Analisis Kemampuan Problem Solving Mahas

(1)

Jurnal Kependidikan

Terbit empat kali setahun pada bulan Maret, Juni, September dan Desember. Berisi artikel konseptual hasil kajian analitis kritis dan atau artikel hasil penelitian di bidang kependidikan. (ISSN 1412-6087)

Pelindung dan Penasihat

Prof. Drs. H. Toho Cholik Mutohir. MA., Ph.D Rektor IKIP Mataram

Dr. Jamaluddin, M.Pd Wakil Rektor I IKIP Mataram Penanggung Jawab

Dr. Gunawan, M.Pd Ketua LPPM IKIP Mataram Ketua Penyunting

Any Fatmawati, M.Pd Sekretaris Penyunting

M. Arief Rizka, M.Pd Anggota

Ahmadi, S.Pd., M.Pkim

Ni Wayan Prami Wahyudiantari, M.Pd Rudi Hariawan, M.Pd

Mujriah, M.Pd

Penyunting Ahli (Mitra Bestari)

Prof. Dr. I Wayan Maba Univ. Mahasaraswati, Denpasar Prof. Dr. I Wayan Pastika Universitas Udayana, Denpasar Prof. Dr. Liliasari, M.Pd Universitas Pendidikan Indonesia Dr. H. A. Hari Witono, M.Pd Universitas Mataram

Pangesti Wiedarti, Ph.D Universitas Negeri Yogyakarta Dr. H.Wildan, M.Pd Universitas Mataram

Dr. Ahmad Hardjono, S.Si., M.Pd Universitas Mataram Dr. I Ketut Warta, MS IKIP Mataram

Dr. Jumailyah, MM IKIP Mataram

Pelaksana Ketatalaksanaan

M. Fuaddunnazmi, S.T., M.Pd L. Ashadi Cahyadi, SH Zainul Anwar, S.Pd Fathoroni, S.Pd Bendahara

Supratman, S.E Alamat Redaksi

Redaksi Jurnal Kependidikan LPPM IKIP Mataram

Jl.Pemuda No59 A Mataram NTB 83125 Tlp/Fax (0370)632082 E-mail: lppmikip.mtr@gmail.com

Jurnal Kependidikan diterbitkan sejak tanggal 2 Mei 2002 oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) IKIP Mataram. Sejak Mei 2009, Jurnal Kependidikan diterbitkan melalui kerjasama dengan Ikatan Sarjana Pendidikan IKIP Mataram.

Jurnal Kependidikan menerima naskah tulisan otentik (hasil karya penulis) dan original (belum pernah diterbitkan sebelumnya) dengan format sesuai dengan pedoman penulisan jurnal ini.

Tulisan yang dimuat pada jurnal kependidikan belum tentu merupakan cerminan sikap dan atau pendapat penyunting pelaksana, penyunting, dan penyunting ahli. Tanggung jawab terhadap isi dan atau akibat dari tulisan, tetap terletak pada penulis.


(2)

(3)

---

ISSN 1412-6087

Jurnal Kependidikan

Maret 2015, Volume 14 Nomor 1

Halaman 1 - 110

--- Daftar Isi

1. Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TPS dengan Multimedia terhadap Keterampilan Berpikir Kreatif dan Hasil Belajar IPA SD ……….

Any Fatmawati dan Ida Royani

1-9

2. Lesson Plan Berbasis Kerangka Kerja ELPSA untuk Membangun Pemahaman Konsep Penjumlahan dan Pengurangan Bilangan Bulat pada Siswa………..

Arifin

11-21

3. Pengaruh Penerapan Strategi Konflik Kognitif dalam Upaya Peningkatan Hasil Belajar Fisika Siswa Kelas VII SMP Negeri 16 Mataram ……….

Bq Azmi Sukroyanti

23-28

4. Media Pembelajaran Berbasis Multimedia untuk Penyandang Disabilitas Khusus Tunawicara (Kelas 1 Semester 1 Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Sekolah Luar Biasa Negeri Sumbawa Besar) ………...

Desak Nyoman Darmayanti, Ade Asih Susiari Tantri dan I Made Sentaya

29-36

5. Pendidikan dan Pelatihan (Diklat): Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia …

Herlina

37-44

6. Analisis Kemampuan Problem Solving Mahasiswa Calon Guru Matematika Berdasarkan Standar PISA ……….

Ita Chairun Nissa dan Puji Lestari

45-56

7. Pengaruh Pelatihan Air Alert Menggunakan Metode Latihan Interval terhadap Peningkatan Power Otot Tungkai ………..

Lalu Hulfian

57-62

8. Efektivitas Perangkat Penilaian Berbasis Kompetensi untuk Analis Kesehatan pada

Dunia Kerja ………

Rudy Hidana, Nuryani Y. Rustaman, I Nyoman P. Aryantha, dan Any Fitriani

63-71

9. Pengaruh Metode STAD dipadu Inkuiri Terbimbing terhadap Aktivitas dan Hasil Belajar Biologi Siswa ……….

Siti Nurhidayati, Siti Zubaidah, dan Sri Endah Indriwati

73-81

10. The Effect of Using 2d Media on Listening Achievement ………


(4)

11. Peningkatan Kompetensi dalam Memberikan Layanan Bimbingan Klasikal Bagi Guru Bimbingan Konseling SMA Binaan di Kota Mataram Tahun Pelajaran 2014/2015 Melalui Supervisi Akademik ...

Sugeng Prayoga

93-102

12. Motif Kekerasan pada Perempuan Suku Sasak (Studi Kasus Tentang Perceraian) ...

Sukarman, Made Piliani, dan M. Syarafuddin


(5)

© 2015 LPPM IKIP Mataram

Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TPS dengan Multimedia terhadap Keterampilan Berpikir Kreatif dan Hasil Belajar IPA SD

Any Fatmawati dan Ida Royani Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP Mataram

E-mail: any_bendega@yahoo.co.id

Abstract: This research aimed to determine the effect of cooperative learning model with multimedia TPS for creative thinking skills and learning outcomes IPA SD. This type of research is a quasi experimental The Posttest-Only Control Group Design. The research was conducted in SD 4 North Ampenan Mataram. Subjects in this study were all students of class V are given good treatment in the experimental class and the control class, while the object of this research is the creative thinking skills and the results of elementary students learn science. Analysis of survey data using independent samples t test (independent sample t-test) and Manova. Based on the survey results revealed that, 1) there is a difference between the value of creative thinking skills of students who follow the group cooperative learning using multimedia TPS with the group that followed the conventional learning, 2) there is a difference between the value of the learning outcomes of students who take TPS type of cooperative learning using multimedia the group that followed the conventional learning, and 3) there is the influence of cooperative learning model with multimedia TPS for creative thinking skills and learning outcomes of elementary school science students together

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe TPS dengan multimedia terhadap keterampilan berpikir kreatif dan hasil belajar IPA SD. Jenis penelitian adalah eksperimental semu dengan rancangan The Posttest-Only Control Group Design. Penelitian ini dilaksanakan di SD 4 Ampenan Utara kota Mataram. Subyek dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas V yang diberikan perlakuan baik pada kelas eksperimen maupun pada kelas kontrol, sedangkan obyek dalam penelitian ini adalah keterampilan berpikir kreatif dan hasil belajar IPA siswa SD. Analisis data hasil penelitian menggunakan uji t sampel bebas (independent sample t-test) dan Manova. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa, 1) terdapat perbedaan nilai keterampilan berpikir kreatif antara kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran kooperatif tipe TPS menggunakan multimedia dengan kelompok yang mengikuti pembelajaran konvensional, 2) terdapat perbedaan nilai hasil belajar antara kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran kooperatif tipe TPS menggunakan multimedia dengan kelompok yang mengikuti pembelajaran konvensional, dan 3) ada pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe TPS dengan multimedia terhadap keterampilan berpikir kreatif dan hasil belajar IPA siswa SD secara bersama-sama.

Kata Kunci: Pembelajaran kooperatif tipe TPS, Multimedia pembelajaran, keterampilan berpikir kreatif dan hasil belajar IPA SD

Pendahuluan

Menurut Widyastono (2012), kegiatan pembelajaran harus dirancang untuk memberikan pengalaman belajar yang melibatkaan proses mental dan fisik melalui interaksi antar peserta didik, peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya dalam pencapaian Kom-petensi Dasar. Pengalaman belajar dapat terwujud melalui penggunaan pendekatan pembelajaran yang bervariasi dan berpusat pada peserta didik. Pengalaman belajar

memuat kecakapan hidup yang perlu dikuasai peserta didik, yang meliputi kecakapan akademik, kecakapan pribadi, kecakapan sosial, dan kecakapan vokasional.

Think Pair Share (TPS) merupakan salah satu strategi dalam model pembelaja-ran koperatif yang telah diuji oleh peneliti. Fatmawati (2010), menemukan bahwa ada hubungan antara kreativitas dengan hasil belajar sains siswa SD. Hal tersebut disebabkan karena dalam kegiatan pem-belajaran, siswa difasilitasi untuk berpikir


(6)

Jurnal Kependidikan 14 (1): 1-9

2

sendiri mengenai jawaban soal yang diberikan guru (thinking), selanjutnya menceritakan hasil kerjanya kepada pasangannya (pairing), setelah itu mendis-kusikan hasilnya dengan beberapa pasangan dalam kelas tersebut (shering). Dalam kegiatan-kegiatan TPS terjadi komunikasi aktif antar siswa dalam kelas membahas soal latihan yang diberikan guru.

Menurut Faizah (2008), kunci dari belajar konstruktivis adalah pengalaman. Selanjutnya, IPA sebagai salah satu mata pelajaran wajib di semua jenjang pendidikan memberikan kesempatan kepada setiap guru IPA untuk bisa menuntun siswa memahami konsep-konsep alam melalui penomena yang terjadi dan menyajikannya dalam bentuk tuntutan bagi siswa untuk bekerja bersama dengan temannya, supaya tercipta suasana saling bantu-membantu untuk mencapai tujuan belajar. Dalam hal ini, harapannya adalah setiap siswa terlibat dalam proses pembelajaran, karena interaksi antara siswa dengan siswa dapat terjalin dengan baik.

Hasil penelitian Fatmawati (2010), menunjukkan bahwa hasil belajar siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif tipe TPS lebih baik dibandingkan dengan siswa yang mengikuti pembelajaran dengan cara konvensional. Hal ini menjadi bukti bahwa pembelajaran kooperatif cocok diterapkan di SD, sehingga untuk selanjutnya akan ditambahkan dengan penggunaan multimedia agar pemahaman siswa lebih meningkat. Penelitian ini mengkaji pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe TPS dengan multimedia terhadap keterampilan berpikir kreatif dan hasil belajar IPA SD.

Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah kuasi eksperimen, yaitu suatu penelitian yang masih memung-kinkan variabel-variabel selain variabel bebas ikut berpengaruh terhadap variabel terikat (Bawa, 1997). Menurut Soegiyono (2006), Quasi Eksperiment Design mem-punyai kelompok kontrol, tetapi tidak dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabel-variabel luar yang mempengaruhi pelaksanaan eksperimen. Desain penelitian yang digunakan adalah desain penelitian eksperimental semu (quasi) dengan ranca-ngan “The Posttest-Only Control Group

Design”. Menurut Fraenkel (1993), ranca-ngan penelitian Post-test Only Control Group Design merupakan rancangan yang hanya memperhitungkan skor post-tes saja yang dilakukan pada akhir penelitian atau dengan kata lain tanpa memperhitungkan skor pretes.

Penelitian ini dilaksanakan di SDN 4 Ampenan Utara yang terletak di Lingkungan Pelembak Ampenan Utara. Subyek dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas V yang diberikan perlakuan baik pada kelas eksperimen maupun pada kelas kontrol, sedangkan obyek dalam penelitian ini adalah keterampilan berpikir kreatif dan hasil belajar IPA siswa SD.

Pengumpulan data keterampilan berpikir kreatif dan hasil belajar siswa menggunakan instrumen tes. Data keteram-pilan berpikir kreatif dikumpulkan meng-gunakan soal uraian selama proses pembelajaran berlangsung, sedangkan data hasil belajar dikumpulkan menggunakan tes hasil belajar berupa soal pilihan ganda yang diberikan pada pertemuan khusus setelah


(7)

Any Fatmawati & Ida Royani, Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif

3 semua proses pembelajaran selesai

dilaksanakan.

Analisis data hasil penelitian menggunakan uji t sampel bebas dan

multivariat analysis of varians (MANOVA). Sebelum uji MANOVA, dilakukan uji prasyarat normalitas dan homogenitas data. Uji normalitas data menggunakan metode Kolmogorov-Smirnov, sedangkan untuk uji homogenitas data menggunakan metode Levene’s Test. Analisis data hasil penelitian dibantu menggunakan perangkat lunak SPSS 16 for windows.

Hasil Penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah perbedaan keterampilan berpikir kreatif dan hasil belajar siswa sebagai hasil perlakuan antara penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TPS menggunakan multimedia dengan model pembelajaran konvensional. Hasil penelitian di analisis dengan menggunakan MANOVA. Dengan demikian, data penelitian dikelompokkan menjadi : (1) data keterampilan berpikir kreatif kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional (KBKK); (2) data keterampilan berpikir kreatif kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif tipe TPS menggunakan multimedia (KBKM); (3) data hasil belajar siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional (HBK); dan (4) data hasil belajar siswa yang mengikuti model pembelajar kooperatif tipe TPS menggunakan multimedia (HBM).

Penghitungan ukuran sentral (rata-rata, modus, median) dan ukuran penye-baran data (standar deviasi) memberikan hasil seperti tercantum dalam Tabel berikut.

Tabel 1. Rekapitulasi Deskripsi Statistik

Nilai Siswa Statistik/

Variabel

KBKK KBKM HBK HBM

Mean 79,3 74,3 71,3 54,0

Median 80,0 70,0 73,0 57,0

Mode 85,0 70,0 1,2 57,0

Std. Deviasi 9,9 9,9 157,0 1,3 Variance 99,0 97,9 51,0 182,0 Minimum 60,0 50,0 41,0 30,0 Maksimum 95,0 90,0 92,0 86,0 Keterangan:

KBKK : Data keterampilan berpikir kreatif kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional KBKM : Data keterampilan berpikir kreatif

kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif tipe TPS menggunakan multimedia HBK : Data hasil belajar siswa yang

mengikuti model pembelajaran konvensional

HBM : Data hasil belajar siswa yang mengikuti model pembelajar kooperatif tipe TPS menggunakan multimedia

Untuk mengetahui normalitas data digunakan rumus Kolmogorov-Smirnov, dengan kriteria jika p>0,05 data berdistribusi normal, sedangkan jika p<0,05 data tidak berdistribusi normal. Perhitungan dilakukan dengan bantuan program komputer SPSS 16.0 for Windows. Untuk mengetahui data dari sampel berdistribusi normal atau tidak, dapat diketahui dari signifikansi hasil uji normalitas sebaran data dengan memperhatikan bilangan pada kolom signifikansi (Sig). Jika signifikansi yang

diperoleh ≥0,05 maka sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal, demikian sebaliknya jika signifikansi<0,05 maka sampel bukan berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Hasil uji normalitas ditampilkan pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa semua data variabel penelitian berdistribusi normal.


(8)

Jurnal Kependidikan 14 (1): 1-9

4

Tabel 2. Uji Normalitas Sebaran Data

Variabel Kolmogorov-Smirnov Keterangan Statistik df Sig.

KBKK 0,075 28 0,200 Distribusi normal KBKM 0,123 29 0,111 Distribusi

normal BHK 0,105 28 0,200 Distribusi

normal HBM 0,080 29 0,200 Distribusi

normal Pengujian homogenitas varians dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji Levene (Levene’s Test of

Equality of Error Variance) dengan bantuan

SPSS 16.0 for Windows. Hasil uji homogenitas varians disajikan pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Hasil Uji Homogenitas Varians Sampel

Levene Statistik

df1 df2 Sig. PK Based on

Mean 6.580 1 56 .012

Based on

Median 5.757 1 56 .019 Based on

Median and with adjusted df

5.757 1 66.422 .019

Based on trimmed mean

6.264 1 56 .014 KM Based on

Mean 2.281 1 56 .135

Based on

Median 3.091 1 56 .082 Based on

Median and with adjusted df

3.091 1 85.867 .082

Based on

trimmed 2.738 1 56 .102

mean

Berdasarkan Tabel 3, nilai signifi-kansi untuk pemahaman konsep (0,012) lebih kecil dari 0,05, atau 0,012 < 0,05. Ini berarti data memiliki varians yang tidak homogen. Sedangkan untuk keterampilan mengajar nilai signifikansi (0,135) lebih besar dari 0,05, atau 0,135 > 0,05. Ini berarti data memiliki varians yang homogen. Berdasarkan hasil uji persyaratan uji hipotesis yaitu uji normalitas dan uji homogenitas, dapat disimpulkan bahwa semua data berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan data dari semua kelompok mempunyai varians populasi yang homogen, sehingga uji hipotesis dengan menggunakan MANOVA dapat dilakukan.

Uji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan metode statistik dengan formula MANOVA. MANOVA digunakan bila dalam analisis data ingin mengetahui ada atau tidak perbedaan dari variabel bebas, sedangkan masing-masing variabel bebasnya dibagi dalam beberapa kelompok. Dalam penelitian ini variabel bebasnya adalah model pembelajaran yang dibagi menjadi model pembelajaran kooperatif tipe TPS menggunakan multimedia dan pembelajaran konvensional. Sedangkan variable terikatnya ada dua yaitu keterampilan berpikir kreatif dan hasil belajar IPA siswa SD. Dalam penelitian ini analisis MANOVA dibantu menggunakan program komputer SPSS 16.0 for Windows. Hasil analisis MANOVA ditampilkan pada Tabel 4 berikut.


(9)

Any Fatmawati & Ida Royani, Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif

5

Tabel 4. Multivariate test

Effect Value F Hypothesis df Error df Sig.

Intercept Pillai's Trace .995 7.760E3a 2.000 85.000 .000 Wilks' Lambda .005 7.760E3a 2.000 85.000 .000 Hotelling's Trace 182.582 7.760E3a 2.000 85.000 .000 Roy's Largest Root 182.582 7.760E3a 2.000 85.000 .000 MODEL Pillai's Trace .704 1.010E2a 2.000 85.000 .000 Wilks' Lambda .296 1.010E2a 2.000 85.000 .000 Hotelling's Trace 2.376 1.010E2a 2.000 85.000 .000 Roy's Largest Root 2.376 1.010E2a 2.000 85.000 .000 a. Exact statistic

b. Computed using alpha = .05 c. Design: Intercept + MODEL

Berdasarkan hasil uji multivariat seperti yang disajikan pada Tabel 4 dapat ditarik interpretasi sebagai berikut, yaitu dari sumber pengaruh model pembelajaran diperoleh nilai-nilai statistik Pillai’s Trace, Wilk’s Lambda, Hotelling’s Trace, dan Roy’s Largest Root masing-masing dengan angka signifikansi lebih kecil dari 0,05. Hasil ini dijadikan dasar dalam mengambil keputusan. Adapun keputusan yang dapat

diambil adalah hipotesis nol H0 (3) ditolak, sehingga ada pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe TPS dengan multimedia terhadap keterampilan berpikir kreatif dan hasil belajar secara bersama-sama. Jadi, model pembelajaran kooperatif tipe TPS dengan multimedia memberikan dampak berbeda serempak pada keterampilan berpikir kreatif dan hasil belajar siswa SD.

Tabel 5. Hasil Manova untuk Variabel Keterampilan Berpikir Kreatif

Source Dependent variable Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model HB 175361.367a 1 175361.367 50.648 .000

KBK 5487.342c 1 5487.342 204.249 .000

Intercept HB 2.195E7 2.195E7 6.338E3 .000

KBK 413211.478 413211.478 1.538E4 .000

MODEL HB 175361.367 1 175361.367 50.648 .000

KBK 5487.342 1 5487.342 204.249 .000

Error HB 297760.224 55 3462.328

KBK 2310.476 56 26.866

Total HB 2.264E7 57

KBK 426214.000 57

Corrected Total HB 473121.591 56

KBK 7797.818 56

Berdasarkan Tabel 5 untuk variabel keterampilan berpikir kreatif (KBK) dapat ditarik interpretasi-interpretasi sebagai

berikut. Pertama, dari sumber pengaruh variabel model-model pembelajaran (MP) terhadap keterampilan berpikir kreatif


(10)

Jurnal Kependidikan 14 (1): 1-9

6

(KBK), tampak nilai F = 204,249 dengan angka signifikansi yang lebih kecil dari batas penolakan hipotesis 0,05, yaitu 0,000 < 0,05 sehingga dapat diambil keputusan untuk H0 (1) ditolak, sehingga terdapat perbedaan nilai keterampilan berpikir kreaif antara kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran kooperatif tipe TPS meng-gunakan multimedia dengan kelompok yang mengikuti pembelajaran konvensional. Jadi, terdapat pengaruh yang signifikan (p<0,05) variabel model pembelajaran terhadap variabel keterampilan berpikir kreatif.

Kedua, dari sumber pengaruh variabel model-model pembelajaran (MP) terhadap hasil belajar (HB), tampak nilai F = 50,648 dengan angka signifikansi yang lebih kecil dari batas penolakan hipotesis 0,05, yaitu 0,000 < 0,05 sehingga dapat diambil keputusan untuk H0(2) ditolak sebagai terdapat perbedaan nilai hasil belajar antara kelompok siswa yang mengikuti pembela-jaran kooperatif tipe TPS menggunakan multimedia dengan kelompok yang mengikuti pembelajaran konvensional. Jadi, terdapat pengaruh yang signifikan (p<0,05) variabel model pembelajaran terhadap variabel hasil belajar.

Pembahasan

Penelitian ini dilaksanakan di kelas V Sekolah Dasar (SD), pada materi rangkaian listrik, sub isolator dan konduktor serta rangkaian listrik seri dan paralel. Untuk mempermudah pemahaman siswa, peneliti menggunakan alat bantu berupa multimedia. Adapun multimedia yang digunakan adalah media alat peraga berupa alat rangkaian listrik sederhana dan audiuvisual yang ditampilkan melalui LCD. Berdasarkan hasil

observasi sebelumnya, di sekolah dasar masih jarang menggunakan multimedia dalam melaksanakan pembelajaran IPA. Padahal salah satu guru SD mengungkapkan bahwa beberapa media sudah disediakan disekolah, hanya saja jarang digunakan oleh guru dalam melaksanakan pembelajaran. Hal ini disebabkan karena beberapa alasan, yang pertama, karena beberapa guru SD masih belum bisa menggunakan alat tersebut dengan baik karena masih gagap teknologi, alasan kedua, karena siswa masih sulit diatur dalam kelas sehingga jika mengunakan media tersebut perlu pendamping, dan alasan ketiga adalah karena guru masih terbiasa dengan cara lama yaitu mengajar menggunakan ceramah, mencata dan mem-beri latihan. Oleh karena itu peneliti sangat tertarik untuk memberikan nuansa baru dalam pembelajaran yaitu melakukan pem-belajaran kooperatif tipe TPS menggunakan multimedia terhadap keterampilan berpikir kreatif dan hasil belajar IPA siswa SD.

Berdasarkan hasil penelitian menun-jukkan bahwa terdapat pengaruh model pembelajaran koperatif tipe TPS dengan bantuan multimedia terhadap keterampilan berpikir kreatif siswa SD. Untuk mendapat-kan hasil tes keterampilan berpikir kreatif siswa, dilakukan dalam proses pembelajaran dengan memberikan tes setelah proses pembelajaran yaitu tes seputar materi yang diajarkan dan dilakukan pada setiap kali pertemuan yaitu selama dua kali. Dalam melaksanakan tes tersebut, diberikan kesempatan kepada siswa untuk menjawab tes yang menuntut siswa untuk berpikir kreatif. Hasil analisis data menunjukkan bahwa hasil tes keterampilan berpikir kreatif siswa SD pada kelas eksperimen lebih baik


(11)

Any Fatmawati & Ida Royani, Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif

7 daripada kelas kontrol, sehingga pada

analisis data menunjukkan bahwa ada pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe TPS dengan multimedia terhadap keterampilan berpikir kreatif siswa SD.

Untuk hipotesis kedua yaitu terdapat pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe TPS dengan menggunakan multimedia terhadap hasil belajar siswa SD. Untuk menjawab hipotesis kedua ini, peneliti mengumpulkan data hasil belajar siswa SD setelah proses pembelajaran berlangsung. Berdasarkan hasil pengumpulan data menunjukkan bahwa hasil belajar pada kelas eksperimen lebihtinggi dibandingkan pada kelas kontrol. Setelah analisis data dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe TPS dengan menggunakan multimedia terhadap hasil belajar IPA siswa SD. Hal tersebut, dianggap merupakan akibat dari model pembelajaran yang digunakan yaitu model pembelajaran kooperatif dan menambahkan media di dalam melaksanakan model tersebut, yaitu multi media berupa alat peraga rangkaian listrik sederhana dan media audiovisual yang ditampilkan melalui layar LCD. Media rangkaian listrik seder-hana dibuat atau di rangkai oleh peneliti berupa susunan baterai, kawat dan lampu. Pada praktiknya siswa diajak menggolong-kan benda-benda yang termasuk isolator dan benda-benda yang termasuk konduktor. Isolator adalah benda-benda yang tidak dapat menghantarkan listrik dengan baik sdangkan konduktor adalah benda-benda yang dapat menghantarkan listrik dengan baik. Contoh isolator adalah plastik, kayu, batu, kaca dll. Sedangkan konduktor contohnya adalah, kawat, seng, uang logam

dll. Selain menggunakan alat peraga, peneliti juga menggunakan media audio-visual dan ditampilkan menggunakan LCD. Media audiovisual diambil dari internet melalui situs www.youtube.com. Sedangkan LCD adalah milik sekolah sendiri, sehingga disini terjadi kolaborasi tiga media sekaligus, hal tersebut menuntun siswa untu mengingat dan memahi penjalesan guru. Dalam penelitian ini, peneliti dibantu oleh asisten yaitu Muniroh, S.Pd dalam mengatur siswa dan mempersiapkan peralatan. Hal ini dilakukan karena siswa SD sangat aktif sehingga butuh tenaga lain untuk mengatur mereka sehingga proses pembelajaran bisa berjalan dengan baik, sesuai dengan harapan dan skenario pembelajaran.

Untuk hipotesis ketiga, yaitu tidak ada pengaruh model pembelajaran koopera-tif tipe TPS dengan multimedia terhadap keterampilan berpikir kreatif dan hasil belajar IPA siswa SD secara bersama-sama. Dari hasil analisis data menggunakan MANOVA dengan bantuan SPSS 16.00 for Windows menunjukkan bahwa hipotesis nihil ditolak sehingga disimpulkan bahwa ada pengaruh model pembelajaran koopera-tif tipe TPS dengan multimedia terhadap keterampilan berpikir kreatif dan hasil belajar IPA siswa SD secara bersama-sama. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe TPS dan penggunaan multimedia dalam proses pembelajaran dalam materi rangkaian listrik sub isolator dan konduktor serta rangkaian listrik seri dan parallel sangat baik dan cocok untuk diterapkan dan perlu untuk dilanjutkan sehingga direkomendasikan bagi guru-guru SD untuk dapat menggunakan-nya. Diharapka guru menggunakan berbagai


(12)

Jurnal Kependidikan 14 (1): 1-9

8

media yang dapat membatu pemahaman siswa dengan baik, karena media tersebut tidak sulit didapatkan karena sudah ada di sediakan di sekolah, tinggal ada atau tidaknya itikad baik dari guru untuk memaksimalkan pemanfaatannya sehingga dapat membantu siswa lebih paham akan materi yang diajarkan.

Fatmawati (2011) berpendapat dalam hasil penelitiannya yang berjudul Im-plementasi Siklus ACE Melalui Model Pembelajaran Kooperatif tipe Think Pair Share dalam Meningkatkan Kualitas Per-kuliahan Pengembangan Program Pembe-lajaran Biologi, bahwa terdapat peran guru dan media dalam proses pembelajaran sehingga sebagai pendidik kita harus memperhatikan hal tersebut dan meng-gunakan model inovatif dan mengmeng-gunakan media-media dalam pembelajaran guna mencapai tujuan yang ditentukan. Selain itu dalam penelitiannya yang lain Fatmawati (2012) juga menemukan dalam hasil penelitiannya bahwa perangkat pembelaja-ran juga memiliki pepembelaja-ran yang penting dalam menentukan keberhasilan proses pem-belajaran.

Simpulan

Berdasarkan analisis data dan pembeahasan diatas, maka dapat di simpulkan bahwa:

1. Terdapat pengaruh yang signifikan (p<0,05) variabel model pembelaja-ran terhadap variabel keterampilan berpikir kreatif.

2. Terdapat pengaruh yang signifikan (p<0,05) variabel model pembelaja-ran terhadap variabel hasil belajar. 3. Model pembelajaran kooperatif tipe

TPS dengan multimedia memberikan

dampak berbeda serempak pada keterampilan berpikir kreatif dan hasil belajar siswa SD.

Daftar Pustaka

Bawa, Wayan. 1997. Metodologi Penelitian. Jurusan Pendidikan Biologi IKIP Negeri Singaraja.

Fatmawati, Any. 2010. Pengaruh Model Pembelajaran Koperatif Tipe Think Pair Share dan Kreativitas Terhadap Hasil Belajar Sains Siswa Kelas V SD Gugus V Ampenan Kota Mataram. Tesis. Undiksha Singaraja Fatmawati, Any. 2011. Implementasi Siklus

ACE Melalui Model Pembelajaran Kooperatif tipe Think Pair Share dalam Meningkatkan Kualitas Pe-rkuliahan Pengembangan Program Pembelajaran Biologi. IKIP Mataram.

Fatmawati, A dan Nufida, BA. 2012.

Pengembangan Perangkat Pembe-lajaran Koperatif Tipe TPS Ter-hadap Keterampilan Berpikir Kreatif dan Hasil Belajar Sains Siswa SD di Kota Mataram. IKIP Mataram. Faizah, D. U. 2008. Keindahan Belajar

Dalam Perspektif Pedagogi. Jakarta. Cindy Grafika.

Fraenkel, J, R, dan Wallen, N, E. 1993. How To Design and Evaluate Research in Education Second Edition. Singapore: Mc Graw-Hill Book. Sugiyono. 2006. Statistik untuk Penelitian.

Bandung. Alfa Beta.

Widyastono, H. 2012. Kemampuan Guru Dalam Menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jurnal


(13)

Any Fatmawati & Ida Royani, Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif

9 Pendidikan Dan Kebudayaan.

Terakreditasi Vol. 18 No. 3. ISSN 0215 - 2673. Balitbang Kemendikbud. Jakarta.


(14)

(15)

© 2015 LPPM IKIP Mataram

Lesson Plan Berbasis Kerangka Kerja ELPSA untuk Membangun Pemahaman Konsep Penjumlahan dan Pengurangan Bilangan Bulat pada Siswa

Arifin

Widyaiswara Madya LPMP NTB Email: arifin_efo@yahoo.com

Abstract: Cultivation of addition and subtraction of integers that conducted by math teacher at SMP used abstract way. Consequently, not all students understood about that concept. Student’s understandable occured because teacher only gave information about how to operate addition and substraction without showing the process. This way was not guarantee that could be improving students understanding. In order to cultivate students understanding, it needed to arrange a learning framework that given student’s chance in manipulating object. Using lesson plan gave students chance to construct experiences became skills. The learning framework is one of ELPSA framework that adapted from constructive learning theory and social. ELPSA is acronym of Experience, Language, Picture, Symbolic, Aplication. Liebeck (1984) in Tom Lowrie & Sitti Maesuri Patahuddin said that making math concept has understanding through ELPSA framework. Steps of conducting

began with Experience (from student’s experience); Language (language that describing experience), Picture (picture of experience); Symbols (symbol of general experience); and Application (describe of getting experience that implemented another situations). Student’s framework would: (1) able to use language or explain something that have been conducted, (2) able to give example and not adopt, (3) able to serve concept in mathematics representative form, (4) able to use, utilize, and choose specific procedure, and (5) able to apply concept or algorithm in problem solving.

Abstrak: Penanaman konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat yang dilakukan guru matematika di SMP selalu diberikan dengan cara abstrak. Akibatnya tidak semua siswa memahami dengan baik konsep tersebut. Ketidakpahaman siswa terjadi karena guru hanya menginformasikan cara melakukan operasi penjumlahan dan pengurangan tanpa menunjukkan proses. Cara demikian tidak menjamin dapat meningkatkan pemahaman siswa. Oleh sebab itu, dalam usaha menanamkan pemahaman siswa perlu dirancang pembelajaran yang memberi kesempatan siswa memanipulasi obyek. Dengan kerangka pembelajaran demikian siswa akan memperoleh kesempatan untuk mengkonstruk pengalaman sehingga menjadi pengetahuannya. Kerangka pembelajaran tersebut salah satunya adalah kerangka kerja ELPSA yang diadaptasi dari teori belajar konstruktivis dan sifatnya sosial. ELPSA merupakan akronim dari Experience, Language, Picture, Symbolic, Aplication. Liebeck (1984) dalam Tom Lowrie & Sitti Maesuri Patahuddin mengatakan bahwa pembentukan konsep matematika yang mengarah kepada pemahaman dapat dilakukan melalui kerangka kerja ELPSA. Tahapan pelaksanaan dilakukan dengan urutan Experience (dimulai dari pengalaman siswa); Language (bahasa yang mendeskripsikan pengalaman), Picture (gambar yang menyajikan pengalaman); Symbols (Simbol tertulis yang menyatakan pengalaman secara umum atau bersifat general); dan diperluas dengan tahapan Aplication

(yang menggambarkan bagaimana pengetahuan yang diperoleh dapat diterapkan dalam berbagai situasi). Dengan kerangka kerja tersebut siswa akan: (1) mampu menggunakan bahasa atau menjelaskan kembali sesuatu yang telah dilakukannya, (2) mampu memberi contoh dan bukan di contoh, (3) mampu menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis, (4) mampu menggunakan, memanfaatkan, dan memilih prosedur tertentu, dan (5) mampu mengaplikasikan konsep atau algoritma pada pemecahan masalah. Kata kunci: ELPSA, pemahaman, penjumlahan dan pengurangan .

Pendahuluan

Sekolah Menengah Pertama (SMP) merupakan tempat pertama siswa berpikir secara formal dalam mempelajari konsep-konsep matematika. Oleh karena itu, guru yang mengajar matematika di SMP harusnya

mampu membelajarkan konsep matematika dengan benar dan mudah difahami siswa. Dengan pembelajaran yang menyenangkan akan membuat aktivitas siswa meningkat dan motivasi belajar menjadi tinggi. Namun demikian, bagi siswa kelas VII SMP


(16)

Jurnal Kependidikan 14 (1): 11-21

12

walaupun berada pada tahap berpikir formal, tetapi mereka baru beralih dari Sekolah Dasar (SD) dimana tahap berpikir siswa berada pada tahap konkret (Jean Piaget dalam Russefendi, 1996:223). Oleh karena itu, pembelajaran matematika pada tahap awal di SMP tidak selamanya dilakukan secara formal, tetapi sedapat mungkin dilakukan dengan bantuan material manipulatif.

Pembelajaran matematika yang dilakukan guru di SMP sering disajikan berupa sederetan langkah-langkah atau prosedur. Siswa diminta menghafalkan prosedur tersebut kemudian dilatih menggunakannya untuk menyelesaikan soal. Dengan cara demikian siswa hanya dapat mengerjakan soal-soal yang serupa dengan yang dilatihkan. Tobin dan Jokubowsky (dalam Etcberger dan Shaw, 1992) menyatakan “pengalaman di kelas meng-indikasikan bahwa penalaran dan pema-haman yang mengandalkan penggunaan algoritma masih belum cukup dan masih menghawatirkan kemampuan siswa dalam menguasai pengerjaan hitung”. Sering guru percaya bahwa siswa telah memahami suatu konsep tertentu apabila dapat mengerjakan soal rutin, padahal kenyataan mereka dapat mengerjakan soal hanya karena ingat prosedur pengerjaan yang dilatihkan di kelas. Dengan demikian, kemampuan mengerjakan soal bagi seorang siswa tidak menjamin bahwa mereka telah menguasai konsep dengan baik. Untuk itu, pem-belajaran matematika di SMP hendaknya tidak dilakukan secara abstrak, tetapi sedapat mungkin pembelajaran dimulai dari konkret ke abstrak, dari hal-hal yang mudah ke sulit, atau dari sederhana ke komplek.

Piaget (dalam Ruseffendi 1996: 223) berpendapat bahwa “siswa yang tahap berpikirnya ada pada tahap operasi konkret yaitu tahapan umur pada usia SD atau SMP awal (kelas VII) tidak akan dapat memahami operasi (logis) dalam konsep matematika tanpa dibantu oleh manipulasi benda-benda konkret”. Disamping itu guru harus memperhatikan hirarki pembelajaran yang menekankan prasyarat-prasyarat tertentu untuk memahami konsep-konsep tertentu.

Berdasarkan uraian di atas, penulis mencoba mengamati model pembelajaran yang dilakukan 5 orang guru SMP di kota Mataram dan kabupaten Lombok Barat yang sedang mengajarkan konsep pengurangan bilangan bulat dan penjumlahan pecahan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa guru dalam menyajikan konsep pengurangan bilangan bulat hanya mengenalkan dengan cara menginformasikan bahwa mengurang-kan dua bilangan bulat sama artinya dengan menjumlahkan dengan lawannya tanpa menunjukkan mengapa demikian dan tanpa membantunya dengan peragaan atau pola-pola tertentu. Demikian juga halnya dengan konsep penjumlahan pecahan. Guru hanya mengenalkannya dengan cara menyamakan penyebut pecahan dengan menggunakan Kelipatan Persekutuan Terkecil (KPK) tanpa menunjukkan dengan peragaan. Berdasarkan pengamatan tersebut penulis menelusuri aktivitas belajar siswa baik pada kegiatan kelompok maupun kegiatan individu. Ternyata banyak siswa yang tidak memperhatikan proses pembelajaran, jarang mengajukan pertanyaan baik pada guru maupun sesama siswa, malu-malu menjawab pertanyaan guru, pada kegiatan kelompok siswa hanya menyelesaikan soal (masalah)


(17)

Arifin, Lesson Plan Berbasis Kerangka Kerja ELPSA

13 sendiri-sendiri, dan siswa kurang mampu

mengkomunikasikan pengetahuan yang diperoleh kepada teman-temannya yang lain. Kenyataan di atas mengindikasikan bahwa model, strategi, pendekatan dan metode yang digunakan guru dalam pembelajaran belum mampu mengkondisi-kan siswa untuk terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis mencoba mengenalkan kerangka kerja ELPSA yang dilandasi teori belajar konstruktivis yang memberi kesem-patan guru berinovasi dalam merancang dan menerapkan pembelajaran yang membuka kesempatan siswa untuk terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran metematika.

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan maka pertanyaan yang diaju-kan dalam tulisan ini adalah bagaimana skenario rancangan pembelajaran dengan kerangka kerja ELPSA untuk membangun pemahaman siswa dalam pembelajaran penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat di SMP/MTs?. Tujuan yang diharap-kan agar guru matematikka dapat merancang pembelajaran yang menggunakan kerangka kerja ELPSA dan menerapkannya sebagai alternatif pembelajaran matematika dalam membangun pemahaman konsep, atau prinsip matematika pada siswa SMP/MTs.

Telah diuraikan sebelumnya, bahwa pembelajaran matematika (penjumlahan dan pengurangan) yang dilakukan guru matematika SMP sering disajikan berupa sederetan langkah-langkah atau prosedur. Penulis berasumsi bahwa hal ini terjadi karena rancangan pembelajaran yang dikem-bangkan guru tidak memberi kesempatan siswa untuk terjadinya pembelajaran yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, menan-tang dan memotivasi seperti yang diamanat-kan oleh Standar Proses (Kemendikbud, 2013). Akibatnya prestasi belajar siswa di beberapa SMP/MTs masih banyak yang belum memenuhi kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang ditetapkan sekolah khususnya pada materi/topik penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat.

Sebagai contoh, berikut ini disajikan hasil evaluasi yang dilakukan team peneliti Universitas Canbera Australia kerjasama dengan IKIP Mataram, LPMP NTB, Dikpora NTB dan Kanwil Kemenag NTB tentang pemahaman siswa pada penjumla-han dan pengurangan bilangan bulat terhadap 14 orang siswa di salah satu SMP di kota Mataram. Adapun jawaban siswa tersebut seperti berikut.

Integer answer S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8 S9 S10 S11 S12 S13 S14

3+4 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 5 7 7 7

(-4)+3 -1 -7 -7 -7 8 -7 -7 -7 -1 -7 7 -1 -1 -1 -1

-3+4 1 -7 -7 -7 6 -7 -7 -7 -1 1 -7 -1 1 1

4-(-3) 7 -1 7 7 1 -1 -1 1 -1 1 -2 -1 7 -1 1

3-4 -1 1 -1 -1 1 -1 1 1 -1 -1 1 0 -1 1 -1

3-(-4) 7 -1 -1 -1 1 1 -1 1 -1 -7 7 7 -1 -1

4-3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

3+(-4) -1 -7 -7 7 0 -7 -7 1 1 -1 -1 -7 -1 -1

Keterangan: warna hijau : jawaban benar warna kuning : jawaban salah


(18)

Jurnal Kependidikan 14 (1): 11-21

14

Dari jawaban yang diberikan, hanya ada sekitar 14 % siswa yang mampu menyele-saikan penjumlahan dan pengurangan bila-ngan bulat debila-ngan nilai baik. Pemahaman tentang konsep penjumlahan dan pengu-rangan juga sangat lemah. Siswa tidak mampu membedakan tanda bilangan dengan operasi bilangan. Disamping itu kemampuan menerapkan definisi dan sifat-sifat operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat sangat lemah dan sebagian besar siswa beranggapan bahwa penjumlahan bilangan positif dengan bilangan negatif adalah negatif atau sebaliknya.

Dari kenyataan yang ada, penulis berasumsi bahwa pembelajaran yang dilakukan guru hanya dengan informasi dan disajikan berupa sederetan langkah-langkah atau prosedur, kemudian siswa diminta menghafalkan prosedur tersebut serta dilatih menggunakannya untuk menyelesaikan soal. Disamping itu, guru kurang memberi kesempatan siswa untuk memanipulasi material-material manipulatif atau visuali-sasi gambar-gambar, mencermati pola-pola penjumlahan atau pengurangan sehingga penekanan pemahaman siswa pada definisi atau sifat-sifat penjumlahan kurang diprioritaskan. Ada kemungkinan, hal ini terjadi karena skenario pembelajaran yang dirancang guru kurang memberi kesempatan siswa untuk terjadinya interaksi, kreatifitas dan motivasi pada siswa. Untuk itu penulis mencoba menguraikan kerangka kerja ELPSA untuk membantu guru matematika merancang pembelajaran yang dapat membangun pemahaman siswa dalam rangka meningkatkan prestasi belajarnya.

Pembahasan

Kerangka kerja ELPSA dikembang-kan oleh Liebeck, P (1984) yang diilhami dari teori-teori belajar konstruktivis dan sifatnya sosial. Tom Lowre & Sitti Maesuri (2015:3-4) menjelaskan bahwa kerangka kerja ELPSA adalah pendekatan peranca-ngan pembelajaran yang sifatnya bersiklus. Namun demikian, penting untuk diingat bahwa ELPSA bukan proses yang linear, karena pembelajaran adalah proses kompleks yang tidak dapat diprediksi sepenuhnya dan tidak terjadi dalam urutan linear. Dengan demikian, elemen-elemen dari model ELPSA dapat dilihat sebagai elemen-elemen yang saling berhubungan dan melengkapi. Rancangan ini menyajikan ide-ide matematika melalui pengalaman-pengalaman hidup, percakapan matematika, rangsangan visual, notasi simbol, dan aplikasi pengetahuan. Dalam rancangan pembelajaran ini, guru diharapkan menge-nalkan konsep memulai dari apa yang diketahui siswa dengan urutan rancangan seperti berikut.

Komponen pertama dari proses perancangan pembelajaran adalah pengala-man. Pengalaman mempertimbangkan bagaimana para siswa menggunakan matematika selama ini, konsep apa saja yang mereka ketahui, bagaimana mereka dapat memperoleh informasi, dan bagaimana matematika itu telah dialami oleh siswa baik di dalam maupun di luar kelas. Komponen pengalaman juga melibatkan asesmen karena guru perlu mengetahui apa yang telah diketahui oleh siswa dan informasi baru apa yang perlu dikenalkan guna membantu pemahaman siswa tersebut. Oleh karena itu, komponen pertama dari ELPSA dapat


(19)

Arifin, Lesson Plan Berbasis Kerangka Kerja ELPSA

15 dikenalkan melalui curah pendapat, diskusi

secara umum, menggunakan visual untuk memancing pemikiran, penyajian cerita oleh guru ataupun siswa. Sebagai konsekuen-sinya, pengalaman juga berhubungan dengan pemberian umpan balik dan pemberian latihan soal/reviu. Hal ini diperkuat oleh Flavel (dalam Resnick 1981:41) yang menyatakan bahwa dalam hirarki belajar “ketrampilan yang diperoleh pada permulaan belajar dapat mempengaruhi proses belajar selanjutnya”. Demikian juga Bodner (dalam Kemendikbud 2012:7) menyatakan: “Piaget argued that knowledge is constructed as the learner strives to organize his or her experiences in terms of preexisting mental structure or schema.

Artinya, Piaget berargumentasi bahwa pengetahuan terbangun disaat siswa beru-saha untuk mengorganisasikan pengalaman-nya sesuai dengan struktur kognitif yang dimilikinya.

Dalam rancangan pembelajaran tentang pengenalan konsep bilangan bulat misalnya, guru dapat mengawalinya dengan curah pendapat tentang konsep bilangan bulat positif dan bilangan bulat negatif dengan siswa. Misalnya mengajukan pertanyaan “Ada di antara kalian yang dapat menunjukkan mana contoh bilangan bulat positif atau bilangan bulat negatif disekitar kita?”. Jika siswa kebingungan dengan pertanyaan tersebut, guru dapat memper-lihatkan gambar yang sudah dikenal siswa yang menunjukkan ketinggian dan kedalaman suatu benda. Misalnya tinggi katrol dan kedalaman timba dari sebuah sumur, tinggi layar dan kedalaman jangkar dari sebuah kapal yang sedang berlabuh. Ketinggian menunjukkan bilangan bulat

positif sedangkan kedalaman menunjukkan bilangan bulat negatif. Andaikan tinggi katrol 2m dan kedalaman timba 5m maka bilangan bulat yang bersesuaian adalah +2 untuk ketinggian katrol dan -5 untuk kedalaman timba. Mengukur ketinggian dan kedalaman adalah kegiatan yang saling berlawanan arah yaitu ke atas (dari permukaan tanah) dengan tanda positif dan ke bawah (dari permukaan tanah) dengan tanda negatif atau arah kanan (dari nol) dengan tanda positif dan arah kiri (dari nol) dengan tanda negatif.

Komponen kedua adalah bagaimana bahasa digunakan untuk mendorong terjadinya pemahaman. Dalam matematika, bahasa bisa bersifat umum maupun khusus yang diperlukan untuk menyajikan ide-ide matematika. Bahasa juga berhubungan dengan pedagogik khusus karena penting bagi guru untuk memodelkan bahasa yang benar yang dapat difahami siswa agar siswa dapat menggunakan bahasa yang benar untuk mendeskripsikan pemahamannya kepada guru atau teman-temannya untuk menjelaskan dan memperkuat pemahaman-nya. Hal ini diperkuat oleh Sutawidjaya (2002:5) mengatakan bahwa “bahasa merupakan unsur penting dalam setiap pembelajaran. Bisa terjadi siswa tidak memahami suatu konsep matematika bukan karena konsep itu terlalu sulit baginya tetapi karena guru yang menyajikan menggunakan kata atau kalimat yang tidak bisa dimengerti oleh siswa”. Oleh karena itu, penyajian pembelajaran yang dilakukan guru mate-matika hendaknya menggunakan bahasa sederhana yang dapat difahami siswa. Bahasa sangat berkaitan erat dengan interaksi sosial sehari-hari termasuk dalam


(20)

Jurnal Kependidikan 14 (1): 11-21

16

proses pembelajaran. Urgensinya bahasa dalam pembelajaran digambarkannya sebagai “limas ajaib” seperti berikut.

Keterangan: B = bahasa M= matematika,

S = simbol (wujud simbol) K = konkret (nyata/konkret) G = gambar (semi konkret) D = diagram (semi abstrak)

Berdasarkan uraian tersebut maka bahasa adalah hal penting yang perlu diterapkan guru dalam proses belajar mengajar. Misalnya +2 + -5 = … . Kalimat tersebut dapat dibahasakan dengan menggabung dua bilangan positif dengan lima bilangan negatif. Demikian juga halnya dengan +2 - -5 = … . Kalimat tersebut dapat dibahasakan dengan mengambil lima bilangan negatif dari dua bilangan positif. Untuk mewujudkan hal tersebut maka diperlukan representasi benda nyata atau gambar dari benda nyata.

Komponen ketiga berhubungan dengan penggunaan representasi visual (gambar) dalam menyajikan ide-ide. Gambar merupakan aspek kritis dari matematika. Gambar sering digunakan untuk membantu menjembatani pemahaman siswa dan menyiapkan rangsangan guna menye-lesaikan tugas matematika sebelum

pengenalan symbol. Hal ini diperkuat oleh Bruner (dalam Russeffendi, 1991:109) mengemukakan bahwa untuk mendapatkan pemahaman dalam proses belajar mate-matika sebaiknya kegiatan siswa diarahkan melalui 3 cara yaitu enaktif, ikonik dan simbolik. Cara enaktif yaitu untuk men-dapatkan pemahaman siswa secara langsung terlibat memanipulasi obyek (benda nyata), cara ikonik yaitu untuk mendapatkan pemahaman, siswa melakukan kegiatan yang berhubungan dengan mental yang meru-pakan gambaran dari obyek-obyek yang dimanipulasinya (menjelaskannya dengan gambar), sedangkan cara simbolik yaitu untuk mendapatkan pemahaman, maka kegiatan yang dilakukan siswa adalah memanipulasi simbol-simbol atau lambang-lambang dari obyek tertentu. Pada kegiatan ini siswa sudah mampu menggunakan notasi tanpa ketergantungan dengan obyek (benda) nyata.

Untuk memudahkan pemahaman siswa tentang penjumlahan pada soal+2 + -5 = …, guru dapat meminta siswa untuk memperagakannya dengan gambar misalnya gambar keping positif dan gambar keping negatif. Namun, guru perlu menjelaskannya seperti berikut, “Anak-anak, sebelum kalian memperagakan penjumlahan atau pengu-rangan dua bilangan bulat menggunakan keping positif dan keping negatif, fahamilah ketentuan berikut:

Catatan: apabila keping positif digabung dengan keping negatif maka nilainya nol (0) Perhatikan!.

= + 1 = - 1 = 0

M

B D

G K


(21)

Arifin, Lesson Plan Berbasis Kerangka Kerja ELPSA

17 Beberapa cara menyatakan bilangan bulat

dengan keping.

= -1 = +2 = 0

Berdasarkan penjelasan tersebut maka peragaan +2 + -5 dapat dilakukan dengan cara menggabung dua keping positif dengan lima keping negatif sehingga tampak seperti berikut.

= Jadi +2 +- 5 = -3

Untuk pengurangan +2 - -5 = … peragaannya tidak dapat dilakukan secara langsung, tetapi perlu dimodifikasi terlebih dahulu. Karena kalimatnya “mengambil lima keping negatif dari dua keping positif” maka bilangan positif dua dimodifikasi sehingga memungkinkan untuk mengambil lima keping negatif seperti berikut.

= +2

Peragaan tersebut memungkinkan untuk mengambil lima keping negatif, seperti berikut.

Keadaan keping setelah diambil lima keping negatif menjadi tujuh keping positif seperti berikut.

Jadi +2 - -5 = 7.

Komponen keempat adalah penggunaan Simbol yang berkenaan dengan penyajian ide-ide matematika. Komponen ini membuat matematika berbeda dengan disiplin ilmu lainnya dan kadang-kadang

merujuk ke bahasa yang universal. Hal ini diperkuat oleh Bruner (dalam Russeffendi, 1991:109) mengemukakan bahwa untuk mendapatkan pemahaman dalam proses belajar matematika sebaiknya kegiatan siswa diarahkan melalui 3 cara yaitu enaktif, ikonik dan simbolik. Cara simbolik yaitu untuk mendapatkan pemahaman, maka kegiatan yang dilakukan siswa adalah memanipulasi simbol-simbol atau lambang-lambang dari obyek tertentu. Pada kegiatan ini siswa sudah mampu menggunakan notasi tanpa ketergantungan dengan obyek (benda) nyata. Pada contoh +2 + -5 = … guru tidak lagi mengarahkan siswa untuk meragakannya dengan memanipulasi benda nyata atau gambar tetapi memberi pemahaman siswa tentang definisi atau sifat-sifat penjumlahan bilangan bulat. Untuk mendapatkan pemahaman tentang definisi dan sifat-sifat tersebut guru hendaknya memberi kesempatan siswa untuk mengamati dan mencermati pola-pola penjumlahan bilangan bulat seperti Tabel 1 berikut.

Setelah kalian menyelesaikan pola pada Tabel-1, lanjutkan untuk mencermati dan melengkapi pertanyaan pada Tabel-2 berikut.

Diambil lima keping negatif

Perhatikan penjumlahan bilangan bulat berikut: +

3 + +3 = +6 +

3 + +2 = +5 +

3 + +1 = +4 +3 + 0 = … +

3 + -1 = … +

3 + -2 = …

Siapa yang bisa melengkapi … pada pertanyaan di atas?

Berkurang satu

Berkurang satu


(22)

Jurnal Kependidikan 14 (1): 11-21

18

Setelah siswa mencermati pola bilangan pada tabel tersebut guru dapat menanyakan kesimpulan apa yang dapat kalian sampaikan?. Sifat apa yang dimiliki penjumlahan bilangan bulat?. Untuk mendorong siswa memahami definisi dan sifat-sifat penjumlahan, guru hendaknya mengarahkan pertanyaan seperti berikut.

1. Apa yang dapat kalian katakan kalau bilangan bulat dijumlahkan dengan 0 (nol)

2. Apa yang dapat kalian katakan tentang penjumlahan dua bilangan positif?

3. Apa yang dapat kalian katakan tentang penjumlahan bilangan positif dengan bilangan negatif?

4. Apa yang dapat kalian katakan tentang penjumlahan bilangan negatif dengan bilangan positif?

5. Apa yang dapat kalian katakan tentang penjumlahan dua bilangan negatif?

Berdasarkan pola bilangan yang siswa selidiki, maka guru dapat menginformasikan definisi penjumlahan bilangan bulat sebagai berikut:

dari definisi penjumlahan berlaku sifat penjumlahan bilangan bulat: Sifat-sifat penjumlahan bilangan bulat.

Jika a, b dan c sembarang bilangan bulat maka berlaku.

1. Sifat tertutup penjumlahan a + b atau a – b adalah bilangan bulat 2. Sifat identitas penjumlahan bilangan bulat a + 0 = a = 0 + a, berlaku untuk

semua a dimana 0 adalah bilangan identitas penjumlahan. 3. Sifat komutatif penjumlahan bilangan bulat a + b = b + a

4. Sifat assosiatif penjumlahan bilangan bulat (a + b)+ c = a + ( b + c ) Definisi:

Apabila a dan b bilangan bulat : 1. Penjumlahan dengan nol.

a + 0 = 0 + a = a

2. Penjumlahan dua bilangan positif.

Apabila a dan b adalah bilangan positif maka a + b adalah bilangan cacah 3. Penjumlahan dua bilangan negatif. Apabila a dan b adalah bilangan positif

(karena itu –a dan –b adalah negatif) maka (-a) + (-b) = - (a + b) dimana jumlah a dan b adalah bilangan cacah

4. Penjumlahan a positif dan a negatif.

(a) Apabila a dan b adalah positif dan a b, kemudian a + (-b) = a – b dimana a dan b berbeda maka a – b adalah bilangan cacah

(b) Apabila a dan b adalah positif dan a b, kemudian a + (-b) = -(b – a) dimana a dan b berbeda maka b – a adalah bilangan cacah

Lengkapi kalimat berikut : +

3 + -1 = … +

2 + -1 = … +

1 + -1 = … 0+ -1= …


(23)

Arifin, Lesson Plan Berbasis Kerangka Kerja ELPSA

19 Berdasarkan definisi dan sifat-sifat

tersebut maka untuk menyelesaikan +2 + -5 = … dapat menggunakan definisi penjumlahan bilangan bulat a + (-b) = - (b – a). Jadi +2 + -5 = 2 - -5 = - (-5 – 2) = -3. Demikian juga halnya dengan +2 - -5 = …, dapat menggunakan definisi “mengurangkan suatu bilangan sama dengan menjumlahkan dengan lawannya”. Jadi +

2- -5 = +2 ++5 = 7. Komponen kelima adalah aplikasi.Liebeck, P memperluas kerangka kerja ELPSA dengan aplikasi dimana tahapan ini menggambarkan bagaimana pengetahuan yang telah diperoleh dapat diterapkan dalam bermacam-macam situasi. Dengan demikian kerangka kerja pem-belajaran ini adalah kerangka pempem-belajaran yang memberi kesempatan siswa untuk mampu mengkomunikasikan (menggunakan bahasa) dalam mendeskripsikan pengala-man, menyajikan pengalamaannya dengan gambar, menyatakan pengalamaan secara umuum dengan simbol, dan mengapli-kasikan pengetahuannya dalam menyelesai-kan masalah-masalah dari berbagai situasi.

Untuk mengungkap tingkat keter-libatan dan pemahaman siswa penulis mengaitkannya dengan teori pemahaman yang dikemukakanPiaget dan Garcia (dalam Baker, 2000:558) ” yang menyatakan bahwa pengetahuan tumbuh mengikuti mekanisme tertentu yang berkembang dalam tiga tahap (disebut triad) dimana tahap pertama dari

triad adalah tahap intra, tahap kedua adalah

tahap inter dan tahap ketiga adalah tahap trans.

Tahap intra adalah kemampuan seseorang menginteriorisasi sesuatu aksi (konkret atau semi konkret/gambar) menuju

suatu proses. Dalam hal ini Dubinsky (dalam Zazkis, 1996) seperti yang dikutip (Arifin, 2002:13) menyatakan bahwa tahap intra adalah kemampuan seseorang menggu-nakan bahasa atau menjelaskan kembali sesuatu yang telah dilakukannya (Aksi). Kejadian seperti ini dikatakan bahwa pemahaman seseorang telah berada pada

tahap intra.

Tahap inter adalah kemampuan seseorang melakukan enkapsulasi sesuatu kedalam skema nya menjadi kemampuan menghubungkan sesuatu dengan yang lain.

Tahap trans adalah kemampuan seseorang melakukan tematisasi sesuatu kedalam skematanya menjadi kemampuan mengaitkan hubungan khusus dengan pengetahuan atau keterampilan lain. Apabila pengetahuan siswa telah berada pada tahap trans maka dikatakan bahwa pemahaman siswa telah terbangun dengan kerangka pembelajaran tersebut dan akan mampu mengaplikasikan pengetahuannya dalam memecahkan permasalahan yang dialami dalam kehidupannya.

Disamping itu Mardiah, dkk (dalam EDUMAT, Vol. V, 2014) menyatakan bahwa indikator pemahaman konsep mate-matika adalah (1) kemampuan menyatakan ulang suatu konsep, (2) kemampuan memberi contoh dan bukan contoh, (3) kemampuan menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis, (4) kemampuan menggunakan, memanfaatkan, dan memilih prosedur tertentu, dan (5) kemampuan mengaplikasikan konsep atau algoritma pada pemecahan masalah.

Berdasarkan uraian tersebut, maka pengaitan kerangka kerja ELPSA dengan teori pemahaman yang dikemukakan Piaget


(24)

Jurnal Kependidikan 14 (1): 11-21

20

dan Garcia (dalam Baker, 2000:558) dan Mardiah dkk (dalam EDUMAT, Vol. V, 2014) adalah apabila siswa menggunakan bahasa yang merepresentasikan pengalaman-nya dan mampu menjelaskan setelah melakukan representasi gambar dan simbol maka berarti siswa telah memahami konsep atau struktur matematika yang telah dipelajarinya. Kemampuan menyatakan kembali suatu konsep atau memberi contoh dan bukkan contoh dikatakan telah berada pada tahap intra. Misal +2 + -5 = ... . Siswa yang pemahamannya berada pada tahap intra, akan dapat menjelaskan bahwa penjumlahan adalah penggabungan. +2 + -5 = ... adalah menggabung dua keping positif dengan lima keping negatif sehingga hasil penggabungannya ada tiga keping negatif. Jadi +2 + -5= -3

Apabila siswamampu membuat hubungan antar konsep, menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi mate-matis, atau kemampuan menggunakan, memanfaatkan, dan memilih prosedur tertentudalam menyelesaikan masalah matematika dikatakan telah berada pada tahap inter. Misal +2 + -5= ... . Siswa yang pemahamannya berada pada tahap inter, akan mampu membuat hubungan pen-jumlahan tersebut dengan definisi atau sifat-sifat penjumlahan sehingga +2 + -5 =... akan dihubungkan dengan defenisi a +(-b) = -(b – a). Dengan demikian +2+-5=... ditulis menjadi +2+ -5 = 2 - 5 = - (5 – 2) = -3. Jadi +

2 + -5 = -3.

Selanjutnya apabila siswa mampu mengaplikasikan pengetahuannya dalam memecahkan permasalahan yang dialami dalam kehidupannya atau mengaplikasikan konsep atau algoritma pada pemecahan

masalah maka pemahaman siswa telah berada pada tahap trans.

Simpulan dan Saran

1. Kerangka kerja ELPSA adalah sebuah model rancangan pembelajaran sebagai acuan guru dalam merancang rencana pembelajaran (lesson plan), yang mem-beri kesempatan siswa untuk mengung-kap pengalaman belajarnya (Experience), menggunakan bahasa untuk mendeskrip-sikan pengalaman (Language), visualisa-si gambar untuk menyajikan pengalaman (Picture), simbolisasi tertulis untuk menyatakan pengalaman secara umum atau bersifat general (Symbol), dan (Aplication) sebagai penerapan pengeta-huan yang telah diperoleh dalam me-mecahkan berbagai macam situasi. 2. Kerangka kerja ELPSA dapat digunakan

untuk menilai pemahaman siswa sebagai aplikasi dari kemampuan bahasa untuk mengungkap atau menjelaskan kembali sesuatu yang telah dilakukannya (visualisasi gambar), (2) mampu memberi contoh dan bukan contoh, (3) mampu menyajikan konsep dalam ber-bagai bentuk representasi matematis (Simbol), (4) mampu menggunakan, memanfaatkan, dan memilih prosedur tertentu (Simbol), dan (5) mampu mengaplikasikan konsep atau algoritma pada pemecahan masalah (Aplikasi).

Daftar Pustaka

Arifin. 2002. Membangun Pemahaman Siswa kelas V Sekolah Dasar tentang Konsep Pengurangan Bilangan Bulat


(25)

Arifin, Lesson Plan Berbasis Kerangka Kerja ELPSA

21

Menggunakan Material Manipulatif.

Tesis tidak dipublikasikan. Malang: PPS UM

Baker, B., Cooley, L., & Trigueros, M. 2000. A Calculus Graphing Schema.

Journal For Research in

Mathematics Education. 31(2): 557-578.

Etcberger dan Shaw, 1992. Teaching change as A progressing of Teacher.

Journal For Research in

Mathematics Education. 92(8).

Kemendikbud. 2012. Teori Belajar Matematika. Modul Penguatan Kompetensi Matematika Pasca UKA. Jakarta.

Kemendikbud. 2013. Standar Proses. Jakarta.

Mardiah, dkk. 2014. Pemahaman Konsep Siswa Pada Materi Pertidaksamaan Linear Satu Variabel Menggunakan Pendekatan Saintifik di Kelas VII SMP Negeri 9 Palembang. Jurnal Edukasi Matematika Vol. 5 Nomor 10 Tahun 2014:631-635. PPPPTK Matematika Jogjakarta.

Resnick,L.B & Ford,W.W. 1981. The Psychology of Mathematics For Instruction. University of Pittsburgh.

Ruseffendi, E.T., dkk. 1991. Pendidikan Matematika 3. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Proyek Penyetaraan Guru SD Setara D-II.Jakarta.

Ruseffendi, E.T., dkk. 1996. Pendidikan Matematika III. Depdikbud Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.Jakarta.

Sutawidjaya Akbar. 2000. Pembelajaran Matematika Di Sekolah Dasar. Makalah seminar Nasional di Universitas Negeri Malang. Malang. Tom Lowre & Sitti Maesuri. 2015. ELPSA- Kerangka Kerja Pengembangan

Pembelajaran Matematika.

Dipresentasikan pada Workshop ELPSA di IKIP Mataram.

Zazkis, R & Campbell, S. 1996. Divisibility and Multiplicative Structure of Natural Numbers. Preservice Teachers Understanding. Journal For Research in Mathematics Education. 27(5): 540-563.


(26)

(27)

© 2015 LPPM IKIP Mataram

Pengaruh Penerapan Strategi Konflik Kognitif dalam Upaya Peningkatan Hasil Belajar Fisika Siswa Kelas VII SMP Negeri 16 Mataram

Bq Azmi Sukroyanti

Program Studi Pendidikan Fisika, FPMIPA IKIP Mataram E-mail: sbqazmi@yahoo.com

Abstract: This research aimed to know improvement of physic’s achievement at SMPN 16 Mataram to

implement Cognitive Conflict Strategy and student’s responds toward Cognitive Conflict in teaching physic.

The kind of this research is experimental research, with population was all students of VII at SMPN 16 Mataram which consists of five classes. Sample of this research was VII A which consists of 42 students as experimental group and VII C which consists of 42 students as control group. Sample technique used cluster

technique sampling. The technique of collecting data used questionnaire to know student’s respond toward cognitive conflict strategy and objective test in improving student’s physic achievement. The data analysis

used t-test. The result of data analysis showed that t-tes > t-table was 2.62 > 2.02. It shows that there is

effectiveness between cognitive conflict strategy toward improving students of physic’s achievement and there

is differences both experimental group and control group with 5% of significant level. The data analysis of

student’s respond used descriptive qualitative which used five scales guidence. The data analysis of student’s respond showed that student’s respond was 85.30% in very good category.

Abtrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan hasil belajar fisika siswa di SMP Negeri 16 Mataram dengan menerapkan Strategi Konflik Kognitif dan respon siswa terhadap Strategi Konflik Kognitif dalam pembelajaran fisika. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen, dengan populasi seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 16 Mataram sebanyak lima kelas. Sampel penelitian adalah kelas VII A sebagai kelas eksperimen sebanyak 42 siswa dan kelas VII C sebagai kelas kontrol sebanyak 42 siswa. Sampel diambil dengan teknik cluster sampling. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan angket untuk mengetahui respon siswa terhadap Strategi Konflik Kognitif dan dengan tes obyektif untuk mengetahui peningkatan hasil belajar fisika siswa. Data hasil belajar siswa dianalisis dengan uji-t. Dari hasil analisis data diperoleh thitung >

ttabel yaitu 2,62>2,02. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh Strategi Konflik Kognitif terhadap

peningkatan hasil belajar fisika siswa dan terdapat perbedaan hasil belajar yang cukup berarti antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada taraf signifikasi 5%. Data respon siswa dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan menggunakan pedoman konversi skala lima. Dari analisis data diperoleh respon siswa sebesar 85,30 % yang termasuk dalam kategori sangat baik.

Kata kunci: Strategi Konflik Kognitif dan Hasil Belajar. Penduluan

Pendidikan IPA khususnya fisika sebagai bagian dari pendidikan formal, ikut memberikan kontribusi dalam membangun sumber daya yang berkualitas sehingga mampu bersaing dalam pusat globalisasi. Namun dilapangan menunjukkan kualitas mutu pendidikan IPA (fisika) masih rendah. Hasil observasi dan wawancara dengan guru mata pelajaran fisika SMP Negeri 16 Mataram menunjukkan bahwa pembelaja-rannya masih belum dapat terlaksana dengan optimal. Permasalahan yang sering

dihadapi guru berakibat pada rendahnya aktifitas siswa dalam pembelajaran fisika. Kondisi ini dapat dilihat dari jarangnya siswa untuk bertanya dan mengeluarkan pendapat pada saat pembelajaran berlang-sung. Hal ini dimungkinkan karena metode yang digunakan guru dalam pembelajaran yaitu lebih banyak menggunakan metode ekspositori. Selain itu juga terbatasnya ketersediaan alat-alat praktikum menyebab-kan sangat jarang siswa diajak untuk melakukan eksperimen, sehingga pembela-jaran fisika terkesan membosankan.


(28)

Pem-Jurnal Kependidikan 14 (1): 23-28

24

belajaran yang banyak menerapkan metode tersebut akan berakibat pada pembelajaran fisika yang tidak menarik. Hal ini dikarenakan pada proses pembelajarannya siswa hanya menerima apa yang diberikan dan melakukan apa yang diperintahkan oleh guru. Permasalahan-permasalahan ini pada akhirnya akan berakibat pada rendahnya hasil belajar fisika siswa. Nilai rata-rata siswa kelas VII SMP N 16 Mataram untuk mata pelajaran IPA fisika sangat rendah yakni 49,20. Masih rendahnya hasil belajar siswa tersebut merupakan indikator rendahnya penguasaan mereka terhadap konsep-konsep fisika sehingga mencer-minkan rendahnya kualitas mutu pendi-didkan fisika .

Penyebab universal masih rendahnya hasil belajar fisika yang diterima oleh para pendidik IPA (fisika) adalah adanya miskonsepsi yang dimiliki siswa. Penye-babnya karena guru fisika mengajar ber-dasarkan asumsi tersembunyi bahwa pengetahuan dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru kepikiran siswa. Dengan asumsi tersebut mereka memfokuskan diri pada upaya penuangan pengetahuan ke dalam kepala siswa (Sadia,1996:1).

Fisika yang merupakan bagian dari sains, proses pembelajarannya juga belum dapat berlangsung sebagaimana mestinya sehingga hasil yang dicapai siswa kurang

memuaskan. Hal ini antara lain disebabkan konsep fisika selama ini lebih sering disampaikan guru kepada siswa sebagai fakta, bukan sebagai peristiwa atau gejala alam yang harus diamati, diukur, dan didiskusikan (Mundilarto, 2007).

Belajar menurut pandangan konstuk-tivisme adalah cara pembelajaran yang mengacu kepada kebutuhan siswa sebagai manusia yang pasti diperhatikan kebera-daannya dalam belajar. Konsep mendasar dari konsruktivisme ini adalah bahwa pengetahuan itu tidak dipindahkan secara utuh dari pikiran guru kepikiran siswa. Oleh karena itu, pengetahuan itu disusun oleh pelajar itu sendiri didalam struktur kognitifnya. Hal yang dilakukan guru adalah sebagai fasilitator bagi pembelajaran agar proses penyusunan pengetahuan siswa lebih cepat tercapai (Depdikbud,1998: 3). Bertolak dari kondisi yang telah disebutkan diatas, peningkatan mutu dan hasil pembelajaran fisika di SMP Negeri 16 Mataram diupayakan antara lain melalui penerapan startegi konflik kognitif.

Metode Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam penelitian eksperimental yaitu eksperimen yang menggunakan kelompok kontrol (control group experiment), dengan rancangan penelitian sebagai berikut.

Tabel 1. Desain Penelitian

Kelompok Mengambil nilai tes awal Untuk uji homogenitas Treatmen Tes akhir (postes) KE

KK KK

Tl Tl

XI X2

T2 T2 Keterangan:

KE : Kelas eksperimen KK : Kelas kontol


(1)

oleh munculnya paradigma masyarakat yang keliru tentang status perceraian yang terjadi dalam lingkungan masyarakat. Kasus percerianan dalam masyarakat suku Sasak merupakan peristiwa yang dapat menjadikan seorang perempuan menjadi kurang baik di mata masyarakat walaupun peristiwa tersebut adalah hal yang wajar terjadi. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Yin (2009) mendefinisikan studi kasus sebagai pendekatan yang digunakan untuk mem-pelajari, menerangkan dan

menginterpretasi-kan suatu ’kasus’ dalam konteksnya yang

alamiah tanpa adanya intervensi pihak luar. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus dengan alasan bahwa kasus yang diteliti terbatas pada kasus tertentu yaitu kasus mengenai motif kekerasan pada

perempuan “Suku Sasak” di Lombok yang berdampak pada masalah perceraian pasangan muda. Selain itu pula, sebagai suatu upaya penelitian, studi kasus dapat memberi nilai tambah pada pengetahuan secara unik tentang berbagai fenomena (Yin, 2009) yang dalam hal ini adalah motif

kekerasan pada perempuan “suku Sasak di

Lombok. Berdasarkan keunikan kasus dalam penelitian ini, maka jenis studi kasus yang digunakan adalah intrinsic case study

(Creswell, 1998).

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan wawancara dan observasi. Proses pengumpulan data mengikuti pola

zig-zag” di mana peneliti akan terjun ke

lapangan mencari informasi, kemudian menganalisis data yang diperoleh, kembali ke lapangan lagi untuk mendapatkan lebih banyak informasi, menganalisis data, dan seterusnya (Creswell, 1998). Sedangkan menurut Bogdan dan Biklen (1992), analisis data adalah upaya yang dilakukan terhadap data penelitian. Peneliti akan mengorgani-sasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesis-kannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Analisis data dilakukan untuk mencari dan menemukan jawaban dari pertanyaan penelitian. Selain itu juga sebagai permulaan, peneliti membangun akses komunikasi dengan

gatekeepers yang merangkap sebagai informan kunci, yakni ketua RT/RW (keliang bahasa sasak) di Desa Beleka dan Ganti di wilayah tempat peneliti melakukan penelitian.

Hasil Penelitian

Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif, yaitu untuk mendeskripsikan data mengenai motif kekerasan yang terjadi pada perempuan suku Sasak yang berakibat pada kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Interview atau wawancara merupakan langkah awal dan utama dalam penelitian ini. Adapun wawancara tersebut melibatkan 3 responden yang sering mendapatkan kasus kekerasan dalam rumah tangga oleh suami. Berikut ini data-data yang berkaitan dengan identitas responden.


(2)

Tabel 3. Identitas responden kekerasan dalam rumah tangga

No. Nama Umur Pekerjaan Tingkat Pendidikan Status

1. Indayani 19 Tahun Tani SLTP Bercerai 2. Nurhasanah 20 Tahun Tani SLTP Bercerai 3. Sainun 24 Tahun Tani SDN Bercerai Ketiga Responden penelitian tersebut

berasal dari Dusun yang sama yaitu Dusun Jongkor Desa Beleka Kecamatan Praya Timur Kabupaten Lombok Tengah. Dusun Jongkor terdiri dari 156 Kepala Keluarga yang rata-rata memiliki tingkat pendidikan yang cukup rendah, kasus bercerai yang tinggi kemudian perceraian dialami oleh mereka yang masih berusia dibawah 25 tahun. Peristiwa tersebut merupakan jadi langkah awal peneliti untuk melakukan penelitian dan mempersiapkan langkah-langkah untuk menyusun strategi wawancara dengan korban kekerasan pada perempuan suku Sasak di Lombok.

Proses penelitian dilakukan dengan mengumpulkan ketiga responden dan menjelaskan tujuan dan maksud dari pertemuan tersebut. Ketika peneliti mulai

interview dengan Indrayani biasa dipanggil (Indra), awalnya peneliti bertanya tentang bagaimana kisah pertemuan pertama mereka saat kenalan. Indra menjelaskan waktu pertama bertemu mereka sedang nonton karnaval menyambut 17 Agustus di kampung. Awalnya mereka teman biasa namun pada akhirnya mereka pacaran selama 3 tahun. Setelah memasuki tahun ke-4 mereka memutuskan untuk menikah dan dikaruniai anak laki-laki yang baru berusia 2 tahun, 8 bulan. Ketika masih pacaran Indra juga menceritakan sering berkelahi atau suaminya sering melakukan kekerasan, namun sang suami beralasan yang tepat yaitu cemburu kalau pacarnya dekat dengan laki-laki lain.

Adapun motif kekerasan yang dialami cenderung berupa kasus pemukulan atau kekerasan fisik meliputi; menampar pipi, jambak rambut, menendang, mem-benturkan kepala ditembok dan melempar dengan benda keras kearah istrinya. Sedangkan kekerasan yang non fisik atau verbal meliputi; mencaci maki dan berbicara kotor, menyinggun perasaan dengan menyindir istri dan tidak memberikan nafkah kahiriah atau kebutuhan pokok. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak kekerasan tesebut dominan dilatar belakangi oleh kondisi ekonomi keluarga, sumber pencarian suami yang tidak menjamin kebutuhan dan kesejahteraan istri dan anak. Selain itu juga sepasang suami-istri ini tinggal bersama dengan kedua orangtua. Sehingga mereka bertengkar kemudian kedua orangtua mereka sering terlibat dan kurang memberikan solusi yang tepat dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dialami. Namun kasus Indra berbeda dengan Nurhasanah yang biasa dipanggil Nur. Nur menikah pada usia 16 Tahun, ketika itu dia baru selesai sekolah di bangku SLTP bersamaan dengan suaminya. Baru satu tahun menikah, Nur berangkat menjadi TKW bersama suami ke Malaysia. Ketika baru sekitar 8 bulan di Malaysia, Nur mengandung dan disuruh pulang kampung oleh suaminya untuk melahirkan.

Sekitar 2 bulan melahirkan Nur diceraikan oleh suami dari Malaysia yang selama ini orangtua mereka belum tahu sebab atau permasalahan yang dialami oleh


(3)

Nur sehingga diceraikan oleh suaminya. Akhirnya Nur perlahan-lahan mulai terbuka kepada kedua orangtuanya tentang permasalahan yang dialaminya. Menurut Nur sebenarnya sering mendapatkan tindak kekerasan dari suami, namun tidak berani menceritakan pada keluarga karena takut dimarahi dan dibenci oleh suaminya. Tindakan kekerasan kekerasan yang dilakukan suaminya adalah berupa pemukul dengan sapu, menendang, menarik rambut dan menampar pipi istrinya. Adapun motif yang menyebabkan perilaku kekerasan terjadi biasanya karena Nur terlambat untuk menyediakan makan, mencuci pakaian kotor dan cenderung Nur hanya membebani suami dan kehidupannya tergantung pada suami yang banyak berkorban mengeluarkan uang dan tenaga sedangkan istri tidak mampu berkerja atau menghasilkan uang. Kemudian faktor penyebab dari kasus perceraian Nur adalah suami sudah menikah dengan perempuan lain di tempat rantau tampa memberitahukan istri.

Kemudian responden yang ketiga yaitu Sainun biasa dipanggil Enon. Enon berasal dari keluarga tingkat ekonomi menengah, sedangkan suaminya dari keluarga miskin. Dari awal pacaran mereka tidak pernah disetujui hubungannya oleh kedua orangtuanya, namun karena mereka saling mencintai akhirnya mereka

melang-sungkan pernikahan. Awal pernikahan hubungan suami istri berjalan dengan baik, namun ketika memasuki tiga tahun masa menikah mereka mulai timbul masalah. Adapun masalah yang menjadi penyebabnya adalah orangtua selalu menghina kalau keluarga mereka adalah orang miskin dan laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Tidak terima perlakuan orangtua istri berbicara kotor dan menghinanya akhirnya suami meluapkan kemarahan pada istri. Lampiasan emosi sering ditunjukan dengan melakukan tindakan pemukulan berupa menendang, mencekik leher, menampar istri dan membanting kepala ketembok bahkan sampai memukul istri dengan kayu. Kejadian yang dialami oleh perempuan Suku Sasak, memang sering berakibat pada kasus perceraian. Berdasarkan dari data yang diperoleh dari dinas kecamatan, warga atau penduduk banyak kasus perceraiannya dialami oleh masyarakat desa Beleka dari 152 tindak kekerasan kepala keluarga yang bercerai sebanyak 51 kepala keluarga. Peristiwa seperti diatas, hampir setiap tahun terjadi di desa Beleka. Hal tersebut membutuhkan pengkajian dan pencarian pemecahan masalah yang dapat menyele-saikan masalah yang dialami oleh warga. Adapun data secara statistik dapat digambarkan sebagai berikut:

Tabel 4. klasifikasi bentuk kekerasan pada perempuan suku Sasak. No

Jenis Kekerasan

Kekerasan fisik Jml Per % Kekerasan verbal Jml Per %

1. Menendang 17 35.42% Berbicara kotor 40 34.48% 2. Mecekik leher 11 22.92% Selingkuh 38 32.76% 3. Benturan kepala ditembok 8 16.67% Meninggalkan istri 15 12.93% 4. Memukul dengan sapu 7 14.58% Tidak menafkahi istri 13 11.21% 5. Melempar dengan benda

keras

5

10.42%

Membicarakan kejelekan istri


(4)

Banyaknya kekerasan dialami perempuan suku Sasak di Lombok, KOMNAS perempuan belum memberikan bentuk sosialisasi atau penanganan masalah yang dihadapi. Cenderung permasalahan tersebut dianggap sebagai budaya masyarakat yang sudah dikenal dengan kawin-cerai. Kebanyakan masyarakat Lombok menikah lebih dari satu, sehingga sering muncul berbagai persoalan dalam keluarga. Tradisi yang masyarakat sering dikaitkan dengan musim atau perubahan iklim. Musim kemarau kebanyakan mereka bercerai sedangkan musim hujan samapai panen padi warga melangsungkan menikah.

Selain dari hasil wawancara yang dijelaskan diatas, peneliti juga mendapatkan penjelasan dari kepala desa Beleka bahwa; pimpinan desa memberikan awik-awik atau aturan kepada warga desa yang melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) akan mendapatkan sangsi berupa denda sebanyak Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah) dan rumah yang ditinggalkan akan diberikan kepada istri dan anak. Ketika kasus perceraian dialami oleh perempuan di Lombok, maka yang akan menerima harta gono-gini adalah pihak laki-laki termasuk harta berupa rumah, tanah, dan isi rumah. Sedangkan istri hanya membawa pakaian dan isi dapur yang dibeli selama mereka menikah. Hal ini menjadi suatu persoalan yang kuat ketika perempuan mengalami perceraian di Lombok. Cukup sedikit perempuan mendapatkan haknya ketika mengalami kasus cenderung mereka akan dipojokan dan dianiaya oleh pihak suami dan keluarga.

Simpulan

Simpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah motif kekerasan yang dialami perempuan suku Sasak di Lombok cenderung disebabkan oleh faktor ekonomi, sumber pencarian yang tidak menentu, pendidikan dan kondisi keluarga yang tidak mampu memberikan solusi yang baik yang mengakibatkan perempuan suku Sasak sering mengalami tindak kekerasan fisik berupa, memukul, menendang, menampar istri dan melempar dengan benda keras. Sedangkan kekerasan verbal berupa ber-bicara kotor, perselingkuhan, meninggalkan istri dan membicarakan kejelekan istri kepada orang lain sehingga istri merasa tersinggung dengan sikap suaminya.

Saran

Kekerasan pada perempuan merupakan bukan solusi yang tepat dalam menye-lesaikan masalah sehingga perempuan sebagai korban harus mampu bangkin dan berusaha untuk menyelesaikan masalah dengan baik. Sedangkan masyarakat sebagai kelompok dari komunitas harus dapat memberikan kontribusi positif terhadap keluarga yang mengalami masalah khususnya suami-istri yang sering mengalami permasalahan dalam keluarga yang berujung pada kasus perceraian.

Daftar Pustaka

Atkinson, R, Atkinson, R & Hilgard E., (1991). Pengantar psikologi, Jakarta: Erlangga

Berkowitz, L.,(1999). Aggression: Its causes, consequences, and control.


(5)

Creswell, J. W. (1998). Qualitative inquiry and research design choosing among five traditions. USA: Sage Publication.

Depdikbud propinsi NTB (1998),

Perubahan nilai upacara tradisional pada masyarakat. Mataram

Diktat, Pembda NTB, (2011) “Laporan data satistik propinsi” Nusa Tenggara Barat, Kab. Lombok Tengah.

Fakih, M., (1999). Analisis gender dan transformasi sosial. Yogyakarta, PT. Pustaka Pelajar

Iltihat, M.F., (2007). Kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga sebagai pelanggaran hak asasi manusia, Jurnal Volume 3 Maret 2007.

Katjasungkana, N., (2008). Aspek hukum kekerasan terhadap perempuan dalam protet perempuan (Tinjauan politik, ekonomi, hukum zaman orde baru), (Yogyakarta, Pustaka Pelajar). Yin, R. K. (2009). Studi kasus; desain & metode. Jakarta: Raja Grafindo Persada.


(6)

Jurnal Kependidikan

Jln Pemuda 59A Mataram-NTB 83125 Tlp/Fax (0370) 632072

--- Pedoman Penulisan

1. Naskah merupakan hasil penelitian atau kajian kepustakaan di bidang pendidikan, pengajaran dan pembelajaran,

2. Naskah merupakan tulisan asli penulis dan belum pernah dipublikasikan sebelumnya dalam jurnal ilmiah lain,

3. Naskah dapat ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris. 4. Penulisan naskah mengikuti ketentuan sebagai berikut:

Program MS Word

Font Times New Roman Size 12

Spasi 1.0 Ukuran kertas A4

Margin kiri 3.17 cm Margin kanan 3.17 cm Margin atas 2.54 cm Margin bawah 2.54 cm Maksimum 20 halaman

5. Naskah ditulis dengan sistematika sebagai berikut: Judul (huruf biasa dan dicetak tebal), nama-nama penulis (tanpa gelar akademis), instansi penulis (program studi, jurusan, universitas), abstrak, kata kunci, pendahuluan (tanpa sub-judul), metode penelitian (tanpa sub-judul), hasil dan pembahasan, simpulan dan saran (tanpa sub-judul), dan daftar pustaka.

Judul secara ringkas dan jelas menggambarkan isi tulisan dan ditulis dalam huruf biasa

(tidak dalam huruf kapital). Keterangan tulisan berupa hasil penelitian dari sumber dana tertentu dapat dibuat dalam bentuk catatan kaki. Fotokopi halaman pengesahan laporan penelitian tersebut harus dilampirkan pada draf artikel.

Nama-namapenulis ditulis lengkap tanpa gelar akademis.

Alamat instansi penulis ditulis lengkap berupa nama sekolah atau program studi, nama

jurusan dan nama perguruan tinggi. Penulis yang tidak berafiliasi pada sekolah atau perguruan tinggi dapat menyertakan alamat surat elektronik.

Abstrak ditulis dalam 2 (dua) bahasa: Inggris dan Indonesia. Naskah berbahasa Inggris

didahului abstrak berbahasa Indonesia. Naskah berbahasa Indonesia didahului abstrak berbahasa Inggris. Panjang abstrak tidak lebih dari 200 kata. Jika diperlukan, tim redaksi dapat menyediakan bantuan penerjemahan abstrak kedalam bahasa Inggris.

Kata kunci (key words) dalam bahasa sesuai bahasa yang dipergunakan dalam naskah

tulisan dan berisi 3-5 kata yang benar-benar dipergunakan dalam naskah tulisan.

Daftar Pustaka ditulis dengan berpedoman pada Pedoman Penulisan Karya Ilmiah IKIP