2.6 Analisis Data
Data performa reproduksi dan benih dianalisis statistik menggunakan program Microsoft Excel 2007, Minitab 14, dan SPSS 16.0. Fenotip kuantitatif
dari performa reproduksi yang meliputi derajat pembuahan dan daya tetas dianalisis menggunakan pengujian ANOVA, sedangkan karakter morfometrik
diuji dengan MANOVA. Selanjutnya, karakteristik fenotip kualitatif yang meliputi data visual morfologi dianalisis secara non parametrik. Data
perkembangan embrio dan larva, serta kualitas air dianalis secara deskriptif.
15
I I I . HASI L DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil 3.1.1 Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan ini bertujuan untuk mengamati peluang pemijahan abalon terbaik dengan tingkat kematangan gonad berbeda serta teknik dan skala
pemijahan yang berbeda Tabel 2. Tabel 2 Peluang pemijahan abalon pada tingkat kematangan gonad berbeda
menggunakan teknik dan skala pemijahan berbeda
Tingkat Teknik dan Skala Pemijahan
Kematangan Gonad
Semi Alami; Skala Lab
Semi Alami; Skala Massal
Alami; Skala Lab
Alami; Skala Massal
TKG I
a a
a
0,29
b
TKG II 0,07
a
0,14
a a
0,36
b
Huruf superscript yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata p 0,05
Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa peluang pemijahan abalon tertinggi diperoleh pada perlakuan dengan tingkat kematangan gonad lebih dari
49 TKG II menggunakan teknik pemijahan alami skala massal yakni sebesar 0,36. Pemijahan abalon dengan tingkat kematangan gonad 25-49 TKG I
memiliki peluang yang rendah pada tiga dari empat perlakuan teknik dan skala pemijahan. Teknik dan skala pemijahan yang menunjukkan peluang tertinggi pada
pemijahan abalon dengan dua tingkat kematangan gonad berbeda adalah perlakuan teknik pemijahan secara alami skala massal. Pemijahan abalon dengan
tingkat kematangan gonad yang berbeda tidak menunjukkan adanya pengaruh yang berbeda nyata terhadap peluang pemijahan abalon. Sebaliknya, teknik dan
skala pemijahan menunjukkan adanya pengaruh yang berbeda nyata terhadap peluang pemijahan abalon. Peluang pemijahan terbanyak pada penelitian
pendahuluan ini digunakan pada penelitian utama. Sehingga untuk memijahkan abalon dengan keterbatasan induk yang berada di TKG II, dipilihlah teknik
pemijahan secara alami dengan skala massal.
W
90,60±2,34
3.1.2 Penelitian Utama 3.1.2.1 Derajat Pembuahan
Hasil pengamatan derajat pembuahan telur abalon pada rekayasa pemijahan yang berbeda menunjukkan bahwa persentase derajat pembuahan telur
pada hibridisasi lebih rendah dibandingkan dengan kedua truebreed. Truebreed
Haliotis asinina 94,73±1,22 tidak berbeda nyata dengan truebreed Haliotis squamata 90,60±2,34. Sebaliknya, kedua perlakuan hybrid menunjukkan hasil
yang berbeda nyata terhadap derajat pembuahan telur abalon. Hybrid dengan
jantan Haliotis asinina AS memiliki persentase lebih tinggi dibandingkan
resiproknya SA yaitu 76,01±6,15 versus 67,13±7,57 Gambar 11.
W
Huruf superscript yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata p 0,05 Huruf pertama pada penamaan perlakuan menunjukkan kelamin jantan
Gambar 11 Derajat pembuahan telur abalon pada hasil pemijahan truebreed Haliotis
asinina, hybrid, dan truebreed Haliotis squamata Setelah dilakukan uji F terhadap derajat pembuahan telur abalon pada selang
kepercayaan 95 didapatkan bahwa rekayasa pemijahan mempengaruhi perbedaan derajat pembuahan telur abalon Lampiran 7. Selain itu, dapat
diketahui bahwa perlakuan hybrid dan truebreed memiliki persentase derajat
pembuahan telur yang berbeda nyata.
17
3.1.2.2 Perkembangan Embrio
Perkembangan embrio abalon yang teramati dimulai dari proses pembuahan telur yaitu ditunjukkan dengan terbentuknya ruang perivitelin.
Selanjutnya embriogenesis yang teramati pada saat inkubasi diawali dari proses pembelahan sel telur
cleavage, morulasi, dan sesaat sebelum telur menetas Gambar 12.
Gambar 12
Perkembangan embrio
sampai sesaat
sebelum menetas
pada tiap
perlakuan rekayasa pemijahan Seluruh perlakuan, secara visual teramati menunjukkan tahapan perkembangan
embrio yang
sama. Sedangkan
waktu perkembangan
setiap perlakuan
menunjukkan lama waktu yang berbeda. Waktu perkembangan yang dibutuhkan oleh embrio hasil hibridisasi relatif lebih lama dibandingkan dengan embrio
truebreed. Terdapat perbedaan waktu sekitar 2-3 jam lebih lama pada suhu inkubasi 27-28°C saat penetasan telur hasil hibridisasi dibandingkan telur
truebreed Tabel 6.
18
W
83,52±1,85
4±4,80
penetas
3.1.2.3 Derajat Penetasan
Hasil pengamatan derajat penetasan telur abalon pada rekayasa pemijahan yang berbeda menunjukkan bahwa persentase derajat penetasan telur pada
hibridisasi lebih rendah dibandingkan dengan kedua truebreed. Truebreed
Haliotis squamata 88,25±2,06 tidak berbeda nyata dengan truebreed Haliotis asinina 83,52±1,85. Sebaliknya, kedua perlakuan hybrid menunjukkan hasil
yang berbeda nyata terhadap derajat penetasan telur abalon. dan terendah adalah hybrid dengan jantan Haliotis squamata 37,58±25,43. Hybrid dengan jantan
Haliotis asinina AS memiliki persentase lebih tinggi dibandingkan resiproknya SA yait 60,14±4,80
versus 37,58±25,43 Gambar 13.
W
Huruf superscript yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata p 0,05 Huruf pertama pada penamaan perlakuan menunjukkan kelamin jantan
Gambar 13 Derajat penetasan telur abalon pada hasil pemijahan truebreed Haliotis
asinina, hybrid, truebreed Haliotis squamata Setelah dilakukan uji F terhadap derajat penetasan telur abalon pada selang
kepercayaan 95 didapatkan bahwa rekayasa pemijahan mempengaruhi perbedaan derajat
netasan telur abalon Lampiran 8. Selain itu, dapat diketahui bahwa perlakuan
hybrid dan truebreed memiliki persentase derajat penetasan telur yang berbeda nyata.
19
3.1.2.4 Perkembangan Larva
Perkembangan larva abalon yang teramati pada larva yang baru menetas trokofor hingga larva benthik berumur 10 hari disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Perkembangan larva abalon setelah menetas hingga berumur 10 hari
Perlakuan Trokofor
Veliger Awal
Veliger Larva
Benthik Awal H--2
Larva Benthik
H-10 AA
AS
SA n.d
n.d n.d
SS
n.d not detected = tidak teramati
Secara umum, perkembangan larva abalon truebreed kedua spesies AA dan SS
dan hybrid interspesifik AS dan SA menunjukkan tahap perkembangan yang
sama. Perbedaan morfologi perkembangan larva abalon terlihat pada larva hasil hibridisasi dengan jantan
Haliotis squamata SA yaitu pada fase trokofor dan fase veliger awal terlihat larva memiliki bentuk yang abnormal, dan pada fase
selanjutnya terjadi kematian yaitu pada fase veliger awal sehingga perkembangan tidak teramati lagi n.d. Selain itu terlihat juga bahwa larva abalon hasil
hibridisasi dengan jantan Haliotis asinina AS memiliki tingkah laku pergerakan
yang lebih aktif dibandingkan larva abalon hasil pemijahan lainnya. Pada penelitian ini, data pertumbuhan dan kelangsungan hidup tidak dapat diamati
karena terjadi kematian massal pada fase larva benthik.
20
3.1.2.5 Karakteristik Fenotip
Karakterisasi fenotip abalon diamati secara kualitatif pada populasi abalon Haliotis asinina tetua, populasi abalon Haliotis squamata tetua, serta populasi
hibrid dengan jantan Haliotis asinina AS disajikan pada Gambar 14.
a
d b
c
e f
Gambar 14 Keragaan abalon Haliotis asinina, Haliotis squamata, serta benih hybrid
antara jantan Haliotis asinina dan betina Haliotis squamata kiri ke
kanan: sisi atas a, b, c dan sisi bawah d, e, f Karakterisasi fenotip abalon secara kualitatif meliputi warna cangkang, kecerahan
warna cangkang, tekstur cangkang, warna tentakel, pembentukan cilia, elastisitas otot kakibadan, porsi ototdaging, serta warna ototdaging Tabel 4.
21
Pembentukan Cilia
Terlihat jelas Tidak terlihat
Tabel 4 Karakterisasi fenotipik kualitatif benih hasil hibridisasi abalon dengan jantan
Haliotis asinina dan betina Haliotis squamata
Parameter Haliotis asinina
Haliotis squamata Hibrid AS
Kemerahan
Warna Cangkang Kehijauan
Kemerahan dengan corak
kehijauan
Kecerahan Warna Cangkang
Cerah Gelap
Cerah
Tekstur
alur garis Kasar oleh adanya
alur garis
Warna Tentakel
Cokelat Hitam
Hitam jelas, halus
Terlihat jelas
Elastisitas Otot Kaki Badan
Melebar melebihi cangkang
Porsi Otot Daging
Tebal Tidak terlalu tebal
Tebal menyerupai Haliotis asinina
Warna Otot Daging
Abu-abu cerah Hitam kekuningan
Cenderung hitam Pola pewarisan karakter fenotip kualitatif abalon hasil hibridisasi dengan jantan
Haliotis asinina AS menunjukkan adanya 100 intermediate pada karakter warna cangkang dan warna otot Gambar 15. Lebih lanjut dijelaskan, seluruh
karakter fenotip kualitatif abalon hasil hibridisasi dengan jantan Haliotis asinina
AS berbeda nyata dengan kedua tetuanya yang menunjukkan adanya pola pewarisan non-mendelian, kecuali pada karakter kecerahan warna cangkang dan
porsi otot menunjukkan adanya pola pewarisan yang mendelian Lampiran 9 dan Lampiran 10.
,
Gambar 15 Pola pewarisan karakter fenotipik pada benih abalon hibridisasi dengan jantan
Haliotis asinina AS 22
s
Sedangkan karakterisasi fenotip abalon secara kuantitatif meliputi 6 karakter morfometrik. Keragaman interpopulasi CV 6 karakter morfometrik pada ketiga
populasi abalon AA, SS, AS disajikan pada Gambar 16. Koefisien keragaman fenotip morfometrik pada abalon berkisar antara 00,06-0,14
Haliotis asinina, 0,07-0,13
Haliotis squamata, dan 0,06-0,12 hibrid dengan jantan Haliotis asinina. Analisis koefisien keragaman berdasarkan Uji Levene menunjukkan
bahwa 6 karakter pada benih hibrid berbeda nyata terhadap kedua tetuanya. Karakter D3 menunjukkan bahwa koefisien keragaman pada benih hibrid lebih
rendah 0.12 dan berbeda nyata terhadap tetuanya, sebaliknya antar kedua tetuanya menunjukkan koefisien keragaman yang berbeda nyata dengan kofisien
keragaman Haliotis asinina 0.14 yang lebih tinggi dibandingkan Haliotis
squamata 0.13. Koefisien keragaman benih hibrid terlihat lebih tinggi dibandingkan kedua tetuanya pada karakter SL. Pada karakter D2 dan D4,
koefisien keragaman benih hibrid lebih tinggi dibandingkan induk betinanya Haliotis squamata.
, ,
abc abc
abc abc
aab abc
t ,
D
Gambar 16 Koefisien keragaman CV karakter morfometrik abalon Haliotis asinina,
Haliotis squamata, dan benih hibrid dengan induk jantan Haliotis asinina AS
3.1.2.6 Hubungan I nterpopulasi Abalon
Hubungan interpopulasi abalon Haliotis asinina tetua, Haliotis squamata
tetua, serta keturunan benih hasil hibridisasi antara jantan Haliotis asinina dan
betina Haliotis squamata disajikan dalam bentuk dendrogram Gambar 17.
23
,
Gambar 17 Hubungan interpopulasi abalon Haliotis asinina, Haliotis squamata, dan
benih hasil
hibridisasi dengan
jantan Haliotis
asinina berdasarkan
kemiripan karakter morfometrik Berdasarkan kesamaan karakter morfometriknya, terlihat bahwa benih abalon
hasil hibridisasi memiliki kemiripan mencapai 98,69 dengan tetua betinanya yaitu abalon
Haliotis squamata, dan kemiripannyaa dengan abalon Haliotis asinina mencapai 98,38. Secara genetis benih hasil hibridisasi antara jantan
Haliotis asinina dan Haliotis squamata mewarisi induk betinanya Haliotis squamata,
namun ekspresi fenotipiknya 1,31 dipengaruhi oleh faktor lain.
3.1.2.7 Heritabilitas
Pendugaan nilai heritabilitas dilakukan dengan mencari hubungan antara benih abalon hasil hibridisasi dengan kedua tetuanya, yakni induk jantan
Haliotis asinina dan induk betina Haliotis squamata Gambar 18 dan Lampiran 11.
, ,
t
D
Gambar 18 Nilai heritabilitas berdasarkan karakter morfometrik benih abalon hasil hibridisasi terhadap kedua tetuanya
24
Nilai heritabilitas didapatkan berkisar antara 0,62-1,44 untuk benih abalon hasil hibridisasi dengan induk jantannya
Haliotis asinina. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman morfometrik benih abalon hasil hibridisasi dipengaruhi oleh genetik
induk jantannya sebesar 0,62-1,44, selebihnya disebabkan oleh faktor lingkungan. Nilai heritabilitas terendah yang dipengaruhi oleh induk jantan
Haliotis asinina terdapat pada karakter D1 sebesar 0,62, sedangkan yang tertinggi terdapat pada karakter SW sebesar 1, 44.
Selanjutnya, nilai heritabilitas didapatkan berkisar antara 0,73-1,02 untuk benih abalon hasil hibridisasi dengan induk betinanya
Haliotis squamata. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman morfometrik benih abalon hasil
hibridisasi yang dipengaruhi oleh genetik induk betinanya adalah sebesar 0,73- 1,02, selebihnya disebabkan oleh faktor lingkungan. Nilai heritabilitas terendah
yang dipengaruhi oleh induk betina Haliotis squamata terdapat pada karakter D1
sebesar 0,73, sedangkan yang tertinggi terdapat pada karakter D4 sebesar 1,02.
3.1.2.8 Kualitas Air
Parameter kualitas air yang diukur selama penelitian ini disajikan dalam Tabel 5. Beberapa parameter kualitas air menunjukkan nilai yang berada di luar
kisaran optimum menurut Tahang et al. 2006 yakni parameter suhu lebih rendah
24-28°C, salinitas lebih tinggi 34-38 ppt, dan DO rendah 2,3-3,8 mgL. Tabel 5 Kualitas air pada wadah pemijahan abalon dan pemeliharaan larva abalon
Parameter Satuan
Wadah Pemijahan
Wadah Pemeliharaan
Pustaka Tahang
et al. 2006
Suhu °C
26-28 24-28
29,5-30 pH
- 7,2-7,4
7,2-7,5 7-8
Salinitas ppt
34-38 34-38
30-33 DO
mgL 3,0-4,2
2,3-3,8 3
TAN mgL
0,12-0,15 0,12-0,15
1 Nitrit
mgL 0,05
0,05 1
3.2 Pembahasan