mudah dikelabui, untuk memaksakan berlakunya kebijakan-kebijakan publik tertentu ketimbang mensejahterakan rakyat semesta.
Pertanyaan yang muncul atas penjelasan di atas, bagaimanakah sebenarnya watak dasar masyarakat madani dan partai politik?
Mengapa meskipun sama-sama ‘anak kandung’ demokrasi, namun keduanya dikonsepsikan bertentangan bahkan bermusuhan? Atau
apakah malah justru mereka sebenarnya saling bekerja-sama mewujudkan harmoni mengabdi pada ‘ibu’ demokratisasi? Menjawab
pertanyaan tersebut, penulis bersandar pada pendekatan sosiologi- politik yang dikembangkan oleh Lipset dan Rokkan 1987.
3
Mereka berpendapat bahwa munculnya organisasi masyarakat dengan beragam
bentuknya mendahului munculnya partai politik dan sistem kepartaian. Dengan demikian, kajian tentang masyarakat madani mendahalui
kajian tentang partai politik.
A. Masyarakat Madani dalam Peradaban Dunia
Dalam perkembangan awal genealogi politik, konsep masyarakat madani, meminjam istilah Bahtiar Effendy, “dengan enak,” disejajarkan
sama dengan civil society.
4
Dalam tradisi Eropa sebelum abad ke-18, terdapat berbagai macam istilah yang berpadanan dengan civil society.
Menurut World Health Organization WHO, kata civil society berakar pada kata civics, yang berasal dari kata Latin civis, yang berarti
warga negara. Peradaban ketatabahasaan Romawi dan Yunani mengenalnya dengan kalimat political society, Masyarakat politik.
Tradisi politik Yunani juga mengenal istilah ‘politike koinona” yang dipopulerkan oleh Aristoteles 384 SM–322 SM.
5
Turunannya, dalam
3Seymour M. Lipset dan Stein Rokkan, Cleavage Structures, Party System, and Voter Alignments New York: Free Press, 1987. Lihat juga Jacob Beilasiak,
“Substance and Process in the Development of Party Systems in East Central Europe,” dalam Communist and Post-Communist Studies, 30, No. 1 1997, 23-44;
Herbert Kitschelt, dkk., “Citizen, Politicans, and Party Certilization: Political Representation, and State-Failure in Post-Industrial Democracies,” dalam Europe
Journal of Political Research 37 2000, 149; Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel: Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi Jakarta:
Gramedia, 2009, 23.
4Bahtiar Effendy, “Wawasan Al-Qur’an Tentang Masyarakat Madani,” dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Vol I, No. 2, 1999, 76; Bahtiar Effendy,
Agama Publik dan Privat: Pengalaman Islam Indonesia Jakarta: UIN Press, 2009, 83-85.
5WHO, “Understanding Civil Society: Issues for WHO,” dalam Discussion Paper Civil Society Initiative: External Relations and Governing Bodies, No. 2,
CSI2002DP2, February 2002, 4.
bahasa Latin disebut ‘societas civilis,’ yang mula-mula dipakai oleh Cicero 106 SM-43 SM, seorang orator, politisi, dan filosof Roma.
Kebudayaan Prancis mengistilahkannya dengan societe civile, dan burgerliche Gesellchaft dalam bahasa Jerman. Bahkan di Nusantara-
pun, menurut Da’i dan Antropolog Indonesia Bambang Pranowo, embrio dari masyarakat madani telah ada dengan istilah manunggaling
kawula ing gusti.
6
Britannica Online Encyclopedia mendefinisikan civil society dengan, “dense network of groups, communities, networks, and ties that
stand between the individual and the modern state,” suatu jaringan yang erat antar kelompok, komunitas, jejaring, dan hubungan yang
berdiri antara individu dan negara modern.”
7
Cohen dan Arato lebih rinci mendefinisikannya sebagai suatu kondisi kehidupan masyarakat
modern yang berlandaskan di atas prinsip-prinsip egaliterisme dan inklusivisme universal. Ia merupakan sebuah bentuk pengalaman dalam
mengartikulasikan kepentingan politik dan dalam pengambilan keputusan kolektif. Hal tersebut sangat penting dalam pembentukan
dan pengembangan demokrasi, “modern civil-society is based on egalitarian principles and universal inclution, experience in
articulating the political will and in collective decision making is crucial to the reproduction of democracy.“
8
Lembaga aliansi internasional untuk partisipasi masyarakat sipil,
Civicus,
mewakili mayoritas pakar dalam bidang ini lebih spesifik mendefinisikan
masyarakat madani sebagai, “the arena, outside of the family, the state, and the market, which is created by individual and collective actions,
organisations and institutions to advance shared interests,”
9
arena di luar keluarga, negara, dan pasar yang dibuat oleh aksi individu dan
kolektif, berbagai organisasi atau institusi untuk menyalurkan kepentingannya. Definisi terakhir inilah yang menghadapkan
6Lihat detail tentang pembahasan manunggaling kawulo gusti versi politik dalam Bambang Pranowo, Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa Tangerang: Pustaka
Alvabet, 2009. 7http:global.britannica.comEBcheckedtopic1916880civil-society, diakses
tanggal 10 Januari 2013. 8Jean L. Kohen, and Andrew Arato, Civil Society and Political Theory
Cambridge: The MIT Press, 1992, 19. 9Carmen Malena dan Volkhart Finn Heinrich, “Can we measure civil
society?....,” 340; Civicus, “State of Civil Society 2013....,” 10; Marvin B. Becker, “An Essay on the Vicissitudes of Civil Society with Special Reference to Scotland in
the Eighteenth Century,” 47; Byaruhanga Julius, “Civil Society Contributions in EU’s Democratic Governance,” dalam Makalah Konfrensi Internasional Democratic
Governance and Civil Society, University of Osnabrueck, Germany 2013, 3-4.
masyarakat madani merupakan oposisi dari negara, bahkan harus berhadap-hadapan dengan negara.
Konsepsi masyarakat madani Yunani dari Aristoteles tentang polis kota biasanya dijadikan embrio pertama pembentukan civil society.
10
Intinya, menurut Keane 1988
11
terma itu bermakna warga negara ikut terlibat aktif dalam kehidupan politik negara dengan berpartisipasi
dalam membentuk lembaga negara dan kebijakan-kebijakannya. Pada masa itu, seorang anggota civil society atau masyarakat kota, dengan
sendirinya juga berarti warga dari negara citizen setempat. Civil society sebagai ‘anak kandung’ demokrasi
12
sampai dengan abad ke-18, disamakan dengan negara the state, yakni sekelompok masyarakat
yang mendominasi seluruh kelompok lain. Konsepsi societies civilies Cicero merupakan sebuah komunitas warga yang mendominasi
komunitas yang lain. Terma yang dikedepankan oleh Cicero ini lebih menekankan pada konsep negara kota city-state, yakni untuk
menggambarkan kerajaan, kota, dan bentuk korporasi lainnya, sebagai kesatuan yang terorganisasi.
Menurut Bambang Pranowo, intelektual Muhammadiyah yang NU, ungkapan Jawa kearifan lokal bagi masyarakat madani yang khas
bangsa Indonesia, semakna dengan manunggaling jumbuhing kawulo ing gusti. Dalam khazanah tasawuf, konsep itu umum dikenal sebagai
bersatunya hamba dengan Penciptanya. Namun, lebih luas konsep itu juga bisa dipakai untuk khazanah politik. Adagium itu dalam hal ini
bermakna bersatunya antara rakyat dengan negara. Gusti, bagi manusia Jawa, tidak hanya bermakna Tuhan, ia juga bermakna kepala
pemerintahan atau raja.
13
Dalam bahasa pedalangan dikatakan “gung binathara bau dhendha nyakrawati,” pemimpin yang memiliki pribadi
agung, suci berwibawa, bijaksana, menjaga keadilan dan menegakkan hukum dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi. Dalam konsep
kekuasaan Jawa tersebut, pemberian kekuasaan yang besar kepada raja diimbangi dengan ketentuan bahwa raja harus bijaksana. Seorang raja
10International Encyclopedia of the Social Behavioral Sciences, entri pembahasan “Civil SocietyPublic Sphere: History of the Concept,” Elsevier Science
Ltd, 2001, 1897. 11J. Keane, “Despotism and Democracy: The Origins and Development of the
Distinction between Civil Society and the State 1750-1850,” dalam J. Keane ed. Civil Society and the State London: Verso, 1988, 35–36.
12Ivan Doherty “Democracy Out of Balance: Civil Society Can’t Replace Political Parties,” dalam Policy Review, April dan Mei 2001, 25
13Bambang Pranowo, “Islam and Social Change,” dalam Mata Kuliah SPs UIN Jakarta, 4 November, 2014.
harus bersifat “berbudi bawa leksana, ambeg adil para marta,” meluap budi luhur mulia dan sifat adilnya terhadap sesama. Selain itu, tugas
raja adalah “anjaga tata titi tentreming praja”, yakni menjaga keteraturan dan ketentraman hidup rakyat demi tercapainya suasana
“karta tuwin raharja,” aman dan sejahtera.
14
Menurut penulis, menariknya lagi, kata madani, dalam bahasa Jawa bermakna menyamai, sepadan, sederajat, selevel atau setingkat.
Sehingga, dalam konsep politik, karena domainnya adalah relasi antara rakyat dan negara, maka tentu saja yang dimaksud dengan masyarakat
madani versi jawa adalah masyarakat yang sederajat, sepadan dengan negara dalam mengelola pemerintahan yang baik good governance.
Dalam cerita Dewa Ruci, kesentausaan yang diraih oleh sang Bima sebagai gusti bukanlah ketika ia telah mensejahterakan dirinya. Akan
tetapi ketika ia mampu menyatukan diri dengan rakyatnya bersama membangun negara yang adil dan makmur.
15
Pada perkembangan abad 20 ini, konsep masyarakat madani digunakan untuk memahami gerakan demokratisasi yang bersifat
universal, sebagaimana yang belakangan ini mendominasi wacana politik di berbagai negara.
16
Pemahaman semacam itu terutama berkembang setelah keberhasilan gerakan-gerakan civil society di
beberapa negara Eropa Timur dan Tengah, seperti di Polandia, Yugoslavia, Hungaria, Cekoslowakia, dan sebagainya. Konsep tersebut
kemudian dipahami sebagai suatu wilayah masyarakat yang independen dan relatif bebas dari intervensi kekuasaan negara.
17
Setelah era-era tersebut hingga sekarang, konsep dan ragam bentuk civil society mengalami perkembangan yang kompleks dalam proses
demokratisasi. Tiada bentuk baku yang tunggal tentang apa dan bagaimana bangunan civil society di dunia ini. Namun demikian,
umumnya, teori ini terbagi menjadi dua bentuk, yaitu civil society vis a
14
HAR. Tilaar, “In Search of New Paradigms in Educational anagement and Leadership Based on Indigenous Culture: The Indonesian Case,” dalam HAR. Tilaar,
Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21 Magelang: Tera, 1998, 196.
15Lihat Hamid Nasuhi, Serat Dewa Ruci: Tasawuf Jawa Yasadipura I Jakarta: Ushul Press, Lembaga Peningkatan dan Jaminan Mutu, dan UIN Jakarta Press, 2009.
16Sukron Kamil, Pemikiran Politik Islam Tematik: Agama dan Negara, Demokrasi Civil Society, Syariah dan HAM, Fundamentaalisme, dan Antikorupsi
Jakarta: Kencana, 2013, 125. 17Muhammad AS. Hikam, “Wacana Intelektual Tentang Civil Society di
Indonesia,” dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Vol I, No. 2, 1999, 33; lihat juga M. Dawam Raharjo, “Masyarakat Madani Di Indonesia: Sebuah Penjajakan
Awal,” dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Vol I, No. 2, 1999, 10.
vis negara, civil society yang berelasi dengan negara.
18
Teori masyarakat madani, meski sebangun dengan civil society, adalah khas
istilah Islam dan juga kearifan lokal local wisdom Indonesia. Tauhid dan semangat Pancasila sebagai platform berbangsa dan bernegara,
terutama sila kesatu, menjadi basis utama paradigma relasi rakyat dan negara. Oleh karenanya, masyarakat madani mempunyai keunikan
tersendiri yang membedakannya dengan teori civil society pada umumnya.
John Keane,
19
melihat civil society sebagai arena sosial yang mengandung kebebasan freedom, perserikatan sukarela voluntary
association, keragaman hubungan manusia, jati diri, serta nilai-nilai, yang terpisah dari kekuasaan politik negara dan pemerintah. Bagi
Keane dan para ahli ilmu sosial lainnya yang berhaluan liberal, berbagai macam kekuasaan dalam civil society tidak bersumber dari
satu hal, seperti penguasaan sarana produksi, tetapi dari berbagai macam faktor yang sangat beragam dan heterogen. Oleh sebab itu,
Keane melihat hubungan setara antara negara dan civil society itu mengandung penyaluran kekuasaan ke aneka macam wilayah publik
yang terdapat di dalam dan di antara negara dan civil society.
20
Menurut Keane, sebagaimana yang dikutip oleh Azra, demokrasi bukanlah
musuh bebuyutan ataupun teman-kental kekuasaan negara. Demokrasi menghendaki pemerintah untuk memerintah masyarakat sipil secara
tidak berlebihan ataupun terlalu sedikit. Sementara itu, tatanan yang lebih demokratis tidak bisa dibangun melalui kekuasaan negara. Ia juga
tidak bisa diciptakan tanpa kekuasaan negara.
21
Para pakar politik, ketika menjelaskan tentang civil society sebagai sebuah konsep, mereka lebih berkecenderungan mengacu pada ranah
publik public sphere per se, vis a vis ranah negara state sphere.
18Sukron Kamil dengan mengikuti polarisasi MW. Folley dan Bob Edwards membagi tiga konsep masyarakat madani. Formulasi pertama diartikulasikan oleh de
Toqueville dan Adam Ferguson yang menekankan pada aspek horisontal masyarakat budaya. Formulasi kedua diartikulasikan oleh Jacek Kuron dan Adam Michnik yang
menekankan aspek vertikal struktural. Kamil dan Iwan Gardono Sujatmiko menambahkan formulasi ketiga, yaitu gabungan I dan II. Lihat Pemikiran Politik
Islam Tematik, 129-132.
19J. Keane, “Despotism and Democracy: The Origins and Development of the Distinction between Civil Society and the State 1750-1850,” dalam J. Keane ed.
Civil Society and the State London: Verso, 1998, 35–72. 20J. Keane ed., Democracy and Civil Society London: Verso, 1998, xiii;
Bachtiar Alam, “Antropologi dan Civil Society: Pendekatan Teori Kebudayaan,” 196. 21Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta, dan
Tantangan, 6.
Meskipun ranah privat private sphere dan ranah pasar market sphere juga merupakan pilar-pilar kunci dalam civil society. Thomas Janoski
1998
22
menjelaskan bahwa civil society dapat dipahami dari diskursus di antara empat ruang, yaitu: negara, publik, pasar, dan privat dan
pengejawantahannya dalam membangun kemanusiaan, persaudaraan, dan kesejahteraan. Bagi Janoski, civil society merupakan representasi
dari sebuah ruang publik yang dinamis dan responsif terhadap negara. Ruang publik terdiri dari berbagai organisasi sosial voluntary
organization dan ruang pasar terdiri atas perusahaan milik pribadi ataupun patungan. Meskipun Janoski memasukkan ruang privat dan
keluarga dlam konsepsinya, ia tidak menjelaskan lebih jauh apa dan bagaimana ruang privat tersebut. Meskipun demikian, dari penjelasan
Cohen dan Arato bisa diketahui tentangnya. Ruang privat itu ditujukan untuk kehidupan secara pribadi, pandangan atau prinsip pribadi, dan
jejaringnya. Dengan demikian, dibutuhkan untuk mengkombinasikan keempat ruang tersebut. Satu sisi mencakup paradigma teori dari
Gramsci dan Habermas yang berkecenderungan dengan pembahasan ruang publik.
23
Di sisi yang lain, dilengkapi dengan paradigma Cohen dan Arato yang berfokus pada ruang privat.
22Thomas Janoski, Citizenship and Civil Society: A Framework of Rights and Obligations in Liberal, Traditional, and Social Democratic Regimes Cambridge:
Cambridge University Press, 1998, 12; lihat juga Andi Faisal Bakti, “Women in the West and in Indonesia: How Can Islam Contribute to Social Development?” dalam
Journal Pemikiran Islam, Vol. 1 No. 1, September, Ternate, Indonesia, 2010, 2-20; Andi Faisal Bakti, “Communication and Violence: Communicating Human Integrity
caharactersitics is necessary for Horizontal Conflict resolution In Indonesia,”dalam Identity, Culture, and Politics Vol. 9, No. 1 July 2008; Andi Faisal Bakti, “Islam and
Modernity: Nurcholish Madjid Interpretation of Civil Society, Pluralism, Secularism and Democracy,” dalam Asian Journal of Social Sciences, Brill, Leiden, Vol 33, No. 3
November, 2005; Andi Faisal Bakti, “Paramadina and its Approach to Culture and Communication: An Engagement in Civil Society,” dalam Archipel, Paris, 68
December, 2004; Andi Faisal Bakti, “Paramadina” dalam Bulletin of the International Institute for Asian Studies IIAS, LeidenAmsterdam June 2004.
23Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia Jakarta: LP3ES, 2006, 18; Thania Paffenholz dan Christoph Spurk, “Civil
Society, Civic Engagement, and Peacebuilding,” dalam Social Development Papers Conflict Prevention and Reconstruction, Paper The World Bank No. 36October
2006, 2; Robert W. Cox, “Civil Society at the Turn of the Millenium: Prospects for an Alternative World Order,” Review of International Studies, Vol. 25, No. 1 Jan.,
1999, 3-4; European Commission, “The Roots of Democracy and Sustainable Development: Europes Engagement with Civil Society in External Relations,” dalam
Communication from the Commission to the European Parliament, The Council, The European Economic and Social Committee and The Committee Of The Regions,
Brussels, 12.9.2012, COM 2012, 3.
Dalam skema, pendapat Janoski adalah berikut ini,
Sementara itu, secara konseptual, menurut Dawam Rahardjo, yang membawa pertama kali istilah masyarakat madani di Indonesia adalah
Anwar Ibrahim yang saat itu menjabat sebagai Menteri Keuangan dan Asisten Perdana Menteri Malaysia, menyampaikan pidatonya pada
Simposium Nasional pada Festival Istiqlal 1995. Masyarakat madani adalah masyarakat yang bermoral, masyarakat yang menjamin
keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat, masyarakat yang mampu mendorong daya usaha dan
inisiatif individu.
24
Lebih lanjut, menurut Anwar Ibrahim, masyarakat madani tidak bisa dipisahkan dengan akar kata din dalam konsep
Madinah dan tamadun. Masyarakat madani harus berlandaskan kepada masyarakat yang berilmu, yang mendorong pembangunan dan
kemajuan berlandaskan akhlak dan nilai etika. Pencapaiannya adalah dengan pelaksanaan ekonomi kerakyatan dan budaya masyarakat.
Masyarakat madani sepadan dengan ungkapan mujtama’ madani, yang pernah dipopulerkan oleh ulama dan reformis Mesir Sheikh
Muhammad Abduh.
25
Istilah inipun terbilang baru, Naquib al-Attas, seorang ahli sejarah dan peradaban Islam, yang mula-mula
mencetuskannya. Kata “madani” pada masyarakat madani dipadankan dengan kata hadlari, tsaqafi atau tamaddun dalam bahasa Arab yang
mana mengacu pada hal-hal yang ideal dalam kehidupan.
26
Nurcholis Madjid yang menjadi motor utama konsep ini di Indonesia mengartikan masyarakat madani sebagai masyarakat yang
berperadaban ber-madaniyyah atau mudun atau civilization karena tunduk dan patuh dana-yadīnu kepada ajaran kepatuhan dīn yang
dinyatakan dalam supremasi hukum dan peraturan. Ia pada hakikatnya adalah reformasi total terhadap masyarakat tak kenal hukum lawless
Arab jahiliyah, dan terhadap supremasi kekuasaan pribadi seorang penguasa seperti yang selama ini menjadi pengertian umum tentang
negara.
27
Oleh karena itu, menurutnya Bachtiar Effendy, civil society dengan enak dicarikan padanannya dalam kosa-kata Melayu
masyarakat madani.
28
Bahkan Effendy menambahkan, justru salah- kaprah jika menterjemahkan civil society dengan masyarakat sipil
meski secara verbatin semata hal itu dibenarkan. Rasulullah Muhammad di kota Madinah membangun masyarakat
madani yang keadilan, keterbukaan, dan demokratis, dengan landasan paling pokok yaitu takwa kepada Allah dan taat kepada ajaran-Nya.
Takwa kepada Allah dalam arti semangat Ketuhanan Yang Maha Esa
24M. Dawam Raharjo, “Masyarakat Madani Di Indonesia: Sebuah Penjajakan Awal,” 23.
25Anwar Ibrahim, “Akhlak, Ilmu Etika Asas Masyarakat Madani,” dalam http:anwaribrahimblog.com?s=masyarakat+madani, diakses tanggal 1Februari
2014. 26Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society....., 37.
27Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era reformasi Jakarta: Paramadina, 1999, 164.
28Bachtiar Effendy, “Wawasan Al-Qur’an Tentang Masyarakat Madani,” dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Vol I, No. 2, 1999, 76.
sebagaimana yang menjiwai Pancasila. Peristilahan tersebut dalam Kitab Suci al-Qur’an disebut semangat Rabbaniyah,
29
Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, Hikmah dan kenabian, lalu Dia berkata kepada
manusia: Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah. akan tetapi dia berkata: Hendaklah
kamu menjadi orang-orang rabbani orang yang sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah s.w.t., karena kamu selalu mengajarkan Al
kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. QS. Ali Imran3: 79.
Atau ribbiyah
Dan berapa banyaknya Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut nya yang bertakwa. Mereka
tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak pula menyerah kepada musuh.
Allah menyukai orang-orang yang sabar. QS. Ali Imran3: 146.
Menurut Nurcholis Madjid, rabbaniyah dan ribbiyah merupakan hablun mina Allah, tali hubungan dengan Allah, dimensi vertikal hidup
manusia, salah satu jaminan untuk manusia agar tidak jatuh hina dan nista. Semangat Rabbaniyah atau ribbiyah itu, jika cukup tulus dan
sejati, akan memancar dalam semangat perikemanusiaan, yaitu semangat insaniyah, atau basyariyah, dimensi horisontal hidup
manusia, hablun min al-nas. Kemudian pada urutannya, semangat perikemanusiian itu sendiri memancar dalam berbagai bentuk
hubungan pergaulan manusia yang penuh budi luhur. Masyarakat berbudi luhur atau berakhlak mulia itulah, masyarakat berperadaban,
29Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era reformasi, 167.
masyarakat madani atau civil society. Masyarakat Madani yang dibangun nabi itu, oleh Robert N. Bellah, sebagaimana dikutip Madjid,
disebut sebagai masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat modern, bahkan terlalu modern, sehingga setelah nabi sendiri wafat
tidak bertahan lama. Timur tengah dan umat manusia saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu
tatanan sosial yang modern seperti dirintis Nabi.
30
Berdasarkan paparan di atas, menurut penulis, masyarakat madani berbeda corak ideologi dengan civil society. Civil society berdimensi
individualisme, sekulerisme, bahkan barbarian. Masyarakat madani berdimensi komunal, religiusitas, dan humanis. Ia bisa berbentuk
organisasi masyarakat dalam berbagai hal, semisal sosial, agama, budaya dan tak terkecuali partai politik. Uniknya, Frans Magnis
Suseno, Romo Katolik, menolak kesekuleran civil society di atas. Ia- pun mendobrak ‘tembok maha sempit,’ pakem dan claim batasan
sejarah civil society tersebut. Beliau tidak keberatan dengan dan memakai istilah masyarakat madani. Ia juga memperluas batasan
cakrawala masyarakat madani dapat dirunut pada tradisi religiusitas Ibrahimiyyah, sebagai Bapak Monoteistik. Ibrahim memproklamirkan
kekeliruan laku-praktek keagamaan dan praktek sosial yang berlaku di tanah kelahirannya, bukan dengan wahyu semata, akan tetapi terdahulu
dengan ke-swa-mandiriannya menjadi oposisi dan mitra negara.
31
Menurut Schattscheider, masyarakat madani menjadi mitra negara dalam puncaknya berbentuk sebagai partai politik.
32
Partai politik mempunyai posisi status dan peranan role yang sangat penting
dalam setiap sistem demokrasi. Partai memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga
negara. Bahkan banyak yang berpendapat bahwa partai politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi, seperti dikatakan oleh
Schattscheider, “Political parties created democracy.” Karena itu, partai merupakan pilar yang sangat penting untuk diperkuat derajat
pelembagaannya the degree of institutionalization dalam setiap sistem
30Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era reformasi, 168-169. 31Frans Magnis Suseno, “Demokrasi: Tantangan Universal,” dalam M. Nasir
Tamara dan Elza Peldi Taher, Agama dan Dialog antar Peradaban Jakarta: Paramadina, 1996, 129-130. Lihat pula entri “Civilization, Concept and History of,”
dalam International Encyclopedia of the Social Behavioral Sciences, Tp; Elsevier Science Ltd., 2001, 1903.
32
David Adamany, “The Political Science of E. E. Schattschneider: A Review Essay,” dalam The American Political Science Review, Vol. 66, No. 4 Dec., 1972,
1322.
politik yang demokratis. Bahkan, oleh Schattscheider dikatakan pula, “Modern democracy is unthinkable save in terms of the parties.”
33
B. Dinamika Partai Politik dalam Membangun Negara