Juvenile phenotype of interspesific hybridization between abalone Haliotis asinina and Haliotis squamata
FENOTI P BENI H HASI L HI BRI DI SASI
I NTERSPESI FI K
ABALON
Haliotis
asinina
DAN
Haliotis
squamata
ALDI LLA KUSUMAWARDHANI
DEPARTEMEN BUDI DAYA PERAI RAN
FAKULTAS PERI KANAN DAN I LMU KELAUTAN
I NSTI TUT PERTANI AN BOGOR
BOGOR
(2)
PERNYATAAN MENGENAI
SKRI PSI
DAN
SUMBER I NFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul
FENOTI P BENI H HASI L HI BRI DI SASI I NTERSPESI FI K ABALON
Haliotis
asinina
DANHaliotis
squamata
adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Bogor, November 2012
ALDI LLA KUSUMAWARDHANI C14080057
(3)
ABSTRAK
ALDI LLA KUSUMAWARDHANI. Fenotip benih hasil hibridisasi interspesifik
abalon Haliotis asinina dan Haliotis squamata. Dibimbing oleh MUHAMMAD
ZAI RI N JUNI OR dan DI NAR TRI SOELI STYOWATI .
Abalon merupakan komoditas budidaya yang memiliki sifat pertumbuhan
relatif lambat dan tingkat kelangsungan hidup rendah dibandingkan organisme air
laut lain. Salah satu upaya mengatasi keterbatasan tersebut adalah dengan teknik
rekayasa persilangan interspesifik. Persilangan antara induk abalon Haliotis
asinina dan Haliotis squamata diharapkan mampu menghasilkan benih hibrid
yang memiliki fenotip yang lebih baik daripada tetuanya. Persilangan abalon ini
dilakukan secara resiprok meliputi persilangan truebreed tiap spesies dan
hibridisasi kedua spesies secara vice-versa jantan dan betinanya dengan teknik
alami skala massal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada perlakuan
hibridisasi antara jantan Haliotis asinina dan betina Haliotis squamata memiliki
derajat pembuahan dan derajat penetasan yang lebih tinggi dibandingkan
resiproknya sebesar 76,01±6,15% vs 60,14±4,80%. Larva abalon hasil hibridisasi
dengan jantan Haliotis squamata memiliki bentuk abnormal pada fase trokofor
maupun veliger awal, dan terjadi mortalitas pada fase berikutnya. Benih abalon
hasil hibridisasi antara jantan Haliotis asinina dan betina Haliotis squamata
menunjukkan kemiripan dengan induk betinanya yakni Haliotis squamata sebesar
98,69%, dengan kisaran heritabilitas 0,73-1,02%.
Kata kunci: Hibridisasi interspesifik, Fenotip, Truebreed, Heritabilitas, Abalon,
(4)
ABSTRACT
ALDI LLA KUSUMAWARDHANI. Juvenile phenotype of interspesific
hybridization between abalone Haliotis asinina and Haliotis squamata.
Supervised by MUHAMMAD ZAI RI N JUNI OR and DI NAR TRI
SOELI STYOWATI .
Abalone is one of sea-water aquaculture commodity that having relatively
slow in growth and low in survival rate characteristic, compared to other sea-
water organisms. One of efforts to overcame these limitations is crossbreed-
engineering technique, interspesific hybridization. Crossbreeding between abalone
Haliotis asinina and Haliotis squamata is required to produce hybrid juveniles
having a better phenotype than its brood. Crossbreeding of abalone was done in
the reciprocal procedure including truebreed of each species and hybridization of
two species in vice-versa with a natural techniques and massal scale. The results
showed that hybridization between male Haliotis asinina and female Haliotis
squamata haved higher fertilization rate and hatching rate than its reciprocal,
about 76,01±6,15% vs 60,14±4,80%. The larvae from hybridization with male
Haliotis squamata were abnormal on form of trocophore and early veliger phase,
and mortality occurred on the next phase. Juvenile from hybridization between
male Haliotis asinina and female Haliotis squamata showed higher similarity
with Haliotis squamata (female brood) about 98,69%, and the heritability about
0.73-1,02%.
Keywords: Interspesific hybridization, Phenotype, Truebreed, Heritability,
(5)
FENOTI P BENI H HASI L HI BRI DI SASI
I NTERSPESI FI K
ABALON
Haliotis
asinina
DAN
Haliotis
squamata
ALDI LLA KUSUMAWARDHANI
SKRI PSI
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada
Program Studi Teknologi & Manajemen Perikanan Budidaya
Departemen Budidaya Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN BUDI DAYA PERAI RAN FAKULTAS PERI KANAN DAN I LMU KELAUTAN
I NSTI TUT PERTANI AN BOGOR BOGOR
(6)
Judul Skripsi : Fenotip Benih Hasil Hibridisasi Interspesifik Abalon Haliotis asinina dan Haliotis squamata
Nama Mahasiswa : Aldilla Kusumawardhani
Nomor Pokok : C14080057
Disetujui,
Dosen Pembimbing I
Prof. Dr. Muhammad Zairin Junior
NIP. 19590218 198601 1 001
Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Dinar Tri Soelistyowati, DEA.
NIP. 19611016 198403 2 001
Diketahui,
Ketua Departemen Budidaya Perairan
Dr. Ir. Sukenda, M. Sc.
NIP. 19671013 199302 1 001
(7)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segenap rahmat
dan karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul ”Fenotip Benih Hasil Hibridisasi
Interspesifik Abalon Haliotis asinina dan Haliotis squamata” dapat diselesaikan.
Banyak bantuan yang telah diberikan berbagai pihak hingga
diselesaikannya skripsi ini. Pada kesempatan ini, disampaikan ucapan terima
kasih kepada Prof. Dr. Muhammad Zairin Junior dan Dr. Ir. Dinar Tri
Soelistyowati, DEA. selaku dosen pembimbing yang telah memberi bimbingan
dan dukungan selama proses penyelesaian skripsi. Terima kasih juga disampaikan
kepada Ir. Dadang Shafruddin, MS. dan Yuni Puji Hastuti, S. Pi., M. Si. selaku
dosen penguji tamu. Terima kasih kembali disampaikan kepada ayahanda, ibunda,
adikku Reinilda, serta keluarga besar yang selalu memberikan dorongan baik
materiil maupun non materiil; Ir. Ujang Komarudin AK, M. Sc. selaku Kepala
Balai Budidaya Laut Lombok; Hery Setyabudi, S. Pi. beserta tim produksi abalon
yang telah memberi bimbingan dan banyak membantu dalam proses penyelesaian
penelitian; Arsyad Sujangka, S. Pi., ibu Muna, serta keluarga besar BBL Lombok
atas dukungan dan kebersamaannya; Rekan-rekan mahasiswa UNRAM, UNPAD,
UNSRI, UB, dan tim PLA BDP IPB (Wuri, Soya, Surtong, Arli, Yeyen, Ichan,
Chandra) atas kebersamaan dan dukungannya selama masa penelitian; Teman satu
bimbingan (Mardian, Dian, Dita, Bae) atas semangatnya; Rina, Desil, Rosita,
Diska, Mb Yayan, Ai, Radit, Eko, Bayu, Ivan, teman-teman BDP angkatan 43, 44,
45, 46, 47, keluarga besar kost WJ, Dila, Tipa, Pipit, Tina, Mb Ana, Mb Santi, Mb
Ike, Mb Fery, Mb Atik, Uthu, Rini, keluarga besar Cokelat, Himasurya Plus, serta
seluruh sahabat di IPB utamanya FPIK yang tak bisa disebutkan satu persatu atas
segala kebersamaan, doa, dan dukungannya.
Penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Saran yang
membangun sangat diharapkan untuk penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi
ini bermanfaat dan dapat dijadikan pedoman dalam penelitian yang akan datang.
Bogor, November 2012
(8)
DAFTAR RI WAYAT HI DUP
Penulis dilahirkan di Kota Surabaya tanggal 24 Juli 1990 dari pasangan
Heru Kusdarjono, Drs. dan Retno Handajani, Dra. Penulis merupakan anak
pertama dari dua bersaudara.
Pendidikan formal yang dilalui penulis adalah SDN Jajar Tunggal III/452
Surabaya, SMPN 1 Surabaya, serta SMAN 5 Surabaya dan lulus pada tahun 2008.
Pada tahun yang sama, penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan
Seleksi Mahasiswa IPB (USMI) dengan program mayor Teknologi dan
Manajemen Perikanan Budidaya, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Sebagai pendukung
bidang studi, penulis juga berhasil menyelesaikan program minor Pengembangan
Usaha Agribisnis, Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen,
Institut Pertanian Bogor.
Selama masa perkuliahan, penulis aktif di beberapa organisasi antara lain
Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (2008-2009), Badan
Eksekutif Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (2009-2011),
Himasurya Plus, dan PSM IPB Agriaswara. Selain itu, penulis juga aktif menjadi
Asisten Praktikum pada beberapa mata kuliah yaitu Metode Statistika (2010),
Oseanografi Umum (2010-2012), Fisiologi Hewan Air (2010-2012), Fisiologi
Reproduksi Organisme Akuatik (2012), serta Industri Perbenihan Organisme
Akuatik (2012). Untuk meningkatkan pengetahuan di bidang perikanan budidaya,
penulis mengikuti kegiatan magang liburan di Balai Pengembangan Budidaya Air
Tawar (BPBAT) Sukabumi (2009) dan Praktik Lapangan Akuakultur pembenihan
abalon Haliotis asinina di Balai Budidaya Laut Lombok (2011). Tugas akhir
dalam pendidikan tinggi diselesaikan penulis dengan menulis skripsi berjudul
”Fenotip Benih Hasil Hibridisasi I nterspesifik Abalon Haliotis asinina dan Haliotis squamata”.
(9)
DAFTAR I SI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR... xii
DAFTAR LAMPI RAN ... xiii
I . PENDAHULUAN ... 1
I I . BAHAN DAN METODE... 4
2.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 4
2.2 Materi Uji... 4
2.3 Rancangan Penelitian... 5
2.4 Prosedur Penelitian ... 6
2.4.1 Penelitian Pendahuluan ... 6
2.4.2 Penelitian Utama ... 6
2.4.2.1 Persiapan Wadah Pemijahan Abalon ... 6
2.4.2.2 Persiapan Wadah Pemeliharaan Larva Abalon... 7
2.4.2.3 Seleksi Induk Abalon Matang Gonad ... 7
2.4.2.4 Pemijahan Induk Abalon... 8
2.4.2.5 Penetasan Telur ... 9
2.4.2.6 Pemeliharaan Larva Abalon... 9
2.4.2.7 Karakterisasi Fenotip ... 10
2.4.2.8 Pemantauan Kualitas Air ... 12
2.5 Parameter Uji ... 12
2.5.1 Derajat Pembuahan... 12
2.5.2 Derajat Penetasan ... 13
2.5.3 Perkembangan Embrio dan Larva ... 13
2.5.3.1 Laju Pertumbuhan Panjang Spesifik ... 13
2.5.3.2 Tingkat Kelangsungan Hidup ... 13
2.5.4 Karakteristik Fenotip Morfometrik ... 14
2.5.4.1 Koefisien Keragaman (CV) ... 14
2.5.4.2 Heritabilitas... 14
2.5.4.3 Hubungan Interpopulasi Abalon ... 14
2.6 Analisis Data ... 15
I I I . HASI L DAN PEMBAHASAN ... 16
3.1 Hasil ... 16
3.1.1 Penelitian Pendahuluan ... 16
3.1.2 Penelitian Utama ... 17
3.1.2.1 Derajat Pembuahan ... 17
3.1.2.2 Perkembangan Embrio... 18
(10)
3.1.2.4 Perkembangan Larva... 20
3.1.2.6 Hubungan Interpopulasi Abalon ... 23
3.1.2.7 Heritabilitas... 24
3.1.2.8 Kualitas Air ... 25
3.2 Pembahasan... 25
I V. KESI MPULAN ... 33
DAFTAR PUSTAKA... 34
LAMPI RAN... 38
(11)
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Perlakuan pemijahan silang abalon H. asinina dan H. squamata... 5
2. Peluang pemijahan abalon pada tingkat kematangan gonad berbeda
menggunakan teknik dan skala pemijahan berbeda ... 16
3. Perkembangan larva abalon setelah menetas hingga berumur 10 hari ... 20
4. Karakterisasi fenotipik kualitatif benih hasil hibridisasi abalon
dengan jantan Haliotis asinina dan betina Haliotis squamata... 22
5. Kualitas air pada wadah pemijahan abalon dan pemeliharaan larva
abalon ... 25
6. Pengamatan Keserempakan dan Lama Waktu Penetasan Telur
Abalon berdasarkan Perkiraan Waktu Pemijahan yang Diamati
(12)
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Abalon Haliotis asinina dan Haliotis squamata ... 4
2. Wadah pemijahan abalon ... 6
3. Persiapan wadah dan substrat pemeliharaan larva abalon ... 7
4. Seleksi induk abalon matang gonad... 8
5. Proses pemijahan abalon ... 8
6. Penanganan telur abalon ... 9
7. Wadah pemeliharaan larva abalon ... 10
8. Pengamatan karakter fenotipik benih abalon ... 10
9. Variabel-variabel morfometrik pada abalon ... 11
10. Alat-alat pengecekan kualitas air ... 12
11. Derajat pembuahan telur abalon pada hasil pemijahan truebreed
Haliotis asinina, hybrid, dan truebreed Haliotis squamata... 17
12. Perkembangan embrio sampai sesaat sebelum menetas pada tiap
perlakuan rekayasa pemijahan ... 18
13. Derajat penetasan telur abalon pada hasil pemijahan truebreed
Haliotis asinina, hybrid, truebreed Haliotis squamata ... 19
14. Keragaan abalon Haliotis asinina, Haliotis squamata, serta benih
hybrid antara jantan Haliotis asinina dan betina Haliotis squamata ... 21
15. Pola pewarisan karakter fenotipik pada benih abalon hibridisasi
dengan jantan Haliotis asinina (AS)... 22
16. Koefisien keragaman (CV) karakter morfometrik abalon Haliotis
asinina, Haliotis squamata, dan benih hibrid dengan induk jantan
Haliotis asinina (AS) ... 23
17. Hubungan interpopulasi abalon Haliotis asinina, Haliotis squamata,
dan benih hasil hibridisasi dengan jantan Haliotis asinina
berdasarkan kemiripan karakter morfometrik... 24
18. Nilai heritabilitas berdasarkan karakter morfometrik benih abalon
(13)
DAFTAR LAMPI RAN
Halaman
1. Klasifikasi Abalon Haliotis asinina dan Haliotis squamata... 39
2. Rataan Panjang dan Bobot Induk Abalon yang Digunakan... 40
3. Formulasi dan Pembuatan Pakan Tambahan untuk Pematangan
Gonad Abalon ... 41
4. Deskripsi Klasifikasi Tingkat Kematangan Gonad Abalon ... 42
5. Kalender Masa Pemijahan Maret-Juli 2012... 42
6. Komposisi Pupuk pada Kultur Nitzchia sp. untuk Larva Abalon ... 43
7. ANOVA Derajat Pembuahan Telur (FR)... 44
8. ANOVA Derajat Penetasan Telur (HR)... 45
9. Uji Chi Kuadrat Skoring Fenotip Kualitatif Benih Abalon ... 46
10. Levene’s Test ... 47
(14)
I . PENDAHULUAN
Abalon merupakan salah satu jenis kerang yang telah menjadi komoditi
perikanan dunia. Saat ini, abalon sedang mengalami peningkatan permintaan
terutama dari pasar internasional seperti Hongkong, China, Jepang, Singapura,
Korea, dan wilayah Eropa (Suara Merdeka 2011). Abalon ini memiliki nilai
ekonomis yang cukup tinggi yakni mencapai Rp 400.000 per kilogram
(Antaramataram 2010). Abalon juga merupakan hewan yang bersifat low trophic
level, sehingga dari sisi ekonomis biaya produksinya relatif murah (Sudrajat
2008). Hal-hal inilah yang menunjukkan bahwa komoditas ini layak untuk
dikembangkan sebagai spesies unggulan kegiatan akuakultur bagi industri
Indonesia di masa yang akan datang.
Indonesia memiliki garis pantai yang panjang dengan perairan yang bersih
sehingga memiliki potensi besar dalam produksi abalon. Hal ini terkait pula
dengan ketersediaan dan melimpahnya rumput laut sebagai pakan abalon, suhu
perairan yang kondusif untuk pertumbuhan abalon, serta ketersediaan teknologi
produksi benih dan pembesaran di perairan Indonesia (BBL Lombok 2010).
Haliotis asinina dan Haliotis squamata merupakan dua spesies tropis kerang
abalon yang berada di beberapa perairan Indonesia dan berpotensi untuk
dikembangkan (BBL Lombok 2010).
Budidaya abalon masih menemui beberapa kendala seperti masalah
pertumbuhan yang relatif lambat dan tingkat kelangsungan hidup yang rendah
dibandingkan organisme air laut lain. Pertumbuhan abalon untuk mencapai ukuran
konsumsi dengan panjang cangkang 5-7 cm dan berat 35-60 gram adalah 8-12
bulan (Sarifin et al. 2011). Sementara itu tingkat kelangsungan hidup benih
abalon relatif masih rendah yaitu antara 0,6-1,0% (Bonang 2008). Hal inilah yang
menjadi hambatan pembudidaya dalam memenuhi permintaan konsumen. Selain
itu, abalon belum banyak dikembangkan di kalangan pembudidaya sehingga
teknologinya pun belum banyak diketahui.
Salah satu upaya untuk menyelesaikan permasalahan tersebut adalah
persilangan dengan teknik rekayasa pemijahan baik persilangan antar individu
(15)
(interspesifik). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan abalon
dapat dipacu melalui berbagai rekayasa genetik maupun rekayasa pemijahan
seperti pengembangan triploidisasi (Arai et al. 1986; Freeman 2001), manipulasi
kromosom, selective breeding, hibridisasi, dan transgenik (Li 1998; Freeman
2001).
Performa genetik induk merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kualitas telur dan larva yang dihasilkan. Selain itu, keragaman genetik
menunjukkan hubungan yang positif dengan keragaan fenotip ikan seperti
performa pertumbuhan, fekunditas, dan kelangsungan hidup (Setyabudi et al.
2010). Pada umumnya, hasil hibridisasi menunjukkan karakteristik yang berada
pada pertengahan antara kedua sifat spesies induknya (Chevassus 1983). Bahkan,
dijelaskan bahwa individu hibrid menunjukkan pertumbuhan lebih cepat, mudah
beradaptasi dengan lingkungan, dan kualitas daging lebih tinggi. Menurut
Freeman (2001), hibridisasi abalon yang dilakukan di Tasmania dan Australia
Selatan antara betina Blacklip abalone (Haliotis rubra) dan jantan Greenlip
abalone (Haliotis laevigata), dilakukan untuk mendapatkan abalon yang memiliki
keunggulan pada laju pertumbuhan, rasio otot-cangkang, tekstur otot/daging, serta
daya tarik pasar. Lebih lanjut, Hone dan Fleming (1998) menyatakan bahwa
persilangan antara spesies air dingin Haliotis rubra dan Haliotis cyclobates
mampu menghasilkan individu yang memiliki toleransi suhu yang lebih luas.
Karakteristik Haliotis asinina antara lain memiliki laju pertumbuhan yang
lebih cepat, lebih tahan terhadap serangan penyakit, serta lebih kuat terhadap
perubahan lingkungan (Thai Abalon 2011). Namun, kelemahan Haliotis asinina
adalah memiliki tingkat kelangsungan hidup yang lebih rendah dibandingkan
Haliotis squamata. Sebaliknya, Haliotis squamata memiliki laju pertumbuhan
yang lebih lambat, tetapi memiliki tingkat kelangsungan hidup yang lebih tinggi
dan memiliki tekstur daging yang lebih kenyal sehingga lebih diminati
dibandingkan Haliotis asinina. Berdasarkan perbedaan keunggulan karakter
fenotip kedua jenis abalon tersebut diharapkan perkawinan silang antara induk
abalon Haliotis asinina dan Haliotis squamata mampu menghasilkan benih hibrid
yang memiliki kualitas yang lebih baik dari kedua tetuanya. Namun hibridisasi
interspesifik dihadapkan pada beberapa kendala yakni asinkronisasi pemijahan,
(16)
ketidaksesuaian kromosom (Tave 1995), sterilitas hibrida (Chevassus 1983),
kehilangan sifat pada keturunan selanjutnya, dan kualitas produk yang seringkali
tidak diterima pasar (Freeman 2001). Dengan demikian perlu dilakukan percobaan
rekayasa pemijahan pada persilangan interspesifik sehingga keberhasilan
reproduksi dapat tercapai dan diharapkan mampu menghasilkan fenotip benih
yang baik.
Penelitian ini bertujuan mengetahui performa reproduksi dan benih abalon
hasil rekayasa pemijahan pada hibridisasi interspesifik antara Haliotis asinina dan
Haliotis squamata.
(17)
I I . BAHAN
DAN METODE
2.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga Juli 2012. Penelitian
dilaksanakan di Balai Budidaya Laut Lombok, Dusun Gili Genting, Kecamatan
Sekotong, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.
2.2 Materi Uji
Induk abalon yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas 2 jenis
(spesies) abalon berbeda yaitu Haliotis asinina dan Haliotis squamata (Gambar 1
dan Lampiran 1). Kedua jenis induk abalon diperoleh dari hasil pemeliharaan
induk abalon Balai Budidaya Laut Lombok. Total induk abalon yang digunakan
untuk penelitian ini sebanyak 160 ekor dengan jumlah untuk masing-masing
spesies sebanyak 40 ekor jantan dan 40 ekor betina. Induk abalon Haliotis asinina
yang digunakan memiliki panjang cangkang 5,56 ± 0,39 cm dan bobot 49,57 ±
10,04 g untuk betina, serta panjang cangkang 5,49 ± 0,40 cm dan bobot 45,85 ±
9,11 g untuk jantan.. Sedangkan induk abalon Haliotis squamata yang digunakan
memiliki panjang cangkang 5,71 ± 0,29 cm dan bobot 40,10 ± 3,86 g untuk
betina, serta panjang cangkang 5,69 ± 0,38 cm dan bobot 42,16 ± 9,17 g untuk
jantan (Lampiran 2).). Sebelum dilakukan pemijahan, abalon jantan dan betina
dipelihara secara terpisah dalam keranjang plastik industri (krat) berukuran 0,6 m
x 0,4 m x 0,3 m, diberi pakan secara ad libitum berupa Gracillaria sp. serta pakan
tambahan berupa pasta dengan tambahan vitamin E (Lampiran 3)..
(a) (b)
(18)
2.3 Rancangan Penelitian
Persilangan abalon Haliotis asinina dan Haliotis squamata dilakukan
secara resiprok yaitu meliputi persilangan truebreed dari tiap spesies dan
hibridisasi kedua spesies secara vice-versa jantan dan betinanya, masing-masing
dengan 4 ulangan (Tabel 1).
Tabel 1 Perlakuan pemijahan silang abalon H. asinina dan H. squamata
Keterangan:
AA : Haliotis asinina dipijahkan dengan sesamanya (Truebreed).
AS : Pemijahan induk jantan Haliotis asinina dan induk betina Haliotis squamata
(Hybrid).
SA : Pemijahan induk jantan Haliotis squamata dan induk betina Haliotis asinina
(Hybrid).
SS : Perlakuan Haliotis squamata dipijahkan dengan sesamanya (Truebreed).
Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap
(RAL). Model rancangan yang digunakan adalah:
Yij = µ + βi + εij
Keterangan:
Yij = nilai pengamatan; i = 1, 2, 3, …n
µ = nilai tengah umum
βi = pengaruh perlakuan ke-i; i = 1, 2, 3, …n
εij = pengaruh galat dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
Parameter uji yang diamati meliputi performa reproduksi dan benih yaitu
efektivitas teknik pemijahan, derajat pembuahan, perkembangan embrio, daya
tetas telur, perkembangan larva, laju pertumbuhan harian, kelangsungan hidup,
dan karakteristik fenotip benih. Data dianalisis untuk koefisien keragaman (CV)
dan heritabilitas, sedangkan perkembangan embrio, perkembangan larva, dan
kualitas air dianalisis secara deskriptif.
♀ ♂ H.asinina H.squamata
H. asinina AA SA
(19)
2.4 Prosedur Penelitian 2.4.1 Penelitian Pendahuluan
Kegiatan yang dilakukan dalam penelitian pendahuluan ini dilakukan
sebagai acuan penentu teknik dan skala pemijahan abalon dengan peluang
pemijahan terbaik. Uji dilakukan dengan memijahkan induk abalon pada dua
tingkat kematangan gonad berbeda yakni TKG I dan TKG II (Lampiran 4)
menggunakan teknik pemijahan semi alami dengan skala lab, teknik pemijahan
semi alami dengan skala massal, teknik pemijahan alami dengan skala lab, serta
teknik pemijahan alami dengan skala massal. Uji dilakukan selama 4 masa
pemijahan (Maret-Mei 2012) yakni pada bulan gelap dan terang (Lampiran 5).
Teknik pemijahan semi alami yang digunakan yakni teknik dry up sekitar 30
menit dengan cara mengangkat induk abalon dari dalam air dan dibiarkan berada
pada tempat yang tanpa air, dilanjutkan dengan teknik kejut suhu dengan
menaikkan turunkan suhu 3-5°C selama 15 menit menggunakan heater. Pemilihan
teknik ini didasari oleh penelitian Susanto et al. 2008 serta Soleh dan Suwoyo
2008. Pada skala massal digunakan jumlah induk sebanyak 10 individu. Hasil
terbaik penelitian pendahuluan digunakan dalam penelitian utama.
2.4.2 Penelitian Utama
Kegiatan yang dilakukan dalam penelitian utama ini antara lain persiapan
wadah pemijahan abalon, persiapan wadah pemeliharaan larva abalon, seleksi
induk abalon matang gonad, pemijahan induk abalon, penetasan telur abalon,
pemeliharaan larva abalon, pengamatan karakterisasi fenotip, serta pengukuran
kualitas air.
2.4.2.1 Persiapan Wadah Pemijahan Abalon
Wadah pemijahan induk abalon berupa bak fiber berdimensi 1,5 m 0,7
m 0,6 m (Gambar 2). Wadah dibersihkan terlebih dahulu menggunakan kaporit
dan dibilas.
Gambar 2 Wadah pemijahan abalon
(20)
2.4.2.2 Persiapan Wadah Pemeliharaan Larva Abalon
Persiapan wadah pemeliharaan larva abalon dilakukan 10 hari sebelum
waktu pemijahan. Wadah yang akan digunakan sebagai tempat pemeliharaan larva
abalon berupa container box 50 L. Pada wadah pemeliharaan larva dilengkapi
dengan substrat penempelan berupa potongan PVC bergelombang berukuran luas
penampang 30 22 cm sebanyak 7 buah dan 15 11 cm sebanyak 9 buah yang
digantung pada wadah (Gambar 3). Wadah dan substrat penempelan yang akan
digunakan diamplas terlebih dahulu sehingga memiliki permukaan yang kasar, hal ini
bertujuan memudahkan pakan alami dan trokofor menempel. Sebelum digunakan,
wadah dan substrat dicuci serta dijemur di bawah sinar matahari. Setelah wadah dan
substrat siap, kemudian diisi air laut hingga ¾ bagian wadah. Selanjutnya dilakukan
penebaran pupuk, silikat, serta pakan alami Nitzchia sp. ke dalam wadah. Dosis
pupuk yang digunakan (Lampiran 6) adalah 1 ml/l media pemeliharaan, dosis silikat
yakni setengah dari dosis pupuk, serta jumlah pakan yang ditebar adalah 5 l.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 3 Persiapan wadah dan substrat pemeliharaan larva abalon: (a) Pembersihan
wadah,, (b) Penjemuran wadah, (c) Penjemuran substrat,, (d) Penyusunan
substrat pada wadah pemeliharaan larva abalon
2.4.2.3 Seleksi I nduk Abalon Matang Gonad
Seleksi dilakukan untuk mendapatkan induk abalon yang memiliki
perkembangan gonad lebih dari 60% menutupi hepatopankreas dan warna gonad
yang cerah.. Gonad betina terlihat berwarna kehijauan dan gonad jantan berwarna
gading (Gambar 4). Tingkat kematangan gonad ini dapat dilihat dengan cara
(21)
menguak otot abalon pada sisi yang berlawanan dari letak lubang-lubang di
bagian cangkang menggunakan spatula. Setelah diseleksi, induk diukur panjang
cangkang dan bobotnya untuk dicari yang seragam.
(a) (b)
Gambar 4 Seleksi induk abalon matang gonad: (a) abalon betina, (b) abalon jantan
2.4.2.4 Pemijahan I nduk Abalon
Wadah pemijahan diisi air laut sebanyak ¾ dari volume bak. Pemijahan
silang dilakukan dengan pperbandingan jantan dan betina yang digunakan adalah
1:1. Setelah dilakukan seleksi, induk abalon dimasukkan ke dalam wadah
pemijahan yang telah berisi air pada sore hari. Kemudian tinggi air dinaik-
turunkan untuk mengatur fluktuasi tinggi-rendahnya suhu lingkungan agar abalon
terangsang untuk memijah. Pada pukul 21.00 WITA, dilakukan pengecekan air,
debit air dikecilkan,, dan dilakukan pemasangan egg collector pada saluran
pengeluaran. Proses pemijahan abalon secara alami akan didahului dengan
pelepasan sperma dari induk jantan, diikuti pelepasan telur dari induk betina
(Gambar 5).
(a) (b)
Gambar 5 Proses pemijahan abalon: (a) Pelepasan sel sperma abalon jantan dan (b)
Pelepasan sel telur abalon betina
(22)
2.4.2.5 Penetasan Telur
Setelah abalon memijah maka induk dikeluarkan dari wadah, sedangkan
telur hasil pemijahan diaerasi pelan selama 1-2 jam. Kemudian dilakukan
pemanenan telur dan penghitungan jumlah telur, serta penghitungan derajat
fertilisasi telur dilakukan juga untuk masing-masing perlakuan dan ulangan
(Gambar 6). Selain itu, pengamatan perkembangan embrio juga dilakukan pada
tahap ini. Setelah telur menetas, trokofor dipindahkan ke bak pemeliharaan larva
dengan menggunakan saringan plankton net yang disusun secara bertingkat
dengan ukuran 80 dan 60 mikron. Air pada wadah disurutkan total untuk
meminimalkan adanya trokofor yang tertinggal. Penebaran trokofor dilakukan
dengan kepadatan 250 ind/liter, merujuk dari BBL Lombok (2010) yang
menyatakan kepadatan trokofor pada pemeliharaan
Penghitungan derajat penetasan telur dilakukan pada tahap ini.
200-300 ind/liter.
(a)
(b) (c)
Gambar 6 Penanganan telur abalon: (a) Pemanenan telur abalon menggunakan
saringan bertingkat, (b) Telur abalon yang tertampung pada saringan 60
mikron, (c) Penetasan telur abalon pada toples, telur yang tidak menetas
akan mengendap di dasar
2.4.2.6 Pemeliharaan Larva Abalon
Selama pemeliharaan, larva abalon diberi pakan alami Nitzchia sp. yang
sudah ditumbuhkan sebelumnya pada wadah pemeliharaan. Pemeliharaan larva
abalon dilakukan dalam container box 50 L dengan penambahan EM4, tanpa
sirkulasi air dan aerasi diberikan secara pelan selama 10 hari hingga trokofor
mulai menjadi veliger (Gambar 7). Setelah 10 hari pemeliharaan larva, dilakukan
pergantian air dengan debit yang kecil untuk menghindari adanya larva abalon
yang terlepas. Pada tahap ini, dilakukan pengamatan perkembangan larva abalon,
pertumbuhan, dan kelangsungan hidupnya.
(23)
Gambar 7 Wadah pemeliharaan larva abalon
2.4.2.7 Karakterisasi Fenotip
Pengamatan karakter fenotipik benih abalon dilakukan untuk melihat pola
pewarisan fenotip kualitatif dan kuantitatif induk abalon pada keturunannya.
Fenotip kuantitatif meliputi ppengukuran karakter morfometrik yang dilakukan
dengan bantuan jangka sorong, sedangkan fenotip kualitatif meliputi pengamatan
visual morfologinya yaitu warna cangkang, kecerahan cangkang, tekstur
cangkang, warna tentakel, kenampakan cilia, kenampakan otot/daging, ketebalan
otot/daging, serta warna otot/daging (Gambar 8).
Mata Cangkang
Tentakel
Otot kaki
Cilia
(a)
(b)
Gambar 8 Pengamatan karakter fenotipik benih abalon: (a) Visualisasi karakter
morfologi, (b) Pengukuran morfometrik menggunakan jangka sorong
(24)
Karakterisasi fenotip morfometrik meliputi pengukuran panjang jarak yang
menghubungkan titik-titik bagian cangkang abalon secara keliling
menggunakan bantuan jangka sorong. Setelah masing-masing titik
dihubungkan maka diperoleh 6 karakter morfometrik (Gambar 9) yang dapat menggambarkan keseragaman maupun keragaman antar abalon yang diamati. D2 D3 D2 D3 SW SW (a) SL SL D1 D4 D1 D4 (b)
Gambar 9 Variabel-variabel morfometrik pada abalon: (a) Haliotis squamata dan (b) Haliotis asinina
(25)
Keterangan:
SL Jarak antara titik tengah ujung cangkang dan lubang respirasi pertama
(jarak terpanjang cangkang)
SW Jarak antara bagian atas cangkang dan bagian bawah cangkang (jarak
terlebar cangkang)
D1 Jarak diagonal antara titik pangkal lubang respirasi pertama dan titik lebar
cangkang bagian atas
D2 Jarak diagonal antara titik lebar cangkang bagian atas dan titik tengah
ujung cangkang
D3 Jarak diagonal antara titik tengah ujung cangkang dan titik lebar cangkang
bagian bawah
D4 Jarak diagonal antara titik lebar cangkang bagian bawah dan titik pangkal
lubang respirasi
2.4.2.8 Pemantauan Kualitas Air
Parameter kualitas air yang diamati yaitu suhu, salinitas, pH, DO,
amoniak, dan nitrit. Pemantauan suhu dilakukan setiap hari menggunakan
termometer, sedangkan parameter lainnya diukur pada awal dan akhir
pemeliharaan.
Gambar 10 Alat-alat pengecekan kualitas air
2.5 Parameter Uji
Parameter yang diamati dalam penelitian ini meliputi performa reproduksi
dan benih yaitu derajat pembuahan (FR), derajat penetasan (HR), perkembangan
embrio dan larva, tingkat kelangsungan hidup, pertumbuhan panjang mutlak,
karakteristik fenotip serta analisis koefisien keragaman (CV), hubungan
interpopulasi abalon, dan heritabilitas.
2.5.1 Derajat Pembuahan
Derajat pembuahan telur abalon diketahui melalui perbandingan jumlah
total telur abalon yang terbuahi dengan jumlah total telur hasil pemijahan.
Menurut Nurhidayat et al. (2011), persamaan yang digunakan adalah :
(26)
Keterangan :
FR = Derajat pembuahan telur abalon (Fertilization Rate) (%)
2.5.2 Derajat Penetasan
Derajat penetasan telur abalon diketahui melalui perbandingan jumlah
total telur abalon yang menetas dengan jumlah total telur yang terbuahi. Menurut
Nurhidayat et al. (2011), persamaan yang digunakan adalah :
Keterangan :
HR = Derajat penetasan telur abalon (Hatching Rate) (%)
2.5.3 Perkembangan Embrio dan Larva
Perkembangan embrio diamati mulai dari stadia satu sel hingga stadia
sesaat akan menetas, sedangkan perkembangan larva diamati mulai dari sesaat
setelah menetas hingga menjadi benih.
2.5.3.1 Pertumbuhan Panjang Mutlak
Pertumbuhan panjang mutlak diperoleh dengan menggunakan rumus
menurut Effendie (1979), yakni sebagai berikut:
L
Keterangan:
L = Pertumbuhan panjang mutlak (mm)
Lt = Panjang larva pada waktu tertentu (mm)
Lo = Panjang larva pada awal penebaran (mm)
2.5.3.2 Tingkat Kelangsungan Hidup
Kelangsungan hidup larva abalon diketahui melalui perbandingan jumlah
total larva abalon yang hidup pada waktu tertentu dengan jumlah total larva
abalon pada awal penebaran (trokofor). Menurut Effendie (1979), persamaan yang
digunakan adalah :
Keterangan :
SR = Tingkat kelangsungan hidup (Survival Rate) (%)
(27)
Nt = Jumlah larva abalon pada waktu tertentu (ekor)
No = Jumlah trokofor pada awal penebaran (ekor)
2.5.4 Karakteristik Fenotip Morfometrik
Karakteristik fenotip morfometrik dianalisis tingkat keragaman antara
tetua dan anaknya untuk mengevaluasi pola dan derajat pewarisannya serta
hubungan interpopulasi antara truebreed dengan hybrid.
2.5.4.1 Koefisien Keragaman ( CV)
Koefisien keragaman biasanya digunakan untuk membandingkan
keragaman dua populasi atau lebih. Koefisien keragaman diperoleh dengan cara
membagi nilai simpangan baku dengan rataan populasi, dapat dinyatakan dengan
persamaan berikut (Noor 1996):
CV = SD X
Keterangan:
CV = Koefisien keragaman
SD = Simpangan baku
X = Rata-rata populasi
2.5.4.2 Heritabilitas
Heritabilitas adalah keragaman total (yang diukur dengan ragam) dari
suatu sifat yang diakibatkan oleh pengaruh genetik. Teknik yang digunakan untuk
mengukur heritabilitas adalah melalui regresi anak-tetua (parents-offspring
regression). Anak (benih) menjadi pembanding dengan hanya satu tetua,
digunakan pendekatan sebagai berikut (Tave 1992):
h2 = 2b
Keterangan:
h2 = Heritabilitas
b = Koefisien nilai regresi
2.5.4.3 Hubungan I nterpopulasi Abalon
Hubungan interpopulasi digunakan untuk mengukur kemiripan karakter
dari abalon H. asinina, H. squamata, serta abalon hasil hibridisasinya berdasarkan
jenis abalon dan karakter fenotip morfometrik. Parameter ini dianalisis secara
hierarki berdasarkan derajat kemiripan karakter dalam grafik dendrogram.
(28)
2.6 Analisis Data
Data performa reproduksi dan benih dianalisis statistik menggunakan
program Microsoft Excel 2007, Minitab 14, dan SPSS 16.0. Fenotip kuantitatif
dari performa reproduksi yang meliputi derajat pembuahan dan daya tetas
dianalisis menggunakan pengujian ANOVA, sedangkan karakter morfometrik
diuji dengan MANOVA. Selanjutnya, karakteristik fenotip kualitatif yang
meliputi data visual morfologi dianalisis secara non parametrik. Data
perkembangan embrio dan larva, serta kualitas air dianalis secara deskriptif.
(29)
I I I . HASI L DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
3.1.1 Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan ini bertujuan untuk mengamati peluang pemijahan
abalon terbaik dengan tingkat kematangan gonad berbeda serta teknik dan skala
pemijahan yang berbeda (Tabel 2).
Tabel 2 Peluang pemijahan abalon pada tingkat kematangan gonad berbeda
menggunakan teknik dan skala pemijahan berbeda
Tingkat
Teknik dan Skala Pemijahan
Kematangan
Gonad Semi Alami;
Skala Lab
Semi Alami;
Skala Massal
Alami; Skala
Lab
Alami; Skala
Massal
TKG I 0a 0 a 0 a 0,29 b
TKG II 0,07 a 0,14 a 0 a 0,36 b
*Huruf superscript yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p < 0,05)
Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa peluang pemijahan abalon
tertinggi diperoleh pada perlakuan dengan tingkat kematangan gonad lebih dari
49% (TKG II) menggunakan teknik pemijahan alami skala massal yakni sebesar
0,36. Pemijahan abalon dengan tingkat kematangan gonad 25-49% (TKG I)
memiliki peluang yang rendah pada tiga dari empat perlakuan teknik dan skala
pemijahan. Teknik dan skala pemijahan yang menunjukkan peluang tertinggi pada
pemijahan abalon dengan dua tingkat kematangan gonad berbeda adalah
perlakuan teknik pemijahan secara alami skala massal. Pemijahan abalon dengan
tingkat kematangan gonad yang berbeda tidak menunjukkan adanya pengaruh
yang berbeda nyata terhadap peluang pemijahan abalon. Sebaliknya, teknik dan
skala pemijahan menunjukkan adanya pengaruh yang berbeda nyata terhadap
peluang pemijahan abalon. Peluang pemijahan terbanyak pada penelitian
pendahuluan ini digunakan pada penelitian utama. Sehingga untuk memijahkan
abalon dengan keterbatasan induk yang berada di TKG II, dipilihlah teknik
(30)
W
(90,60±2,34%
3.1.2 Penelitian Utama 3.1.2.1 Derajat Pembuahan
Hasil pengamatan derajat pembuahan telur abalon pada rekayasa
pemijahan yang berbeda menunjukkan bahwa persentase derajat pembuahan telur
pada hibridisasi lebih rendah dibandingkan dengan kedua truebreed. Truebreed
Haliotis asinina (94,73±1,22%) tidak berbeda nyata dengan truebreed Haliotis
squamata 90,60±2,34%). Sebaliknya, kedua perlakuan hybrid menunjukkan hasil
yang berbeda nyata terhadap derajat pembuahan telur abalon. Hybrid dengan
jantan Haliotis asinina (AS) memiliki persentase lebih tinggi dibandingkan
resiproknya (SA) yaitu 76,01±6,15% versus 67,13±7,57% (Gambar 11).
^ ^ ^^
W
*Huruf superscript yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p < 0,05) **Huruf pertama pada penamaan perlakuan menunjukkan kelamin jantan
Gambar 11 Derajat pembuahan telur abalon pada hasil pemijahan truebreed Haliotis asinina, hybrid, dan truebreed Haliotis squamata
Setelah dilakukan uji F terhadap derajat pembuahan telur abalon pada selang
kepercayaan 95% didapatkan bahwa rekayasa pemijahan mempengaruhi
perbedaan derajat pembuahan telur abalon (Lampiran 7). Selain itu, dapat
diketahui bahwa perlakuan hybrid dan truebreed memiliki persentase derajat
pembuahan telur yang berbeda nyata.
(31)
3.1.2.2 Perkembangan Embrio
Perkembangan embrio abalon yang teramati dimulai dari proses
pembuahan telur yaitu ditunjukkan dengan terbentuknya ruang perivitelin.
Selanjutnya embriogenesis yang teramati pada saat inkubasi diawali dari proses
pembelahan sel telur (cleavage), morulasi, dan sesaat sebelum telur menetas
(Gambar 12).
Gambar 12 Perkembangan embrio sampai sesaat sebelum menetas pada tiap perlakuan rekayasa pemijahan
Seluruh perlakuan, secara visual teramati menunjukkan tahapan perkembangan
embrio yang sama. Sedangkan waktu perkembangan setiap perlakuan
menunjukkan lama waktu yang berbeda. Waktu perkembangan yang dibutuhkan
oleh embrio hasil hibridisasi relatif lebih lama dibandingkan dengan embrio
truebreed. Terdapat perbedaan waktu sekitar 2-3 jam lebih lama pada suhu
inkubasi 27-28°C saat penetasan telur hasil hibridisasi dibandingkan telur
truebreed (Tabel 6).
(32)
W
(83,52±1,85%
4±4,80%
penetas 3.1.2.3 Derajat Penetasan
Hasil pengamatan derajat penetasan telur abalon pada rekayasa pemijahan
yang berbeda menunjukkan bahwa persentase derajat penetasan telur pada
hibridisasi lebih rendah dibandingkan dengan kedua truebreed. Truebreed
Haliotis squamata (88,25±2,06%) tidak berbeda nyata dengan truebreed Haliotis
asinina 83,52±1,85%). Sebaliknya, kedua perlakuan hybrid menunjukkan hasil
yang berbeda nyata terhadap derajat penetasan telur abalon. dan terendah adalah
hybrid dengan jantan Haliotis squamata (37,58±25,43%). Hybrid dengan jantan
Haliotis asinina (AS) memiliki persentase lebih tinggi dibandingkan resiproknya
(SA) yait 60,14±4,80 versus 37,58±25,43% (Gambar 13).
^ ^ ^^
W
*Huruf superscript yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p < 0,05) **Huruf pertama pada penamaan perlakuan menunjukkan kelamin jantan
Gambar 13 Derajat penetasan telur abalon pada hasil pemijahan truebreed Haliotis asinina, hybrid, truebreed Haliotis squamata
Setelah dilakukan uji F terhadap derajat penetasan telur abalon pada selang
kepercayaan 95% didapatkan bahwa rekayasa pemijahan mempengaruhi
perbedaan derajat netasan telur abalon (Lampiran 8). Selain itu, dapat diketahui
bahwa perlakuan hybrid dan truebreed memiliki persentase derajat penetasan telur
yang berbeda nyata.
(33)
3.1.2.4 Perkembangan Larva
Perkembangan larva abalon yang teramati pada larva yang baru menetas
(trokofor) hingga larva benthik berumur 10 hari disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Perkembangan larva abalon setelah menetas hingga berumur 10 hari
Perlakuan Trokofor
Veliger
Awal Veliger
Larva
Benthik
Awal (H--2)
Larva
Benthik
(H-10)
AA
AS
SA
n.d n.d
n.d
SS
*n.d (not detected) = tidak teramati
Secara umum, perkembangan larva abalon truebreed kedua spesies (AA dan SS)
dan hybrid interspesifik (AS dan SA) menunjukkan tahap perkembangan yang
sama. Perbedaan morfologi perkembangan larva abalon terlihat pada larva hasil
hibridisasi dengan jantan Haliotis squamata (SA) yaitu pada fase trokofor dan
fase veliger awal terlihat larva memiliki bentuk yang abnormal, dan pada fase
selanjutnya terjadi kematian yaitu pada fase veliger awal sehingga perkembangan
tidak teramati lagi (n.d). Selain itu terlihat juga bahwa larva abalon hasil
hibridisasi dengan jantan Haliotis asinina (AS) memiliki tingkah laku pergerakan
yang lebih aktif dibandingkan larva abalon hasil pemijahan lainnya. Pada
penelitian ini, data pertumbuhan dan kelangsungan hidup tidak dapat diamati
karena terjadi kematian massal pada fase larva benthik.
(34)
3.1.2.5 Karakteristik Fenotip
Karakterisasi fenotip abalon diamati secara kualitatif pada populasi abalon
Haliotis asinina (tetua), populasi abalon Haliotis squamata (tetua), serta populasi
hibrid dengan jantan Haliotis asinina (AS) disajikan pada Gambar 14.
(a) (d)
(b) (c)
(e) (f)
Gambar 14 Keragaan abalon Haliotis asinina, Haliotis squamata, serta benih hybrid
antara jantan Haliotis asinina dan betina Haliotis squamata (kiri ke kanan): sisi atas (a, b, c) dan sisi bawah (d, e, f) Karakterisasi fenotip abalon secara kualitatif meliputi warna cangkang, kecerahan warna cangkang, tekstur cangkang, warna tentakel, pembentukan cilia, elastisitas otot kaki/badan, porsi otot/daging, serta warna otot/daging (Tabel 4).
(35)
Pembentukan Cilia Terlihat jelas Tidak terlihat
Tabel 4 Karakterisasi fenotipik kualitatif benih hasil hibridisasi abalon dengan
jantan Haliotis asinina dan betina Haliotis squamata
Parameter Haliotis asinina Haliotis squamata Hibrid AS
Kemerahan
Warna Cangkang Kehijauan Kemerahan dengan corak
kehijauan
Kecerahan Warna
Cangkang Cerah Gelap Cerah
Tekstur
alur garis Kasar oleh adanya
alur garis
Warna Tentakel Cokelat Hitam Hitam
jelas, halus Terlihat jelas
Elastisitas Otot
Kaki/ Badan
Melebar melebihi
cangkang
Porsi Otot/ Daging Tebal Tidak terlalu tebal Tebal menyerupai
Haliotis asinina
Warna
Otot/ Daging Abu-abu cerah Hitam kekuningan Cenderung hitam
Pola pewarisan karakter fenotip kualitatif abalon hasil hibridisasi dengan jantan
Haliotis asinina (AS) menunjukkan adanya 100% intermediate pada karakter
warna cangkang dan warna otot (Gambar 15). Lebih lanjut dijelaskan, seluruh
karakter fenotip kualitatif abalon hasil hibridisasi dengan jantan Haliotis asinina
(AS) berbeda nyata dengan kedua tetuanya yang menunjukkan adanya pola
pewarisan non-mendelian, kecuali pada karakter kecerahan warna cangkang dan
porsi otot menunjukkan adanya pola pewarisan yang mendelian (Lampiran 9 dan
Lampiran 10).
< ,
< /
Gambar 15 Pola pewarisan karakter fenotipik pada benih abalon hibridisasi dengan
jantan Haliotis asinina (AS)
(36)
s
Sedangkan karakterisasi fenotip abalon secara kuantitatif meliputi 6 karakter
morfometrik. Keragaman interpopulasi (CV) 6 karakter morfometrik pada ketiga
populasi abalon (AA, SS, AS) disajikan pada Gambar 16. Koefisien keragaman
fenotip morfometrik pada abalon berkisar antara 00,06-0,14 (Haliotis asinina),
0,07-0,13 (Haliotis squamata), dan 0,06-0,12 (hibrid dengan jantan Haliotis
asinina). Analisis koefisien keragaman berdasarkan Uji Levene menunjukkan
bahwa 6 karakter pada benih hibrid berbeda nyata terhadap kedua tetuanya.
Karakter D3 menunjukkan bahwa koefisien keragaman pada benih hibrid lebih
rendah (0.12) dan berbeda nyata terhadap tetuanya, sebaliknya antar kedua
tetuanya menunjukkan koefisien keragaman yang berbeda nyata dengan kofisien
keragaman Haliotis asinina (0.14) yang lebih tinggi dibandingkan Haliotis
squamata (0.13). Koefisien keragaman benih hibrid terlihat lebih tinggi
dibandingkan kedua tetuanya pada karakter SL. Pada karakter D2 dan D4,
koefisien keragaman benih hibrid lebih tinggi dibandingkan induk betinanya
Haliotis squamata.
, ,
abc
^>
abc abc abc aab abc
^t
, ^
< D
Gambar 16 Koefisien keragaman (CV) karakter morfometrik abalon Haliotis asinina,
Haliotis squamata, dan benih hibrid dengan induk jantan Haliotis asinina
(AS)
3.1.2.6 Hubungan I nterpopulasi Abalon
Hubungan interpopulasi abalon Haliotis asinina (tetua), Haliotis squamata
(tetua), serta keturunan (benih) hasil hibridisasi antara jantan Haliotis asinina dan
betina Haliotis squamata disajikan dalam bentuk dendrogram (Gambar 17).
(37)
,
Gambar 17 Hubungan interpopulasi abalon Haliotis asinina, Haliotis squamata, dan
benih hasil hibridisasi dengan jantan Haliotis asinina berdasarkan kemiripan karakter morfometrik
Berdasarkan kesamaan karakter morfometriknya, terlihat bahwa benih abalon
hasil hibridisasi memiliki kemiripan mencapai 98,69% dengan tetua betinanya
yaitu abalon Haliotis squamata, dan kemiripannyaa dengan abalon Haliotis asinina
mencapai 98,38%. Secara genetis benih hasil hibridisasi antara jantan Haliotis
asinina dan Haliotis squamata mewarisi induk betinanya (Haliotis squamata),
namun ekspresi fenotipiknya 1,31% dipengaruhi oleh faktor lain.
3.1.2.7 Heritabilitas
Pendugaan nilai heritabilitas dilakukan dengan mencari hubungan antara
benih abalon hasil hibridisasi dengan kedua tetuanya, yakni induk jantan Haliotis
asinina dan induk betina Haliotis squamata (Gambar 18 dan Lampiran 11).
, ,
^>
^t
< D
Gambar 18 Nilai heritabilitas berdasarkan karakter morfometrik benih abalon hasil
hibridisasi terhadap kedua tetuanya
(38)
Nilai heritabilitas didapatkan berkisar antara 0,62-1,44% untuk benih abalon hasil
hibridisasi dengan induk jantannya Haliotis asinina. Hal ini menunjukkan bahwa
keragaman morfometrik benih abalon hasil hibridisasi dipengaruhi oleh genetik
induk jantannya sebesar 0,62-1,44%, selebihnya disebabkan oleh faktor
lingkungan. Nilai heritabilitas terendah yang dipengaruhi oleh induk jantan
Haliotis asinina terdapat pada karakter D1 sebesar 0,62%, sedangkan yang
tertinggi terdapat pada karakter SW sebesar 1, 44%.
Selanjutnya, nilai heritabilitas didapatkan berkisar antara 0,73-1,02%
untuk benih abalon hasil hibridisasi dengan induk betinanya Haliotis squamata.
Hal ini menunjukkan bahwa keragaman morfometrik benih abalon hasil
hibridisasi yang dipengaruhi oleh genetik induk betinanya adalah sebesar 0,73-
1,02%, selebihnya disebabkan oleh faktor lingkungan. Nilai heritabilitas terendah
yang dipengaruhi oleh induk betina Haliotis squamata terdapat pada karakter D1
sebesar 0,73%, sedangkan yang tertinggi terdapat pada karakter D4 sebesar
1,02%.
3.1.2.8 Kualitas Air
Parameter kualitas air yang diukur selama penelitian ini disajikan dalam
Tabel 5. Beberapa parameter kualitas air menunjukkan nilai yang berada di luar
kisaran optimum menurut Tahang et al. (2006) yakni parameter suhu lebih rendah
(24-28°C), salinitas lebih tinggi (34-38 ppt), dan DO rendah (2,3-3,8 mg/L).
Tabel 5 Kualitas air pada wadah pemijahan abalon dan pemeliharaan larva abalon
Parameter Satuan Wadah
Pemijahan
Wadah
Pemeliharaan
Pustaka
(Tahang et al. 2006)
Suhu °C 26-28 24-28 29,5-30
pH - 7,2-7,4 7,2-7,5 7-8
Salinitas ppt 34-38 34-38 30-33
DO mg/L 3,0-4,2 2,3-3,8 >3
TAN mg/L 0,12-0,15 0,12-0,15 <1
Nitrit mg/L < 0,05 < 0,05 <1
3.2 Pembahasan
Abalon merupakan salah satu komoditas perairan dunia yang memiliki
nilai ekonomis tinggi. Tingginya tingkat permintaan abalon menjadi salah satu
penyebab pentingnya mencari metode alternatif untuk meningkatkan produksi
(39)
abalon yang berkualitas baik dan berkelanjutan. Persilangan dengan teknik
rekayasa pemijahan antar spesies berbeda (interspesifik) diharapkan menjadi salah
satu langkah untuk mendapatkan benih yang lebih berkualitas (Freeman 2001).
Dalam teknologi pembenihan, pemilihan teknik dan skala pemijahan yang
tepat menentukan keberhasilan produksi benih yang optimum terutama dalam
penerapan selektif breeding dan hibridisasi untuk memproduksi benih unggul
(Santoso 2012).
Metode pemijahan buatan pada abalon antara lain dengan cara perlakuan
suhu (pengeringan), photoperiod, penyinaran dengan sinar ultra violet, atau
menggunakan bahan kimia hidrogen peroksida dan kombinasi beberapa metode
(Soleh dan Suwoyo 2008). Dalam penelitian pendahuluan diperoleh hasil
pemijahan abalon yang tertinggi pada tingkat kematangan gonad yang berbeda
antara abalon Haliotis asinina dan Haliotis squamata yaitu dengan pemijahan
secara alami skala massal. Ketidaksesuaian proses pematangan diduga terkait
dengan perbedaan ukuran induk, lama waktu kematangan gonad, dan musim
pemijahan pada kedua spesies (Soleh dan Suwoyo 2008). Pada masa
pengembangan gonad akhir menuju matang, individu akan sulit untuk dipijahkan
meskipun dengan perangsangan induksi. Menurut Najmudeen dan Vector (2003),
keberhasilan induksi pemijahan dengan teknik pengeringan tercapai pada saat
gonad hewan telah masak penuh. Secara umum, abalon tropis hampir memijah
sepanjang tahun kecuali pada bulan Mei-Juni yang merupakan masa istirahat
(Capinpin et al. 1998). Menurut Singhagraiwan dan Doi (1992), rendahnya
periode pemijahan terjadi pada April-Juni (suhu air tinggi) dan puncak periode
pemijahan terjadi pada Oktober (suhu air rendah). Penelitian ini dilakukan pada
bulan Mei-Juli dimana jumlah induk yang matang gonad terbatas, maka
digunakan teknik pemijahan alami skala massal.
Tahapan kritis pada pembenihan abalon adalah saat fertilisasi sel telur oleh
sperma atau pertemuan gamet jantan dan betina. Berdasarkan hasil pengamatan
derajat pembuahan telur pada penelitian ini menunjukkan bahwa truebreeding
memiliki derajat pembuahan telur yang lebih tinggi dibandingkan dengan
hibridisasi. Hal ini dimungkinkan akibat tidak sinkronnya waktu pemijahan antara
Haliotis asinina dan Haliotis squamata dengan teknik pemijahan alami. Haliotis
(40)
asinina memijah pada dini hari, sedangkan Haliotis squamata memijah pada pagi
hari. Selain itu, dimungkinkan pula akibat kematangan gonad indukan yang tidak
merata secara individual sehingga keberhasilan pemijahan rendah pada
hibridisasi. Pada hibridisasi dengan jantan Haliotis asinina menunjukkan derajat
pembuahan telur yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan resiproknya.
Keberhasilan pembuahan dipengaruhi oleh kualitas sperma yang baik yaitu
memiliki energi yang cukup pada proses pembuahan dan pergerakan yang aktif.
Hal ini berhubungan dengan ukuran telur abalon yang kecil serta tidak memiliki
mikrofil dan spermatozoa abalon memiliki akrosom yang memegang peranan
penting pada fertilisasi (Gwo et al. 2002). Pada proses pembuahan telur,
spermatozoa memiliki peran penting yakni penetrasi ke dalam telur, kemudian
melebur dengan membran telur, dan melakukan reaksi akrosomal (Gwo et al.
2002). Derajat pembuahan rata-rata pada truebreed Haliotis asinina
(94,73±1,22%). Waktu kontak sperma dengan telur singkat yaitu berkisar 2 menit
dan tingkat fertilisasi berkisar 87-90% (Gwo et al. 2002). Pada hibridisasi dengan
jantan Haliotis squamata memiliki tingkat pembuahan yang paling rendah
(67,13±7,57%) dimana truebreed Haliotis squamata mencapai 90,60±2,34%.
Dalam penelitian ini, ditemukan telur sudah mati sebelum dibuahi karena
perbedaan waktu pemijahan yang lama. Menurut Ebert dan Hamilton (1983);
Encena et al. (1998), telur Haliotis asinina masih dapat dibuahi 2 jam setelah
dipijahkan menggunakan konsentrasi sperma 1 105 sperma ml-1, namun tingkat
fertilisasi dan perkembangan zigot akan menurun sejalan dengan waktu.
Pasca fertilisasi, perkembangan telur pun dimulai dari masa inkubasi
sampai dengan menetas. Proses perkembangan hingga penetasan telur
(embriogenesis) dipengaruhi oleh kualitas telur dan zigot hasil pembuahan.
Embriogenesis berhasil apabila telur memiliki cukup energi untuk berlangsungnya
pembelahan sel dan organogenesis. Secara umum, proses perkembangan embrio
pada truebreeding dan hibridisasi menunjukkan tahapan yang sama (Gambar 12)
tetapi berbeda waktu. Waktu perkembangan yang dibutuhkan oleh embrio hasil
hibridisasi relatif lebih lama dibandingkan dengan embrio truebreed, yaitu sekitar
2-3 jam lebih lama pada suhu inkubasi 27-28°C saat penetasan (Tabel 6). Menurut
Blanc dan Chevassus (1979), lama waktu perkembangan embrio hybrid dapat
(41)
menyerupai salah satu dari induknya, di antara keduanya, atau bahkan lebih lama
dari induknya. Di samping itu, ploidi dari hybrid memungkinkan berpengaruh
terhadap parameter lama embriogenesis (Chevassus 1983). Kegagalan dan
hancurnya membran telur serta perkembangan abnormal dari zigot berhubungan
dengan tingginya konsentrasi sperma, yaitu tingginya tingkat akrosomal lisin
sperma yang melebur dalam membran oosit. Tanpa adanya lapisan pelindung,
telur dan embrio cukup rapuh dan cenderung untuk lisis (Encena et al. 1998).
Konsentrasi sperma yang diperlukan untuk fertilisasi maksimal dan
perkembangan normal trokofor Haliotis asinina yakni sebesar 5 103 hingga 1
105 sperma ml-1 (Encena et al. 1998).
Berdasarkan hasil pengamatan derajat penetasan telur, truebreed memiliki
derajat penetasan telur yang lebih tinggi dibandingkan hybrid. Pada hibridisasi
dimungkinkan terjadi perkembangan embrio yang abnormal sehingga
menyebabkan terhentinya embriogenesis dan gagal menetas. Abnormalitas embrio
dapat diakibatkan oleh kondisi lingkungan yang tidak optimal, konsentrasi sperma
yang tidak optimal, serta adanya kontaminasi sperma oleh lendir, air laut, dan
feses (Gwo et al. 2002). Menurut Clavier (1992), tingginya konsentrasi sperma
selama fertilisasi mampu melisiskan membran sel telur sehingga mengakibatkan
sel telur tidak aktif atau persentase trokofor yang abnormal meningkat.
Sebaliknya, sel telur tidak terbuahi jika konsentrasi sperma sangat rendah,
tertundanya atau kegagalan pemijahan induk jantan (Encena et al. 1998).
Pada hibridisasi dengan betina Haliotis squamata, derajat penetasan telur
lebih tinggi dibandingkan perlakuan resiproknya. Dalam hal ini, diduga terkait
dengan ukuran telur Haliotis squamata yang lebih besar dibandingkan ukuran
telur Haliotis asinina. Menurut Soleh dan Suwoyo (2008), telur Haliotis asinina
memiliki diameter 160-268 mikron dan telur abalon tokobushi (Haliotis
squamata) memiliki diameter 260-271 mikron. Selain itu, kuning telur sebagai
bagian organ penting dalam proses perkembangan harus cukup menyediakan
sumber energi bagi bakal embrio (Hikmawan 2008).
Individu hasil hibridisasi interspesifik akan mewarisi set kromosom yang
berasal dari kedua tetuanya. Pada perkawinan antar spesies yang memiliki
hubungan kekerabatan jauh dimungkinkan memiliki jumlah kromosom homolog
(42)
yang lebih sedikit dan ketidakteraturan pada genom keturunan hibridanya. Pada
situasi ini, beberapa mekanisme dalam tubuh akan menyesuaikan dengan fungsi
dari genom baru yang terbentuk, agar individu dapat bertahan hidup (Cuellar 1974
dalam Nicolescu 2003). Perkembangan larva abalon hasil hibridisasi dengan
jantan Haliotis squamata menunjukkan bentuk yang abnormal pada fase trokofor
dan fase veliger awal (Tabel 3). Fase selanjutnya tidak dapat teramati akibat
terjadinya kematian yang tinggi pada fase veliger awal. Ketidakmampuan
bertahan hidup yang terjadi pada larva abalon hasil hibridisasi antara jantan
Haliotis squamata dan betina Haliotis asinina diduga terkait dengan
ketidaksesuaian genom atau rendahnya jumlah kromosom homolog, serta
kurangnya kecukupan energi pada media hidup dengan kualitas air yang kurang
sesuai. Rendahnya kelangsungan hidup larva hasil hibridisasi juga bisa
disebabkan karena ekspresi dari beberapa gen lethal akibat ketidaksesuaian genom
pada hibrida sehingga mekanisme regulasi genetik menjadi terganggu, atau
kehilangan fitness (Nicolescu 2003). Ketidaksesuaian lingkungan hidup terkait
dengan tingginya kematian pada larva hibrid diduga karena suhu dan salinitas
yang kurang sesuai sehingga menurunkan laju pertumbuhan, inefisiensi
penggunaan energi metabolisme, kematian mendadak atau bertahap. Suhu media
pemeliharaan yang rendah (24-28°C) berkorelasi dengan penurunan tingkat
metabolisme, sehingga laju pertumbuhan dari larva abalon terhambat. Pada fase
awal, larva membutuhkan banyak energi dari kuning telurnya (endogenous
feeding) untuk berkembang normal, selanjutnya sumber energi diperoleh dari hasil
metabolisme sehingga jika ketersediaan energi untuk perkembangan larva rendah
maka kelangsungan pertumbuhan tidak dapat berlanjut. Demikian pula salinitas
mempengaruhi tekanan osmotik dan proses osmoregulasi ikan terhadap
lingkungan. Salinitas yang berada di luar toleransi (34-38 ppt) menyebabkan larva
abalon harus mengeluarkan energi lebih banyak untuk osmoregulasi. Tingginya
tingkat osmoregulasi yang tidak diimbangi dengan tingginya tingkat metabolisme
menyebabkan proses fisiologis larva tidak berjalan normal seperti pada kasus
larva hibrida SA diduga kematiannya terkait dengan rendahnya ketersediaan
energi sehingga larva pun tidak mampu bertahan hidup. Sebaliknya, larva abalon
hasil hibridisasi dengan jantan Haliotis asinina memiliki tingkah laku pergerakan
(1)
Lampiran 9 Uji Chi Kuadrat Skoring Fenotip Kualitatif Benih Abalon
t ZE E'< E'
< Z , E t ZE E'< E'
d <^dhZ E'< E'
t ZE d Ed < >
< E DW < E />/
< E DW < E KdKd
WKZ^/ KdKd
t ZE KdKd
^
^
^
^
^
^
^
^
(2)
Lampiran 10 Levene’s
Test
Levene's Test of Equality of Error Variances
a
F df1 df2 Sig.
SL 2.850 2 42 .069
SW 7.705 2 42 .001
D1 3.658 2 42 .034
D2 2.074 2 42 .138
D3 1.878 2 42 .165
D4 2.705 2 42 .079
Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups.
a. Design: Intercept + Perlakuan
Lampiran 11 Heritabilitas
/E h< ^/E/E E/, ,z Z/ ^, >> > E'd, ^>
E ^ / y z y y y y z z y y z z
: Z Z ^
^ >
^, >> t/ d, ^t
E ^ / y z y y y y z z y y z z
(3)
: Z Z ^
^ t
/ 'KE >
E ^ / y z y y y y z z y y z z
:
Z Z ^
/ 'KE >
E ^ / y z y y y y z z y y z z
:
Z Z ^
/ 'KE >
E ^ / y z y y y y z z y y z z
(4)
:
Z
Z ^
/ 'KE >
E ^ / y z y y y y z z y y z z
:
Z
Z ^
/E h< ^Yh D d E/, ,z Z/ ^, >> > E'd, ^>
E ^ / y z y y y y z z y y z z
:
Z Z ^
^ >
(5)
^, >> t/ d, ^t
E ^ / y z y y y y z z y y z z
:
Z Z ^
^ t
/ 'KE >
E ^ / y z y y y y z z y y z z
:
Z Z ^
/ 'KE >
E ^ / y z y y y y z z y y z z
:
(6)
Z ^
/ 'KE >
E ^ / y z y y y y z z y y z z
:
Z Z ^
/ 'KE >
E ^ / y z y y y y z z y y z z
:
Z Z ^