KESIAPAN BIROKRASI DALAM MENERAPKAN KEBIJAKAN SISTEM KREDIT KARAKTER MAHASISWA Kesiapan Birokrasi Dalam Menerapkan Kebijakan Sistem Kredit Karakter Mahasiswa Di Universitas Muhammadiyah Surakarta.

(1)

Naskah Publikasi

Diajukan kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (S-1) Psikologi

Diajukan oleh:

PAKSI HIDAYATULLOH F 100 104 017

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2016


(2)

KESIAPAN BIROKRASI DALAM MENERAPKAN KEBIJAKAN

SISTEM KREDIT KARAKTER MAHASISWA DI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Yang diajukan oleh : PAKSI HIDAYATULLOH

F 100 104 017

Telah disetujui untuk dipertahankan di depan Dewan Penguji

Telah disetujui oleh : Pembimbing


(3)

(4)

SURAT PERNYATAAN Bismillahirrahmanirrohim

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Paksi Hidayatulloh

NIM : F100 104 017

Fakultas/Jurusan : Psikologi/ Psikologi Universitas : Muhammadiyah Surakarta

Judul : KESIAPAN BIROKRASI DALAM MENERAPKAN

KEBIJAKAN SISTEM KREDIT KARAKTER MAHASISWA DI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Menyatakan bahwa naskah publikasi ini adalah karya saya sendiri dan bukan naskah publikasi dari jasa pembuatan naskah publikasi. Apabila saya mengutip dari karya orang lain, maka saya akan mencantumkan sumbernya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Saya bersedia menerima sanksi apabila melakukan plagiat dalam menyusun skripsi ini.


(5)

ABSTRAK

KESIAPAN BIROKRASI DALAM MENERAPKAN KEBIJAKAN SISTEM KREDIT KARAKTER MAHASISWA

DI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Paksi Hidayatulloh Yayah Khisbiyah

Paksi.disini@gmail.com

Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesiapan dan dinamika birokrasi dalam perspektif psikologi sosial/politik/organisasi pada pimpinan universitas dan pimpinan fakultas dalam menerapkan kebijakan sistem kredit karakter mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif dengan narasumber pimpinan rektorat yaitu Wakil Rektor 1 dan Kabagmawa, Pimpinan Fakultas Psikologi yaitu Dekan dan Wakil Dekan 3 serta Fakultas Ilmu Kesehatan yaitu Wakil Dekan 3, Ketua Program Studi Keperawatan dan Kesejahteraan Masyarakat. Pengambilan sampel fakultas diawali dengan komunikasi dengan organisasi mahasiswa di sejumlah fakultas Universitas Muhammadiyah Surakarta. Dalam pengambilan keputusan secara institusi, elemen kebijakan mempunyai peran yang signifikan dalam merancang kurikulum pendidikan. Sinergisitas antara pemegang kebijakan, lingkungan kebijakan dan sistem kebijakan merupakan unsur yang menguatkan dan dikuatkan satu sama lainnya. Kebijakan sistem kredit karakter mahasiswa menjadi alternatif kebijakan dalam meningkatkan kemampuan soft skills peserta didik. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa fragmentasi pengambil kebijakan dalam dinamika organisasi harus segera diselesaikan karena telah terjadi disharmoni dalam implementasi kebijakan. Selain itu ditemukan adanya kontribusi positif dalam aktifitas kemahasiswaan ketika sistem kredit karakter mahasiswa diimplementasikan.

Kata kunci: soft skills, pengambilan keputusan, birokrasi dan kebijakan sistem kredit karakter mahasiswa.


(6)

ABSTRACTION

THE READINESS OF THE BUREAUCRACY IN IMPLEMENTING

POLICY FOR STUDENT CHARACTER CREDIT SYSTEM AT MUHAMMADIYAH UNIVERSITY OF SURAKARTA

Paksi Hidayatulloh Yayah Khisbiyah

Paksi.disini@gmail.com

The Faculty of Psychology of The Muhammadiyah University of Surakarta This research aims to know the readiness and the dynamics of the bureaucracy from the perspective of social/political/organizational psychology in the ways the university and the faculty leadership implementing the policy for student characters credit system in Muhammadiyah University at Surakarta. This research uses qualitative methodology to interview the university leadership namely Vice Rector of 1 and Head of Student Body, Faculty of Psychology leadership, namely the Dean and Vice Dean 3, and Health Science Faculty leadership namely Vice Dean 3, Head of Nursing and Community Health Study Program . Data gathering begins with communication with various students organizations in several faculty of the University of Muhammadiyah Surakarta. In institutional decision making, policy making and policy implementation play a significant role in designing educational curriculum. Sinergy of three elements, e.g. among policy holders, policy environment and policy system would strengthen and empower each other. The policy for student character credit system becomes an alternative policy to improve the ability of soft skills for students. The results show that fragmentation between policy makers within the dynamics of the organization must be solved as it has created disharmony in policy implementation. In addition, the results also show the positive contribution in student organizational activities when the credit system characters students being implemented.

Key Words: soft skills, decision-making, bureaucracy and policy for student characters credit system.


(7)

I. Pendahuluan

Kompetensi pendidik yang termasuk soft skills mencakup kompetensi kepribadian dan sosial. Kompetensi kepribadian disebut dengan intrapersonal skills sedangkan kompetensi sosial disebut interpersonal skills. Berthal (dalam Muqowim, 2012) mendefinisikan soft skills sebagai perilaku personal dan interpersonal yang mengembangkan dan memaksimalkan kinerja manusia seperti membangun tim, pembuatan keputusan, inisiatif dan komunikasi. Neff & Citrin (dalam Muqowim, 2012) mengatakan bahwa yang paling menentukan kesuksesan bukanlah keterampilan teknis melainkan kualitas diri yang termasuk dalam keterampilan lunak (soft skills) atau keterampilan yang berhubungan dengan orang lain (people skills). Soft skills tidak termasuk kemampuan teknis melainkan non-teknis, ketrampilan yang dapat melengkapi kemampuan akademik, dan kemampuan ini harus dimiliki oleh setiap orang, apapun profesi yang ditekuni.

Proses mendidik tidak hanya berlangsung di kelas, berbeda dengan mengajar yang pada umumnya hanya di kelas. Mendidik adalah proses transfer nilai (transfer of values), sedangkan mengajar merupakan proses transfer pengetahuan (transfer of knowledge). Direktorat Akademik Ditjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional (2008) mengatakan: Keberhasilan pendidik 80% ditentukan oleh soft skills

“kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial”, dan hanya 20% hard skills

“kompetensi pedagogik dan professional”. Hasil penelitian dari Harvard University

Amerika Serikat tentang dunia pendidikan di Indonesia (dalam Muqowim, 2012) pendidikan di Indonesia memberikan kontribusi soft skills hanya 20% dan yang 80% bersifat hard skills. Ketidakseimbangan ini harus segera diatasi dengan melakukan perubahan regulasi jangka panjang yang didasarkan pada analisa pendidikan.

Dalam hasil penelitian lain dari Putra dan Pratiwi (dalam Rizky, 2012) menjelaskan bahwa menurut survei dari 457 pemimpin perusahaan yang dilakukan oleh National Association of Colleges (NACE) tahun 2002 di Amerika Serikat,


(8)

diperoleh kesimpulan bahwa Indeks Prestasi (IP) hanya menempati urutan nomor 17 dari 20 kualitas skills yang perlu dimiliki mahasiswa.

Hasil Survei NACE USA Mengenai Soft Skills di Dunia Kerja

Sumber Putra dan Pratiwi 2005

Jika kita melihat hasil penelitian di atas, keberhasilan seorang profesional sangat ditentukan oleh penguasaan soft skills ketimbang hard skills. Pemahaman bahwa soft skills memiliki peranan penting dalam kesuksesan mahasiswa, dan cara untuk mengasah soft skills salah satunya melalui kegiatan kemahasiswaan. Namun kenyataanya, keikutsertaan mahasiswa dalam organisasi mahasiswa kurang dari 10% (Keluarga Mahasiswa UMS, 2015). Padahal kalau melihat data jumlah keseluruhan mahasiswa aktif kurang lebih 28.000 (BAA UMS, 2015). Mestinya organisasi mahasiswa menjadi salah tempat pembelajaran yang efektif untuk mengembangkan dan meningkatkan soft skills mahasiswa. Kenyataannya, hanya sedikit mahasiswa


(9)

yang berkecimpung dalam kepengurusan organisasi mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Sebagai hasil kesepakatan bersama antara pimpinan universitas dan pimpinan fakultas dalam menyikapi realita yang ada, lahirlah buku Pedoman Sistem Kredit Karakter Mahasiswa (SKKM) tahun 2012 sebagai kerangka acuan dalam proses pembentukan karakter mahasiswa. Kebijakan ini dibuat sebagai sarana dalam menyeimbangkan peranan soft skills dan hard skills, yang pada intinya sebagai syarat mendapatkan gelar kesarjanaan mahasiswa tidak hanya dituntut dengan IPK yang tinggi (bersifat akademik) namun juga wajib menyerahkan sertifikat keikutsertaan dalam organisasi/kegiatan/seminar/kejuaraan, dsb (bersifat non akademik) sebagai kelengkapan pemenuhan kredit point. Dalam pelaksanaan kebijakan sistem kredit karakter mahasiswa dibutuhkan sinergisitas antara stake-holders universitas dan fakultas.

Mencermati keputusan yang dibuat seorang pemimpin ada beberapa aspek individual dalam menjelaskan perilaku. Lewin (dalam Cottam, Beth, Elena, & Thomas, 2012) berpendapat bahwa untuk memahami perilaku perlu memahami kepribadian seseorang dan menekankan interaksi antara seseorang dengan situasi tertentu. Fred Greenstein (dalam Cottam, Beth, Elena, & Thomas, 2012) meninjau bahwa, meskipun kepribadian sering kali tidak begitu berpengaruh dalam pengambilan kebijakan namun terjadi pada dampak pribadi (aktor politik): pertama, meningkat hingga sejauh mana lingkungannya memungkinkan restrukturisasi; kedua, bervariasi sejalan dengan lokasi/situasi aktor politik tersebut di lingkungannya; dan ketiga, ketika individu-individu memiliki sumber kekuasaan pribadi dikarenakan posisi mereka dalam sistem politiknya (jabatan) sehingga dapat memengaruhi proses kebijakan.

Levine & Moreland (dalam Cottam, Beth, Elena, & Thomas, 2012) berpendapat bahwa setiap kelompok atau organisasi dapat dipastikan memiliki sebuah struktur dan struktur cenderung berkembang dengan cepat dan berubah dengan lambat dalam kebanyakan kelompok. Penetapan kebijakan mempunyai peran dalam


(10)

kemajuan sebuah kelompok, Karft & Furlong (dalam Hamdi, 2014) mengataka penetapan kebijakan (policy legitimation) merupakan mobilisasi dari dukungan politik dan penegasan kebijakan secara formal termasuk justifikasi untuk tindakan kebijakan. Dalam hal ini terdapat dua makna dari penetapan kebijakan. Pertama, penetapan kebijakan merupakan proses yang dilakukan pengambil kebijakan untuk melaksanakan suatu pola tindakan tertentu atau sebaliknya, untuk tidak melakukan tindakan tertentu. Kedua, penetapan kebijakan berkaitan dengan pencapaian konsensus dalam pemilihan alternatif-alternatif yang tersedia. Tahap ini juga berkenaan dengan legitimasi dari alternatif yang dipilih, yakni berupa suatu rancangan tindakan-tindakan yang ditetapkan menjadi peraturan baru yang dilaksanakan.

Fromm (dalam Cottam, Beth, Elena, & Thomas, 2012) mengeksplorasi interaksi-interaksi antara orang-orang dalam masyarakat dan berpendapat bahwa perubahan dalam masyarakat dapat menghasilkan kebebasan dari pengekangan sehingga masyarakat humanis dapat mengejar suatu kebebasan positif yang didalamnya orang-orang memperlakukan satu sama lain dengan menyertakan rasa hormat dan rasa cinta atau mereka dapat melepaskan kebebasan dan menerima sistem politik dan sistem sosial yang totaliter dan otoriter. Kebutuhan akan kekuasaan merupakan sebuah karakteristik kepribadian yang selama ini telah dipelajari secara luas dan dikaitkan dengan jenis-jenis perilaku dan gaya-gaya interaksi yang spesifik dengan orang lain Winter dkk (dalam Cottam, Beth, Elena, & Thomas, 2012). Secara khusus seseorang akan menduga para pemimpin yang memiliki kebutuhan psikologis akan kekuasaan yang semakin tinggi akan semakin dominan dan asertif pada gaya kepemimpinan mereka saat menjabat dan menuntut kontrol yang lebih besar atas bawahannya dan keputusan-keputusan kebijakan.

Hermann dkk (dalam Cottam, Beth, Elena, & Thomas, 2012) mengatakan bahwa pengalaman atau keahlian sebelumnya yang dimiliki oleh para pemimpin berdampak signifikan pada kepemimpinan, karakteristik interaksi kelompok dan seberapa kuat para pemimpin menegaskan posisi mereka dalam isu-isu kebijakan.


(11)

Barber dkk, (dalam Cottam, Beth, Elena, & Thomas, 2012). Pengalaman masa lalu menyediakan para pemimpin suatu pendirian tentang tindakan apa yang akan efektif dan tidak efektif dalam situasi-situasi politik yang spesifik, serta manakah petujuk dari lingkungannya yang seharusnya diperhatikan dan mana yang tidak relevan. Dilihat dari pengalaman masa lalu pemimpin dapat mempengaruhi pengambilan keputusan dalam capaian pekerjaan tertentu. Keputusan politik dapat dibuat untuk menanggapi isu-isu yang dipersepsikan oleh para pemimpin sehingga setiap pengambilan keputusan memiliki cara yang berbeda dan pola perilaku yang berbeda tergantung pada dinamika yang terjadi di lingkungan kebijakan.

Thomas R. Dye (dalam Dunn, 2003) mengatakan suatu sistem kebijakan dibuat mencakup hubungan timbal balik diantaranya tiga unsur yaitu kebijakan publik, pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan. Definisi dari masalah kebijakan tergantung pada pola keterlibatan pelaku kebijakan (policy stakeholders) yang khusus yaitu para individu atau kelompok yang mempunyai andil dalam kebijakan, misalnya warga masyarakat, pemimpin terpilih dan para analis kebijakan yang berkenaan dengan lingkungan kebijakan. Lingkungan kebijakan (policy environment) yaitu konteks khusus dimana kejadian-kejadian di sekeliling isu kebijakan, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pembuat kebijakan dan kebijakan publik. Sistem kebijakan berisi proses dialektis yang bersifat subjektif dan objetif dari pembuat kebijakan, sistem kebijakan merupakan realiatas objektif yang dimanifestasikan kepada tindakan-tindakan yang teramati yang bersifat konsekuensi; para pelaku kebijakan merupakan produk dari sistem kebijakan.

Pelaksanaan kebijakan dapat diikhtiarkan dalam musyawarah bersama yang menghadirkan segenap civitas akademika diantaranya pimpinan universitas, pimpinan fakultas dan keterwakilan mahasiswa ditingkat universitas dan fakultas. Mengingat makna dan sifat implementasi yang dapat dipahami dari berbagai dimensi, makna tahap ini dengan sendirinya menunjukkan signifikansinya. Matland (dalam Hamdi, 2014) mencatat bahwa literatur mengenai implementasi kebijakan secara umum


(12)

terbagi dalam dua kelompok, yakni kelompok dengan pendekatan dari atas (top-down) dan kelompok dengan pendekatan dari bawah (bottom-up). Kelompok dengan pendekatan top-down melihat perancangan sebagai aktor sentral dalam implementasi kebijakan dan memusatkan perhatiannya dalam faktor-faktor yang dapat dimanipulasi pada tingkat sentral atau pada variabel yang bersifat makro. Pada lain sisi, kelompok bottom up menekankan pada kelompok-kelompok sasaran dan para penyedia layanan. Pemberian tekanan pada kelompok bottom-up didasarkan pada pemikiran bahwa kebijakan senyatanya dibuat pada tingkat lokal dan berfokus pada variabel mikro.

Model top-down memandang implementasi kebijakan sebagai pelaksanaan secara tepat pada tujuan yang telah direncanakan dari tingkat atas oleh para pelaksana pada tingkat lapangan sehingga akan dapat tercapainya tujuan. Melihat realita yang terjadi pimpinan mencoba melakukan uji coba di beberapa program studi di fakultas tertentu dan ketika dirasa berhasil akan diterapkan secara makro dan menyeluruh. Model yang dibuat oleh Van Meter dan Van Horn (dalam Hamdi, 2014) pada dasarnya dimaksud untuk mengidentifikasi hubungan antara kepentingan yang beragam dari analis kebijakan, perhatian langsung pada faktor penentu dari kebijakan publik dan memberikan penekanan pada keterkaitan yang sering kali tidak sempurna antara kebijakan yang ditetapkan dengan pelayanan yang nyata dilakukan. Model pandangan lain pendekatan top-down juga dikemukakan oleh Mazmanian dan Sabatier (dalam Hamdi, 2014) yang mendefinisikan implementasi sebagai pelaksanaan keputusan kebijakan dasar (basic polity decision), yang selalu terbentuk dalam peraturan perundang-undangan namun juga dapat berbentuk perintah eksekutif. Titik awal model ini terletak pada keputusan yang bersifat mengikat dalam implikasinya, para aktor yang berada di pusat pembuatan keputusan dipandang sebagai relevansi untuk mewujudkan akibat atau hasil yang diinginkan.


(13)

II. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, Kesiapan birokrasi dalam menerapkan kebijakan sistem kredit karakter mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Surakarta menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan wawancara, observasi dan dokumentasi. Dalam memilih responden mengunakan teknik purposive sampling. Tahap penentian responden diakukan berdasarkan berdasarkan Kriteria yang telah ditentukan sebelumnya. Cara yang diakukan adalah dengan bertanya kepada mahasiswa organisasi yang ada di beberapa fakultas dan organisasi yang ada Universitas Muhammadiyah Surakarta. Jumlah responden yang menjadi narasumber yaitu pengambil kebijakan di Fakultas Psikologi dan Fakultas Ilmu Kesehatan serta pengambil kebijakan di Universitas Muhammadiyah Surakarta.

III. Metode Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkanya kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan yang dapat diceriterakan pada orang lain (Sugiyono, 2008). Sebagian besar pendekatan kualitatif, analisis data tidak dilakukan dalam satu tahap saja setelah data terkumpul. Daymon & Holloway, (dalam Sugiyono, 2008) menyebutkan bahwa analisis data kualitatif merupakan proses sistematis yang berlangsung terus-menerus, bersamaan dengan pengumpulan data. Analisis kualitatif berkaitan dengan; (1) reduksi data yaitu memilah-milah data yang tidak beraturan menjadi lebih teratur dengan cara mengkoding, menyusunnya menjadi katagori (catagorizing) dan merangkum menjadi pola susunan yang sederhana, dan (2) interpretasi yaitu mendapatkan makna dan pemahaman terhadap kata-kata dan tindakan partisipan penelitian yang memunculkan konsep dan teori yang menjelaskan tentang temuan yang ada. Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2008) mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya


(14)

sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data yaitu data reduction, data display, dan conclusion drawing/verification.

IV. Hasil dan pembahasan

Berdasarkan hasil analisis data dari wawancara dan observasi dari 7 informan dapat dilakukan pengkatagorisasian terhadap kesiapan birokrasi dalam menerapkan kebijakan sistem kredit karakter mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Surakarta sebagai berikut:

1. Keberhasilan Mahasiswa

Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa pendapat responden tentang keberhasilan mahasiswa di Perguruan Tinggi hampir sama, (OSP) berpendapat bahwa keberhasilan mahasiswa dimaknai beraklak mulia, religius dan memiliki kemampuan untuk bermasyarakat, dengan ini (TK) berpendapat keberhasilan mahasiswa yaitu mampu mengintegrasikan tiga bagian yaitu sisi keilmuan, sisi kemampuan riset, implementasi bersama masyarakat. Dari hal ini (S) bersepakat bahwa keberhasilan mahasiswa adalah menguasai sesuai program studi yang dia ambil, apa yang sering disebut dengan soft skills yaa atau life skills yang bersifat kepribadian dan mempunyai akhlak atau karakter yang baik. Dan (MD) menambahkan mahasiswa yang berdaya saing, kompetitif dan tangguh.

2. Soft skills dan hard skills di Perguruan Tinggi

Dalam institusi pendidikan, pengambil kebijakan harus berusaha meningkatkan soft skills dan juga hard skills mahasiswanya (ASP). Dalam hasil penelitian dari Putra dan Pratiwi (dalam Rizky, 2012) menjelaskan bahwa menurut survei dari 457 pemimpin perusahaan yang dilakukan oleh National Association of Colleges (NACE) tahun 2002 di Amerika Serikat, diperoleh kesimpulan bahwa Indeks Prestasi (IP) hanya menempati urutan nomor 17 dari 20 kualitas skills yang perlu dimiliki mahasiswa. Jadi keberhasilan seorang profesional sangat ditentukan oleh penguasaan soft skills ketimbang hard skills. (DA)


(15)

menyatakan bahwa sebetulnya untuk hal non akademik itupun menjadi suatu penentu juga untuk suatu keberhasilan, mahasiswa kesehatan masyarakat dituntut bagaimana pendekatan kemasyarakat, terampil, pandai berkomunikasi, mampu mengorganisasi masyarakat, mandiri dan seterusnya. Dan (MD) berpendapat bahwa dalam koridor akademik paling mudah itu adalah bagaimana aktifitas pengembangan diri mahasiswa itu masuk dalam kurikulum dan idealnya aspek pengembangan diri itu melekat pada masing-masing mata kuliah.

3. Pemberian kredit poin dapat meningkatkan partisipasi mahasiswa dalam aktifitas non-akademik

Dalam pernyataan ini (DA) menyatakan bahwa mahasiswa dituntut untuk memenuhi kredit karakter dengan berperan aktif di luar pembelajaran kelas sehingga mahasiswa terpacu dalam meningkatkan potensinya yang dimiliki melalui keaktifannya dalam sebuah kepanitiaan, keorganisasian dan kegiatan kemasyarakatan. Dalam buku Pedoman Sistem Kredit Karakter Mahasiswa (dalam Anonim, 2012) menyatakan tata laksana penilaian karakter mahasiswa yang terdiri dari: Pertama, penetapan domain karakter yang dinilai. Kedua, penetapan satuan angka SKKM. Ketiga, prosedur pelaksanaan dan pihak terkait. Keempat, metode sosialisasi SKKM. Dalam wawancara dengan (S) menyatakan bahwa harapakan kami dengan diterapkan soft skills atau life skills ini dalam tanda petik agak di post agak dipaksa supaya mahasiswa dipaksa untuk mengembangkan diri dalam bentuk terlibat di dalam organisasi, atau panitiaan dan lain sebagainya baik internal kampus atau ekternal kampus. Jadi tidak hanya di dalam kampus saja.

4. Perumusan kebijakan sistem kredit karakter mahasiswa

Penetapan kebijakan mempunyai peran dalam kemajuan sebuah kelompok, Karft & Furlong (dalam Hamdi, 2014) mengataka penetapan kebijakan (policy legitimation) merupakan mobilisasi dari dukungan politik dan penegasan kebijakan secara formal termasuk justifikasi untuk tindakan kebijakan. Dalam hal ini terdapat dua makna dari penetapan kebijakan. Pertama, penetapan kebijakan merupakan


(16)

proses yang dilakukan pengambil kebijakan untuk melaksanakan suatu pola tindakan tertentu atau sebaliknya, untuk tidak melakukan tindakan tertentu. Kedua, penetapan kebijakan berkaitan dengan pencapaian konsensus dalam pemilihan alternatif-alternatif yang tersedia. Tahap ini juga berkenaan dengan legitimasi dari alternatif-alternatif yang dipilih, yakni berupa suatu rancangan tindakan-tindakan yang ditetapkan menjadi peraturan baru yang dilaksanakan. (MD) berpendapat bahwa perumusan kebijakan sistem kredit karakter mahasiswa berorientasi pada KKNI mulai dari pembuatan penyusunan kurikulum baru, struktur kurikulum sampai implementasinya yang diarahkan pada capaian dimana di setiap mata kuliah ada aktifitas pengembangan diri dan pemberian nilai/kredit dalam setiap SKSnya.

5. Pendekatan top down dan bottom up dalam implementasi kebijakan

Matland (dalam Hamdi, 2014) mencatat bahwa literatur mengenai implementasi kebijakan secara umum terbagi dalam dua kelompok, yakni kelompok dengan pendekatan dari atas (top-down) dan kelompok dengan pendekatan dari bawah (bottom-up). Dalam wawancara ditemukan pernyataan dari (S) bahwa semula itu adalah dari usulan dari bawah. dari kemahasiswaan kemudian membentuk tim merumuskan itu, kemudian kami berusaha menyampaikan keberbagai pihak di kampus ini kemudian terakhir muncullah yang namanya rapat kerja yang khusus membicarakan tentang itu, rapat kerja itu merekomendasikan artinya justru malah bottom up ini bukan top down. Menurut (S) mengenai kebijakan sistem kredit karakter mahasiswa, semula itu adalah dari usulan dari bawah, dari kemahasiswaan kemudian membentuk tim merumuskan itu, kemudian menyampaikan keberbagai pihak di kampus ini sehingga kebijakan baru diproses dalam rapat kerja dan merekomendasikan kepada pimpinan supaya life skills atau sofs skills ini menjadi sesuatu yang harus dimiliki mahasiswa. Pendapat ini dikuatkan (MD) bahwasannya semua mekanisme pembahasannya kebijakan baru melibatkan semua program studi sehingga ketika melibatkan semua program studi diharapkan program yang kita luncurkan ini dampaknya besar bisa beresonansi dengan dosen, prodi dan mahasiswa.


(17)

6. Implementasi kebijakan sistem kredit karakter mahasiswa

Dalam wawancara ditemukan pernyataan dari (S) kalau dari versi di WR 1 itu adalah SKS tetapi SKS itu tentu menurut konsep kami itu ada kredit poin yang harus dicapai misalkan disetarakan SKSnya 2 misalnya kredit poin maksimal itu berapa? Levine & Moreland (dalam Cottam, Beth, Elena, & Thomas, 2012) berpendapat bahwa setiap kelompok atau organisasi dapat dipastikan memiliki sebuah struktur dan struktur cenderung berkembang dengan cepat dan berubah dengan lambat dalam kebanyakan kelompok. Dan (DA) menyatakan bahwa kita terapkan untuk persyaratan, persyaratan pengambilan. persyaratan pendadaran. Jadi bisa ujian skripsi kalau minimal dia punya poin 20 poin gitu, sampai sekarang karena SKKM belum diterapkan di fakultas terutama fakultas ilmu kesehatan kan belum, kami masih memakai model kami. Dari (OSP) menyatakan bahwa ini rencana kami, dulu kita sudah sosialisasikan ke mahasiswa tentang pemberlakuan SKKM itu, ditahun ini kita nanti akan koordinasi dengan koordinator skripsi untuk sebagai salah satu syarat maju ujian skripsi bagi mahasiswa kami itu dengan memulai SKKM ini.

7. Hambatan dan tantangan dalam penerapan kebijakan

Munculnya permasalahan dalam penerapan kebijakan sitem kredit karakter mahasiswa disebabkan oleh bermacam faktor. Ada yang terkendala dengan skripsi belum selesai, sehingga belum tersosialisasi, pendapat (OSP). Pendapat lain dari (S) yang menyatakan tidak semua mahasiswa memiliki kesadaran untuk mengembangkan soft skills. Dan pendapat lain dari (DA) yang menyatakan hanya mahasiswa yang bener-bener pasif yang kesulitan untuk memenuhi dan mendapatkan poin standar, dalam hal ini mahasiswa hanya kuliah lalu pulang artinya dia tidak mau tahu dengan kegiatan organisasi di kampus atau di luar kampus.

8. Solusi yang diberikan atas permasalahan yang muncul

Van Meter dan Van Horn (dalam Hamdi, 2014) pada dasarnya dimaksud untuk mengidentifikasi hubungan antara kepentingan yang beragam dari analis kebijakan, perhatian langsung pada faktor penentu dari kebijakan publik dan


(18)

memberikan penekanan pada keterkaitan yang sering kali tidak sempurna antara kebijakan yang ditetapkan dengan pelayanan yang nyata dilakukan. Dalam hal ini (TK) berpendapat hanya saja implementasinya perlu di elek-projekkan, karena program-program kebijakan-kebijakan baru di UMS sangat banyak dan kalau itu fokusnya ada dibidang intern bidang satu serta klause mekernya sekarang ada dibidang tiga universitas, kalau itu ambil klausenya gak bisa menerapkan ya kita kan kerepotan. Pendapat secara teknis atas kekurangan poin disampaikan oleh (OSP) yang menyatakan sebenarnya mahasiswa bisa koordinasi dengan progdi karena progdi mempunyai rencana penguatan program studi sehingga banyak sekali kegiatan yang bisa memfasilitasi mahasiswa baik itu berupa work shop, kuliah pakar, pertemuan ilmiah, pengabdian masyarakat, penelitian. Atau mereka juga bisa koordinasi dengan dosen untuk mengikuti pengabdian dosen, menjadi asisten peneliti, dan diberlakukannya surat keterangan pendamping ijazah dari progdi.

V. Simpulan

Berdasarkan analisis dan pembahasan penelitian maka dapat disimpulkan mengenai kesiapan birokrasi dalam menerapkan kebijakan sistem kredit karakter mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Surakarta sebagai berikut:

1. Keberhasilan mahasiswa di perguruan tinggi

Dalam institusi pendidikan, pengambil kebijakan harus berusaha meningkatkan dan menyeimbangkan berbagai macam kemampuan peserta didiknya. Hal yang dapat dilihat dari kemampuan akademik yaitu perolehan IPK yang baik dan non-akademik bisa terlihat dari interaksi sosial, keaktifan dalam kelas ataupun organisasi dan mampu menempatkan diri dalam kehidupan bermasyarakat. Menyeimbangkan kemampuan peserta didik menjadi pencapaian institusi pendidikan dalam melihat keberhasilan mahasiswa, dalam hal ini ke tujuh responden memberikan penekanan pada akhlak mulia. Menjadi hal ideal apabila mahasiswa mampu menguasai program studi yang diambil, mampu mengintegrasikan sisi keilmuan, riset


(19)

dan implementasi dalam bermasyarakat serta mempunyai kepribadian yang matang kompetitif dan tangguh.

2. Pengambilan Keputusan

Penetapan kebijakan mempunyai peran dalam kemajuan sebuah institusi pendidikan. Proses implementasi kebijakan dalam struktur organisasi mempunyai dua pola, yaitu pendekatan top down (perencanaan sebagai aktor sentral dan variabel bersifat makro) dan pendekatan bottom up (pemikiran kebijakan senyatanya dibuat pada tingkat lokal dan berfokus pada variabel mikro). Dalam implementasi kebijakan sistem kredit karakter mahasiswa dibutuhkan keselarasan diantara tiga elemen kebijakan yaitu, pertama pemegang kebijakan yaitu pimpinan rektorat, pimpinan fakultas dan pimpinan program studi. Kedua, Sistem kebijakan yaitu regulasi sistem kredit karakter mahasiswa. Ketiga, Lingkungan kebijakan yaitu dosen, karyawan dan mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Dalam perumusan kebijakan sistem kredit karakter mahasiswa menggunakan pendekatan bottom up dengan kebijakan yang diusulkan dari program studi dan fakultas saat rapat perumusan bersama pimpinan fakultas se-universitas dan pimpinan rektorat.

3. Kebijakan sistem kredit karakter mahasiswa

Dalam mekanisme pembahasan kebijakan baru pimpinan rektorat melibatkan semua program studi, perumusan kebijakan sistem kredit karakter mahasiswa mulai dari penyusunan kurikulum, struktur kurikulum sampai implementasi beresonansi dengan KKNI yang diarahkan pada capaian setiap mata kuliah ada aktifitas pengembangan diri dan pemberian nilai/kredit disetiap sistem kredit semesternya (SKS). Berkenaan dengan melibatkan program studi diharapkan program yang diluncurkan ini dapat bermanfaat besar dan bisa beresonansi dengan dosen, progdi dan mahasiswa. Menurut Pedoman Sistem Kredit Karakter Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta menyatakan pelaksanaan penilaian karakter mahasiswa terdiri dari penetapan domain penilaian, penetapan satuan angka (SKKM), prosedur pelaksanaan dan metode sosialisasi. Dalam hal ini mahasiswa dituntut untuk


(20)

memenuhi kredit karakter dengan berperan aktif di luar pembelajaran kelas sehingga mahasiswa terpacu untuk meningkatkan potensi yang dimiliki melalui keaktifannya dalam kepanitiaan, keorganisasian, dan kegiatan kemasyarakatan.

VI. Saran

1. Bagi peneliti / pribadi

Memberikan pemahaman baru bagi peneliti dalam memahami dinamika birokrasi dan penerapan kebijakan baru ditingkatan pengambil kebijakan universitas, fakultas dan progdi mulai dari mekanisme perumusan kebijakan, struktur dan alur kebijakan, sosialisasi kebijakan, implementasi kebijakan dan metode monitoring kebijakan ditinjau dari perspektif psikologi sosial/politik/organisasi.

2. Bagi peneliti lain

Bagi peneliti lain yang berminat meneliti tentang penerapan kebijakan publik di perguruan tinggi dapat memanfaatkan penelitian ini sebagai tambahan informasi dengan mempertimbangkan hal-hal lain yang belum terungkap dalam penelitian ini seperti respon mahasiswa dan espek ekonomi dalam pembiayaan kebijakan.

3. Pemegang kebijakan

Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai acuan dalam memahami penerapan kebijakan publik dan pengambilan keputusan pimpinan birokrasi dalam persepsi psikologi sosial/politik/organisasi.


(21)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, S. Z. (2012). Kebijakan Publik. Jakarta: Salemba Humanika. Albrow, M. (1989). Birokrasi. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Ancok, D. (2012). Psikologi Kepemimpinan & Inovasi. Jakarta: Erlangga.

Anonim. (2012). Pedoman Sistem Kredit Karakter Mahasiswa. Universitas Muhammadiyah surakarta.

Anonim. (2003). Undang - Undang Nomer 20 tahun 2003. Sistem Pendidikan Nasional.

Blau, P. M., & Marshall, W. M. (2000). Birokrasi Dalam Masyarakat Modern. Jakarta: Prestasi Pustakaraya.

Cottam, M. L., Beth, D.-U., Elena, M., & Thomas, P. (2012). Pengantar Psikologi Politik. Depok: Rajagrafindo.

Dunn, W. N. (2003). Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Elfindri, Jemmy, R., Muhammad, B. W., Poltak, T., Fitri, Y., Zein, E. E., et al. (2011). Soft Skills untuk Pendidik. Badouse Nedia.

Elmes, D. G., Barry, H. K., & Hendry, L. R. (2014). Metodologi Penelitian dalam Psikologi. Jakarta: Salemba Humanika.

Fattah, N. (2012). Analisis Kebijakan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Graham, H. (2005). Psikologi Humanistik Dalam Konteks Sosial, Budaya dan Sejarah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hamdi, M. (2014). Kebijakan Publik Proses, Analisis dan Partisipasi. Bogor: Ghalia Indonesia.

Herdiansyah, H. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu - Ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.

Kesuma, D., Cepi, T., & Johar, P. (2011). Pendidikan Karakter, Kajian Teori dan Praktik di Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya.


(22)

Misiak, H., & Staudt, V. S. (2005). Psikologi Fenomenologi, Eksistensial dan Humanistik Suatu Survai Historis. Bandung: Refika Aditama.

Muqowim. (2012). Pengembangan Soft Skills Guru. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani.

Mustafa, D. (2013). Birokrasi Pemerintahan. Bandung: Alfabeta.

Nashori, F., & dkk. (2009). Psikologi Kepemimpinan. Yogyakarta: Pustaka Fahima. Putra, N., & Hendarman. (2012). Metodologi Penelitian Kebijakan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Rivai, V., Bachtiar, & Boy, R. A. (2013). Pemimpin Dan Kepemimpinan Dalam Organisasi . Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Subarsono, A. (2012). Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tahir, A. (2014). Kebijakan Publik & Transparansi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Bandung: Alfabeta.

Tangkilisan, H. N. (2003). Evaluasi Kebijakan Publik. Yogyakarta: Balairung & Co. Wahab, S. A. (2004). Analisis Kebijaksanaan Dari Formulasi Ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.


(1)

6. Implementasi kebijakan sistem kredit karakter mahasiswa

Dalam wawancara ditemukan pernyataan dari (S) kalau dari versi di WR 1 itu adalah SKS tetapi SKS itu tentu menurut konsep kami itu ada kredit poin yang harus dicapai misalkan disetarakan SKSnya 2 misalnya kredit poin maksimal itu berapa? Levine & Moreland (dalam Cottam, Beth, Elena, & Thomas, 2012) berpendapat bahwa setiap kelompok atau organisasi dapat dipastikan memiliki sebuah struktur dan struktur cenderung berkembang dengan cepat dan berubah dengan lambat dalam kebanyakan kelompok. Dan (DA) menyatakan bahwa kita terapkan untuk persyaratan, persyaratan pengambilan. persyaratan pendadaran. Jadi bisa ujian skripsi kalau minimal dia punya poin 20 poin gitu, sampai sekarang karena SKKM belum diterapkan di fakultas terutama fakultas ilmu kesehatan kan belum, kami masih memakai model kami. Dari (OSP) menyatakan bahwa ini rencana kami, dulu kita sudah sosialisasikan ke mahasiswa tentang pemberlakuan SKKM itu, ditahun ini kita nanti akan koordinasi dengan koordinator skripsi untuk sebagai salah satu syarat maju ujian skripsi bagi mahasiswa kami itu dengan memulai SKKM ini.

7. Hambatan dan tantangan dalam penerapan kebijakan

Munculnya permasalahan dalam penerapan kebijakan sitem kredit karakter mahasiswa disebabkan oleh bermacam faktor. Ada yang terkendala dengan skripsi belum selesai, sehingga belum tersosialisasi, pendapat (OSP). Pendapat lain dari (S) yang menyatakan tidak semua mahasiswa memiliki kesadaran untuk mengembangkan soft skills. Dan pendapat lain dari (DA) yang menyatakan hanya mahasiswa yang bener-bener pasif yang kesulitan untuk memenuhi dan mendapatkan poin standar, dalam hal ini mahasiswa hanya kuliah lalu pulang artinya dia tidak mau tahu dengan kegiatan organisasi di kampus atau di luar kampus.

8. Solusi yang diberikan atas permasalahan yang muncul

Van Meter dan Van Horn (dalam Hamdi, 2014) pada dasarnya dimaksud untuk mengidentifikasi hubungan antara kepentingan yang beragam dari analis


(2)

memberikan penekanan pada keterkaitan yang sering kali tidak sempurna antara kebijakan yang ditetapkan dengan pelayanan yang nyata dilakukan. Dalam hal ini (TK) berpendapat hanya saja implementasinya perlu di elek-projekkan, karena program-program kebijakan-kebijakan baru di UMS sangat banyak dan kalau itu fokusnya ada dibidang intern bidang satu serta klause mekernya sekarang ada dibidang tiga universitas, kalau itu ambil klausenya gak bisa menerapkan ya kita kan kerepotan. Pendapat secara teknis atas kekurangan poin disampaikan oleh (OSP) yang menyatakan sebenarnya mahasiswa bisa koordinasi dengan progdi karena progdi mempunyai rencana penguatan program studi sehingga banyak sekali kegiatan yang bisa memfasilitasi mahasiswa baik itu berupa work shop, kuliah pakar, pertemuan ilmiah, pengabdian masyarakat, penelitian. Atau mereka juga bisa koordinasi dengan dosen untuk mengikuti pengabdian dosen, menjadi asisten peneliti, dan diberlakukannya surat keterangan pendamping ijazah dari progdi.

V. Simpulan

Berdasarkan analisis dan pembahasan penelitian maka dapat disimpulkan mengenai kesiapan birokrasi dalam menerapkan kebijakan sistem kredit karakter mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Surakarta sebagai berikut:

1. Keberhasilan mahasiswa di perguruan tinggi

Dalam institusi pendidikan, pengambil kebijakan harus berusaha

meningkatkan dan menyeimbangkan berbagai macam kemampuan peserta didiknya. Hal yang dapat dilihat dari kemampuan akademik yaitu perolehan IPK yang baik dan non-akademik bisa terlihat dari interaksi sosial, keaktifan dalam kelas ataupun organisasi dan mampu menempatkan diri dalam kehidupan bermasyarakat. Menyeimbangkan kemampuan peserta didik menjadi pencapaian institusi pendidikan dalam melihat keberhasilan mahasiswa, dalam hal ini ke tujuh responden memberikan penekanan pada akhlak mulia. Menjadi hal ideal apabila mahasiswa mampu menguasai program studi yang diambil, mampu mengintegrasikan sisi keilmuan, riset


(3)

dan implementasi dalam bermasyarakat serta mempunyai kepribadian yang matang kompetitif dan tangguh.

2. Pengambilan Keputusan

Penetapan kebijakan mempunyai peran dalam kemajuan sebuah institusi pendidikan. Proses implementasi kebijakan dalam struktur organisasi mempunyai dua pola, yaitu pendekatan top down (perencanaan sebagai aktor sentral dan variabel bersifat makro) dan pendekatan bottom up (pemikiran kebijakan senyatanya dibuat pada tingkat lokal dan berfokus pada variabel mikro). Dalam implementasi kebijakan sistem kredit karakter mahasiswa dibutuhkan keselarasan diantara tiga elemen kebijakan yaitu, pertama pemegang kebijakan yaitu pimpinan rektorat, pimpinan fakultas dan pimpinan program studi. Kedua, Sistem kebijakan yaitu regulasi sistem kredit karakter mahasiswa. Ketiga, Lingkungan kebijakan yaitu dosen, karyawan dan mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Dalam perumusan kebijakan sistem kredit karakter mahasiswa menggunakan pendekatan bottom up dengan kebijakan yang diusulkan dari program studi dan fakultas saat rapat perumusan bersama pimpinan fakultas se-universitas dan pimpinan rektorat.

3. Kebijakan sistem kredit karakter mahasiswa

Dalam mekanisme pembahasan kebijakan baru pimpinan rektorat melibatkan semua program studi, perumusan kebijakan sistem kredit karakter mahasiswa mulai dari penyusunan kurikulum, struktur kurikulum sampai implementasi beresonansi dengan KKNI yang diarahkan pada capaian setiap mata kuliah ada aktifitas pengembangan diri dan pemberian nilai/kredit disetiap sistem kredit semesternya (SKS). Berkenaan dengan melibatkan program studi diharapkan program yang diluncurkan ini dapat bermanfaat besar dan bisa beresonansi dengan dosen, progdi dan mahasiswa. Menurut Pedoman Sistem Kredit Karakter Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta menyatakan pelaksanaan penilaian karakter mahasiswa terdiri dari penetapan domain penilaian, penetapan satuan angka (SKKM), prosedur


(4)

memenuhi kredit karakter dengan berperan aktif di luar pembelajaran kelas sehingga mahasiswa terpacu untuk meningkatkan potensi yang dimiliki melalui keaktifannya dalam kepanitiaan, keorganisasian, dan kegiatan kemasyarakatan.

VI. Saran

1. Bagi peneliti / pribadi

Memberikan pemahaman baru bagi peneliti dalam memahami dinamika birokrasi dan penerapan kebijakan baru ditingkatan pengambil kebijakan universitas, fakultas dan progdi mulai dari mekanisme perumusan kebijakan, struktur dan alur kebijakan, sosialisasi kebijakan, implementasi kebijakan dan metode monitoring kebijakan ditinjau dari perspektif psikologi sosial/politik/organisasi.

2. Bagi peneliti lain

Bagi peneliti lain yang berminat meneliti tentang penerapan kebijakan publik di perguruan tinggi dapat memanfaatkan penelitian ini sebagai tambahan informasi dengan mempertimbangkan hal-hal lain yang belum terungkap dalam penelitian ini seperti respon mahasiswa dan espek ekonomi dalam pembiayaan kebijakan.

3. Pemegang kebijakan

Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai acuan dalam memahami penerapan kebijakan publik dan pengambilan keputusan pimpinan birokrasi dalam persepsi psikologi sosial/politik/organisasi.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, S. Z. (2012). Kebijakan Publik. Jakarta: Salemba Humanika. Albrow, M. (1989). Birokrasi. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Ancok, D. (2012). Psikologi Kepemimpinan & Inovasi. Jakarta: Erlangga.

Anonim. (2012). Pedoman Sistem Kredit Karakter Mahasiswa. Universitas Muhammadiyah surakarta.

Anonim. (2003). Undang - Undang Nomer 20 tahun 2003. Sistem Pendidikan Nasional.

Blau, P. M., & Marshall, W. M. (2000). Birokrasi Dalam Masyarakat Modern. Jakarta: Prestasi Pustakaraya.

Cottam, M. L., Beth, D.-U., Elena, M., & Thomas, P. (2012). Pengantar Psikologi Politik. Depok: Rajagrafindo.

Dunn, W. N. (2003). Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Elfindri, Jemmy, R., Muhammad, B. W., Poltak, T., Fitri, Y., Zein, E. E., et al. (2011). Soft Skills untuk Pendidik. Badouse Nedia.

Elmes, D. G., Barry, H. K., & Hendry, L. R. (2014). Metodologi Penelitian dalam Psikologi. Jakarta: Salemba Humanika.

Fattah, N. (2012). Analisis Kebijakan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Graham, H. (2005). Psikologi Humanistik Dalam Konteks Sosial, Budaya dan Sejarah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hamdi, M. (2014). Kebijakan Publik Proses, Analisis dan Partisipasi. Bogor: Ghalia Indonesia.

Herdiansyah, H. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu - Ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.


(6)

Misiak, H., & Staudt, V. S. (2005). Psikologi Fenomenologi, Eksistensial dan Humanistik Suatu Survai Historis. Bandung: Refika Aditama.

Muqowim. (2012). Pengembangan Soft Skills Guru. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani.

Mustafa, D. (2013). Birokrasi Pemerintahan. Bandung: Alfabeta.

Nashori, F., & dkk. (2009). Psikologi Kepemimpinan. Yogyakarta: Pustaka Fahima. Putra, N., & Hendarman. (2012). Metodologi Penelitian Kebijakan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Rivai, V., Bachtiar, & Boy, R. A. (2013). Pemimpin Dan Kepemimpinan Dalam Organisasi . Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Subarsono, A. (2012). Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tahir, A. (2014). Kebijakan Publik & Transparansi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Bandung: Alfabeta.

Tangkilisan, H. N. (2003). Evaluasi Kebijakan Publik. Yogyakarta: Balairung & Co. Wahab, S. A. (2004). Analisis Kebijaksanaan Dari Formulasi Ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.