Obyek Pendidikan Sosial KAJIAN TEORI PENDIDIKAN SOSIAL

Atau dalam kesimpulan lain pendidikan sosial di atas, dapat penulis simpulkan bahwa pengertian pendidikan sosial adalah esensi yang melekat pada suatu kegiatan pendidikan yang mana pendidikan tersebut dilaksanakan dalam rangka membantu proses perkembangan sosial sehingga anak didik akan memilih dan melaksanakan adab sosial yang baik agar dapat hidup rukun ditengah-tengah masyarakatnya.

B. Obyek Pendidikan Sosial

Pembahasan tentang pendidikan tidak mungkin terlepas dari obyek yang menjadi sasarannya, yaitu manusia. Manusia diciptakan Tuhan dengan kedudukan yang mulia, bentuk fisik yang bagus dan seimbang. Untuk mempertahankan kedudukannya yang mulia dan bentuk pribadi yang bagus itu, Allah melengkapinya dengan akal dan perasaan yang memungkinkannya menerima dan mengembangkan ilmu pengetahuan, dan membudayakan ilmu yang dimilikinya. Ini berarti bahwa kedudukan manusia sebagai makhluk yang mulia itu karena 1 akal dan perasaan, 2 ilmu pengetahuan dan 3 kebudayaan, yang seluruhnya dikaitkan kepada pengabdian pada sang pencipta, Allah Swt. 14 Obyek dari pendidikan sosial yang ingin penulis capai adalah, manusia peserta didik setidaknya memiliki minimal tiga sikap dibawah ini: 1. Sikap Berserah Diri Kepada Tuhan. Menurut Nurcholis Madjid, Sikap berserah diri kepada Tuhan ber- islam itu secara inheren mengandung berbagai konsekuensi. Pertama, konsekuensi dalam bentuk pengakuan yang tulus bahwa Tuhanlah satu- satunya sumber otoritas yang serba mutlak. Karena itu Tuhan bukan untuk diketahui, sebab “mengetahui Tuhan” adalah mustahil. Dalam keadaan tidak mungkin mengetahui, yang harus dilakukan manusia ialah usaha terus menerus dan penuh kesungguhan untuk mendekatkan diri kepada- Nya. Ini diwujudkan dengan merentangkan garis lurus itu merentang sejajar secara berhimpitan dengan hati nurani. Berada di lubuk yang paling 14 Zakiah Daradjat dkk, Ilmu Pendidikan Islam,... h. 4. dalam pada hati nurani itu ialah kerinduan kepada kebenaran, yang dalam bentuk tertingginya ialah hasrat bertemu Tuhan itu dalam semangat berserah diri kepada-Nya. Inilah alam, tabiat atau fitrah manusia. Alam manusia ini merupakan wujud perjanjian primordial antara Tuhan dan manusia. Maka sikap berserah diri kepada Tuhan itulah jalan lurus menuju kepada-Nya. Karena sikap itu berada dalam lubuk hati yang paling dalam pada diri manusia sendiri, menerima jalan lurus itu bagi manusia adalah sikap yang paling fitri, alami dan wajar. Jadi sikap berserah diri kepada Tuhan ber-islam bagi manusia adalah sesuatu yang alami dan wajar. Ber-islam menghasilkan bentuk hubungan yang serasi antara manusia dan alam sekitar, karena alam sekitar ini semuanya telah berserah diri serta tunduk patuh kepada Tuhan secara alami pula. Sebaliknya, tidak berserah diri kepada Tuhan bagi manusia adalah tindakan yang tidak alami. Manusia harus mencari kemuliaan hanya pada Tuhan, dan bukannya pada yang lain. Ber-islam sebagai jalan mendekati Tuhan itu ialah dengan berbuat baik kepada sesama manusia, disertai sikap menunggalkan tujuan hidup kepada-Nya tanpa kepada yang lain apa pun juga. 15 Lebih lanjut Cak Nur panggilan Nurcholis Madjid menyatakan bahwa salah satu kelanjutan logis prinsip ketuhanan itu ialah paham persamaan manusia. Yakni bahwa seluruh umat manusia, dari segi harkat dan martabatnya asasinya, adalah sama. Tidak seorangpun dari sesama manusia berhak merendahkan atau menguasai harkat dan martabat manusia lainnya, misalnya dengan memaksakan kehendak dan pandangannya kepada orang lain. Manusia tidak mungkin mengetahui kebenaran mutlak, pengetahuan manusia itu, betapa pun tingginya, tetap terbatas. Karena itu setiap manusia dituntut untuk bersikap rendah diri guna bisa mengakui adanya kemungkinan orang lain yang mempunyai pengetahuan yang lebih tinggi. Dia harus selalu menginsafi dan 15 Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban Jakarta: Paramadina, 2000, cet. 4 h. 2-3. memastikan bahwa senantiasa ada Dia Yang Maha tahu. Maka manusia dituntut untuk bisa saling mendengar sesamannya, dan mengikuti mana saja dari banyak pandangan manusia itu paling baik. 16 2. Sikap Toleransi Toleransi adalah sikap bersedia menerima keanekaragaman dan kebebasan agama yang dianut dan kepercayaan yang dihayati oleh pihak atau golongan lain. Hal ini dapat terjadi karena keberadaan atau eksistensi suatu golongan, agama, atau kepercayaan diakui dan dihormati oleh pihak lain. Pengakuan tersebut tidak terbatas pada persamaan derajat, baik dalam tatanan kenegaraan, tatanan kemasyarakatan, maupun dihadapan Tuhan tetapi juga perbedaan-perbedaan dalam cara-cara penghayatan dan peribadatannya yang sesuai dengan dasar kemanusian dan beradab. Menurut Umar Hasyim, toleransi diartikan sebagai pemberian kebebasan kepada sesama manusia atau kepada sesama warga masyarakat untuk menjalankan keyakinannya, atau mengatur hidupnya, dan menentukan nasibnya masing-masing selama tidak melanggar dan tidak bertentangan dengan syarat-syarat asas terciptanya ketertiban dan keamanan dalam masyarakat. Berdasarkan pemahaman ini, pada dasarnya bentuk sikap toleransi, lebih-lebih di suatu kawasan yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan egalitarianisme, sangat terkait erat dengan suatu pandangan yang mengakui the right of self determination, yaitu suatu hak menentukan sendiri nasib pribadi masing-masing umat dalam menentukan keyakinannya untuk memilih suatu agama. Selanjutnya untuk lebih memperjelas aplikasi terminologi toleransi di atas dalam kehidupan umat beragama, ada baiknya diperhatikan segi-segi atau elemen-elemen dalam toleransi, yang dalam hal ini setidak-tidaknya dijumpai 5 hal, 17 yaitu: 16 Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban,... h. 4-5. 17 Haris Muchit eds, Sarung dan Demokrasi dari NU untuk Peradaban Keindonesiaan, Surabaya: Khalista, 2008, h. 256. a. Mengakui hak setiap orang. Artinya suatu sikap mental dari kalangan umat beragama yang mengakui hak setiap orang di dalam menentukan pilihannya dalam beragama. b. Menghormati keyakinan orang lain. Arah dari elemen yang kedua ini adalah tidak dibenarkan seseorang memaksakan apa yang diyakininya untuk juga diyakini oleh orang atau golongan lain. Karena bagaimanapun soal keyakinan dalam hal ini agama adalah urusan pribadi yang bersifat transendental. c. Agree in disagreement, yakni setuju dalam perbedaan. Fokus elemen ini adalah perbedaan itu tidak harus melahirkan permusuhan, karena ia selalu ada di dunia ini kapanpun dan dimanapun. Untuk itu, fenomena perbedaan agama tidak semestinya memunculkan pertentangan. d. Saling pengertian di antara umat beragama. Artinya, bila hal ini tidak dimiliki oleh masing-masing pemeluk agama maka yang terjadi adalah saling membenci, saling berebut pengaruh dalam rangka memonopoli kebenaran. Dan ujung-ujungnya adalah konflik di antara umat beragama akan terjadi. e. Kesadaran dan kejujuran. Dalam hal ini dapat diilustrasikan, di sebuah kendaraan bus umum terdapat seorang ibu dengan anaknya yang masih kecil menangis dengan keras. Orang-orang yang ada disekitarnya bila tidak toleran, tentunya mereka akan menggerutu atau bahkan mengumpat ibu itu karena dirasakan sangat menganggu. Sementara yang berjiwa toleran, tentunya mereka akan menekan perasaannya, atau justru merasa kasihan kepada si ibu tadi. Dari ilustrasi tadi dapat disimpulkan, bahwa toleransi itu menyangkut sikap jiwa dan kesadaran batin seseorang. Kesadaran jiwa menimbulkan kejujuran dalam sikap dan tingkah laku. 18 18 Haris Muchit eds, Sarung dan Demokrasi dari NU,.... h. 257. 3. Solidaritas Sosial Manusia adalah makhluk sosial. Kebersamaan antara beberapa individu dalam wilayah membentuk masyarakat yang walaupun berbeda sifatnya dengan individu-individu tersebut, namun tidak dapat dipisahkan darinya. Manusia tidak dapat hidup tanpa masyarakatnya, sekian banyak pengetahuan diperolehnya melalui masyarakatnya seperti bahasa, adat istiadat, sopan santun dan lain-lain. Demikan juga dalam bidang material. Betapapun seseorang memiliki kepandaian, namun hasil-hasil material yang diperolehnya adalah berkat bantuan pihak-pihak lain, baik secara langsung dan disadari, maupun tidak. Seseorang bisa berhasil itu tidak mungkin dengan sendirinya dan diwujudkannya dengan mandiri. Manusia itu mengelola, tetapi Allah yang menciptakan dan memilikinya. Dengan demikian wajar jika Allah memerintahkan untuk mengeluarkan sebagian kecil dari harta yang diamanatkan kepada seseorang itu demi kepentingan orang lain. 19 Menurut Said Aqil Siroj, lahirnya persaudaraan ukhuwah diilhami oleh eksistensi manusia sebagai makhluk sosial. Ia lahir dari lembaga institusi terkecil dalam komunitas sosial yang dinamakan keluarga. Beberapa keluarga kemudian membentuk RT, RW, desa, kelurahan, kecamatan, kabupaten, propinsi, hingga terwujud sebuah bangunan negara. Semakin melebar dan membesarnya institusi-institusi di atas keluarga, tentu tidak dimaksudkan untuk memudarkan nilai-nilai persaudaraan, namun justru harus semakin merekatkan suatu bangunan keluarga besar. Segenap individu yang berada dalam suatu wadah negara, dengan demikian, mutlak memerlukan adanya rasa saling memilki, mencintai serta menyayangi antara satu dengan lainnya sebagai manifestasi kehidupan “keluarga besar” tersebut. 20 19 M. Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2000, h. 324. 20 Said Aqil Siroj, Tasawuf sebagai kritik sosial, Jakarta: LTN PBNU, 2012, h. 282.

C. Tujuan Pendidikan Sosial