideal adalah 18 jam seminggu. "Sisanya, diambil dari tugas yang dapat


(5)

siswa, atau pembina ekstrakurikuler, atau tugas-tugas lainnya". Dampak dari beban kerja yang cukup banyak mengakibatkan kegiatan sekolah non tatap muka seolah menjadi

mati suri .

Rencana perubahan PP No. 74 tahun 2008 tentang guru, diharapkan dapat sejalan dengan rencana pemerintah yang akan menambah jam belajar. PGRI menyambut baik rencana pemerintah untuk menambah jam belajar siswa di sekolah. Meski demikian, harus ada jaminan dari pemerintah bahwa rencana tersebut dapat menumbuhkembangkan potensi para peserta didik. Kebijakan seperti itu sudah lama diterapkan di sejumlah negara di Eropa. Selain memberikan pendidikan secara formal di dalam kelas, para siswa juga dibina untuk mengembangkan potensi mereka masing-masing sesuai dengan bidangnya. Jika kebijakan tersebut dilaksanakan, diharapkan posisi guru dapat semakin dihargai sehingga para guru dapat semakin mantap untuk mengembang profesinya sebagai tenaga pengajar dan dapat lebih fokus untuk mendidik,"

Daftar Pustaka

Kemdiknas. 2005. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

_______. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 36 tahun 2007 tentang Penyaluran Tunjangan Profesi Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan.

_______. 2008. Pedoman Penghitungan Beban Kerja Guru. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik Dan Tenaga Kependidikan.

________. 2008. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru.

_______. 2009. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 39 tahun 2009 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan.

_______. 2011. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 30 tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 39 tahun 2009 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan.

_______. 2011. Petunjuk Teknis Peaksanaan Peraturan Bersama tentang Penataan dan Pemerataan PNS.

Mardapi, D. 2012. Strategi Meningkatkan Profesionalisme Guru. Yogyakarta: Pusat Kajian dan Advokasi Pendidikan Yogyakarta, UNY.

Susetiawati, Endang. 2011. Catatan Atas SKB 5 Menteri. Edukasi. kompasiana.com/ 2011/11/29/ catatan-atas-skb-5-menteri/.


(6)

___________. 2012. http://www.suaramerdeka.com/ v1/index.php/read/ cetak/2012/09/22/ 199652/16/ Penambahan-Jam-Belajar-Perlu-Persiapan-Matang