22 berbagai negara. Berkembangnya kota-kota tersebut secara tidak langsung juga
memiliki andil yang cukup besar tidak hanya dalam memasukkan barang-barang niaga perdagangan, namun juga berbagai unsur budaya dan agama yang dibawa
oleh orang-orang asing yang singgah dan bahkan menetap. Di samping itu Kota Lasem juga menjadi salah satu daerah yang sangat tertinggal pada akhir tahun
1900 dalam hal perkembangan ekonomi dibanding dengan kota-kota pesisir lainnya di pantai utara Jawa seperti Surabaya, Pasuruan dan Probolinggo
menjadikan rumah-rumah orang Tionghoa di Lasem juga hampir tidak mengalami perubahan dalam pembangunannya Hempri, dkk. 2010 : 68.
Di kota Lasem juga terdapat suatu organisasi yaitu Forum Komunikasi Masyarakat Sejarah FOKMAS, yang berdiri pada tanggal 11 April 2010. Forum
ini terletak di satu tempat yang sama di studio radio yaitu radio Maloka. Awalnya Forum ini diketuai Bapak Toro sedangkan saat ini Forum ini dipimpin oleh Bapak
Agus. Pada awalnya FOKMAS tidak fokus dalam penelitian batik yang ditekankan dari segi sejarah. Karena perkembangan potensi batik dengan adanya
pencampuran budaya dari budaya Cina terutama pada motifnya adanya hubungan antara masyarakat Lasem dengan masyarakat Tionghoa yang bertempat tinggal di
Lasem sangat baik wawancara dengan Agus, 9 Juli 2012.
B. Masuknya Golongan Tionghoa ke Indonesia
Etnis Tionghoa adalah salah satu bagian dari keanekaragaman penduduk Indonesia. Etnis Tionghoa atau lebih dikenal sebagai orang Cina sampai sekarang
ini merupakan kaum minoritas. Namun demikian, kaum ini memiliki peran aktif dan berhasil dalam perekonomian Negara Indonesia. Pengaruh Cina tampak
23 bersifat mendalam dan membangun atau sebaliknya sebagai suatu gejala sekunder
yang berkaitan dengan nasib suatu minoritas. Hal itu disebabkan oleh sejarah kehadiran bangsa Cina itu sendiri di Nusantara yang berkembang selama beberapa
abad di dalam suatu konteks budaya yang reseptif dan menguntungkan, sebelum berubah arah sama sekali pada abad yang lalu, sebagai kelanjutan dari berbagai
perkembangan baru di dalam politik kolonial Denys Lombard, 2008 : 243. Orang Cina yang pertama kali datang ke Indonesia adalah para pendeta agama
Budha yaitu Fa Hien dan Hwui Ning, mereka singgah di pulau Jawa. Namun pada waktu itu, tidak ada orang Cina yang tinggal di pulau Jawa. Ketika orang-orang
Fuhien dari Canton pergi ke pulau Jawa untuk mencari rempah-rempah, mereka menetap di daerah pelabuhan pantai utara jawa. Kedatangan orang-orang Cina ke
pulau Jawa dapat diketahui dari perjalanan yang dilakukan oleh Laksamana Cheng Ho ke berbagai wilayah di pulau Jawa pada awal abad ke-14. Kapal-kapal
yang berlayar berasal dari negara-negara asing, termasuk Cina yang mendarat di Tuban, Gresik, dan Majapahit http:exsara.blogspot.com201203etnis-cina-
lasem_13.html. Orang Tionghoa di Indonesia merupakan imigran kelahiran Tiongkok atau
menurut garis laki-laki. Namun sebagai akibat dari perkawinan campuran dan asimilasi di beberapa daearah Indonesia, kita tidak bisa lagi memastikan antara
orang Tionghoa dan yang bukan Tionghoa, berdasarkan kriteria ras yang paling sederhana. Di Indonesia, seorang keturunan Tionghoa disebut orang Tionghoa jika
ia bertindak sebagai anggota dari, dan mengidentifikasikan dirinya dengan masyarakat Tionghoa. Satu-satunya ciri budaya yang bisa diandalkan, dari
24 identifikasi diri sebagai orang Tionghoa dan keterikatan dengan sistem
masyarakat Tionghoa, ialah penggunaan nama keluarga Tionghoa. Migrasi yang mendorong adanya permukiman orang Tionghoa di Indonesia
dimulai sejak adanya perdagangan oleh pedagang-pedagang Tionghoa yang menggunakan perahu-perahu jungnya dari bagian tenggara daratan Tiongkok,
sedangkan pertumbuhan penduduk Tionghoa di Indonesia selanjutnya sangat erat hubungannya dengan peranannya dalam bidang ekonomi. Bebas dari akibat-akibat
birokrasi kerajaan Tiongkok yang membuat mereka terkekang, orang Tionghoa perantauan itu membuktikan bahwa mereka paling cocok untuk perkembangan
ekonomi. Mereka menekankan sistem nilai yang mementingkan kerajinan, kehematan, pengandalan pada diri sendiri, semangat berusaha dan keterampilan,
ditambah pula dengan prinsip-prinsip organisasi social yang mudah sekali disesuaikan dan digunakan.
Dari abad ke-17 sampai abad ke-20, yaitu pada waktu orang-orang Belanda maju pesat dengan eksploitasi ekonomi Hindia Belanda yang makin sistematis itu,
orang-orang Tionghoa makin banyak memperoleh peranan yang orang Belanda sendiri tidak mampu melaksanakan. Mereka diperkenankan untuk mengikuti
selera mereka terhadap pekerjaan sebagai usahawan dan membina jaringan perdagangan dan financial yang menyeluruh, yang membentang dari pelabuhan-
pelabuhan besar sampai ke pasar-pasar desa Mely G. Tan, 1979 : 1 - 2. Di Jawa dapat dikatakan bahwa osmosis berlangsung sangat lama dan
sebagian besar unsur Cina lambat laun melebur dengan unsur-unsur lainya. Oleh karena itu, sulit menelusuri sejerah kelompok-kelompok Cina yang pertama.
25 Kaum pendatang menikahi perempuan pribumi dan untuk sebagian mengadopsi
adat istiadat negeri tersebut. Tidak semua orang Cina yang menetap di Jawa mempunyai minat berdagang.
Banyak di antaranya menjadi petani, pengurus usaha pertanian bangsawan Jawa atau pachter pengusaha tanah Pemerintah Belanda. Menurut sensus penduduk
yang menarik atas 3431 kepala keluarga yang dilaksanakan oleh para pejabat di Batavia setelah pembantaian tahun 1740, kami melihat bahwa 1442 di antaranya
berdagang cooplieden en handelaars, 935 bertani dan pekerja yang terkait landbouwers, tuiniers, kalk- en arakbranders, 728 bekerja di dalam produksi
gula atau penebang kayu suikermaalders en houtkappers dan 326 menekuni seni kriya ambachtslieden. Keadaan itu kemudiaan mengalami perubahan dratis sejak
paro kedua abad ke-19. Kecenderungan asimilasi yang sejak dini merupakan gejala umum selama satu abad merupakan akibat dari tiga perkembangan penting.
Perkembangan pertama bersifat ekonomis sekaligus demografis. Perkembangan kedua dapat dikatakan berupa perkembangan dalam hal rumah tangga.
Perkembangan ketiga yang lebih bersifat politis, berkaitan dengan perkembangan
situasi di Cina sendiri Denys Lombard, 2008 : 244 - 246.
Pelabuhan-pelabuhan besar Pulau Jawa, baik yang digunakan untuk imigrasi maupun perdagangan, semuanya terletak di sepanjang pantai utara Pulau Jawa
menghadap Laut Tiongkok Selatan, akibatnya penduduk Tionghoa juga lalu terpusat di sana. Sekarang orang Tionghoa di Jawa sebagian besar tinggal di kota-
kota, suatu pencerminan tidak hanya dari asal-usul permukiman pedagang dan dari kesukaan mereka untuk mencari nafkah di kota, tetapi juga pencerminan dari
26 kebijaksanaan yang tidak menentu dari pemerintah. Selama sebagian besar di abad
ke-19, oleh penguasa Belanda, orang-orang Tionghoa itu diharuskan tinggal di bagian kota yang sudah ditentukan dan hanya boleh keluar dari daerah itu jika
mendapat izin dari pemerintah Belanda. Hal ini disebabkan oleh karena perkawinan di antara keturunan yang berdarah campuran dari imigran-imigran ini
lambat laun berkembang juga menjadi suatu masyarakat yang cukup stabil. Di Jawa proses ini di mulai pada abad ke-16, dan hasil pencampuran kebudayaannya
di dalam masyarakat menjadi stabil pada abad ke-18. Masyarakat Tionghoa di Indonesia yang tumbuh dan berakar setempat dapat diklasifikasikan menurut
tahapan yang didasarkan pada besar kecilnya pengaruh pribumi dalam kebudayaan campuran mereka. Di Jawa, masyarakat Tionghoa dikenal sebagai
Peranakan Tionghoa. Sejak abad ke-18 sampai permulaan abad ke-20, sebagian besar orang Tionghoa di dalam masyarakat Tionghoa setempat adalah kaum
Peranakan Mely G. Tan, 1979 : 5. Para pengamat minoritas Tionghoa di Indonesia mengetahui bahwa ada dua
kelompok Tionghoa, yaitu peranakan dan totok pengelompokan itu kurang lebih merupakan akibat dari perbedaan tingkat asimilasi mereka ke dalam masyarakat
pribumi. Orang dapat mengatakan bahwa pada tahun 1930 penyebutan peranakan dan totok pada umumnya sesuai dengan tempat kelahiran masing-masing Leo
Suryadinata, 1984 : 76. Mengenai kehidupannya, kaum Totok lebih suka bekerja untuk dirinya sendiri
dan sebagaian besar berkecimpung dalam bidang usaha. Peranakan yang lebih beraneka ragam bidang pekerjaannya, menunjukkan bahwa mereka suka
27 pekerjaan kejuruan dan pekerjaan administrasi atau staf di perusahaan-perusahaan
besar Mely G.Tan, 1979 : 9. Di negara Cina sistem kekerabatan orang Cina adalah patrilineal, namun
sistem kekerabatan kaum peranakan agak berbeda. G.W. Skinner menegaskan bahwa “perkawinan yang matrilokal sama sekali bukan hal yang dirasa sebagai
hal yang memalukan. Di Madura dan Jawa Timur, pernikahan diresmikan dan dilangsungkan di rumah orang tua pengantin wanita. Di samping itu benar juga
bahwa dalam keluarga peranakan anak perempuan lebih dihargai daripada anak laki-laki. Tionghoa totok yang lebih tua lebih tertarik pada agama tradisional dan
menyembah berbagai dewa di kuil-kuil Leo Suryadinata, 1984 : 81. Kehadiran kelompok minoritas Cina di Indonesia memiliki sejarah yang
sangat panjang. Berbagai sumber sejarah menunjukkan bahwa orang Cina sudah hadir di Indonesia berabad-abad yang lampau. Dalam perkembangannya
kemudian, golongan Cina ikut larut dalam arus dinamika sejarah Indonesia. Mereka menjadi bagian integral dari realitas perjalanan historis bangsa Indonesia.
Namun demikian, sejarah golongan minoritas Cina belum diungkapan secara jelas dan utuh dalam historiografi Indonesia. Kalaupun disebutkan, mereka ditampilkan
sebagai sebuah kelompok ‘homogen’ yang semata-mata hidup dan berkecimpung dalam bidang perekonomian Abdul Wakhid, 1999 : 87.
Sebagai dampak dari buruknya infrastruktur dan rumah, orang Cina telah dipaksa untuk mencari tempat lain yang jauh lebih sehat di wilayah pinggiran
kota. Fenomena ini menciptakan suatu dikotomi antara kota pusat dan pinggiran. Para profesional telah memisahkan tempat antara tempat tinggal dan tempat kerja.
28 Mereka bekerja di Pecinan tetapi tinggal di pinggiran kota. Orang yang
mempekerjakan dirinya sendiri lebih suka memiliki sebuah toko yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari tempat tinggal. Mereka menjalankan toko eceran
di pusat perbelanjaan di wilayah perumahan baru. Para pengusaha Cina kelas atas di Semarang tinggal di wilayah perbukitan di mana mereka memiliki pusat-pusat
perbelanjaan yang luas di pusat kota. Pecinan di Semarang terletak ditengah kota, di selatan pasar tradisional, dan
dibatasi oleh Sungai Semarang. Orang-orang Cina mulai berdiam di wilayah ini sejak abad ke-17 dan pemukiman menjadi stabil sejak akhir abad ke-18 Pratiwo,
1999 : 115 dan 122. Seiring perkembangan jaman, dikarenakan adanya pembagian stratifikasi sosial berdasarkan kriteria ras, maka keberadaan etnis Cina
di Indonesia membentuk suatu kelompok masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu kawasan yang disebut “ kampung pecinan “. Etnis Cina di kawasan
pecinan Lasem mempunyai keunikan, karena memiliki kebudayaan, kepercayaan, dan agama yang berbeda dengan masyarakat pribumi atau Jawa, Namun mereka
dapat hidup berdampingan secara harmonis tanpa ada perselisihan. Dalam pembaurannya masyarakat Cina di Lasem sangat menghormati adat-istiadat
penduduk asli, begitu juga hal yang sama dilakukan penduduk asli sehingga terjalinnya hubungan yang baik antara etnis Cina di Lasem dan penduduk asli
William, dkk, 2010 : 11. Di bidang busana, pengaruh Cina kemungkinan lebih kecil. Namun, masalah
asal-usul pakaian yang dijahit belum pernah diajukan secara jelas dan kita harus berpikir bahwa di sini pun Cina mungkin memainkan peran tertentu. Penelitian
29 relief kaki Hindu-Jawa, termasuk bas-relief zaman Majapahit, cukup
membuktikan bahwa kedua jenis manusia pada zaman itu hanya mengenal kain lipat selubung. Pemunculan pakaian pantalon sejak abad ke-15 sampai abad ke-
16 di dalam mutasi yang penting itu suatu tanda transformasi sosial budaya besar- besaran pada zaman itu merupakan tanda bangkitnya masyarakat perkotaan.
Tampaknya, bangsa Cina jelas berperan serta di dalam perkembangan mode, namun kurang dapat dipastikan apakah mereka telah mempengaruhi
perkembangan kerajinan tekstil. Walaupun demekian, pada abad ke-12, sumber- sumber Cina membicarakan ekspor sutra ke Jawa. Wajar jika di sini timbul
masalah peka mengenai peran serta bangsa Cina dalam produk batik. Perlu dicacat bahwa teknik batik hanya didapati di Jawa, dan itu pun pada zaman yang relatif
mutakhir. Tak ada kesaksian apa pun yang pasti bahwa teknik batik sudah dikenal pada zaman Hindu-Jawa dan penyebutan pertama terdapat di dalam sebuah teks
Sunda yang berangka tahun 1518. Di dalam berbagai sumber Belanda, penyebutan paling kuno dari kata batik berangka tahun 1641 dan ulasan-ulasan pertama yang
agak jarang tidak ada sebelum abad ke-18. Tampaknya dalam kondisi itu, sulit bagi kita untuk menerima bahwa teknik batik merupakan “latar budaya”
Nusantara Denys Lombard, 2008 : 318 - 319. Pada masa kekuasaan Wijayabadra armada dinasti Ming dari Tiongkok yang
dipimpin oleh Laksamana Haji Cheng Ho mendarat di daerah Tuban, dekat Lasem, pada perjalanan muhibahnya yang ketiga. Pendaratan armada Cheng Ho
tersebut terjadi pada tahun 1335 Saka 1413 Masehi. Pada saat inilah Bi Nang Un seorang Champa yang bertugas sebagai salah seorang nahkoda kapal dari Armada
30 Laut Laksamana Cheng Ho tertarik untuk menetap di bumi Lasem. Dengan ijin
dari Cheng Ho, Bi Nang Un pulang ke Champa untuk menjemput keluarganya. Setahun kemudian Bi Nang Un datang kembali ke Lasem bersama istri beserta
istrinya yang bernama Na Li Ni. Mereka datang bersama anak perempuannya bernama Bi Nang Ti, anak laki-lakinya Bi Nang Na serta kerabatnya dari negeri
Campa. Bi Nang Un menetap di Desa Jolotundo yang telah dihadiahkan oleh Adipati Lasem saat itu, yaitu Adipati Wijayabadra William, dkk, 2010 : 12.
Kedatangan orang Cina di Jawa, terutama di Lasem dan beberapa tempat lain di wilayah ini melahirkan kebudayaan baru. Kebudayaan ini merupakan intisari
dari adat-istiadat Cina yang kemudian diadopsi menjadi adat daerah yang tidak luntur dari budaya Tionghoa sendiri. Masyarakat Cina di wilayah Jawa terutama
di Kecamatan Lasem lebih membaur dibandingkan dengan masyarakat Eropa. Hal ini dipengaruhi oleh komunikasi yang baik dari masyarakat lokal dengan
masyarakat Tionghoa sendiri. Masyarakat Jawa menganggap masyarakat Cina sebagai pedagang yang ulet dan terampil sehingga banyak pedagang lokal yang
meniru cara berdagang masyarakat Cina. Para imigran Cina yang telah menetap selama lebih dari dua atau tiga generasi dan berbaur dengan penduduk setempat
menjadi terbiasa dengan bahasa dan adat-istiadat dimana mereka berada. Para imigran Cina yang telah berbaur dengan penduduk setempat tersebut kemudian
mempunyai perhatian yang cukup besar pada kebudayaan lokal dan perkembangan perekonomian daerah dimana mereka menetap. Hal tersebut dapat
tercermin dalam berbagai aspek kesenian Jawa. Pengaruh dalam kesenian Jawa tampak jelas pada seni batik, khususnya pola dan ragam hias dan warna yang
31 digunakan, seperti dapat dijumpai pada batik Cirebon, Pekalongan, dan Lasem.
Sejumlah orang Cina yang berasal dari keluarga Cina yang telah cukup lama menetap dan berbaur di Jawa, kemudian ada yang berkembang menjadi ahli seni
dan pelindung kesenian Jawa, bahkan ada dari mereka yang terjun menjadi penulis jawa. Gelombang migrasi orang-orang Cina yang ke Indonesia meningkat
pesat sejak
abad ke-19
http:exsara.blogspot.com201203etnis-cina- lasem_13.html.
Relasi Jawa dengan Cina Tiongkok sendiri, baik dalam pengertian hubungan diplomatik antar kedua negara atau kerajaan maupun hubungan dagang yang
sudah berlangsung sejak lama bahkan jauh sebelum Islam datang ke kawasan ini. Hubungan ini terus berlanjut saat Cina dipegang oleh Dinasti Ming 1368 - 1644
Masehi, sejak saat itulah terjadi arus perhubungan yang intensif antara Jawa- Cina. Situasi ini sangat didukung dengan keadaan Jawa dengan kota-kota
pesisirnya yang mulai berkembang saat itu. Unsur-unsur budaya baru yang hadir berusaha diadaptasi oleh penduduk Jawa-pribumi sehingga kebudayaan Jawa pada
prakteknya merupakan hasil akulturasi dengan budaya asing. Relasi antara penduduk lokal pribumi dengan kaum Cina pendatang di Lasem
memang sudah terjalin sejak lama. Keharmonisan hubungan mereka dapat terlihat dari peninggalan-peninggalan sejarah yang ada, seperti banyaknya kelenteng-
kelenteng yang merupakan simbol-simbol tempat ibadah bagi orang Cina yang masih berdiri kokoh hingga saat ini, berdampingan dengan sarana ibadah lain
seperti masjid dan gereja. Selain dari sisi arsitektur bangunan, nuansa khas Cina yang sangat kental akan sangat terasa di Lasem pada saat perayaan hari-hari besar
32 Cina. Pada saat itu warga-warga Cina Lasem akan mengekspresikannya ke-Cina-
annya dalam bentuk hiasan-hiasan di rumah mereka, serta merayakannya bersama dengan warga Cina yang lain dalam sebuah kelenteng yaitu sebuah perayaan di
mana etnis Cina membuat persembahan dengan membuat kue-kue yang didoakan di kelenteng sambil memohon rejeki agar panen dan pendapatan mereka bisa lebih
baik di tahun tersebut. Atraksi-atraksi khas Cina seperti tarian Cina, barongsai, liang liong, wayang potehi, maupun upacara-upacara keagamaan masih secara
rutin dilakukan oleh warga etnis Cina di Lasem. Kegiatan ini pun selalu ramai menjadi tontonan bagi penduduk lokal pribumi serta warga sekitar Lasem, yang
juga menikmati berbagai momen-momen yang dilakukan oleh kaum Tionghoa tersebut. Relasi etnis Cina dan penduduk lokal yang kemudian menghasilkan
proses akulturasi budaya juga dapat dilihat pada seni batik yang berkembang di Lasem Hempri, dkk. 2010 : 65 - 69.
C. Sejarah Batik Lasem