Analisis Kemampuan Problem Solving Guru

(1)

Jurnal Kependidikan

Terbit empat kali setahun pada bulan Maret, Juni, September dan Desember. Berisi artikel konseptual hasil kajian analitis kritis dan atau artikel hasil penelitian di bidang kependidikan. (ISSN 1412-6087)

Pelindung dan Penasihat

Prof. Drs. H. Toho Cholik Mutohir. MA., Ph.D Rektor IKIP Mataram

Dr. Jamaluddin, M.Pd Wakil Rektor I IKIP Mataram Penanggung Jawab

Dr. Gunawan, M.Pd Ketua LPPM IKIP Mataram Ketua Penyunting

Any Fatmawati, M.Pd Sekretaris Penyunting

M. Arief Rizka, M.Pd Anggota

Ahmadi, S.Pd., M.Pkim

Ni Wayan Prami Wahyudiantari, M.Pd Rudi Hariawan, M.Pd

Mujriah, M.Pd

Penyunting Ahli (Mitra Bestari)

Prof. Dr. I Wayan Maba Univ. Mahasaraswati, Denpasar Prof. Dr. I Wayan Pastika Universitas Udayana, Denpasar Prof. Dr. Liliasari, M.Pd Universitas Pendidikan Indonesia Dr. H. A. Hari Witono, M.Pd Universitas Mataram

Pangesti Wiedarti, Ph.D Universitas Negeri Yogyakarta Dr. H.Wildan, M.Pd Universitas Mataram

Dr. Ahmad Hardjono, S.Si., M.Pd Universitas Mataram Dr. I Ketut Warta, MS IKIP Mataram

Dr. Jumailyah, MM IKIP Mataram

Pelaksana Ketatalaksanaan

M. Fuaddunnazmi, S.T., M.Pd L. Ashadi Cahyadi, SH Zainul Anwar, S.Pd Fathoroni, S.Pd Bendahara

Supratman, S.E Alamat Redaksi

Redaksi Jurnal Kependidikan LPPM IKIP Mataram

Jl.Pemuda No59 A Mataram NTB 83125 Tlp/Fax (0370)632082 E-mail: [email protected]

Jurnal Kependidikan diterbitkan sejak tanggal 2 Mei 2002 oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) IKIP Mataram. Sejak Mei 2009, Jurnal Kependidikan

diterbitkan melalui kerjasama dengan Ikatan Sarjana Pendidikan IKIP Mataram.

Jurnal Kependidikan menerima naskah tulisan otentik (hasil karya penulis) dan original (belum pernah diterbitkan sebelumnya) dengan format sesuai dengan pedoman penulisan jurnal ini.

Tulisan yang dimuat pada jurnal kependidikan belum tentu merupakan cerminan sikap dan atau pendapat penyunting pelaksana, penyunting, dan penyunting ahli. Tanggung jawab terhadap isi dan atau akibat dari tulisan, tetap terletak pada penulis.


(2)

(3)

---

ISSN 1412-6087

Jurnal Kependidikan

September 2014, Volume 13 Nomor 3

Halaman 193 - 327

--- Daftar Isi

1. Pengembangan Self Advocacy dalam Meningkatkan Keterampilan Sosial dengan

Stucture Learning Approch (SLA) pada Siswa SMP ……….

Aluh Hartati dan Hariadi Ahmad

193-204

2. Pengaruh Pembelajaran Kooperatif dengan Asesmen Otentik Teknik Saling Silang terhadap Pemahaman Konsep Microteaching ...

Any Fatmawati dan Ida Royani

205-211

3. Developing English Reading Comprehension Materials Based on the Students’

Need at IKIP Mataram ………...

Dedi Sumarsono dan Abdul Kadir Bagis

213-221

4. Pemanfaatan Teknologi Komputer Untuk Optimalisasi Eksperimen Fisika ………

Gunawan

223-228

5. Pengembangan Panduan Praktikum Fisiologi Tumbuhan I Berorientasi Heuristic

Terbimbing untuk Melatih Kemampuan Berpikir Kritis Mahasiswa ……….

Ika Nurani Dewi dan Septiana Dwi Utami

229-238

6. Analisis Kemampuan Problem Solving Guru Matematika SMP Berstandar PISA Sebagai Pendukung Implementasi Kurikulum 2013 ………..

Ita Chairun Nissa dan Indira Puteri Kinasih

239-250

7. Pengaruh Penerapan Pembelajaran Pola PBMP yang Dipadukan dengan Strategi Kooperatif Terhadap Retensi Konsep IPA Peserta Didik SD di Kota Mataram ...

Jamaluddin

251-267

8. The Knowledge of Speech Acts of English Department Students of IKIP Mataram

Kamarudin & Nanang Sugianto

269-279

9. Model Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Pendekatan Inkuiri untuk Meningkatkan Kreativitas Calon Guru Fisika ………

Lovy Herayanti dan Habibi

281-287

10. Interference of Bahasa Indonesia Learners’ Native Language in Their Written Performance of English Function Word ……….

Nurusshobah and Ni Wayan Prami. W

289-293

11. The Unique English of Souvenir Vendors in Lombok ………...

Taufik Suadiyatno and Edi Firman


(4)

Titik Ceriyani Miswaty

13. Pengembangan Modul Mata Kuliah Produksi Media Audio dan Radio Pembelajaran untuk Meningkatkan Pemahaman dan Keterampilan Mahasiswa …...

Zul Anwar dan Wisnu Wardhana

317-322

14. The Acquisition Orders of The Agent-Oriented Modality Types in L2 English Postgraduate Program Students’ Expressions

Muliani and Sofia Maurisa


(5)

© 2014 LPPM IKIP Mataram

Pengembangan Self Advocacy dalam Meningkatkan Keterampilan Sosial dengan Stucture Learning Approch (SLA) pada Siswa SMP

Aluh Hartati dan Hariadi Ahmad

Jurusan Bimbingan dan Konseling, FIP IKIP Mataram E-mail: [email protected]

Abstract: individuals as social beings have the urge to interact, the social interaction of individuals requires good social skills. Self advocacy as one of the very necessary part of social skills taught to students. Students are individuals who are experiencing changes in physical, psychological, phase transitions, self doubt and self-identity. This research is aimed at generating development that meets the acceptability guidelines and effectively improve social skills junior high school students. Model development using a model of Borg & Gall (1983). The results of expert testing and user testing to guide meeting the criteria of acceptability, of the results of the pretest and posttest of students as measured by the scale of self-advocacy show improvement.

Abstrak: Individu sebagai makhluk sosial mempunyai dorongan untuk berinteraksi, dalam intraksi sosial individu memerlukan keterampilan sosial yang baik. Self advocacy sebagai salah satu bagian keterampilan sosial sangat perlu diajarkan kepada siswa. Siswa merupakan individu yang sedang mengalami perubahan pisik, psikis, fase transisi, kebimbangan jati diri dan identitas diri. Penelitian ini adalah penelitian pengembangan yang bertujuan menghasilkan panduan yang memenuhi akseptabilitas dan efektif meningkatkan keterampilan sosial siswa SMP. Model pengembangan menggunakan model Borg & Gall (1983). Hasil uji ahli dan uji pengguna terhadap panduan telah memenuhi kriteria akseptabilitas, dari hasil pretest dan posttest siswa yang diukur dengan skala self advocacy menunjukkan peningkatan.

Kata kunci: Pengembangan, self advocacy, Keterampilan sosial.

Pendahuluan

Manusia sebagai makhluk sosial menye-babkan adanya dorongan dari dalam diri dan luar diri individu untuk berinteraksi. Intraksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang perorangan, antara orang perorangan dengan kelompok maupun antara kelompok dengan kelompok sosial lain. Individu yang memiliki keterampilan sosial yang tinggi cenderung mendapat penerimaan sosial yang lebih baik, sedangkan individu yang memiliki keterampilan sosial yang rendah cenderung akan mendapatkan penerimaan sosial yang kurang baik. Individu yang dapat diterima dengan baik dalam kelompok sosialnya menunjukkan ciri-ciri menyenang-kan, bahagia dan memiliki rasa aman (Hurlock, 1995). Kurangnya keterampilan sosial seperti: menguasai emosi, terutama

emosi negatif, seperti marah, sedih, dan kurangnya keterampilan mengendalikan diri yang menimbulkan perilaku agresif dan perilaku-perilaku menyimpang. (Sprafkin, Gershaw, dan Goldstien, 1993).

Brinckerhoff (1994) mengatakan

self advocacy merupakan keterampilan yang dimiliki oleh individu untuk mengenali, mengetahui kebutuhan dan ketidakmampuan dalam belajar tanpa mengorbankan hak dan martabat diri sendiri atau orang lain. Ada tiga keterampilan yang saling terkait dalam

self advocacy yaitu: a) pengetahuan tentang apa yang diinginkan, b) pengetahuan tentang hak yang harus dimiliki secara hukum, c) kemampuan yang efektif dalam mencapai tujuan. Self advocacy didefinsikan sebagai kemampuan yang dimiliki oleh siswa dalam berbicara sesuai dengan apa yang diingin-kan, dibutuhkan dan diharapkan dalam


(6)

mencapai kesuksesan di jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan lapangan pekerjaan (Schreiner, 2007).

Bimbingan dan konseling sebagai salah satu bidang layanan yang terintegral dalam keseluruhan upaya pendidikan di sekolah perlu menunjukkan tanggung jawab dan keperdulian secara optimal. Standar kompetensi kemandirian peserta didik ting-kat SMP yang diharapkan tercapai melalui upaya dan pendekatan bimbingan dan konseling adalah berkaitan dengan aspek-aspek perkembangan atara lain: kematangan emosi, kematangan inlektual, kesadaran tanggung jawab sosial, perkembangan pri-badi. Aspek perkembangan kematangan intektual dimana siswa diharapkan mampu mempelajari cara-cara pengambilan keputu-san dan pemecahan masalah, serta dapat menyadari adanya resiko dari pengambilan keputusan, sehingga siswa tersebut akan mampu mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan resiko yang mungkin terjadi. Berdasarkan target pencapaian standar kemandirian siswa sebagaimana telah diurai-kan diatas, maka konselor bertanggung jawab dan perlu berupaya menfasilitasi pen-capaian aspek-aspek perkembangan siswa melalui berbagai intervensi atau pendekatan bimbingan dan konseling yang seyogyanya dilaksanakan secara tepat dan memadai.

Konselor dapat menerapkan strategi pembelajaran terstruktur untuk membantu siswa meningkatkan keterampilan sosial, karena tahapan dalam startegi pembelajaran tersetruktur sangat sistematis, direktif, dan behavioristik. Strategi pembelajaran terstuk-tur terdiri dari lima tahap, yaitu (a) pen-jelasan materi atau arahan (instruction), (b) pemberian model (modeling), (c) bermain

peran (role-play), (d) pemberian umpan balik (performance feedback), dan (e) pem-berian tugas dan pemeliahraan (transfer of training and maintenance) (Sprafkin, Gershaw, dan Glodstein, 1993; selanjutnya dikembangkan oleh Thompson, 2003).

Self advocacy yang dikembangkan tersebut, merupakan panduan bagi konselor dalam membantu siswa mengembangkan pengetahuan dan melatih keterampilan sosial. Berdasar pada kepentingan tersebut maka upaya pengembangan panduan self advocacy bagi siswa SMP yang dilakukan melalui penelitian ini merupakan langkah stategis dan dapat berfungsi preventif, kuratif maupun pengembangan melaui optimalisasi pelaksanaan layanan bimbingan pribadi dan sosial oleh konselor kepada siswa SMP.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian pengem-bangan, model pengembangan yang diguna-kan dalam pengembangan self advocacy

dalam meningkatkan keterampilan sosial dengan stucture learning approch (SLA) pada siswa SMP ini adalah modifikasi dari model Borg dan Gall (1983). Menurut Borg dan Gall, prosedur penelitian pengembangan atau Research and Development (R&D) terdiri dari dua tujuan utama, yaitu: (1) mengembangkan produk, dan (2) menguji keefektifan produk dalam mencapai tujuan. Lebih lanjut Borg dan Gall (1983) ber-pendapat bahwa ada sepuluh langkah dalam penelitian dan pengembangan, yaitu: 1) Melakukan penelitian dan pengumpulan in-formasi, 2) Melakukan perencanaan, 3) Mengembangkan produk awal, 4) Uji lapangan awal, 5) Melakukan revisi terhadap


(7)

Aluh Hartati dan Hariadi Ahmad, Pengembangan Self Advocacy dalam Meningkatkan Keterampilan Sosial

195 produk utama, 6) Melakukan uji coba

lapa-ngan utama, 7) Melakukan revisi terhadap produk operasional, 8) Melakukan uji coba lapangan operasional, 9) Melakukan revisi terhadap produk akhir, 10) Mendisemi-nasikan dan mengimplementasikan produk.

Pengembangan yang dilaksanakan hanya sampai pada tahap menghasilkan produk akhir, yaitu berupa panduan self advocacy dalam meningkatkan keterampilan sosial dengan stucture learning approch

(SLA) pada siswa SMP, sehingga tidak sampai pada tahap diseminasi dan imple-mentasi. Dengan demikian, prosedur utama dalam penelitian pengembangan ini terdiri atas tiga langkah atau tahap, yaitu: 1) pra pengembangan, 2) pengembangan, 3) pasca pengembangan.

Pemilihan model penelitian dan pengembangan dalam mengembangkan self advocacy didasarkan pada alasan: 1) Model pengembangan ini dimulai dengan pengum-pulan informasi, informasi yang dibutuhkan adalah perlu tidaknya pengembangan self advocacy bagi siswa SMP. 2) Model pene-litian dan pengembangan menggunakan langkah-langkah yang menunjukkan suatu siklus yang jelas dan terperinci namun fleksibel. Model ini cocok digunakan untuk model pengembangan panduan self advo-cacy dengan teknik intervensi Structured Learning Approach. 3) Tahap pengem-bangan ini adalah uji lapangan dan revisi produk akan menghasilkan produk yang terjamin kegunaan dan keberterimaannya yang efektif. Melalui penilaian dan revisi berulang-ulang atas produk pengembangan akan dihasilkan produk pengembangan yang efektif. Selain itu strategi pengembangan ini dipilih karena terdiri dari langkah-langkah

pelaksanaan pengembangan yang jelas, ter-perinci dan sistematis.

Prosedur pengembangan panduan

self advocacy ini dilakukan melalui tiga tahap, yaitu:

1. Tahap pra-pengembangan, yaitu tahap dengan mengkaji dan mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan masalah self advocacy pada siswa SMP. Pengumpulan informasi ini dengan mela-kukan need assessment berupa pemberian angket dan wawancara dengan konselor untuk menetapkan perlu tidaknya dilakukan pengembangan

self advocacy pada siswa SMP. Setelah melakukan need assessment, lalu diadakan studi literatur untuk menen-tukan konsep-konsep atau landasan teoritik yang memperkuat suatu produk. 2. Tahap pengembangan yang dilakukan

pada tahap ini adalah penyususnan produk. Penyusunan draf produk panduan bagi konselor. Penyusunan meliputi pendahuluan, petunjuk umum, dan prosedur.

3. Tahap pasca pengembnagan/uji coba yaitu penyempurnaan produk akhir dan sosialisasi akhir kegiatan uji coba dan evaluasi produk yang meliputi: 1) penilaian oleh ahli, 2) penilaian oleh calon pengguna produk konselor dan siswa.

Hasil Penelitian

Hasil pengembangan self advocacy meng-hasilkan buku panduan untuk konselor sekolah SMP. Buku panduan untuk konselor sekolah terdiri dari tiga bagian: bagian I Pendahuluan, bagian II Petunjuk umum, bagian III Prosedur, dan daftar pustaka. Bagian I pendahuluan terdiri atas (A)


(8)

Pen-tingnya self advocacy, (B) Keterampilan self advocacy, (C) Manfaat self advocacy, (D) Kompetensi kemandirian peserta didik dalam self advocacy, dan (E) Model pengembangan self advocacy. Bagian II petunjuk umum terdiri dari: (A) Menentukan siswa yang mendapatkan pelatihan, (B) Menentukan jenis ketarampilan self advo-cacy yang akan dilatihkan, (C) Menentukan tujuan self advocacy, (D) Menentukan alat pengukuran, (E) Menentukan teknik inter-vensi, dan, (F) Menentukan jadwal

Bagian III prosedur pelatihan terdiri atas lima, yaitu: 1) Pembukaan, 2) Kom-ponen I: Kesadaran diri (Self Awareness), 3) Komponen II: Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, 4) Komponen III: Keterampilan Komunikasi, dan 5) Kom-ponen IV: kesadaran tanggung jawab. Pada masing-masing komponen terdiri dari; tu-juan umum dan khusus, langkah-langkah, materi, instrumen, dan skala self advocacy.

Uji coba pengembangan self advo-cacy bagi siswa sekolah menengah pertama (SMP) ini dilaksanakan dalam tiga tahapan yaitu: pertama, dilakukan uji ahli oleh tiga orang ahli bimbingan dan konseling. Tujuan penilaian ini adalah untuk menguji aksep-tabilitas panduan self advocacy dari segi isi panduan. Hasil penilaian yang diperoleh dari uji ahli digunakan untuk melakukan revisi terhadap produk pengembangan serta mendapatkan masukan-masukan dari keku-rangan yang ada dalam rancangan panduan sebelum dilaksanakan pada calon pengguna.

Kedua uji lapangan kelompok kecil adalah dua orang konselor. Uji kelompok kecil ini digunakan untuk mengetahui akseptabilitas

Ketiga uji kelompok terbatas, yaitu 8 orang siswa SMP Negeri 16 Mataram. Uji tahap

ketiga ini dilakukan untuk mengetahui perubahan self advocacy siswa. Teknik intervensi yang digunakan dalam pengem-bangan self advocacy ini adalah Structured Learning Approach.

Penilaian dilakukan melalui angket penilaian dan wawancara. Dengan demikian data yang diperoleh bersifat kuantitatif dan deskriptif verbal. Aspek kegunaan terdiri dari beberapa indikator yaitu: 1) identifikasi pengguna produk, rincian deskriptornya terdiri dari: manfaat panduan bagi konselor, manfaat panduan bagi siswa. Indikator 2) efek, rincian deskriptornya terdiri dari: ke-sesuaian materi dengan standar kemandirian siswa, panduan self advocacy dapat mem-bantu konselor meningkatkan self advocacy

siswa dengan orang lain, dan panduan self advocacy dapat membantu konselor mening-katkan keterampilan interpersonal siswa dengan orang lain. Data-data kuantitatif hasil penilaian ahli terhadap aspek kegunaan dari panduan self advocacy, uji ahli menilai dengan inter-reter D (sangat berguna), sedangkan konselor menilai dengan inter-reter C (berguna).

Aspek kelayakan panduan terdiri dari indikator: 1) materi yang terdiri dari: kesesuaian materi dengan kebutuhan siswa, 2) kepraktisan prosedur yang terdiri atas: kepraktisan panduan dilihat dari teknik, waktu yang dibutuhkan dalam melak-sanakan. Data-data kuantitatif hasil penilaian ahli bimbingan dan konseling terhadap aspek kelayakan dari panduan pelatihan self advocacy. Uji ahli menilai inter-reter C (layak), sedangkan konselor menilai dengan

inter-reter C (layak).

Aspek ketepatan panduan terdiri dari indikator perumusan dan penjabaran tujuan


(9)

Aluh Hartati dan Hariadi Ahmad, Pengembangan Self Advocacy dalam Meningkatkan Keterampilan Sosial

197 analisa kontek yang terdiri atas: 1) ketepatan

rumusan tujuan materi pelatihan, 2) ketepatan rumusan tujuan materi dengan penjabaran tujuan pelatihan, 3) ketepatan media penunjang dalam pelaksanaan, 4) ketepatan penggunaan alat ukur dalam mengungkap tingkat self advocacy siswa. Data-data kuantitatif hasil penilaian ahli terhadap aspek ketepatan dari panduan pelatihan self advocacy. Uji ahli menilai dengan inter-reter C (tepat), sedangkan konselor menilai dengan inter-reter C (tepat).

Aspek kepatutan panduan terdiri dari indikator standar etika dan indikator per-tanggungjawaban yang terdiri atas: 1) Penguasaan keterampilan yang terkait dengan pelatihan, 2) Permohonan izin penelitian dan pertanggungjawaban hasil penelitian. Data-data kuantitatif hasil penilaian ahli terhadap aspek kepatutan dari panduan pelatihan self advocacy. Uji ahli menilai dengan inter-reter C (patut), sedangkan konselor menilai dengan inter-reter C (sangat patut).

Data deskriptif verbal diperoleh melalui isian angket terbuka dan juga hasil wawancara dan diskusi singkat dengan para ahli. Hasil yang diperoleh dari ahli sebagai berikut: Perbaikan pengetikan, Indikator skala penilaian ahli dan item peryataan disederhanakan, Waktu pelaksanaan hendak-nya dilaksanakan sepraktis mungkin, Jumlah item disetiap deskriptor sama, Pertimbang-kan kondisi dan waktu sisiwa, Format setiap topik pelatihan terdiri dari: tujuan, langkah kegiatan, materi, bahan bacaan, intrument, dan skala, Materi setiap topik disempurna-kan, Pemberian penguatan dan pemberian balikan pada kegiatan konselor hendaknya

dijadikan satu. Penilaian deskriptif verbal ini diperoleh dari saran dan komentar yang diberikan oleh konselor melalui diskusi langsung dengan konselor.

Untuk mengetahui hasil dari pengembangan self advocacy bagi siswa SMP dilakukan dengan cara melakukan tes awal (pretest) dan tes akhir (postest)

meggunakan skala self advocacy. Pelak-sanaan pelatihan self advocacy pada siswa SMP Negeri 16 Mataram dengan menggu-nakan subyek penelitian sebanyak 8 (delapan) siswa. Pelaksanaan pelatihan self advocacy diberikan empat komponen, yaitu: Komponen I: Kesadaran diri. Komponen II: Keterampilan Pemecahan Masalah dan Pengambilan Keputusan. Komponen III: Keterampilan Komunikasi. Komponen IV: Kesadaran Tanggung Jawab. Untuk menge-tahui keberhasilan pelatihan self advocacy

berdasarkan panduan yang telah dikem-bangkan, maka data hasil peretest dan hasil

postest dianalisis dengan dua cara, yaitu analisis secara persubyek dan perkelompok. Analisi secara persubyek dilakukan dengan menjabarkan hasil skor pretest dan postest

persubyek.Sedangkan secara kelompok di-lakukan dengan cara menganalisis (1) hasil

pretest dan posttest dengan menggunakan uji

Wilcoxon.

Analisis kelompok dilakukan untuk mengetahui perbedaan sebelum dan sesudah pelatihan self advocacy. Pelatihan ini diberikan kepada 8 siswa berasal dari kelas yang sama namun diambil secara acak (random). Untuk mengetahui signifikan, besarnya peningkatan nilai skor rata-rata

pretest dan posttest diperlukan uji statistik. Adapun uji statistik yang digunakan adalah uji statistik Wilcoxon dengan hipotesis:


(10)

 H0: Tidak ada peningkatan keteram-pilan sosial siswa setelah diberi pela-tihan self advocacy dengan teknik

Structure Learning Approach.

 H1: terjadi peningkatan sosial siswa setelah diberi pelatihan self advocacy

dengan teknik Structure Learning Approach.

Tabel 1 hasil pelatihan self advocacy siswa SMP.

No Subyek

Komponen Self Advocacy Siswa SMP

Self Advocacy

Be da/ Per uba ha

n

% Kesadaran

Diri

Pemecahan Masalah dan Pengambilan Keputusan

Keterampilan Komunikasi

Kesadaran Tanggung

Jawab

Pre-test

Post Test

Pre-test

Post Test

Pre-test

Post Test

Pre-test

Post Test

Pre-test

Post Test

1 AFJ 99 107 93 107 98 110 97 115 387 439 52 13,44 2 AAS 96 107 96 107 99 111 98 110 389 435 46 11,83 3 CASK 92 110 97 107 91 110 96 110 376 437 61 16,22 4 DNVS 81 110 73 103 75 104 82 105 311 422 111 35,69 5 FNAI 99 113 94 108 86 110 94 110 373 441 68 18,23 6 FKH 91 112 86 102 87 105 93 111 357 430 73 20,45 7 IKWA 96 115 95 114 90 112 93 112 374 453 79 21,12 8 PDN 93 111 97 105 88 105 91 108 369 429 60 16,26 Jumlah 747 885 731 853 714 867 744 881 2936 3486 550

Rata-rata 93 111 91 107 89 108 93 110 367 436 69 Tabel 2 hasil perolehan skor rata-rata pretest dan posttest

No Komponen Self Advocacy

Hasil rata-rata skor Asymp. Sig.

(2-tailed) Pre

test

Post Test

Beda

Perubahan % Z tes

1 Kesadaran Diri 93 111 17 18,47 -2.524a .012

2

Pemecahan Masalah dan Pengambilan Keputusan

91 107 15 16,69 -2.524a .012 3 Keterampilan

Komunikasi 89 108 19 21,43 -2.524

a

.012 4 Kesadaran Tanggung

Jawab 93 110 17 18,41 -2.524

a

.012 Total Self Advocacy 367 436 69 18,73 -2.521a .012

Hasil analisis persentase pada kom-ponen kesadaran diri (self awareness) di-peroleh skor rata-rata pretest sebesar 93 dan besarnya nilai skor rata-rata posttest sebesar 111 sehingga terdapat perbedaan skor antara

posttest dan pretest sebesar 17atau terjadi

peningkatan sebesar 18,47%. Dari hasil uji

Wilcoxon diperoleh harga Z sebesar -2.524a dengan Asymp. Sig. (2-tailed)0,012< α 0,05,

jadi H0 ditolak. Maka dapat disimpulkan terjadi peningkatan self advocacy pada komponen kesadaran diri (self awareness)


(11)

Aluh Hartati dan Hariadi Ahmad, Pengembangan Self Advocacy dalam Meningkatkan Keterampilan Sosial

199 setelah diberi pelatihan self advocacy

dengan menggunakan teknik Structure Learning Approach.

Berdasarkan hasil analisis persentase komponen keterampilan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan diperoleh skor rata-rata pretest sebesar 91 dan besarnya nilai skor rata-rata posttest sebesar 107 sehingga terdapat perbedaan skor antara

posttest dan pretest sebesar 15 atau terjadi peningkatan sebesar 16,69%. Dari hasil uji

Wilcoxon diperoleh harga Z sebesar -2.524a dengan Asymp. Sig. (2-tailed) 0,012 < α

0,05, jadi H0 ditolak. Maka, dapat disim-pulkan terjadi peningkatan self advo-cacy

pada komponen keterampilan pemeca-han masalah dan pengambilan keputusan setelah diberi pelatihan self advocacy dengan menggunakan teknik Structure Learning Approach.

Hasil analisis persentase pada kete-rampilan komunikasi diperoleh skor rata-rata pretest sebesar 89 dan besarnya nilai skor rata-rata posttest sebesar 108 sehingga terdapat perbedaan skor antara posttest dan

pretest sebesar 19atau terjadi peningkatan sebesar 21,43%. Dari hasil uji Wilcoxon

diperoleh harga Z sebesar -2.524a dengan

Asymp. Sig. (2-tailed) 0,012 < α 0,05, jadi H0 ditolak, maka dapat disimpulkan terjadi peningkatan self advocacy siswa pada komponen keterampilan komunikasi setelah diberi pelatihan self advocacy dengan menggunakan teknik Structure Learning Approach.

Hasil analisis persentase pada kesa-daran tanggung jawab diperoleh skor rata-rata pretest sebesar 93 dan besarnya nilai skor rata-rata posttest sebesar 110 sehingga terdapat perbedaan skor antara posttest dan

pretest sebesar 17atau terjadi peningkatan sebesar 18.41 %. Dari hasil uji Wilcoxon

diperoleh harga Z sebesar -2.524a dengan

Asymp. Sig. (2-tailed) 0,012 < α 0,05, jadi

H0 ditolak. Maka dapat disimpulkan terjadi peningkatan self advocacysiswa pada kom-ponen kesadaran tanggung jawab setelah diberi pelatihan self advocacy, dengan menggunakan teknik Structure Learning Approach.

Hasil analisis persentase self advocacy siswa, diperoleh skor rata-rata

pretest sebesar 367dan nilai skor rata-rata

posttest sebesar 436 sehingga terdapat per-bedaan skor antara posttest dan pretest

sebesar 69 atau terjadi peningkatan sebesar 18,73%. Dari hasil uji statistik Wilcoxon

diperoleh harga Z -2.521a dengan Asymp. Sig. (2-tailed) 0,012 < α 0,05, jadi H0

ditolak. Maka, dapat disimpulkan terjadi peningkatan self advocacysiswa setelah diberi pelatihan self advocacy dengan menggunakan teknik Structure Learning Approach.

Pembahasan

Keberhasilan di dalam pelaksanaan pengem-bangan self advocacy siswa SMP, tidak hanya ditentukan oleh kualitas panduan self advocacy, tetapi juga tidak terlepas dari beberapa faktor yang menunjangnya, seperti; kondisi emosi siswa yang dilatih, pelatihnya, serta situasi dan kondisi saat pelatihan dilaksanakan. Sebagaimana yang dikemu-kakan Calhoun (1995), faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengembangan peri-laku manusia adalah diri dan lingkungan. Lingkungan ini bisa berupa konselor, siswa, teman, serta orang tua siswa ikut


(12)

ber-tanggung jawab dalam pembinaan aspek pribadi-sosial siswa.

Produk akhir yang dihasilkan dalam penelitian pengembangan ini adalah Pan-duan Self Advocacy SMP, yang meliputi buku panduan untuk konselor dan buku panduan untuk siswa. Panduan untuk konselor merupakan bagian pendahuluan, petunjuk umum pelatihan self advocacy,

prosedur pelatihan self advocacy, dan daftar pustaka. Pada bagian pendahuluan terdiri dari; pengertian, manfaat, pentingnya pela-tihan, dan kompetensi kemandirian peserta didik dalam pelatihan self advocacy. Pada bagian Petunjuk umum terdiri dari; mementukan siswa yang mendapatkan pelatihan, menentukan jenis keterapilan yang dilatihkan, menentukan tujuan pelatihan, menentukan teknik pelatihan, dan menentukan jadwal pelatihan. Pada prosedur pelatihan terdiri dari; tujuan umum dan khusus, langkah-langkah pelatihan, materi pelatihan, instrumen pelatihan dan skala pelatihan. Semua bagian panduan pelatihan yang ditujukan pada konselor sebagai fasilitator yang menggunakan produk.

Buku panduan untuk siswa berisi pendahuluan, prosedur pelatihan dan daftar pustaka. Pada bagian pendahuluan terdiri dari; pengertian, pentingnya pelatihan, manfaat keterampilan pelatihan pilan, langkah-langkah pelatihan keteram-pilan, dan jadwal kegiatan. Pada prosedur pelatihan terdiri dari; tujuan umum dan khusus, langkah-langkah pelatihan, materi pelatihan, instrumen pelatihan dan skala pelatihan. Semua bagian panduan pelatihan yang ditujukan pada siswa sebagai panduan selama pelatihan.

Teori self advocacy yang dijadikan dasar dalam pengembangan produk adalah teori Van Reusen (1994; 1996) self advo-cacy adalah keterampilan yang dimiliki oleh individu dalam berkominikasi secara efektif, menyampaikan pendapat, bernegosiasi, menyatakan minat, keinginan, kebutuhan, dan hak-haknya, serta kemampuan untuk mengambil keputusan dan bertanggung jawab terhadap keputusan yang di ambil. Lebih lanjut Van Reusen (1996) dan Oregon Department of Education (2001) menga-takan bahwa self advocacy terdiri atas empat komponen yaitu (1) Kesadaran diri (Self awareness), (2) Keterampilan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, (3) Keterampilan komunikasi, (4) Kesadaran tanggung jawab.

Teknik yang digunakan dalam pela-tihan ini adalah teknik Structured Learning Approach.Adapun aplikasi Structured Lear-ning Approach dalam pelatihan self advo-cacy meliputi lima tahapan; Pertama, arahan (intruction). Kedua, pemberian model (modeling). Ketiga, bermain peran ( role-play). Keempat, pemberian umpan balik (performancefeedback). Kelima, pemberian tugas dan pemeliharaan (transfer of training and maintenance). (Sprafkin, Gershaw, & Goldstein, 1993, selanjutnya dikembangkan oleh Thompson, 2003).

Adapun tahap-tahap dalam

Structured Learning Approach yang di-gunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan tahapan Thompson, (2003) yang mengemukakan lima tahap Structured Learning Approach, yaitu:

1. Tahap pertama,arahan(intruction). Pada tahap ini konselor memberi penjelasan


(13)

Aluh Hartati dan Hariadi Ahmad, Pengembangan Self Advocacy dalam Meningkatkan Keterampilan Sosial

201 tetang materi yang berkaitan dengan

topik yang dilatihkan.

2. Tahap kedua, pemberian model ( mode-ling), di mana konselor memberikan model atau contoh secara simbolis terhadap perilaku yang diharapkan, pemberian model ini dapat berupa model cerita, model hidup, model rekaman vidio, atau model rekaman audio, selanjutnya memandu siswa un-tuk merefleksikan isi dan merefleksikan diri terhadap model yang diberikan. 3. Tahap ketiga, bermain peran (role

playing), peserta yang bertugas sebagai pemain di minta untuk bermain peran berdasarkan cerita masing-masing kom-ponen pelatihan, yang di observer oleh peserta lain dengan menggunakan lem-bar observersi yang telah disediakan. 4. Tahap keempat, pemberian umpan balik

(performancefeedback), Pada tahap ini konselor memandu merefleskikan atau mendiskusikan dan mengevaluasi ber-sama peserta lainnya mengenai pelaksa-naan pemeranan, apakah pemain telah melaksanakan keterampilan/ tingkah laku self advocacy yang diharapkan berdasarkan lembar observasi yang telah disediakan, jika berdasarkan peni-laian kelompok, pemain belum melaksa-nakan tingkah laku atau keterampilan yang diharapkan, konselor meminta peran tersebut diulang sampai keteram-pilan tersebut dikuasai. Pada tahap ini juga, konselor dapat menjelaskan/ memberi contoh tingkah laku atau keterampilan yang diharapkan.

5. Tahap kelima,pemberian tugas dan pemeliharaan (transfer of training and maintenance), pada tahap ini konselor

memberikan tugas rumah kepada siswa sebagai dasar untuk berlatih kete-rampilan yang diharapkan di luar seting kelas yang diobservasi oleh peserta lain menggunakan lebar observasi.

Hasil penilain tiga uji ahli bimbingan dan konseling baik secara deskriptif verbal maupun secara kuantitatif terhadap produk yang dikembangkan menunjukkan bahwa panduan pelatihan self advocacyditinjau dari segi kegunaan para ahli menilai sangat berguna, kelayakan para ahli menilai layak, ketepatan para ahli menilai tepat, dan kepatutan para ahli menilai sangat patut sehinggapanduan dapat dikembangkan lebih lanjut.

Uji konselor, diberikan kepada dua orang konselor SMP. Hasil penilain konselor tersebut, baik secara deskriptif verbal maupun kuantitatif menunjukkan bahwa secara umum panduan pelatihan self advocacy yang dikembangan ditinjau dari segi aspek kegunaan konselor menilai berguna, kelayakan konselor menilai layak, ketepatan konselor menilai tepat, dan kepatutan konselor menilai sangat patut, sehingga panduan dapat dikembangkan lebih lanjut.

Uji kelompok terbatas yang sesuai rencana awal dalam penelitian ini, dilaksanakan di SMP Negeri 16 Mataram. Sehingga sejak awal penyusunan ranacangan diadakan need assesment di Kota Mataram dan Lombok Barat, Uji kelompok terbatas yang dilaksanakan di SMP Negeri 16 Mataram, dengan jumlah peserta yang ikut dalam pelatihan self advocacy sebanyak 35 orang siswa, meskipun subyek yang diambil dalam penelitian ini sebanyak 8 orang subyek. Pengambilan peserta pelatihan self


(14)

advocacy sebanyak 35 siswa, yang terpilih secara acak, hal ini dilakukan untuk menjaga ancaman internal subyek penelitian. Dalam proses pelatihan berlangsung sejak per-temuan pertama hingga berakhirnya pela-tihan di dapatkan peserta pelapela-tihan yang aktif sebanyak 20 siswa, dan sebanyak 15 siswa tidak aktif secara penuh dalam kegiatan pelatihan dengan berbagai kendala, baik berupa terbenturnya jadwal pelatihan dengan kegiatan ekstrakurikuler sekolah, dan kegiatan-kegiatan yang lain. Uji kelompok terbatas menggunakan desain

pretest-postest control group design. Siswa berjumlah 8 orang yang dipilih secara acak tanpa ada pertimbangan atau kriteria tertentu. Pemilihan secara acak dilakukan dengan anggapan bahwa semua siswa telah memiliki self advocacy meski dengan tingkatan yang berbeda.

Perbedaan peningkatan pada setiap komponen pelatihan self advocacy yang dilatihkan pada siswa SMP ini mungkin disebabkan karena adanya perbedaan budaya siswa. Menurut Triandis (dalam syahril, 2011) bagaimana seseorang berinteraksi dengan orang lain, memahami orang lain dan bekerja dengan orang lain, semuanya dipengaruhi oleh di mana orang tersebut berada/tinggal, salah satunya budaya. Bila seseorang diajarkan keterampilan/tingkah laku yang berbeda dengan budayanya, maka ia akan cenderung untuk menolak atau tidak mempraktekkan tingkah laku atau keterampilan tersebut.

Data pretest dan postest untuk seluruh komponen self advocacy terhadap kelompok eksperimen,terdapat peningkatan skor rata-rata antara pretest dan posttest,

pada masing-masing komponen setelah

diberi pelatihan self advocacy dengan teknik

structured learning approach. Peningkatan skor rata-rata ini menunjukkan bahwa setelah diberi pelatihan self advocacy

dengan teknik structured learning approach

terjadi peningkatan self advocacy siswa dalam (1) kesadaran diri, (2) keterampilan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, (3) keterampilan komunikasi, (4) kesadaran tanggung jawab.

Selanjutnya, berdasarkan hasil uji statistik wilcoxon, menunjukkan bahwa pelatihan self advocacy yang dikembangkan dengan menggunakan teknik structured learning approach, terbukti efektif mening-katkan self advocacy siswa SMP. Hal ini disebabkan karena dengan teknik structured learning approach siswa diminta untuk mengulangi perilaku/keterampilan-keteram-pilan yang diharapkan sampai benar-benar dikuasai dengan baik. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Thorndike dalam teori belajar behavioristik mengenai hukum latihan (the law of exercise) bahwa semakin sering suatu tingkah laku diulang atau dilatihkan, maka asosiasi tersebut akan semakin kuat (Slavin, 2009). Melalui

structured learning approach siswa mengamati tingkah laku yang diperankan oleh pemain dan kemudian mempraktekkan tingkah laku bersama siswa lainnya. Hal ini sesuai dengan teori belajar sosial yang dikemukakan Albert Bandura (Slavin, 2006), yaitu siswa dapat belajar dengan mengamati dan meniru tingkah laku melalu model (guru, orangtua atau orang lain).


(15)

Aluh Hartati dan Hariadi Ahmad, Pengembangan Self Advocacy dalam Meningkatkan Keterampilan Sosial

203 Simpulan dan Saran

Simpulan

Menurut ketiga ahli bimbingan dan konseling dan seorang calon pengguna atau konselor, secara umum panduan pelatihan yang dikembangkan telah memenuhi kriteria akseptabilitas ditinjau dari: Aspek kegunaan, aspek kelayakan, aspek ketepatan, dan aspek kepatutan. Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji wilcoxon, dapat disimpulkan bahwa self advocacy yang dikembangkan efektif untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa SMP.

Saran

1. Saran Pemanfaatan

Dari hasil temuan dilapangan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan pelaksanaan pelatihan self advocacy, antara lain: a. Konselor perlu memiliki

kompe-tensi teknis khususnya dalam me-mimpin sebuah kelompok.

b. Konselor perlu mempertimbangkan budaya tiap peserta karena bisa terjadi perbedaan budaya antara peserta yang satu dengan yang lainnya.

c. Konselor perlu memperhatikan kondisi fisik dan kondisi psikologis siswa sebelum pelatihan berlang-sung.

2. Saran Desiminasi

a. Hasil penelitian menujukkan bahwa

self advocacy siswa dapat diting-katkan. Hal ini baru diamati selama pelatihan berlangsung, dan belum dilakukan pengamatan di luar seting pelatihan. Sehingga perlu dilakukan penelitian lajutan untuk

mengetahui apakah keterampilan yang telah dilatihkan dapat diper-tahankan atau tidak.

b. Penelitian ini hanya dalam melaksanakan tahap revisi produk akhir, belum sampai pada tahap implementasi, sehingga belum dapat digunakan di luar penelitian ini. Oleh karena itu, masih perlu ditindak lanjuti sampai pada tahap akhir.

3. Saran Pengembangan Produk Lebih Lanjut

a. Desain penelitian ini adalah one group pretest-postest design. Untuk peneliti selanjutnya dapat menggu-nakan desain penelitian yang lain. b. Teknik yang digunakan dalam

penelitian ini adalah Structure Learning Approach. Dengan taha-pan sebagai berikut: (a) penjelasan materi (b) pemberian model, (c) bermain peran, (d) pemberian umpan balik, dan (e) pemberian tugas.Untuk peneliti selanjutnya dapat mengunakan teknik penelitian yang lain.

c. Pengujian keefektifan pelatihan pe-ngembangan panduan self advocacy

yang dirancang baru diterapkan pada siswa SMP kelas VIII (delapan) sebanyak 8 siswa, sehingga belum diketahui keefek-tifan pelatihan self advocacy ini bila diterapkan pada siswa lain yang jumlahnya lebih besar dengan latar belakang karakteristik yang ber-beda. Untuk itu bagi penelitian lanjutan dapat melakukan pengujian


(16)

pelatihan terhadap subyek lain dengan karakteristik yang berbeda. Daftar Pustaka

Borg, W. R. and Gall, M. D. 1983.

Educational Research an

Introduction. Longman Inc., 1560 Broadway, New York, N.Y. 10036. Brinckerhoff, L. C. 1994.Developing

Effective Self-Advocacy Skills in College Bound Students with Learning Disablities. Jurnal Intervention in School and Clinic, Vol 29. No 4: 229-237.

Calhoun, J.F & Acocella, J.R, 1995.

Psikologi Tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan. Ed.3. Penerjemah: R.S Satmoko. Semarang Press. IKIP Semarang

Hurlock. E. B. 1995. Perkembangan Anak, jilid 2 edisi ketujuh. Jakarta. PT. Gelora Pratama.

Oregon Department of Education. 2001.

Self-Determination Handbook: A Resurce Guide for Teaching and Facilitating Transition and Self-Advocacy Skills. Oregon.Public Service Building.

Scheriner. M.B. 2007. Effective Self-Advocacy: What Students and Special Educators Need to Know.

Journal Intervention in School and Clinic. Vol. 42. No.5: 300 – 304. Slavin, R. E 2009. Psikologi Pendidikan:

Teori dan Praktek. PT Indeks: Jakarta.

Slavin, R. E. 2006. Educational Psycology: Theory and Practice: Boston: Pearson Education.

Sprafkin, R. P., Gershaw, N. J. & Goldstein, A. P. 1993. Social Skills for Mental Health, a structured learning approach. Boston. Allyn and Bacon. Syahril, 2011. Pengembangan Panduan

Pelatihan Emitional Literacy untuk Siswa SMP. Tesis tidak diterbitkan. Malang. Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang.

Thompson, A. R. 2003. Counseling Techniques, Second Edition, New York.

Van Reusen, A. K. 1996. The Self-Advocacy Strategy for Education and Transition Planning. Journal Intervention in School and Clinic. Vol. 32. No.1: 49 – 54.

Van Reusen, A. K., Bos, C. S., Schumaker, J. B., & Deshler, D. D. (1994). The self advocacy strategy for education and transition planing. Lawrence, KS: Edge Enterprises.


(17)

© 2014 LPPM IKIP Mataram

Pengaruh Pembelajaran Kooperatif dengan Asesmen Otentik Teknik Saling Silang terhadap Pemahaman Konsep Microteaching

Any Fatmawati dan Ida Royani

Program Studi Pendidikan Biologi, FP MIPA IKIP Mataram Email : [email protected]

Abstract: This study aims to determine the effect of cooperative learning with authentic assessment techniques crisscrossed the students understanding of the concept of microteaching. This research is a quasi experimental, with posttest only control group design. Subjects in this study were students in the Department of Biology Education FPMIPA IKIP Mataram. Data understanding of concepts and skills microteaching will be analyzed using the statistical manova with the help of SPSS 16.00 For Windows. Based on the results of data analysis showed that the test null hypothesis (H0) indicates that there is a difference between the value of understanding the concept of a group of students who follow the cooperative learning with authentic assessment techniques crisscrossed by groups that follow conventional teaching with significant numbers 0,000<0,05. The value of understanding the concept of cooperative learning students follow with authentic assessment techniques crisscrossed better than the value of understanding the concept of learning and students who follow the conventional assessment.

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pembelajaran kooperatif dengan asesmen otentik teknik saling silang terhadap pemahaman konsep microteaching mahasiswa. Jenis penelitian ini adalah quasi experiment, dengan disain postest only control group design. Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa jurusan Pendidikan Biologi di FP MIPA IKIP Mataram. Data pemahaman konsep dan keterampilan microteaching akan dianalisis menggunakan statistik yaitu manova dengan bantuan SPSS 16.00 For Windows. Berdasarkan hasil analisis data menunjukkan bahwa pada uji hipotesis nihil (H0)menunjukkan bahwa terdapat

perbedaan nilai pemahaman konsep antara kelompok mahasiswa yang mengikuti pembelajaran kooperatif dengan asesmen otentik teknik saling silang dengan kelompok yang mengikuti pembelajaran konvensional dengan angka signifikansi 0,000<0,05. Nilai pemahaman konsep mahasiswa yang mengikuti pembelajaran kooperatif dengan asesmen otentik teknik saling silang lebih baik daripada nilai pemahaman konsep mahasiswa yang mengikuti pembelajaran dan asesmen konvensional.

Kata kunci : pembelajaran kooperatif, asesmen otentik teknik saling silang, pemahaman konsep microteaching.

Pendahuluan

Perpaduan antara pembelajaran kooperatif dan asesmen otentik jarang dilakukan oleh guru atau dosen dalam pembelajaran, khu-susnya pada mata kuliah microteaching. Beberapa hal yang menjadi penyebabnya adalah, karena perpaduan antara pembe-lajaran kooperatif dan asesmen otentik tidak mudah disusun alat ukurnya, selain itu juga karena belum ada panduan dalam menggu-nakan asesmen otentik. Kedua alasan diatas juga terjadi di jenjang S1, khususnya jalur pendidikan, karena didalamnya terkandung

mata kuliah praktik yang bernama micro-teaching.

Peran dosen pengampu dalam mem-bina mata kuliah microteaching sangat membantu keterampilan mahasiswa dalam mengajar, selain itu juga akan dilihat motivasinya dalam mengikuti pembelajaran dengan mengikuti asesmen otentik ini (Fatmawati, 2013). Selain peran dosen, peran mahasiswa lainnya atau teman mereka dalam kelas juga akan mempengaruhi kegiatan pembelajaran, karena dalam beberapa hal setiap siswa pasti


(18)

membutuh-kan temannya sebagai pendorong, pemberi masukan atau sebagai motivator yang dapat merubah tingkah laku mereka ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu, peneliti ingin memanfaatkan semua mahasiswa dalam kelas microteaching terlibat dalam pelak-sanaan asesmen otentik ini, sehingga dinamakan asesmen otentik teknik saling silang. Untuk lebih jelasnya yang dimaksud dengan teknik saling silang dalam asesmen otentik adalah penilaian otentik bukan berjalan satu arah, atau penilaian hanya dari dosen saja, tetapi mahasiswa juga akan menilai teman mereka yang sedang me-ngajar, dan pada pertemuan berikutnya dia juga harus dinilai oleh temannya yang sudah dinilai tersebut, sehingga dinamakan teknik saling silang. Pemahaman konsep sangat dibutuhkan dalam proses pembelajaran (Santiyasa, 2004), hal ini sangat membantu mahasiswa dalam mempraktikkan cara mengajar yang baik sehingga dalam peneli-tian ini perlu dilihat pemahaman konsep mahasiswa

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan ba-gaimanakah pengaruh pembelajaran koope-ratif dan asesmen otentik teknik saling silang terhadap pemahaman konsep micro-teaching? Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pembelajaran koope-ratif dan asesmen otentik teknik saling silang terhadap pemahaman konsep micro-teaching.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi experimental yaitu suatu penelitian yang

masih memungkinkan variabel-variabel selain variabel bebas ikut berpengaruh terhadap variabel terikat. Penelitian ini menggunakan disain kelompok kontrol hanya postes (posttest only control group design) Campbell, D. T. & Stanley, J. C., 1963).

Populasi dari penelitian ini adalah semua mahasiswa VI pada semester genap yang memprogramkan Microteaching di jurusan Pendidikan Biologi. Penentuan sampel kelas dilakukan dengan teknik

random sampling. Dalam penelitian ini ada 2 variabel, yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Adapun variabel bebasnya adalah pembelajaran kooperatif dengan asesmen otentik teknik saling silang. Sedangkan variabel terikatnya adalah pemahaman konsep microteaching mahasiswa.

Uji normalitas diuji dengan bantuan

SPSS 16.0 for Windows dengan melihat besaran Kolmogorov-Smirnov Test (Can-diasa, 2007). Kriteria pengujian adalah data berdistribusi normal jika angka signifikansi (Sig.) > 0,05. Untuk membuktikan sampel benar-benar berasal dari populasi yang homogen, dilakukan uji homogenitas varians dengan uji Levene’s Test of Equality of

Error Variance (Candiasa, 2007) dengan bantuan program SPSS 16.0 for Windows. Untuk menguji hipotesis digunakan uji F melalui analisis multivariat MANOVA pada taraf signifikansi 5%.

Hasil Penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah perbedaan pemahaman konsep microteaching maha-siswa sebagai hasil perlakuan antara penerapan model pembelajaran kooperatif dengan asesmen otentik teknik saling silang


(19)

Any Fatmawati dan Ida Royani, Pengaruh Pembelajaran Kooperatif

207 dengan model pembelajaran konvensional.

Hasil penelitian di analisis dengan menggunakan MANOVA. Dengan demi-kian, data penelitian dikelompokkan men-jadi : (1) data pemahaman konsep kelompok mahasiswa yang mengikuti model pembe-lajaran kooperatif dengan asesmen otentik teknik saling silang (PKM); (2) data pemahaman konsep kelompok mahasiswa yang mengikuti model pembelajaran kon-vensioal (PKK).

Penghitungan ukuran sentral (rata-rata, modus, median) dan ukuran penye-baran data (standar deviasi) memberikan hasil seperti tercantum dalam Tabel berikut.

Tabel 1 Rekapitulasi Deskripsi Statistik Nilai Pemahaman Konsep Statistik/ Variabel PKM PKK

Mean 76,5 60,7

Median 76,5 60,0

Mode 78,0 65,0

Std. Deviasi 3,9 6,3

Variance 15,4 39,5

Minimum 69,0 50,0

Maksimum 85,0 76,0

Keterangan:

PKM : Pemahaman konsep kelompok mahasiswa yang menikuti model pembelajaran koopertaif dengan asesmen otentik teknik saling silang

PKK : Pemahaman konsep kelompok mahasiswa yang mengikuti pembelajaran dengan asesmen konvensional

Data pemahaman konsep kelompok mahasiswa yang mengikuti pembelajaran

kooperatif dengan asesmen otentik teknik saling silang mempunyai rentangan skor teoretik 69-85, memiliki rata-rata = 76,5; median = 76,5; modus = 78,0; simpangan baku = 3,9; ; nilai minimum = 69,0; dan nilai maksimum = 85,0. Data pemahaman konsep kelompok mahasiswa yang mengikuti pembelajaran kooperatif dengan asesmen otentik teknik saling silang dapat juga ditampilkan dalam bentuk histogram yang dikerjakan dengan bantuan program

SPSS 16.0 for Windows seperti Gambar 1.

Gambar 1. Histogram data pemahaman konsep kelompok mahasiswa yang mengkuti pembelajaran kooperatif dengan asesmen otentik teknik saling silang (PKM).

Data pemahaman konsep kelompok mahasiswa yang mengikuti pembelajaran dengan asesmen konvensional mempunyai rentangan skor teoretik 50-76, memiliki rata-rata = 60,7; median = 60,7; modus = 65; simpangan baku = 6,3; ; nilai minimum = 50,0; dan nilai maksimum = 76,0. Data pemahaman konsep kelompok mahasiswa yang mengikuti pembelajaran dengan asesmen konvensional dapat juga ditam-pilkan dalam bentuk histogram yang dikerjakan dengan bantuan program SPSS 16.0 for Windows seperti Gambar 2.


(20)

Gambar 2. Histogram data pemahaman konsep kelompok mahasiswa yang mengkuti pembelajaran dengan asesmen konvensional (PKK).

Untuk mengetahui normalitas data digunakan rumus Kolmogorov-Smirnov, dengan kriteria jika p > 0,05 datanya normal, sebaliknya jika p < 0,05 datanya tidak normal. Perhitungan dilakukan dengan bantuan komputer melalui program SPSS 16.0 for Windows. Untuk mengetahui data dari sampel berdistribusi normal atau tidak, dapat diketahui dari signifikansi hasil uji normalitas sebaran data dengan memperhatikan bilangan pada kolom signifikansi (Sig). Jika signifikansi yang diperoleh ≥ 0,05 maka sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal, demikian sebaliknya jika signifikansi < 0,05 maka sampel bukan berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Hasil uji normalitas tertera dalam Tabel 2. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa semua variabel dalam penelitian ini datanya berdistribusi normal.

Tabel 2 Uji Normalitas Sebaran Data Variabel Kolmogorov-Smirnov Keterangan

Statistik df Sig.

PKM 0,075 46 0,200 Distribusi normal PKK 0,123 42 0,111 Distribusi

normal

Pengujian homogenitas varians dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji Levene (Levene’s Test of

Equality of Error Variance) dengan bantuan

SPSS 16.0 for Windows. Hasil uji homogenitas varians disajikan pada Tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3 Hasil Uji Homogenitas Varians Sampel

Levene Statistik

df1 df2 Sig.

PK Based on

Mean 6.580 1 86 .062 Based on

Median 5.757 1 86 .019 Based on

Median and with adjusted df

5.757 1 66.422 .019

Based on trimmed mean

6.264 1 86 .014

Berdasarkan Tabel 3 di atas, untuk pemahaman konsep nilai signifikansi (0,062) lebih kecil dari 0,05, atau 0,062 < 0,05. Ini berarti data memiliki varians yang homogen.

Berdasarkan hasil uji persyaratan uji hipotesis yaitu uji normalitas dan uji homogenitas, dapat disimpulkan bahwa semua data berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan data dari semua


(21)

Any Fatmawati dan Ida Royani, Pengaruh Pembelajaran Kooperatif

209 kelompok mempunyai varians populasi yang homogen, sehingga uji hipotesis.

Tabel 4. Tests of Between-Subjects Effects Source

Dependent Variable

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig. Corrected

Model

KM 175361.367a 1 175361.367 50.648 .000

PK 5487.342c 1 5487.342 204.249 .000

Intercept KM 2.195E7 1 2.195E7 6.338E3 .000

PK 413211.478 1 413211.478 1.538E4 .000

MODEL KM 175361.367 1 175361.367 50.648 .000

PK 5487.342 1 5487.342 204.249 .000

Error KM 297760.224 86 3462.328

PK 2310.476 86 26.866

Total KM 2.264E7 88

PK 426214.000 88

Corrected Total

KM 473121.591 87

PK 7797.818 87

Berdasarkan Tabel 4 untuk variabel pemahaman konsep (PK) dapat ditarik interpretasi-interpretasi bahwa dari sumber pengaruh variabel model-model pembela-jaran (MP) terhadap pemahaman konsep (PK), tampak nilai F = 204,249 dengan angka signifikansi yang lebih kecil dari batas penolakan hipotesis 0,05, yaitu 0,000 < 0,05 sehingga dapat diambil keputusan untuk H0 sebagai berikut “tidak terdapat

perbedaan nilai pemahaman konsep antara kelompok mahasiswa yang mengikuti pembelajaran kooperatif dengan asesmen otentik teknik saling silang dengan kelompok yang mengikuti pembelajaran konvensional”, ditolak. Sehingga H1 diterima yaitu terdapat perbedaan nilai pemahaman konsep antara kelompok maha-siswa yang mengikuti pembelajaran

koope-ratif dengan asesmen otentik teknik saling silang dengan kelompok yang mengikuti pembelajaran konvensional.

Pembahasan

Mahasiswa sebagai objek dalam penelitian ini telah mengikuti semua kegiatan pene-litian dengan bimbingan dosen pembimbing sekaligus sebagai peneliti. Dalam proses pembelajaran yang berlangsung selama 12 kali pertemuan ini merancang semua mahasiswa untuk mengikuti pembelajaran kooperatif dengan asesmen otentik teknik saling silang. Sebelumnya telah ditemukan bahwa asesmen otentik teknik saling silang efektif terhadap motivasi dan keterampilan mengajar mahasiswa (Fatmawati, 2013). Selanjutnya peneliti menambahkan variabel bebasnya berupa pembelajaran kooperatif


(22)

dengan asesmen otentik teknik saling silang dan merubah variabel terikatnya menjadi pemahaman konsep dan keterampilan microteaching. Untuk artikel kali ini hanya membahas tentang pengaruh pembelajaran kooperatif dengan asesmen otentik teknik saling silang terhadap pemahaman konsep saja. Dalam hal ini mahasiswa tetap sebagai objek penelitian, dan data yang dikumpulkan adalah data pemahaman konsep dengan tes pemahaman konsep mengenai perangkat pembelajaran dan microteaching. Pharhyuna (2012), menyatakan bahwa asesmen otentik baik untuk pembelajaran praktik, hal ini mendukung hasil penelitia ini sehingga direkomendasikan kepada guru maupun dosen yang mengampu mata pelajaran atau mata kuliah praktik untuk menggunakan penilaian otentik.

Berdasarkan hasil analisis data menunjukkan bahwa pada hipotesis “ter -dapat perbedaan nilai pemahaman konsep antara kelompok mahasiswa yang mengikuti pembelajaran kooperatif dengan asesmen otentik teknik saling silang dengan kelompok yang mengikuti pembelajaran konvensional”. Jika kita lihat dari proses pembelajaran yang dilalui oleh mahasiswa, maka rentetan kegiatan pembelajaran tersebut telah menuntun mahasiswa untuk melakukan banyak hal dalam melakukan pembelajaran dan penilaian. Dalam proses pembelajaran, mahasiswa dikelompokkan menjadi beberapa kelompok kecil yang beranggotakan maksimal 4 orang, sampai semua mahasiswa dalam kelas tersebut memiliki kelompok, untuk kelebihan maha-siswa dijadikan dalam satu kelompok. Pada kelas eksperimen terbentuk 10 kelompok sedangkan pada kelas kontrol terbentuk 9

kelompok. Kelompok kecil ini baik untuk melakukan diskusi mengenai kegiatan pembelajaran yang meraka lalui, berdiskusi tugas dan mempersiapkan diri dalam melaksanakan praktik mengajar atau micro-teaching dan proses menentukan penilaian kepada teman atau kelompok lain yang maju mengajar. Kegiatan diskusi, saling menilai dan mempersiakpan diri dalam mengajar tersebut telah membimbing mereka sehingga pemahaman konsep mereka menjadi lebih baik dibandingkan dengan kelompok maha-siswa yang mengikuti pembelajaran konven-sional dan penilaian konvenkonven-sional. Hal senada juga pernah dijelaskan oleh Fatmawati (2011) dari hasil penelitiannya mengenai pembelajaran kooperatif yang dapat membantu mahasiswa lain dalam proses pembelajaran sehingga dapat meningkatkan hasil belajar baik siswa maupun mahasiswa.

Nilai mahasiswa yang mengikuti kelompok pembelajaran kooperatif dengan asesmen otentik teknik saling silang lebih baik dibandingkan dengan mahasiswa yang mengikuti pembelajaran dan penilaian konvensional. Dalam hal ini, peneliti mem-perhatikan semua langkah mahasiswa dalam mengajar di depan kelas. Selain itu semua kelompok yang lain juga ikut menilai, hal inilah yang menyebabkan terjadinya saling silang dalam proses penilaian. Kegiatan tersebut telah menuntun mahasiswa untuk mampu menilai orang lain sekaligus menilai diri sendiri dan mempersiapkan diri sendiri dalam mengajar.

Kegiatan pembelajaran yang dila-kukan memang selaras. Dengan diterapkan pembelajaran kooperatif dengan asesmen otentik teknik saling silang ini menuntun


(23)

Any Fatmawati dan Ida Royani, Pengaruh Pembelajaran Kooperatif

211 semua mahasiswa untuk mengikuti

rang-kaian kegiatan pembelajaran sekaligus penilaian dan persiapan diri untuk mema-hami konsep pembelajaran baik memper-siapkan perangkat pembelajarannya, praktik mengajarnya dan menilai orang lain dan diri sendiri. Itulah sebabnya sebagai dosen Pembina mata kuliah microteaching peneliti merancang dengan rinci setiap langkah sehingga mahasiswa siap untuk mengajar dan siap praktik pengalaman lapangan (PPL) disekolah sekolah mitra dengan memuaskan dan tidak mengecewakan guru pamong. Itulah harapan panjang peneliti, semoga tercapai.

Simpulan

Simpulan dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan nilai pemahaman konsep antara kelompok mahasiswa yang mengikuti pem-belajaran kooperatif dengan asesmen otentik teknik saling silang dengan kelompok yang mengikuti pembelajaran konvensional. Nilai pemahaman konsep mahasiswa yang mengikuti pembelajaran kooperatif dengan asesmen otentik teknik saling silang lebih baik daripada nilai pemahaman konsep mahasiswa yang mengikuti pembelajaran dan asesmen konvensional.

Daftar Pustaka

Candiasa, I M. 2007. Statistik Multivariat Dilengkapi Aplikasi dengan SPSS.

Singaraja: Unit Penerbitan Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja.

Campbell, D. T. & Stanley, J. C. 1963.

Experimental and

quasi-experimental designs for Research. Chicago: Rand Menally Company. Fatmawati, Any. 2013. Efektifitas asesmen

Otentik Teknik Saling Silang Terhadap Keterampilan Mengajar Mahasiswa. Prossiding dengan tema Bahasa, sains dan Pendidikan. LPPM IKIP Mataram.

Fatmawati, Any. 2011. Pengaruh Pembelajaran Kooperatif tipe Think Pair Share dan Kreativitas Terhadap Hasil Belajara Sains Siswa SD Kelas V Gugus V Ampenan Kota Mataram. Jurnal Ganec Swara. Universitas Mahasaraswati Mataram.

Pharh yuna, KAJ. 2012. Pembelajaran Berbasis Masalah Menggunakan Asesmen Otentik dan Kreativitas

Siswa dalam Pencapaian

Keterampilan Menulis. JPP Edisi 45, Nomor 1. Undiksha Singaraja.

Santyasa, I W. 2004. Pengaruh Model Pembelajaran Terhadap Remidiasi, Miskonsepsi, Pemahaman Konsep dan Hasil Belajar Fisika pada Siswa SMU. Disertasi. (tidak diterbitkan). Universitas Negeri Malang Program Pascasarjana Program Studi Teknologi Pembelajaran.


(24)

(25)

© 2014 LPPM IKIP Mataram

Developing English Reading Comprehension Materials

Based on the Students’ Need at IKIP Mataram

Dedi Sumarsono dan Abdul Kadir Bagis

Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, FPBS IKIP Mataram Email: [email protected]

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan materi pelajaran membaca bahasa Inggris berdasarkan kebutuhan siswa. Produk pengembangan penelitian ini diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu materi pelajaran reading bahasa Inggris untuk murid yang dinamai student’s hand-outs dan uraian cara menggunakan materi tersebut untuk guru yang dinamai teacher’s guides. Semua produk pengembangan itu diciptakan dalam prosedur lima langkah: 1). riset awal untuk analisis kebutuhan, 2) pengembangan produk, 3) validasi & revisi, 4) test-lapangan & revisi, 5) produk final. Produk-produk tersebut telah diuji-cobakan pada mahasiswa semester dua FPBS IKIP Mataram untuk mengetahui apakah produk tersebut telah memenuhi kriteria kelayakan yaitu: valid, praktis, dan effektif. Uji coba tersebut dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase pre-uji coba untuk validasi, fase uji coba sampel dan uji coba sungguhan untuk kepraktisan dan keefektifan produk. Hasil dari uji-coba yang disebutkan tadi menujukkan bahwa produk penelitian pengembangan tersebut telah memenuhi kriteia sebagai produk yang layak dalam hal validitas, kepraktisan dan keefektifan.

Abstract: This research is aimed to develop the English reading materials based on the students’ need. The developed products in this research are classified into two types: the English reading materials for students which is called the Student’s Hand-Outs and the description of how to use the materials for teachers, which is called the Teacher’s Guides. Those products were developed in a five-step procedure: 1) preliminary research for the needs analysis, 2) development of products, 3) validation and revision, 4). field testing and revision, and 5) final products. They had been tried out to the second semester students of FPBS IKIP Mataram in order to find out the quality of the products which should fulfill the criteria of good quality products that is, valid, practical, and effective. The field testing was divided into three phases: pre field-testing for the validity of the products, field testing of the sample and real field testing for the practicality and effectiveness. The result of the field testing shows that the developed products are qualified from the criteria of validity, practicality, and effectiveness.

Keywords : Reading Material and Students’ Need Introduction

Reading is necessary to know the answers to a particular question or issue for which someone reads. To satisfy one’s thirst for knowledge, reading books is necessary, and most of the books are in English. This being the reality of the present world, teaching of the reading skills of English is very important and it has no alternatives.

Even though one of the learning objectives of English language above is directed to improve the student reading skill, it may affect the classroom teaching and learning process. It can be seen by the low level of student’s reading ability in FPBS

IKIP Mataram. The experiences of the researchers as one of the graduated students from FPBS IKIP Mataram found that only few students could read and understand the English text well, some of them could not read and understand the text well in English.

Students’ proficiency on reading is very poor here. A large majority of students at the university level in our country cannot access English textbooks prescribed in their syllabus for their lack of required pro-ficiency of reading skills in English. Therefore, they depend only on Indonesian books, and the vast resources in the libraries being in English remain unutilized. As a


(26)

result, in most cases, university students in this country suffers miserably; it falls far below the standard.

Though students do some reading inside the campus, they prefer memorizing things– words from dictionaries, sentences from various books, and rules of grammar from different grammar books. When they read, they still confused in identifying meaning of certain words based on the context, identifying references, identifying explicit and implicit information, identifying the main idea (general idea) from the text, and identifying communicative function of the text.

Reading component of English cour-se in the country focucour-ses on understanding word meaning and answering specific questions which students mostly get done by private tutors or at coaching centre. At no stage of the whole education system, students are encouraged to process the information from texts by themselves through an intellectual engagement, analysis and interpretation of the text. Reading is not taught properly in scientific methods. Teachers also do not have necessary training for that. Greenwood (1998: 5) rightly points out that teacher fail to recognize the potentiality of reading, and they neglect and/or ignore it in the classroom. According to him, the responsibility of this failure goes to the attitude first of the teacher and then of the students.

The most acknowledged cause of failure of the students in effective reading is the lack of vocabulary. Many students inspired by friends or guided by teachers sometimes try to read a book but soon they lose the eagerness and interest with

which they start reading the text. In every paragraph, or even in every sentence, or every phrase they come across some new words, which create a constant barrier for them to understand the meaning. Some-times, they do not understand long senten-ces, and they miss the links between parts of a text. As a result, they lose their patience and their interest, and they give up reading. Sometimes they may feel inspired to look up the words in the dictionaries, but checking the dictionary too many times proves boring, and at last, their enthusiasm for reading the text dies down.

There are some other problems that discourage the students to continue reading a text. Most students fail to understand the syntax, especially when the sentence structures are long. They also have problems with understanding text organization. Not to mention, that the materials itself are not to interesting for them to read.

From that matter of facts, it is clearly seen that the level of the reading material, and the topic became the causes of students reading problems. Actually it’s not easy to teach language skills especially reading without using suitable materials. Therefore, the research is done in order to know what materials are suitable for the second semester students of FPBS IKIP Mataram. Research Method

1. Model of the Development

This research is categorized inti R and D using five steps of the development, and are called as the five steps of the development procedure. They are: 1). Early-research, 2). Development of products, 3).


(27)

Dedi Sumarsono dan Abdul Kadir Bagis, Developing English Reading Comprehension

215 Validation and revision, 4) Field-tests and

revision, and 5). Final products. 2. Procedure of the Development a. Early-Research

This phase of development procedure was started by gathering all kinds of information related to the products which would be developed. One kind of information will be gathered from books of former experts in order to learn their concepts and theories about things in relation to the researcher’s product development of the research; that is English reading materials which are based on needs, the teaching needs. b. Development of Products

The second phase of the research is developing the products of research. The intended products of the development will be English reading materials for the second semester students of FPBS IKIP Mataram which are based on the teaching needs and they are called Student’s Hand-Outs. Meanwhile, the other products are called Teacher’s Guides, these products of development are the description of the usage of the development products mentioned earlier. c. Validations and Revisions

In this phase, the development products have been completed from the view point of the researcher whose knowledge is very limited. They have to be checked by others who have a lot broader knowledge; experts in language. For this purpose, validators are needed.

d. Field-Tests and Revisions

This phase of development procedure will, more or less, get responses from the lecturers and students. Those responses

will be the source of information to make further revisions of the products of development.

e. Final Products

Based on the corrections from the validators, English lecturers and stu-dents, revisions were made. Therefore, development of products which are in the form of the Student’s Hand-Outs and the lecturer’s Guides can be arranged into those which deserve to be used as the English reading materials for the second semester students of FPBS IKIP Mataram.

3. Field-Tests of the Development Products

a. Design of the Field-Tests 1)Pre field-testing

Field tests at the field of research can also be called try-outs. In this research, they are divided into kinds; the sample of field tests and the real field tests. The researcher will have one class to be the real subject of research. Meanwhile the other classes treated as sample subjects of research. The classes for the field-test sample will be chosen randomly, depends on the most possible schedule to be taken over for research conducting.

2)The Field-Testing Sample

This test of the product development is conducted

3)The (Real) Field-Test

This is for the purpose of finding out whether the products of development really deserve to be applied in the real condition or not.


(1)

and considering Muliani and Sumarsono (2013) who investigated the acquisition of modality considering the appropriateness of the students’ expressions, this current research goes further exploring the acquisition orders of the agent-oriented modality types in L2 of English Postgraduate Program Students of IKIP Mataram in which this research deals with the acquisition orders of the agent-oriented modality types in L2 English Postgraduate Program Students’ expressions.

This present study is worth doing since the results can serve as an additional theoretical basis for future researchers aimed at second language acquisition, and it can contribute to the enhancement of the quality of the teaching and learning process of target language in which in expressing modality in English, the learners of English can use the modality properly particularly from the agent-oriented aspect.

Research Method

This research deals with the acquisition orders of agent-oriented modality types and what the acquisition orders of the agent-oriented modality types indicate in terms of the understanding of the Postgraduate Program Students of IKIP Mataram seen from the L2 English expressions in L2 English expressions. Next to that, this research also elaborates the real acquisition of the subjects by elaborating their acquisition from data and some related theories. Eventually, this research is called as quantitative descriptive research. Cross-sectional research was considered to be used to see the acquisition orders of the students as supported by Nunan in Ritchie and Bathia

(1996: 364) that the cross-sectional research is the alternative if the researchers have no time and funding to follow the development of language over several years.

Finding and Discussion

A sample of 20 (twenty) students were selected by presuming that the subjects chosen were those having the relative fluency of English that the description of the orders of the agent-oriented modality types can be seen clearly.To gather the required data, the sample were asked to write a free-topic paragraph in the sentence constructions considering those four type of the agent-oriented modality types. The free-topic paragraph was to obtain sample’s written natural expressions representing these four-types of agent-oriented modality.

Data analysis related to the research question were conducted using the table of codification to classify the numbers of sentences constructed by the students, the table of level of appropriateness of each type of agent-oriented modality, table of measurement considering those four types of agent-oriented modality. In terms of procedures of data analysis, the researchers did the reduction of the data considering the types of the agent-oriented modality expected as the data and did the classification of the data considering the agent-oriented modality types. Using table of measurement considering those four types of agent-oriented modality, the raw score, ideal score, and final score were calculated.

The researchers continued doing the analysis of the data to elaborate the how far the acquisition orders of the agent-oriented modality types, indicating the understanding


(2)

Muliani and Sofia Maurisa, The Acquisition Orders of Agent-Oriented Modality Types

325 of the Postgraduate Program Students seeing

from the L2 English expressions and drew some conclusion. Some theoretical and practical suggestions are given based on the research significance.

The acquisition orders of the agent-oriented modality types as defined in the study is shown by the results of sample’s written expression in Table 1. Table 1 shows that out of 158 sentences, there were 45 possibility sentences, 38 obligation expressions, 3 necessity expressions, and 73 expressions related to desire (see Table 1). It must be noted that the number of the

expressions is not a guarantee that the students will get higher percentage of the acquisition, the final measurement is still the main consideration. In addition, it can be seen that the raw scoreof the obligation expressions was 43, necessity was 5, possibility was 51, and desire expressions’ raw score was 98. The measurement of the ideal score, it was found that the ideal score for the obligation expressions was 76, necessity was 6, possibility was 90, and the ideal score for the desire expressions was 146. The orders of acquisition can be determined clearly from the final score. Table 1. Total Number of Sample’s Written Expression

Total Possibility Obligation Necessity Desire

158 45 38 3 73

The measurement of the ideal score of the obligation expressions was 76, necessity was 6, possibility was 90, and the ideal score for the desire expressions was 146showed that the final score of the obligation was 56.58, necessity 83.33, possibility 56.67, and desire was 67.12, all indicating that the first order of acquisition of the students’ agent-oriented modality type is on the necessity expression, while the second order of acquisition is on

the desire expressions, the third order of acquisition is on the possibility expressions, while the last order of acquisition of the agent-oriented modality type of the postgraduate students is on the obligation expression.The details of the measurement showing the orders of acquisition of the agent-oriented modality types can be seen in Table 2.

Table 2. Measurement The Acquisition of Agent-Oriented

Modality Types ∑App ∑LessApp ∑InApp ΣS RSc Isc FSc

Obligation 5 33 0 38 43 76 56.58

Necessity 2 1 0 3 5 6 83.33

Possibility 6 39 0 45 51 90 56.67

Desire 26 46 1 73 98 146 67.12

The finding shows that the final consideration in taking the conclusion of

acquisition orders of learners is from the final measurement. It also shows that the


(3)

number of sentences constructed is not of the most type of the agent-oriented modality acquired by the learners. It also shows that the level of appropriateness takes important role in deciding the acquisition orders.

It can be noted from the data that the inapproriate sentences almost were not constructed by the learners, but the number of the less-appropriate sentences were mounting due to the grammatical mistakes. This means that their English is moving forward because less-appropriate sentence means that the sentence constructed is still uderstandable remaining some grammatical mistakes in which the post-graduate are expected that before the discourse emerges on the surface structure, they must have got the choice in their mind on how to express certain idea based on certain situation as what has been noted by Anderson and Shirai in Ritchie and Bathia (1996: 530) that regarding the tense and aspect in language acquisition, tense locates a situation in relation to some other time, on the other hand, aspect is not concerned with relating a situation with some other time. Therefore, as what has been stated before, aspect is a lot wider analysis into the mind of the speakers compared to tense because its concern is more to the choice of words of the speaker before the discourse is uttered. Next to that, tense is not an easy thing to get for any L2 learners, particularly adult non-native speakers of L2, in this case, English because as what has been stated on chapter 1, adult learners of L2 is apparently thought limitedly up to the tense of English.

From the finding, it also can be noted that the learners are still on their interlanguage/ “halfway” between the first

language and the second language is the common term used referring to interlanguage. This situation is a normal situation of any learner who is in the process of getting the relative fluency of the target language, in this case, English. Van Patten and Benati (2010: 100) points out from Selinker’s idea that as originally conceived, the idea of interlanguage that the learners of the target language do not have and normally do not obtain native-like competence, but there is still an ideal expectation that they can achieve the approximation to target language, in this case, English considering modality.

Conclusion and Suggestion

From the finding, it can be concluded that the first acquisition order on the agent-oriented modality types acquired by the Postgraduate Program students is the necessity expressions (83.33%), while the second order of acquisition is on the desire expressions (67.12%). The third order of acquisition is on the possibility expressions (56.67%), and the last order of acquisition is on the obligation expressions (56.58%).

The number of expression emerged on students’ writing is not a guarantee on deciding the order of acquisition. Students created the desire expressions most compared to the other type of agent-oriented modality, but on the rank of acquisition order, this type of agent-oriented modality is on the third order. It can be seen that the number of the appropriate expressions is the main consideration affecting the final score of the measurement which will affect the percentage of the acquisition.


(4)

Muliani and Sofia Maurisa, The Acquisition Orders of Agent-Oriented Modality Types

327 Given the results and the discussion

of the study, it can be suggested that future researcher and advanced similar research take the findings of the research as the preliminary step of conducting the wider research with the greater number of subjects. Moreover, the finding of this research can be used as the preliminary step to carry another research not only on the acquisition of English, but it can be wider by considering other languages that the wider theoretical significance in language acquisition research can be achieved. In term of EFL curriculum, this research finding can be used as the way to contribute to the enhancement of the quality of the teaching and learning process of target language in which in expressing modality in English, the learners of English can use the modality properly particularly from the agent-oriented aspect. By means of that, the learners can build up their intuition of English and they can express their ideas based on the modality concern. Eventually, this research is critical for both teachers and learners, and also the researchers.

References

Benati, G, Alesandro. VAnPatten Bill.

KeyTerms in Second Language

Acquisition. 2010. New York:

Continuum International Publishing Group

Harlig, Bardovi, Kathleen. 2005. Proceedings at the 7th Generative Approaches to Second Language Acquisition Conference (GASLA 2004), ed. Laurent Dekydspotter, et al., 1-12, Somerville,MA: Cascadilla Proceeding Project.

Muliani. Sumarsono, Dedi. 2013. The Acquisition of English Modality by the English Department Students of IKIP Mataram. Journal of Languages

and Language Teaching. “ISSN:

2339-0810 Vol. 2” page 109-113. Nunan, D. 1996. Issues in Second Language

Acquisition Research: Examining Substance and Procedure (349- 374) in Bathia,K, Tej. Ritchie, C, William.

Handbook of Second Language

Acquisition. United State of America:


(5)

(6)

INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN MATARAM

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT

Jurnal Kependidikan

Jln Pemuda 59A Mataram-NTB 83125 Tlp/Fax (0370) 632072

---

Pedoman Penulisan

1. Naskah merupakan hasil penelitian atau kajian kepustakaan di bidang pendidikan, pengajaran dan pembelajaran,

2. Naskah merupakan tulisan asli penulis dan belum pernah dipublikasikan sebelumnya dalam jurnal ilmiah lain,

3. Naskah dapat ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris. 4. Penulisan naskah mengikuti ketentuan sebagai berikut:

Program MS Word

Font Times New Roman

Size 12

Spasi 1.0 Ukuran kertas A4

Margin kiri 3.17 cm Margin kanan 3.17 cm Margin atas 2.54 cm Margin bawah 2.54 cm Maksimum 20 halaman

5. Naskah ditulis dengan sistematika sebagai berikut: Judul (huruf biasa dan dicetak tebal), nama-nama penulis (tanpa gelar akademis), instansi penulis (program studi, jurusan, universitas), abstrak, kata kunci, pendahuluan (tanpa sub-judul), metode penelitian (tanpa sub-judul), hasil dan pembahasan, simpulan dan saran (tanpa sub-judul), dan daftar pustaka.

Judul secara ringkas dan jelas menggambarkan isi tulisan dan ditulis dalam huruf biasa (tidak dalam huruf kapital). Keterangan tulisan berupa hasil penelitian dari sumber dana tertentu dapat dibuat dalam bentuk catatan kaki. Fotokopi halaman pengesahan laporan penelitian tersebut harus dilampirkan pada draf artikel.

Nama-namapenulis ditulis lengkap tanpa gelar akademis.

Alamat instansi penulis ditulis lengkap berupa nama sekolah atau program studi, nama jurusan dan nama perguruan tinggi. Penulis yang tidak berafiliasi pada sekolah atau perguruan tinggi dapat menyertakan alamat surat elektronik.

Abstrak ditulis dalam 2 (dua) bahasa: Inggris dan Indonesia. Naskah berbahasa Inggris didahului abstrak berbahasa Indonesia. Naskah berbahasa Indonesia didahului abstrak berbahasa Inggris. Panjang abstrak tidak lebih dari 200 kata. Jika diperlukan, tim redaksi dapat menyediakan bantuan penerjemahan abstrak kedalam bahasa Inggris.

Kata kunci (key words) dalam bahasa sesuai bahasa yang dipergunakan dalam naskah tulisan dan berisi 3-5 kata yang benar-benar dipergunakan dalam naskah tulisan.

Daftar Pustaka ditulis dengan berpedoman pada Pedoman Penulisan Karya Ilmiah IKIP Mataram.