Tepat dalam Memilih Gubernur dan Panglima Perang serta Mengevaluasi Kinerja Mereka

11 di sekitar medan peperangan. Ketika bangsa Romawi melempari mereka dengan anak panah beracun, pasukan Islam tidak membalas mereka dengan balasan serupa. Pasukan Romawi suka menjarah desa-desa dan selalu membakarnya; baik ketika datang maupun pergi. Sementara ketika pasukan Islam membebaskan sebuah kota, mereka senantiasa menjaga akhlak mereka yang mulia dan tidak mencoba untuk melakukan hal itu sama sekali. Orientalis jujur lainnya mengatakan bahwa kota-kota Islam berkembang dengan perluasan, yang menyeru kepada akidahnya dengan mendiskusikan tentang gerakan-gerakan pemikiran yang sudah ada. Lebih dari itu, Islam mau berkembang dan menghapus semua sekat pemisah klasik seperti bangsa, bahasa, dan adat istiadat. Kesempatan langka ini terpenuhi untuk seluruh bangsa dan masyarakat sipil untuk memulai kehidupan dengan pemikiran baru berasaskan persamaan mutlak, dan dengan spirit bersaing dan bebas. 50 Fakta sejarah menunjukkan bahwa pasukan Islam tidak pernah memaksa seorang pun untuk memeluk Islam. Ini karena mereka konsisten dengan firman Allah k yang menerangkan bahwa tidak ada paksaan dalam menganut agama Islam. 51 Sedangkan penerimaan masyarakat terhadap Islam disebabkan mereka menyentuh Islam itu sendiri, hakikat bahwa Islam merupakan anugerah yang besar buat mereka. Ketika mereka berinterkasi dengan pasukan dan umat Islam yang berperilaku dengan akhlak mulai, senantiasa konsisten terhadap hukum, perintah, dan larangan dalam Islam. Mereka juga tersentuh dengan Islam setelah menyaksikan sendiri bagaimana para panglima dan pasukan Islam yang selalu berdakwah dengan perbuatan yang nyata. Sikap-sikap mereka merupakan sikap yang mulia yang dikenal oleh sejarah dunia. Saat itu, para khalifah dan para panglima pasukan senantiasa memerintahkan pasukannya untuk meminta pertolongan Allah dan bertakwa, lebih mementingkan urusan akhirat daripada dunia, 50 Ibid, hal. 599-600. 51 QS. Al-Baqarah: 256. ikhlas dalam berjihad, mengharap keridhaan Allah dalam beramal, dan menjauhi setiap perbuatan dosa. Dalam diri mereka terdapat keinginan kuat untuk membebaskan bangsa dan individu dari menyembah makhluk untuk selanjutnya beribadah kepada Allah Yang Maha Pencipta, memindahkan mereka dari kehidupan dunia yang sempit menuju kehidupan akhirat yang luas. Para panglima pasukan Islam memimpin pasukan di garda depan dan merasakan berbagai macam hantaman pertama di medan jihad. Banyak di antara mereka yang akhirnya menemui syahid. Sementara saat kondisi aman, para panglima tersebut berjalan di belakang prajuritnya. Mereka menjadi sahabat bagi para prajuritnya ketika pulang dan kembali dari medan perang, serta ikut menanggung beban dan menolong yang lemah. Para panglima Islam tersebut juga merangkap sebagai juru dakwah di barisan pertama. Mereka menerapkan aturan-aturan perang dalam Islam secara sempurna. Sebenarnya, umat Islam senantiasa berpartisipasi dalam perang di jalan Allah, bukan seperti peperangan yang dilakukan oleh bangsa lain.

2. Tepat dalam Memilih Gubernur dan Panglima Perang serta Mengevaluasi Kinerja Mereka

z Kriteria gubernur dan panglima perang menurut Umar bin Khaththab Umar bin Khaththab memiliki metode khusus dalam memilih dan menyeleksi panglima perang ketika penaklukan dan pembebasan dilakukan. Di antara syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh calon panglima Islam adalah: a. Panglima perang harus orang bertakwa, wara’, dan mengetahui hukum-hukum Islam Umar bin Khaththab senantiasa mengulang nasihatnya, “Barang siapa yang mengangkat seorang ahli maksiat dan mengetahui bahwa dia seorang ahli maksiat maka ia juga tak ada ubahnya seperti orang yang ia pilih.” 52 Tatkala Umar memilih Sa’id bin Amir untuk memimpin sebagian 52 Muttaqi Hindi, Kanz Al-‘Ummal ..., jilid. 5, hal. 761. 12 wilayah Syam, ia menolak amanah itu. Umar lalu berkata kepadanya, “Sekali- kali tidak Demi Dzat yang jiwaku dalam genggaman Tangan-Nya, janganlah kalian memikulkannya di pundakku, sedangkan kalian duduk-duduk di rumah.” 53 b. Panglima perang harus orang yang berhati-hati dan matang dalam membuat keputusan Pada saat Umar bin Khaththab memilih Abu Ubaid Ats-Tsaqafi sebagai panglima perang, ia berkata kepadanya, “Tiada yang menghalangiku untuk menjadikan Salith sebagai panglima perang selain karena ketergesa-gesaannya dalam perang. Sesungguhnya ketergesa-gesaan dalam perang menyebabkan kerugian. Demi Allah Kalau bukan karena ketergesa-gesaannya, pasti aku akan menunjuknya sebagai panglima perang. Peperangan hanya bisa dimenangkan oleh orang yang memiliki tingkat kewaspadaan yang tinggi.” 54 c. Panglima perang harus seorang pemberani dan piawai memanah Tatkala Umar bin Khaththab ingin mengangkat seorang panglima perang untuk membebaskan kota Nahawand, ia meminta saran kepada para sahabat lain. Mereka pun mengusulkan, “Wahai Amirul Mukminin Engkau lebih tahu mengenai penduduk Irak. Pasukanmu telah mendatangimu. Engkau telah melihat mereka dan berbicara pada mereka.” Umar lantas menjawab, “Demi Allah Aku pasti akan memilih seorang lelaki di antara kalian yang mahir memanah dan bisa memanfaatkan kemahirannya itu saat berkecamuk perang.” Para sahabat pun bertanya, “Siapa lelaki itu, Wahai Amirul Mukminin?” Umar lalu menjawab, “Nu’man bin Muqarrin Al-Muzanni.” Mereka pun menyetujui seraya berkata, 53 Ash-Shallabi, Fashl Al-Khitab ... , hal. 601. 54 Ibnu Atsir , Al-Kamil i at-Tarikh, 2, hal. 273. “Benar. Ia memang memiliki keahlian seperti itu.” 55 d. Panglima perang harus seorang yang cerdik, cerdas, dan berpengalaman dalam pertempuran Suatu saat, Umar bin Khaththab berkata di hadapan pasukannya, “Kewajibanku atas kalian adalah aku tidak menempatkan kalian dalam bahaya dan tidak menahan kalian di perbatasan.” Pada suatu kesempatan, Amr bin Al-Ash dan pasukannya bertemu dengan pasukan Romawi pada Perang Anjadain untuk membebaskannya. Masa itu, panglima pasukan Romawi adalah Arthabun, seorang panglima yang cerdik, memiliki, serta menghayati setiap keputusan dan pekerjaannya. Arthabun memilih Elia dan Ramlah untuk menampatkan pasukannya yang besar. Amr bin Al-Ash lalu mengirim surat guna melaporkan situasi medan pertempuran kepada Umar. Dalam surat belasannya, Umar menulis, “Kita akan memanah Arthabun Romawi dengan Arthabun Arab. Lihatlah celah kelemahan mereka yang lebar oleh kalian.” Amr bin Al-Ash lalu berusaha mengumpulkan infomasi mengenai Arthabun dan pasukannya agar bisa menentukan strategi yang akan dijalankan agar bisa mengalahkannya. Untuk itu, ia sendiri yang menyelinap ke perkemahan panglima Romawi tersebut sehingga menyebabkannya hampir terbunuh. Ketika berita itu sampai pada Umar, ia pun berkomentar, “’Amr telah mengalahkannya. Alangkah cerdiknya Amr bin Al-Ash.” 56 e. Panglima perang harus mengetahui politik syar’i, ahli berdiplomasi, terampil, memiliki intuisi dan strategi perang Tak dipungkiri lagi bahwa di antara kriteria yang seyogianya dimiliki oleh panglima 55 Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah, jilid. 10, hal. 116. 56 Ath-Thabari, Tarikh ar-Rusul wa Al-Muluk , jilid. 3, hal. 605-607. 13 perang adalah memiliki kecerdasan dan kepandaian, berani, mengetahui medan perang, dan bisa memperdaya musuh. Di samping itu, tak kalah pentingnya adalah seorang panglima harus amanah, ramah, dan senantiasa menegur dan mengingatkan pasukannya jika melakukan kesalahan. Oleh karena itu, Umar bin Khaththab memilih Sa’ad bin Abi Waqqash untuk memimpin pembebasan Irak setelah sebelumnya ia meminta saran kepada para sahabat. f. Panglima perang harus mencintai pekerjaannya Di antara strategi Umar bin Khaththab yaitu tidak akan memilih seseorang untuk menjadi panglima perang yang tidak senang dengan tugasnya dan tidak qana’ah. Kecuali jika hal itu terpaksa dilakukan agar proses pembebasan bisa dijalankan dengan baik, dan tidak ada orang lain yang lebih cakap dan piawai sebagai panglima perang. Suatu ketika Umar menyeru dan mendorong umat Islam untuk memerangi Persia di Irak. Namun, tidak ada satu pun yang menyambut seruan itu. Begitu juga di hari kedua dan ketiga, dan begitulah selama tiga hari berturut-turut. Pada hari keempat, barulah Abu Ubaid bin Mas’ud Ats-Tsaqafi menyambut seruan itu dan mengajak umat Islam lain untuk memerangi Persia yang kemudian disambut oleh umat Islam yang lain. Umar lantas memilih Abu Ubaid meski ia bukan seorang yang pernah melihat dan menemani Nabi n untuk menjadi panglima perang pada fase pertama pembebasan Irak. Salah seorang sahabat protes atas keputusan Umar tersebut, “Mengapa Anda tidak memilih panglima perang dari kalangan sahabat?” Umar menjawab, “Sesungguhnya, aku memilih seseorang yang memenuhi seruanku.” 57 Sifat-sifat 57 Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah, jilid. 9, hal. 591. ini juga telah bersemanyam dalam diri Sa’ad bin Abi Waqqash, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, Amr bin Al-Ash, dan panglima lainnya. 58 z Evaluasi kinerja gubernur Setelah memilih panglima perang dan gubernur terbaik dalam pandangannya, Umar bin Khaththab tidak berlepas tangan begitu saja atas orang dan kinerja sosok yang ditunjuknya. Umar juga ikut terlibat dalam pengawasan dan evaluasi kinerja para panglima perang dan gubernur tersebut. Bahkan Umar tidak segan untuk memberi dan menjatuhkan hukuman jika mereka terbukti melakukan kesalahan. Saat dirinya menjabat sebagai Gubernur Mesir, ada beberapa aduan tentang diri Amr bin Al-Ash yang sampai kepada Umar, baik yang diajukan oleh umat Islam maupun oleh orang-orang Qibthi. Hal ini yang menyebabkan Amr sering dipanggil oleh Umar. Amr sering mendapat teguran keras dari Umar kerena kebijakan yang dikeluarkannya, termasuk kasus ketika Amr membuat mimbar yang tingginya melebihi leher umat Islam. Di antara aduan tersebut adalah aduan salah seorang penduduk Mesir yang mengajukan dakwaan karena anak laki-laki Amr memukulnya dengan cambuk. Umar lalu memanggil Amr beserta anak sekaligus untuk menghadapnya di Madinah. Setelah terbukti bahwa anak Amr bersalah, Umar lantas menyuruh orang Mesir tersebut untuk membalas mencambuk anaknya. Setelah itu, Umar melirik Amr dan berkata, “Sejak kapan kamu memperbudak manusia padahal mereka dilahirkan oleh ibu mereka dalam keadaan merdeka.” 59 Amr juga pernah diadukan oleh salah seorang prajuritnya kepada Umar karena telah menuduhnya sebagai seorang munafik. Umar lantas mengirim surat yang dibawa prajurit yang melaporkan tadi kepada Amr. Surat itu berisi agar Amr secara terbuka mengadili prajurit tadi di muka rakyatnya dan mencambuk prajurit tadi jika terbukti sebagai seorang munafik dengan 58 Ash-Shallabi, Fashl Al-Khitab ... , hal. 602. 59 Ibid, hal. 409-410. 14 mendatangkan saksi-saksi. Ternyata tuduhan Amr tidak berhasil dibuktikan sehingga—sesuai hukum Islam—prajurit tadi pun mencambuk Amr disebabkan tuduhannya tersebut. Sebagian orang menghalanginya dan mengusulkan agar Amr menebusnya dengan tanah. Amr menolak usulan tersebut. Saat pukulan akan mengenai kepala Amr, prajurit itu lalu bertanya kepadanya, “Apakah ada yang akan menghalangiku untuk mencambukmu?” Amr menjawab, “Tidak ada. Lakukan saja apa yang telah diperintahkan Umar kepadamu.” Prajurit tadi pun kemudian berkata, “Jika begitu aku memaafkanmu.” 60 Tidak sekedar memberi hukuman, Umar bin Khaththab juga tidak segan memecat para pejabatnya yang menghina rakyatnya tanpa alasan yang diperbolehkan syariat. Qais bin Abi Hazim pernah menuturkan, “Umar pernah mengangkat seorang Anshar sebagai salah seorang pejabatnya. Ia lalu berkunjung ke rumah pembesar Hirah yang bernama Amr bin Hayyan bin Baqilah. Dia Amr kemudian menyuguhkan makanan dan minuman yang diminta. Tiba-tiba pejabat Anshar tadi menghentikan candaan dan memanggilnya Amr lalu menarik jenggotnya. Dia Amr lantas mengendarai kudanya menghadap Umar dan berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin Engkau mengangkat seorang raja atau kaisar? Apa yang dia pejabatmu lakukan kepadaku tidak seperti apa yang engkau lakukan di kerajaanmu.’ Dengan tenang Umar lalu bertanya, ‘Apa yang terjadi?’ Ia menjelaskan, ‘Salah seorang pejabatmu singgah di rumahku, lalu kami menyuguhkan makanan dan minuman yang ia inginkan. Tiba-tiba ia menghentikan candaan dan memanggilku, lalu menarik jenggotku.’ Umar kemudian menulis surat kepada pejabat tersebut. Di antara isinya berbunyai, ‘Bagaimana mungkin bisa engkau lakukan. Ia telah memberimu makanan dan minuman yang telah kau minta namun engkau malah menarik jenggotnya? Demi Allah Sekiranya jenggot itu bukan sunah, niscaya 60 Ibid. aku akan mencabut jenggotmu. Tetapi pergilah dan jangan pernah menjabat lagi selamanya.” 61 z Menggariskan kewajiban dan hak dari setiap panglima perang dan pasukannya Umar bin Khaththab menyadari bahwa suatu pasukan tidak akan berhasil menjalankan misinya kecuali terjalin sinergi dan sinkronisasi antara panglima dan pasukannya. Untuk itu, Umar menggariskan kewajiban dan hak masing-masing dari setiap panglima perang dan pasukannya dalam nasihat dan surat-suratnya. Hak panglima perang 62 Hak-hak panglima perang, yang merupakan kewajiban setiap prajurit perang, yang digariskan Umar di antaranya: a. Ditaati Ketika Umar mengutus Abu Ubaid bin Mas’ud Ats-Tsaqafi untuk menjadi panglima perang ke Irak, ia juga mengirim Salamah bin Salam Al-Khazraji dan Salith bin Qais Al-Anshari sebagai pendamping Abu Ubaid. Umar memerintahkan Abu Ubaid untuk selalu bermusyawarah dengan mereka berdua ketika ingin memutuskan sebuah perkara, dan memberitahunya bahwa Salith dan Salamah adalah veteran perang Badar. Pada perang di Jisr menghadapi Persia, Abu Ubaid memutuskan agar pasukan Islam tidak menyeberangi jembatan. Sementara Salith justru mengusulkan untuk menyeberanginya. Namun Abu Ubaid tetap pada pendiriannya. Hal inilah di antara sebab kekalahan pasukan Islam pada perang tersebut. Mengomentari perbedaan pendapat tersebut Salith berkata, “Kalau saja aku tidak benci melanggar ketaatan, niscaya aku bersama orang-orang akan meninggalkan peperangan ini. Tapi aku mendengar dan taat meskipun engkau 61 Ibid, hal. 112-113. 62 Mengenai hak-hak panglima perang, lihat lengkap Ash-Shallabi, Fashl Al-Khitab ... , hal. 387-390. 15 telah melakukan sebuah kesalahan. Dan Umar mengikutsertakanku bersamamu.” b. Mengambil dan menetapkan keputusan Disebutkan pada surat An-Nisa’: 83 bahwa Allah k menghendaki rakyat menyerahkan semua urusan di tangan para pemimpinnya agar menjadi sebab diraihnya suatu kemaslahatan dan keputusan yang tepat. Jika terdapat suatu persoalan yang masih ambigu, mereka bisa menjelaskan dan menujukannya para para pemimpin. Oleh karena itu, dianjurkan untuk bermusyawarah supaya memperoleh kebenaran. Umar menetapkan bahwa dalam setiap kelompok pasukan terdapat seorang pemimpin. Mereka harus mempercayakan semua urusan pendapat dan pengaturan kepada pemimpin mereka, sehingga tidak terjadi perbedaan pendapat di antara mereka yang mengakibatkan perselisihan. Pada tahun ketika Umar mengirimkan pasukan Islam ke Nahawand untuk berkumpul di sana, pasukan tersebut terdiri dari penduduk Madinah yang berasal dari Muhajirin dan Anshar. Di antara mereka ada Abdullah bin Umar bin Khaththab, Abu Musa Al-Asy’ari yang memimpin penduduk Bashrah, dan Hudzaifah bin Al-Yaman yang memimpin penduduk Kufah. Ketika mereka sudah berkumpul di Nahawand, Umar menulis surat kepada mereka yang di antaranya berbunyi, “Jika kalian sudah bertemu, pemimpin perang kalian adalah Nu’man bin Muqarrin Al-Muzanni.” Saat penaklukan kota Ablah 63 panglima perang membagikan ghanimah kepada seluruh pasukannya. Ketika pembagian sudah selesai dilakukan, bagian salah satu prajurit adalah satu periuk tembaga. Ketika prajurit itu memegang periuk tersebut, ternyata berisi emas. Prajurit itu pun 63 Ablah adalah sebuah negeri yang berada di pinggiran sungai Tigris, tepatnya di ujung teluk. diadukan kepada panglimanya. Panglima perang saat itu lantas mengirim surat kepada Umar mengani masalah itu. Kemudian Umar menulis surat balasan yang berisi, “Segera ambil sumpah darinya bahwa ia tidak tahu kalau periuk itu berisi emas, kecuali setelah periuk itu berada di tangannya. Jika ia sudah bersumpah berikan periuk itu beserta isinya kepadanya. Namun jika ia menolak, bagikan periuk berisi emas itu kepada pasukan Islam.” Prajurit tersebut pun bersumpah bahwa tidak mengetahuinya kecuali setelah berada di tangannya, lalu panglima perang tersebut pun menyerahkannya kepadanya. c. Disegerakan pelaksanaan perintahnya Pada masa kekhilafahnnya, tugas pertama yang dilakukan Umar bin Khaththab adalah menyeru umat Islam Madinah untuk berperang melawan Persia. Umar mengajak mereka selama tiga hari berturut- turut, tetapi tidak ada seorang pun yang menjawab seruan itu. Pada hari keempat, Abu Ubaid bin Mas’ud Ats-Tsaqafi menanggapi seruan tersebut. Hal inilah yang mendorong Umar untuk mengangkat Abu Ubadi sebagai panglima perang, meski masih ada para sahabat Rasulullah n. Itu karena Abu Ubaid adalah orang pertama yang menjawab seruan Umar. Pada saat Umar mengutus Utbah bin Ghazwan ke Basrah, ia memberi nasihat kepadanya, “Bertakwalah kepada Allah atas kepemimpinanmu. Jangan sampai jiwamu menyeretmu ke dalam kesombongan yang bisa menyebabkan kerusakan hubungan antara kamu dan saudara-saudaramu. Engkau telah menyertai Rasulullah dan engkau menjadi mulia setelah kehinaan menimpamu. Engkau menjadi kuat karenanya setelah kamu lemah sehingga sekarang engkau menjadi pemimpin yang berkuasa dan raja yang ditaati. Engkau memerintahkan seluruh perintahmu kepada rakyatmu. Betapa besar nikmat 16 ini. Jika nikmat itu tidak mengangkatmu lebih dari kemampuanmu, ia akan merendahkanmu lebih rendah dari orang- orang yang di bawahmu.” Hak prajurit perang 64 Sementara hak-hak setiap prajurit, yang merupakan kewajiban panglima perang, yang ditetapkan Umar, di antaranya yaitu: a. Diperhatikan kondisi mereka Umar bin Khaththab memberikan panji- panji perang kepada para panglima perangnya. Sebelum mereka berangkat menuju medan perang, Umar mengecek perlengkapan mereka dan memberi nasihat kepada mereka. Ia berkata, “Pakailah sarung perang, baju perang, dan alas kaki kalian. Panahlah sasaran kalian, jinakkan tunggangan kalian, kemudian meloncatlah ke atas kuda kalian. Pakailah pakaian keseharian kalian atau pakaian orang Arab. Tinggalkanlah hidup mewah dan pakaian bangsa non-Arab. Kekuatan kalian tidak akan melemah selama kalian melompat ke atas kuda kalian, naik di atas punggung kuda kalian, dan menggunakan pakaian yang keras.” Ini menunjukkan bahwa Umar sangat perhatian dalam mempersiapkan pasukannya, menunjukkan kekuatan, meluruskan para panglima perang dalam barisan, inspeksi militer, dan menampakkan kekuatan besar pada musuh, baik ketika peperangan berlangsung maupun ketika bersiap-siap untuk melaksanakan peperangan. Tatkala bertemu Mu’awiyah saat berkunjung ke Syam, Umar melihat keagungan seorang raja, pakaiannya yang banyak, dan perkakasnya. Umar pun mengingkari hal itu. Umar berkata kepada Mu’awiyah, “Apakah engkau Kisra, wahai Mu’awiyah?” Mu’awiyah pun menjawab, 64 Terkait persoalan ini, lihat Ash-Shallabi, Fashl Al-Khitab ..., hal. 391- 399. “Wahai Amirul Mukminin Sungguh kami berada di wilayah perbatasan menghadapi musuh. Kami membanggakan diri dengan pakaian perang, sedangkan jihad adalah sebuah kebutuhan.” Umar lantas terdiam. Ia tidak menyalahkan Mua’wiyah dan menyetujui maksud dari hal itu karena tujuannya demi kebenaran dan agama. Umar juga senantiasa memantau keadaan pasukannya ketika perjalanan menuju medan perang. Umar pernah memerintahkan Sa’ad bin Abi Waqqash untuk selalu memenuhi permintaan musuh yang datang kepada pasukan Islam dan meminta perlindungan serta tidak berkhianat kepada mereka. Umar menjelaskan bahwa pengkhianatan bisa menyebabkan kebinasaan dan kelemahan bagi pasukan Islam itu sendiri. Perhatian Umar terhadap kondisi perbekalan dan tunggangan prajurit juga tampat dari keputusannya yang mengirimkan ransum berupa kambing dan daging unta untuk pasukan Islam di Irak dari Madinah, An-Naqi’ dan ar-Rabdzah yang diangkut dengan unta. Umar juga mempersiapkan kuda-kuda yang berasal dari baitul mal dan ditambatkan di beberapa kota sesuai dengan kebutuhan. Ketika Umar datang ke negeri Syam untuk mengadakan perjanjian damai dengan penduduk Baitul Maqdis, ia membangun kantor urusan logistik makanan pasukan yang dikenal dengan nama Al-Ahra’. b. Diperlakukan dengan ramah dan belas kasih Umar bin Khaththab pernah menulis surat kepada salah seorang panglima perangnya, Sa’ad bin Abi Waqqash. Surat itu di antaranya berisi, “Bersikap ramahlah terhadap prajuritmu ketika engkau dalam perjalanan menuju medan perang. Jangan engkau merepotkan mereka dengan perjalanan yang melelahkan. Janganlah terlalu sebentar-sebentar singgah di suatu 17 persinggahan saat engkau menemani mereka, sehingga mereka sampai di hadapan musuh mereka dalam kondisi kekuatan mereka berkurang akibat perjalanan itu. Sungguh, mereka berjalan mendatangi musuh yang bermukim, yang menjaga diri mereka dan kuda-kuda mereka. Bermukimlah pada hari Jumat sehari semalam, sehingga mereka bisa beristirahat dan jiwa mereka kembali bersemangat, supaya mereka bisa melemparkan panah- panah mereka dan membawa perbekalan mereka. Arahkanlah tempat persinggahan mereka ke desa-desa orang-orang yang sedang melakukan perjanjian damai.” c. Diperlakukan adil jika terjadi perselisihan atau pertikaian Di antara nasihat Umar bin Khaththab kepada para gubernur dan panglima perang adalah janganlah panglima perang ataupun pimpinan detasemen mencambuk seorang prajurit tanpa sebab yang dibenarkan syariat Islam. Dalam kasus lain, Umar mengutus Salman bin Rabi’ah Al-Bahili sebagai panglima perang bersama dengan Amr bin Ma’dikarib dan Thulaihah bin Khuwailid Al-Asadi. Suatu ketika terjadi perselisihan antara Amr bin Ma’dikarib dan Salman bin Rabi’ah. Kabar tersebut sampai ke telinga Umar. Umar pun mengirim surat kepada Salman yang berisi, “Amma ba’du. Telah sampai kepadaku tentang sesuatu yang engkau perbuat kepada Amr. Engkau melakukan perbuatan yang tidak baik. Sekarang, jika kamu berada di negeri musuh maka perhatikanlah Amr dan Thulaihah. Dekatilah mereka, dengarkanlah perkataan yang mereka ucapkan, karena sesungguhnya mereka memiliki ilmu dan pengalaman dalam berperang. Apabila kamu telah sampai di negeri sendiri maka tempatkanlah mereka pada posisi yang sesuai, dan dekatilah ahli fikih dan ahli Qur`An.” Adapun kepada Amr bin Ma’dikarib, Umar menulis, “Amma ba’du. Telah sampai kepadaku berita tentang pembangkanganmu terhadap pimpinanmu dan cacianmu atasnya. Sesungguhnya engkau memiliki pedang yang engkau namakan ash-Shamshamah, dan aku juga memiliki pedang yang kenamai Al-Mushammam. Demi Allah Aku bersumpah kalau saja aku meletakkan pedangku di atas kepalamu, niscaya aku tidak akan mengangkat pedang itu sampai aku memotong kepalamu dengannya.” Ketika surat itu sampai ke tangannya, Amr bergumam, “Demi Allah Jika ia Umar mau niscaya ia akan melakukannya.” Dari kedua teks surat di atas jelas mengungkapkan bahwa seorang pemimpin harus menghindari perselisihan dengan prajuritnya di medan perang dengan mempersatukan antara hati mereka, khususnya ketika mereka berada di hadapan musuh. Seorang pemimpin hendaknya berkonsultasi dengan orang- orang yang memiliki pengalaman dalam berperang. Surat itu tidak dimaksudkan untuk memutuskan hubungan kasih sayang di antara mereka berdua, ketika mereka kembali ke negeri mereka sendiri. d. Mendapat teguran jika lalai atau melakukan kesalahan Umar senantiasa mengingatkan dan menegur setiap pasukannya, terkhusus panglima perangnya yang lalai. Dalam pandangan Umar, justru teguran itu adalah kewajibannya sebagai pemimpin dan hak pasukannya. Oleh karena itu, Umar memerintahkan para panglima perang untuk selalu berhati-hati pada musuh, terkhusus terhadap serangan musuh pada malam hari dan serangan musuh saat pasukan Islam lengah. Umar juga meminta mereka untuk selalu berjaga- 18 jaga di markas dan di setiap perjalanan. Umar pernah berkata kepada Sa’ad bin Abi Waqqash, “Gerakkanlah para pengawasmu pada pasukan dan waspadalah terhadap serangan musuh yang mengintaimu.” Umar bin Khaththab juga memberi wasiat kepada para panglima perangnya untuk membuat mata-mata dan menyebar intelijen ketika tiba di negeri musuh. Hal itu dilakukan agar mereka mengetahui keadaan dan strategi musuh. Pada suatu kesempatan, Umar berkirim surat kepada Sa’ad bin Abi Waqqash yang berisi, “Jika engkau telah menginjakkan kaki di negeri musuh gerakkanlah mata-mata di antara kalian dan mereka. Jangan sampai keadaan mereka tidak kamu ketahui. Hendaknya orang Arab atau orang yang engkau percaya berada di sekitarmu, sehingga engkau merasa tenang dengan nasihat dan kejujurannya. Ini karena kabar berita pembohong besar tidak bermanfaat bagimu, meskipun engkau mempercayai sebagian berita itu. Sementara seorang licik akan memata-mataimu dan tidaklah memberi informasi padamu. Ketika engkau mendekati negeri musuh, hendaklah engkau memperbanyak mata- mata dan memperbanyak detasemen sehingga detasemen itu akan memutus bala bantuan dan prasarana untuk mereka. Mata-mata itu akan mengintai kelemahan musuh. Pilihlah dari kalangan pasukanmu orang-orang yang pandai dan kuat untuk menjadi mata-mata. Pilihlah di antara mereka yang pandai menunggang kuda, karena jika mereka bertemu musuh, pertama kali yang engkau dapatkan dari mereka adalah pendapatmu yang kuat.” e. Ditempatkan pada posisi yang tepat saat berperang Umar bin Khaththab juga pernah memberi wasiat kepada Sa’ad bin Abi Waqqash agar tidak menyerang musuh sebelum mengenali situasi dan kondisi medan perang; baik internal ataupun eksternal, ketersediaan air dan rumput yang melimpah, dan lain sebagainya. Sebelum Perang Qadisiyah, Umar juga menulis surat kepada Sa’ad bin Abi Waqqash agar berada di batu yang paling dekat dengan negeri mereka, karena mereka akan lebih tahu dengan jalur- jalur mereka dibanding musuh, sehingga ketika—misalnya—kalah, ia bisa mundur bersama pasukannya sehingga mereka bisa terhindar dari terbunuh. Musuh tidak akan bisa mengejar mereka karena pengecut dan tidak tahu jalur-jalurnya.

3. Memperhatikan Batas-Batas Wilayah Kekuasaan Islam