Nilai heritabilitas didapatkan berkisar antara 0,62-1,44 untuk benih abalon hasil hibridisasi dengan induk jantannya
Haliotis asinina. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman morfometrik benih abalon hasil hibridisasi dipengaruhi oleh genetik
induk jantannya sebesar 0,62-1,44, selebihnya disebabkan oleh faktor lingkungan. Nilai heritabilitas terendah yang dipengaruhi oleh induk jantan
Haliotis asinina terdapat pada karakter D1 sebesar 0,62, sedangkan yang tertinggi terdapat pada karakter SW sebesar 1, 44.
Selanjutnya, nilai heritabilitas didapatkan berkisar antara 0,73-1,02 untuk benih abalon hasil hibridisasi dengan induk betinanya
Haliotis squamata. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman morfometrik benih abalon hasil
hibridisasi yang dipengaruhi oleh genetik induk betinanya adalah sebesar 0,73- 1,02, selebihnya disebabkan oleh faktor lingkungan. Nilai heritabilitas terendah
yang dipengaruhi oleh induk betina Haliotis squamata terdapat pada karakter D1
sebesar 0,73, sedangkan yang tertinggi terdapat pada karakter D4 sebesar 1,02.
3.1.2.8 Kualitas Air
Parameter kualitas air yang diukur selama penelitian ini disajikan dalam Tabel 5. Beberapa parameter kualitas air menunjukkan nilai yang berada di luar
kisaran optimum menurut Tahang et al. 2006 yakni parameter suhu lebih rendah
24-28°C, salinitas lebih tinggi 34-38 ppt, dan DO rendah 2,3-3,8 mgL. Tabel 5 Kualitas air pada wadah pemijahan abalon dan pemeliharaan larva abalon
Parameter Satuan
Wadah Pemijahan
Wadah Pemeliharaan
Pustaka Tahang
et al. 2006
Suhu °C
26-28 24-28
29,5-30 pH
- 7,2-7,4
7,2-7,5 7-8
Salinitas ppt
34-38 34-38
30-33 DO
mgL 3,0-4,2
2,3-3,8 3
TAN mgL
0,12-0,15 0,12-0,15
1 Nitrit
mgL 0,05
0,05 1
3.2 Pembahasan
Abalon merupakan salah satu komoditas perairan dunia yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Tingginya tingkat permintaan abalon menjadi salah satu
penyebab pentingnya mencari metode alternatif untuk meningkatkan produksi 25
abalon yang berkualitas baik dan berkelanjutan. Persilangan dengan teknik rekayasa pemijahan antar spesies berbeda interspesifik diharapkan menjadi salah
satu langkah untuk mendapatkan benih yang lebih berkualitas Freeman 2001. Dalam teknologi pembenihan, pemilihan teknik dan skala pemijahan yang
tepat menentukan keberhasilan produksi benih yang optimum terutama dalam penerapan selektif breeding dan hibridisasi untuk memproduksi benih unggul
Santoso 2012. Metode pemijahan buatan pada abalon antara lain dengan cara perlakuan
suhu pengeringan, photoperiod, penyinaran dengan sinar ultra violet, atau menggunakan bahan kimia hidrogen peroksida dan kombinasi beberapa metode
Soleh dan Suwoyo 2008. Dalam penelitian pendahuluan diperoleh hasil pemijahan abalon yang tertinggi pada tingkat kematangan gonad yang berbeda
antara abalon Haliotis asinina dan Haliotis squamata yaitu dengan pemijahan
secara alami skala massal. Ketidaksesuaian proses pematangan diduga terkait dengan perbedaan ukuran induk, lama waktu kematangan gonad, dan musim
pemijahan pada kedua spesies Soleh dan Suwoyo 2008. Pada masa pengembangan gonad akhir menuju matang, individu akan sulit untuk dipijahkan
meskipun dengan perangsangan induksi. Menurut Najmudeen dan Vector 2003, keberhasilan induksi pemijahan dengan teknik pengeringan tercapai pada saat
gonad hewan telah masak penuh. Secara umum, abalon tropis hampir memijah sepanjang tahun kecuali pada bulan Mei-Juni yang merupakan masa istirahat
Capinpin et al. 1998. Menurut Singhagraiwan dan Doi 1992, rendahnya
periode pemijahan terjadi pada April-Juni suhu air tinggi dan puncak periode pemijahan terjadi pada Oktober suhu air rendah. Penelitian ini dilakukan pada
bulan Mei-Juli dimana jumlah induk yang matang gonad terbatas, maka digunakan teknik pemijahan alami skala massal.
Tahapan kritis pada pembenihan abalon adalah saat fertilisasi sel telur oleh sperma atau pertemuan gamet jantan dan betina. Berdasarkan hasil pengamatan
derajat pembuahan telur pada penelitian ini menunjukkan bahwa truebreeding
memiliki derajat pembuahan telur yang lebih tinggi dibandingkan dengan hibridisasi. Hal ini dimungkinkan akibat tidak sinkronnya waktu pemijahan antara
Haliotis asinina dan Haliotis squamata dengan teknik pemijahan alami. Haliotis
26
asinina memijah pada dini hari, sedangkan Haliotis squamata memijah pada pagi hari. Selain itu, dimungkinkan pula akibat kematangan gonad indukan yang tidak
merata secara individual sehingga keberhasilan pemijahan rendah pada hibridisasi. Pada hibridisasi dengan jantan
Haliotis asinina menunjukkan derajat pembuahan telur yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan resiproknya.
Keberhasilan pembuahan dipengaruhi oleh kualitas sperma yang baik yaitu memiliki energi yang cukup pada proses pembuahan dan pergerakan yang aktif.
Hal ini berhubungan dengan ukuran telur abalon yang kecil serta tidak memiliki mikrofil dan spermatozoa abalon memiliki akrosom yang memegang peranan
penting pada fertilisasi Gwo et al. 2002. Pada proses pembuahan telur,
spermatozoa memiliki peran penting yakni penetrasi ke dalam telur, kemudian melebur dengan membran telur, dan melakukan reaksi akrosomal Gwo
et al. 2002.
Derajat pembuahan
rata-rata pada
truebreed Haliotis
asinina 94,73±1,22. Waktu kontak sperma dengan telur singkat yaitu berkisar 2 menit
dan tingkat fertilisasi berkisar 87-90 Gwo et al. 2002. Pada hibridisasi dengan
jantan Haliotis squamata memiliki tingkat pembuahan yang paling rendah
67,13±7,57 dimana truebreed Haliotis squamata mencapai 90,60±2,34.
Dalam penelitian ini, ditemukan telur sudah mati sebelum dibuahi karena perbedaan waktu pemijahan yang lama. Menurut Ebert dan Hamilton 1983;
Encena et al. 1998, telur Haliotis asinina masih dapat dibuahi 2 jam setelah
dipijahkan menggunakan konsentrasi sperma 1 10
5
sperma ml
-1
, namun tingkat fertilisasi dan perkembangan zigot akan menurun sejalan dengan waktu.
Pasca fertilisasi, perkembangan telur pun dimulai dari masa inkubasi sampai
dengan menetas.
Proses perkembangan
hingga penetasan
telur embriogenesis dipengaruhi oleh kualitas telur dan zigot hasil pembuahan.
Embriogenesis berhasil apabila telur memiliki cukup energi untuk berlangsungnya pembelahan sel dan organogenesis. Secara umum, proses perkembangan embrio
pada truebreeding dan hibridisasi menunjukkan tahapan yang sama Gambar 12
tetapi berbeda waktu. Waktu perkembangan yang dibutuhkan oleh embrio hasil hibridisasi relatif lebih lama dibandingkan dengan embrio
truebreed, yaitu sekitar 2-3 jam lebih lama pada suhu inkubasi 27-28°C saat penetasan Tabel 6. Menurut
Blanc dan Chevassus 1979, lama waktu perkembangan embrio hybrid dapat
27
menyerupai salah satu dari induknya, di antara keduanya, atau bahkan lebih lama dari induknya. Di samping itu, ploidi dari
hybrid memungkinkan berpengaruh terhadap parameter lama embriogenesis Chevassus 1983. Kegagalan dan
hancurnya membran telur serta perkembangan abnormal dari zigot berhubungan dengan tingginya konsentrasi sperma, yaitu tingginya tingkat akrosomal lisin
sperma yang melebur dalam membran oosit. Tanpa adanya lapisan pelindung, telur dan embrio cukup rapuh dan cenderung untuk lisis Encena
et al. 1998. Konsentrasi
sperma yang
diperlukan untuk
fertilisasi maksimal
dan perkembangan normal trokofor
Haliotis asinina yakni sebesar 5 10
3
hingga 1 10
5
sperma ml
-1
Encena et al. 1998. Berdasarkan hasil pengamatan derajat penetasan telur,
truebreed memiliki derajat penetasan telur yang lebih tinggi dibandingkan
hybrid. Pada hibridisasi dimungkinkan
terjadi perkembangan
embrio yang
abnormal sehingga
menyebabkan terhentinya embriogenesis dan gagal menetas. Abnormalitas embrio dapat diakibatkan oleh kondisi lingkungan yang tidak optimal, konsentrasi sperma
yang tidak optimal, serta adanya kontaminasi sperma oleh lendir, air laut, dan feses Gwo
et al. 2002. Menurut Clavier 1992, tingginya konsentrasi sperma selama fertilisasi mampu melisiskan membran sel telur sehingga mengakibatkan
sel telur tidak aktif atau persentase trokofor yang abnormal meningkat. Sebaliknya, sel telur tidak terbuahi jika konsentrasi sperma sangat rendah,
tertundanya atau kegagalan pemijahan induk jantan Encena et al. 1998.
Pada hibridisasi dengan betina Haliotis squamata, derajat penetasan telur
lebih tinggi dibandingkan perlakuan resiproknya. Dalam hal ini, diduga terkait dengan ukuran telur
Haliotis squamata yang lebih besar dibandingkan ukuran telur
Haliotis asinina. Menurut Soleh dan Suwoyo 2008, telur Haliotis asinina memiliki diameter 160-268 mikron dan telur abalon tokobushi
Haliotis squamata memiliki diameter 260-271 mikron. Selain itu, kuning telur sebagai
bagian organ penting dalam proses perkembangan harus cukup menyediakan sumber energi bagi bakal embrio Hikmawan 2008.
Individu hasil hibridisasi interspesifik akan mewarisi set kromosom yang berasal dari kedua tetuanya. Pada perkawinan antar spesies yang memiliki
hubungan kekerabatan jauh dimungkinkan memiliki jumlah kromosom homolog
28
yang lebih sedikit dan ketidakteraturan pada genom keturunan hibridanya. Pada situasi ini, beberapa mekanisme dalam tubuh akan menyesuaikan dengan fungsi
dari genom baru yang terbentuk, agar individu dapat bertahan hidup Cuellar 1974 dalam Nicolescu 2003. Perkembangan larva abalon hasil hibridisasi dengan
jantan Haliotis squamata menunjukkan bentuk yang abnormal pada fase trokofor
dan fase veliger awal Tabel 3. Fase selanjutnya tidak dapat teramati akibat terjadinya kematian yang tinggi pada fase veliger awal. Ketidakmampuan
bertahan hidup yang terjadi pada larva abalon hasil hibridisasi antara jantan Haliotis
squamata dan
betina Haliotis
asinina diduga
terkait dengan
ketidaksesuaian genom atau rendahnya jumlah kromosom homolog, serta kurangnya kecukupan energi pada media hidup dengan kualitas air yang kurang
sesuai. Rendahnya kelangsungan hidup larva hasil hibridisasi juga bisa disebabkan karena ekspresi dari beberapa gen lethal akibat ketidaksesuaian genom
pada hibrida sehingga mekanisme regulasi genetik menjadi terganggu, atau kehilangan
fitness Nicolescu 2003. Ketidaksesuaian lingkungan hidup terkait dengan tingginya kematian pada larva hibrid diduga karena suhu dan salinitas
yang kurang sesuai sehingga menurunkan laju pertumbuhan, inefisiensi penggunaan energi metabolisme, kematian mendadak atau bertahap. Suhu media
pemeliharaan yang rendah 24-28°C berkorelasi dengan penurunan tingkat metabolisme, sehingga laju pertumbuhan dari larva abalon terhambat. Pada fase
awal, larva membutuhkan banyak energi dari kuning telurnya endogenous
feeding untuk berkembang normal, selanjutnya sumber energi diperoleh dari hasil metabolisme sehingga jika ketersediaan energi untuk perkembangan larva rendah
maka kelangsungan pertumbuhan tidak dapat berlanjut. Demikian pula salinitas mempengaruhi tekanan osmotik dan proses osmoregulasi ikan terhadap
lingkungan. Salinitas yang berada di luar toleransi 34-38 ppt menyebabkan larva abalon harus mengeluarkan energi lebih banyak untuk osmoregulasi. Tingginya
tingkat osmoregulasi yang tidak diimbangi dengan tingginya tingkat metabolisme menyebabkan proses fisiologis larva tidak berjalan normal seperti pada kasus
larva hibrida SA diduga kematiannya terkait dengan rendahnya ketersediaan energi sehingga larva pun tidak mampu bertahan hidup. Sebaliknya, larva abalon
hasil hibridisasi dengan jantan Haliotis asinina memiliki tingkah laku pergerakan
29
larva yang lebih aktif dibandingkan. Hal ini terkait dengan kemampuannya melewati fase awal yang merupakan fase kritis dan penting dalam siklus
hidupnya. Keberhasilan suatu spesies untuk melewati fase awal merupakan suatu indikator keunggulan karena memiliki peluang besar untuk tumbuh dan hidup
hingga dewasa Wuwungan 2009. Fenotip kualitatif abalon hasil hibridisasi antara jantan
Haliotis asinina dan betina
Haliotis squamata AS menunjukkan kecenderungan kemiripan fenotip cangkang terhadap induk jantannya
Haliotis asinina serta fenotip ototdaging terhadap induk betinanya
Haliotis squamata Tabel 4. Pola pewarisan karakter fenotip kualitatif abalon hasil hibridisasi dengan jantan
Haliotis asinina AS menunjukkan adanya karakter 100
intermediate non-mendelian yang diduga terjadi akibat pola aksi gen dominansi tidak penuh ataupun aditif pada
karakter warna cangkang dan warna otot Gambar 15, sehingga menghasilkan fenotip unik
intermediate Tave 1995. Hal ini didukung oleh Chevassus 1983 yang menyatakan bahwa hasil hibridisasi umumnya memiliki karakteristik yang
berada di antara kedua sifat spesies induknya. Melalui uji chi kuadrat diketahui bahwa seluruh karakter berbeda nyata
dengan kedua tetuanya yang menunjukkan adanya pola pewarisan non-mendelian, kecuali pada karakter kecerahan warna cangkang dan porsi otot yang
menunjukkan adanya pola pewarisan mendelian Lampiran 10. Pada karakter tekstur cangkang, warna tentakel, pembentukan cilia, serta elastisitas otot diduga
terjadi penyimpangan ekspresi fenotip yang dimungkinkan akibat adanya pola aksi gen multialelik, pleitropik, ataupun fenokopi dan modifikasi Tave 1995.
Berdasarkan karakteristik kuantitatif benih abalon hasil hibridisasi dengan jantan
Haliotis asinina AS menunjukkan rata-rata koefisien keragaman yang rendah Gambar 16. Hal ini diduga berhubungan dengan rendahnya variasi
genetik dan tingginya kemiripan kedua spesies abalon berdasarkan dendrogram morfometrik Gambar 17. Karakter D3 menunjukkan kedua tetua abalon tidak
berbeda nyata tetapi berbeda nyata dengan hibridanya dan diduga merupakan penciri jenis abalon yang umum di masyarakat. Karakter SL menunjukkan adanya
koefisien keragaman hibrid yang berbeda nyata dan lebih tinggi dari kedua tetuanya. Pada karakter SL yang ditunjukkan hibrid diduga terjadi konfigurasi
30
genetik sehingga variasi genetik luruh. Berkurangnya lokus polimorfisme serta jumlah alel per lokus berakibat meningkatkan homogenitas populasional
Sulistiyono et al. 2005. Selain itu, sistem pembenihan dalam lingkungan yang
tertutup dengan jumlah individu yang terbatas dalam waktu yang lama memungkinkan adanya
genetic drift penghanyutan gen sehingga dapat menurunkan variasi genetik. Lebih lanjut dijelaskan oleh Smith McKoy 1980
bahwa hilangnya variasi genetik juga dapat disebabkan oleh menurunnya proporsi heterozigositas dan naiknya proporsi homozigot karena perkawinan yang tidak
teracak non-random mated. Koefisien keragaman rendah diduga akibat
pemeliharaan abalon hibrida dan truebreed dilakukan dalam satu wadah dimana
input genetik abalon Haliotis squamata dan Haliotis asinina menunjukkan
kemiripan fenotipik yang tinggi. Hal ini serupa dengan riset Senanan et al. 2004,
yaitu keragaman genetik ikan Clarias macrocephalus diduga dipengaruhi oleh
adanya input genetik dari ikan Trichogaster pectoralis yang dipelihara dalam satu
wadah pemeliharaan. Fenotip kualitatif umumnya bersifat tidak aditif, sedangkan fenotip kuantitatif umumnya dikontrol oleh banyak gen yang aksinya bersifat
aditif Noor 1996 dimana faktor lingkungan akan memengaruhi ekspresi fenotip suatu individu. Menurut Dwidjoseputro 1977, genotip yang sama akan
menunjukkan fenotip yang berlainan jika faktor lingkungan bagi fenotip itu berlainan. Pengaruh lingkungan terhadap sifat kuantitatif relatif lebih besar
dibandingkan sifat kualitatif. Benih abalon hasil hibridisasi antara abalon
Haliotis asinina dan Haliotis squamata menunjukkan keragaman yang lebih rendah dibandingkan truebreed
masing-masing spesiesnya. Secara genetik, prinsip crossbreeding adalah dapat
meningkatkan heterozigositas dengan demikian akan meningkatkan keragaman genetik dan
fitness populasi Hardjosubroto 1999. Semakin beragam sumberdaya genetik suatu populasi, akan semakin tinggi kemampuan populasi tersebut untuk
bertahan hidup dalam jangka waktu yang lama dan semakin tinggi pula daya adaptasinya terhadap perubahan lingkungan sekitar. Leary
et al. 1985 dalam Wuwungan 2009 menyatakan fenotip individu dengan keragaman genetik yang
tinggi menunjukkan fitness yang lebih baik meliputi laju pertumbuhan, fekunditas,
viabilitas, serta daya tahan terhadap perubahan lingkungan dan stres.
31
Penyimpangan hasil hibridisasi dengan tingkat keseragaman tinggi diduga terkait dengan kondisi budidaya pada populasi abalon ini, dimana secara genetis
keragamannya cukup tinggi. Berdasarkan kesamaan karakter morfometriknya Gambar 17, terlihat
bahwa benih abalon hasil hibridisasi antara jantan Haliotis asinina dan betina
Haliotis squamata menunjukkan hubungan yang dekat dengan abalon Haliotis squamata sebesar 98,69 maupun abalon Haliotis asinina menunjukkan 98,38.
Namun, secara genetis benih hasil hibridisasi dengan jantan Haliotis asinina lebih
banyak mewarisi sifat dari induk betinanya Haliotis squamata. Nilai pewarisan
karakter morfometrik yang dihitung pada benih abalon hasil hibridisasi dengan induk betinanya
Haliotis squamata menunjukkan kisaran heritabilitas yang relatif rendah 0,73-1,02. Nilai heritabilitas yang rendah menunjukkan ekspresi sifat
tersebar, dipengaruhi oleh lingkungan ataupun jumlah induk yang digunakan
dalam pemijahan Vandeputte et al. 2004. Nilai heritabilitas yang rendah juga
menunjukkan perbedaan lingkungan pemeliharaan antara induk dan keturunannya berpengaruh terhadap perubahan ekspresi fenotipnya. Menurut Mulyasari
et al. 2010, truss morfometrik sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Variasi fenotip
kuantitatif merupakan gabungan antara variasi genetik, variasi lingkungan, serta interaksi genetik dengan lingkungan Tave 1999. Pengaruh lingkungan terhadap
setiap individu akan menunjukkan cerminan karakteristik yang berbeda. Potensi genetik dapat terealisasi dengan baik apabila lingkungan mendukung ekspresi
fenotip secara optimal Dunham 2004. Kondisi lingkungan yang optimal akan mendukung kemampuan tumbuh organisme, begitu pula sebaliknya.
32
I V. KESI MPULAN
Hibridisasi interspesifik antara jantan Haliotis asinina dan betina Haliotis
squamata menunjukkan derajat pembuahan dan penetasan yang lebih tinggi dari hibrid resiproknya, namun masih lebih rendah dibandingkan
truebreed. Keragaman benih hibrid dengan jantan
Haliotis asinina lebih tinggi dari truebreed pada karakter panjang cangkang SL, jarak diagonal antara titik lebar cangkang
bagian atas dan titik tengah ujung cangkang D2, dan jarak diagonal antara titik lebar cangkang bagian bawah dan titik pangkal lubang respirasi D4 dan
menunjukkan kemiripan dengan induk betinanya yakni Haliotis squamata
98,69 serta dengan kisaran heritabilitas 0,73-1,02.
DAFTAR PUSTAKA
Antaramataram. 2010. NTB belum mampu penuhi permintaan ekspor abalon. http:www.antaramataram.comberita?rubrik=3id=9214 [6 Juni 2011].
[BBL Lombok] Balai Budidaya laut Lombok. 2010. Metode pembenihan abalon Haliotis spp.. Disampaikan pada Acara Pelatihan Budidaya Kerang
Abalon Bagi Petugas Teknis Se-Wilayah Kerja Prop NTB, NTT, Bali. Sekotong, 17-22 Mei 2010.
Blanc JM, Chevassus B. 1979. Interspecific hybridization of salmonid fish. I. Hatching and survival up to the 15
th
day after hatching in Fl generation hybrids. Aquaculture 18: 21-34.
Bonang. 2008. Abalon makanan bermanfaat: produksi benih kerang abalon Haliotis
asinina di Loka Budidaya Laut Lombok. http:www.faperta.ugm.ac.id [9 Juni 2011].
Capinpin Jr EC, Encena II VC, Bayona NC. 1998. Studies on the reproductive biology of the Donkey’s ear abalone,
Haliotis asinina Linne. Aquaculture 166: 141-150.
Chevassus B. 1983. Hybridization in fish. Aquaculture 33: 245-262. Clavier J. 1992. Fecundity and optimal sperm density for fertilization in the ormer
Haliotis tuberculata L.. In: Shepherd SA, Tegner MJ, Guzman del Proo SA. ed. Abalone of The World: Biology, Fisheries, and Culture. Oxford,
UK: Blackwell Scientific Publications, 1992. 86-94p. Dunham RA. 2004. Aquaculture and Fisheries Biotechnology: Genetic
Approaches. UK: CABI publishing. 372 pp. Dwidjoseputro D. 1977.
Pengantar Genetika. Jakarta: Bhratara. Ebert EE, Hamilton RM. 1983. Ova fertility relative to temperature and to the
time of gamete mixing in the red abalone, Haliotis rufescens.
http:www.ebooksread.comauthors-engcalifornia-dept-of-fish-and-game california-fish-and-game-volume-69-no-2-ilapage-6-california-fish-and-
game-volume-69-no-2-ila.shtml [30 Oktober 2012]. Effendie MI. 1979. Biologi Perikanan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara.
Encena VC, Capinpin EC, Bayona NC. 1998. Optimal sperm concentration and time for fertilization of the tropical abalone,
Haliotis asinina Linne 1758. Aquaculture 165: 347-352.
Freeman KA. 2001. Aquaculture and related biological attributes of abalon species ini Australia. Departement of Fisheries, Western Australia
Marine Research Laboratories. Gwo JC, Chen CW, Cheng HY. 2002. Semen cryopreservation of small abalone
Haliotis diversicolor supertexa. Theriogenology 58: 1563-1578. Hardjosubroto W. 1999. Pengantar Genetika Hewan. Yogyakarta: CV. Makmur.
Hikmawan F. 2008. Embriogenesis ikan synodontis Synodontis eupterus
Boulenger, 1901 [skripsi]. Bogor: Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Hone PW, Fleming AE. 1998. Abalone. In: Hone PW. Ed. Proceedings of the
Biotechnology Aquaculture Workshop: Abalone Artificial diets, July, 1992. South Australian Department of Fisheries Research Branch.
Kalenderbali. 2012. Kalender bali digital. http:www.kalenderbali.org [1 Maret 2012].
Lewis CA, Leighton DL, Vacquier VD. 1980. Morphology of abalone spermatozoa before and after the acrosome reaction. Ultrastructure
Research 72: 39-46. Mulyasari, Soelistyowati DT, Kristanto AH, Kusmini II. 2010. Karakteristik
genetik enam populasi ikan nilem Osteochilus hasselti di Jawa Barat.
Riset Akuakultur 5: 175-182. Najmudeen TM, Victor ACC. 2003. Annual reproductive cycle of the tropical
abalone Haliotis varia Linnaeus in Mandapam waters of Gulf of Mannar.
In: Book of Abstracts-First Indian Pearl Congress and Exposition, 5-8
February 2003. Central Marine Fisheries Research Institute, Cochin, pp. 88-90.
Nicolescu C. 2003. Study about the origin and the cellular genetic mechanisms responsible for the chromosome polymorphism in some interspesific
hybrids in fish. Tome IV: University Valahia, Targoviste. Noor RR. 1996. Genetika Ternak. Jakarta: Penebar Swadaya.
Nurhidayat, Zamroni M, Kadarini T. 2011. Pengaruh fotoperiod terhadap pola pemijahan ikan pelangi kurumoi
Melanotaenia parva. Balai Riset Budidaya
Ikan Hias
BRBIH, Depok.
http:www.aquaculture- mai.orgindex.php?option=com_contentview=articleid=222:pengaruh-
fotoperiod-terhadap-pola-pemijahan-ikan-pelangi-kurumoi-melanotaenia- parva-catid=1:latest-news [20 Oktober 2012].
Santoso P. 2012. Pemijahan tiram Crassostrea cucullata Born dengan teknik
kejut suhu. http:www.aquaculture-mai.orgindex.php?option=com_conte ntview=articleid=216:pemijahan-tiram-crassostrea-cucullata-born-den
gan-teknik-kejut-suhucatid=1:latest-news [7 Oktober 2012]. Sarifin, Bayu P, Hery S, Gagan G, Arif S, Ade Y. 2011. Petunjuk Teknis
Budidaya Abalon Haliotis spp. Balai Budidaya Laut Lombok, Direktorat
Jenderal Perikanan Budidaya, Kementrian Kelautan dan Perikanan. Senanan W, Kapuscinski AR, Na-Nakorn U, Miller LM. 2004. Genetic impacts of
hybrid catfish farming Clarias macrocephalus×C. gariepinus on native
catfish populations in central Thailand. Aquaculture 235: 167-184. Setyabudi H, Taufan H, Arif S, Ade Y. 2010. Rekayasa breeding kerang abalon
dengan menggunakan induk yang berasal dari lokasi berbeda. In: Laporan
Hasil Perekayasaan Tahun 2009. Balai Budidaya Laut Lombok,
35
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Kementrian Kelautan dan Perikanan.
Setyono DED. 2004. Pengetahuan dasar akuakultur. Oseana 29: 27-32. Singhagraiwan T, Doi M. 1992. Spawning pattern and fecundity of the Donkey’s
ear abalone, observed in captivity. Thai. Mar. Fish. Res. Bull. 3: 61-69. Smith PJ, McKoy JL. 1980. Genetic variation in the Rock Lobster
Jasus edwardsii and Jasus novaeholladiae. New Zealand Journal of Marine and
Fresh Water Research 14: 55-63. Soleh M, Suwoyo D. 2008. Rangsang kejut suhu sistim basah dalam proses
pemijahan massal abalon Haliotis sp. Media Budidaya Air Payau
Perekayasaan 7: 25-37. Suara
Merdeka. 2011.
Kerang abalon,
si mahal
penuh manfaat.
http:suaramerdeka.comv1index.phpreadcetak2011040114185515 Kerang-Abalon-si-Mahal-Penuh-Manfaat [6 Juni 2011].
Sudrajat A. 2008. Budidaya 23 Komoditas Laut Menguntungkan. Depok: Penebar Swadaya.
Sujangka A. 2012. Formulasi pakan tambahan agar moist untuk pematangan gonad abalon [tidak dipublikasikan].
Sulistiyono E, Sutarno, Moria SB. 2005. Variasi genetik populasi udang putih Penaeus merguensis de Man di Juwana dan Banyuwangi berdasarkan
data elektroforesis enzim. Bioteknologi 2: 1-8. Susanto B, Rusdi I, Ismi S, Rahmawati R. 2008. Perbenihan dan pembesaran
abalon Haliotis squamata di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut
Gondol Bali. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali. Tahang M, Imron, Bangun. 2006. Pemeliharaan kerang abalon
Haliotis asinina dengan metode
pen-culture kurungan tancap dan keramba jaring apung KJA. Balai Budidaya Laut Lombok. Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan. Tave D. 1992. Genetics for Fish Hatchery Managers 2
nd
edition. New York: AVI Book.
Tave D. 1995. Selective breeding programmes for medium-sized fish farms. Fisheries Technical Paper. No. 352, FAO. 122p.
Tave D. 1999. Inbreeding and brood stock management. Fisheries Technical
Paper. No. 392, FAO. 122p. Thai Abalon. 2011. Abalon
Haliotis asinina. http:www.thailandabalon.com [30 Januari 2011].
36
Vandeputte M, Kocour M, Mauger S, Dupont-Nivet M, Guerry DD, Rodina M, Gela D, Vallod D, Chevassus B, Linhart O. 2004. Heritability estimates
for growth-related traits using microsatellite parentage assignment in juvenile common carp
Cyprinus carpio L.. Aquaculture 235: 223-236. Wuwungan H. 2009. Keragaan benih udang galah
Macrobrachium rosenbergii hasil perkawinan secara
inbreeding, outbreeding, dan crossbreeding [skripsi]. Bogor: Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya,
Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Zipcodezoo. 2007a. Haliotis asinina. http:zipcodezoo.comAnimalsHHaliotis_
squamata [5 Oktober 2012]. Zipcodezoo. 2007a.
Haliotis asinina. http:zipcodezoo.comAnimalsHHaliotis_ asinina [5 Oktober 2012].
37
LAMPI RAN
Lampiran 1 Klasifikasi Abalon
Haliotis asinina
dan
Haliotis squamata
Zipcodezoo 2007a; Zipcodezoo 2007b
Domain : Eukaryota
Kingdom : Animalia
Subkingdom : Bilateria
Superfilum : Eutrochozoa
Filum : Mollusca
Subfilum : Conchifera
Kelas : Gastropoda
Subkelas : Orthogastropoda
Superordo : Vetigastropoda
Ordo : Archaeogastropoda
Superfamili : Haliotoidea
Famili : Haliotidae
Genus :
Haliotis Spesies
: Haliotis asinina
Linnaeus 1758
Haliotis asinina Domain
: Eukaryota Kingdom
: Animalia Subkingdom
: Bilateria Superfilum
: Eutrochozoa Filum
: Mollusca Subfilum
: Conchifera Kelas
: Gastropoda Subkelas
: Orthogastropoda Superordo
: Vetigastropoda Ordo
: Archaeogastropoda Superfamili
: Haliotoidea Famili
: Haliotidae Genus
: Haliotis
Spesies :
Haliotis squamata Linnaeus 1758
Haliotis squamata
39
1 ♂
2 ♂
3 ♂
2 ♂
1 ♂
2 ♂
3 ♂
2 ♂
3 ♂
4 ♂
Lampiran 2 Rataan Panjang dan Bobot I nduk Abalon yang Digunakan
Kode Perlakuan
♂ ♀
Ulangan Jenis
Kelamin Rataan
Panjang Cangkang
cm SD Panjang
Cangkang cm
Rataan Bobot
g SD
Bobot g
5.48 0.40
49.27 6.42
♀
5.58 0.36
57.28 16.90
P1 Asinina
Asinina
P2 Asinina
Squamata
5.88 0.62
55.68 15.00
♀
5.64 0.42
52.53 9.99
5.36 0.27
42.27 7.04
♀
5.64 0.40
50.05 4.38
5.44 0.54
49.37 13.10
♀
5.44 0.32
52.36 4.57
5.32 0.26
45.04 8.10
♀
5.70 0.37
40.26 5.31
5.38 0.49
46.19 11.70
♀
5.78 0.33
40.74 4.48
5.50 0.45
39.04 8.70
♀
5.56 0.40
39.46 6.47
4 ♂
5.52 0.19
39.98 2.84
♀
5.68 0.19
41.06 2.54
5.98 0.36
51.09 11.80
♀
5.60 0.66
45.01 18.30
P3 Squamata
Asinina
P4 Squamata
Squamata
5.74 0.55
46.89 12.00
♀
5.62 0.26
47.03 7.86
5.64 0.51
42.78 11.30
♀
5.34 0.26
47.69 9.32
5.60 0.50
38.25 9.66
♀
5.60 0.41
44.64 8.98
5.68 0.18
35.27 3.26
♀
5.62 0.39
39.36 4.50
5.24 0.21
34.96 1.22
♀
5.80 0.16
39.67 1.48
5.92 0.30
48.11 15.10
♀
5.82 0.18
40.21 3.69
5.68 0.48
39.96 8.93
♀
5.68 0.31
40.02 2.54
merupakan hasil dari perhitungan 5 individu untuk setiap perlakuan dan ulangan
40
Lampiran 3 Formulasi dan Pembuatan Pakan Tambahan untuk Pematangan Gonad Abalon Sujangka 2012
belum dipublikasikan hasil diskusi
Formulasi pakan tambahan yang digunakan: Tepung Ikan
200 gram
Tepung Udang 75
gram Tepung Jagung
50 gram
Tepung Kedelai 50
gram Tepung Singkong
50 gram
Instant Algae 30
gram AxasantineAstaxanthin
5 gram
Minyak Ikan 2
sdm Agar
28 gram
Air Mineral 0,5
Liter Binder
5 gram
Vitamin E 5
gram Pembuatan pakan tambahan untuk abalon:
Langkah pertama yakni tepung ikan, tepung udang, tepung jagung, tepung kedelai, tepung singkong,
instant algae, axasantine, dan minyak ikan dicampur menjadi satu. Sedikit air ditambahkan pada adonan pertama agar adonan menyatu.
Adonan kedua yakni adonan agar dibuat dengan cara agar dan air mineral dicampurkan. Selanjutnya, adonan pertama dan kedua dicampurkan hingga
merata. Adonan yang sudah merata direbus dengan suhu yang cukup hingga mulai mendidih. Adonan yang sudah mendidih, selanjutnya didinginkan hingga hangat
kuku. Vitamin E ditambahkan sesaat sebelum dituang ke dalam cetakan. Penambahan vitamin E dilakukan secara cepat dan merata.
41
Pengisian
Lampiran 4 Deskripsi Klasifikasi Tingkat Kematangan Gonad Abalon Setyono 2004
Tingkat Gonad
Tingkat Kematangan
Visual Gonad Deskripsi
Gonad terlihat di ujung dari kelenjar Pembentukan
25
1
Pematangan 25-49
2
Matang 49
Pemijahan pencernaan
Digestive gland, gonad jantan terlihat berwarna krem putih
dan gonad betina terlihat berwarna hijau muda.
Gonad berkembang dan menutup kira- kira 25-49 dari bagian
digestive gland.
Gonad berkembang penuh, menutup lebih dari 49 bagian
digestive gland. Gonad jantan berwarna oranye
yellowish dan gonad betina berwarna hijau. Pada biota yang matang penuh
gonad akan menutup lebih dari 75 bagian
digestive gland, dan menjadi cembung, dan dapat terlihat jelas.
Biota ini melepaskan gamet dan gonad menjadi mengerut dan warnanya
menjadi pucat. Ketika terjadi kondisi ini maka akan sulit dibedakan biota
3 sebagian dan
istirahat 50
yang baru mengalami pembentukan gonad dan yang telah mengalami
pelepasan gonad,
dan hanya
dapat dibedakan
berdasarkan ukuran
persentase area gonad.
Lampiran 5 Kalender Masa Pemijahan Maret-Juli 2012 Kalenderbali 2012 Bulan
Periode Mulai Selesai
Masa Pemijahan ke-
Maret Gelap
22 Maret 18 Maret
26 Maret 1
April Terang
6 April 2 April
10 April 2
Gelap 20 April
16 April 24 April
3 Mei
Terang 5 Mei
1 Mei 9 Mei
4 Gelap
20 Mei 16 Mei
24 Mei 5
Juni Terang
4 Juni 31 Mei
8 Juni 6
Gelap 19 Juni
15 Juni 23 Juni
7 Juli
Terang 3 Juli
29 Juni 7 Juli
8 Gelap
18 Juli 14 Juli
22 Juli 9
Pemijahan dilakukan plus minus 3 hari dari puncak bulan
42
AA 23.00-03.00
100
Lampiran 6 Komposisi Pupuk pada Kultur
Nitzchia
sp. untuk Larva Abalon
Pupuk yang digunakan berupa Na Medium: NaNO3
100 gram
Na2EDTA Tritiplex 18,1
gram NaH2PO4H2O
14 gram
NaHCO3 12,6
gram Clewat 32
100 gram
Aquadest 1
Liter
Tabel 6 Pengamatan Keserempakan dan Lama Waktu Penetasan Telur Abalon berdasarkan Perkiraan Waktu Pemijahan yang Diamati
Setiap 2 Jam Perkiraan
Waktu Pengamatan WI TA Perlakuan
Waktu Pemijahan
08.00 10.00