Evaluasi Fungsi Bendung Dan Floodway Sungai Deli-Percut Dalam Mitigasi Banjir Di Kota Medan

(1)

(2)

24.200

24.700 26.700 31.000

24.200 28.000

32.500

26.500

ELEVASI-ELEVASI PADA BENDUNG DELI DAN BENDUNG FLOODWAY

SKALA 1 : 100

TUGAS AKHIR

EVALUASI FUNGSI BENDUNG DAN FLOODWAY SUNGAI DELI-PERCUT DALAM MITIGASI BANJIR DI KOTA MEDAN

DIGAMBAR OLEH: DOSEN PEMBIMBING: Dasar Sungai

Mercu Floodway

Mercu Bendung Deli

Crib Type Block


(3)

24.200

24.700 26.700 31.000

24.200 28.000

32.500

26.500 26.323 (Q2=46.098 m3/det)26.925 (Q5=66.918 m3/det) 27.373 (Q10=90.015 m3/det) 27.679 (Q20=102.878 m3/det) 28.603 (Q25=134.381 m3/det) 29.999 (Q50=182.722 m3/det) 32.157 (Q100=249.091 m3/det) 32.600 (289.755 m3/det)

PERBANDINGAN HIDROLIK ANTARA BENDUNG DELI DAN BENDUNG FLOODWAY

SKALA 1 : 100

TUGAS AKHIR

EVALUASI FUNGSI BENDUNG DAN FLOODWAY SUNGAI DELI-PERCUT DALAM MITIGASI BANJIR DI KOTA MEDAN

DIGAMBAR OLEH: DOSEN PEMBIMBING:

Ir. Makmur Ginting, M.Sc M. Khairul Syahputra

Dasar Sungai Mercu Floodway

Mercu Bendung Deli

Crib Type Block


(4)

24.200

24.700 26.700 31.000

24.200 28.000

32.500

26.500

29.379 (Q2=156 m3/det) 32.092 (Q5=210 m3/det) 32.63 (Q10=247 m3/det)

32.941 (Q20=281 m3/det) 33.022 (Q25=292 m3/det)

33.238 (Q50=326 m3/det) 33.417 (Q100=359 m3/det)

PERBANDINGAN HIDROLIK ANTARA BENDUNG DELI DAN BENDUNG FLOODWAY

MENURUT DEBIT RENCANA DARI DINAS PU

SKALA 1 : 100

TUGAS AKHIR

EVALUASI FUNGSI BENDUNG DAN FLOODWAY SUNGAI DELI-PERCUT DALAM MITIGASI BANJIR DI KOTA MEDAN

DIGAMBAR OLEH: DOSEN PEMBIMBING: Dasar Sungai

Mercu Floodway

Mercu Bendung Deli

Crib Type Block


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Chow, Ven Te. 1997. Hidrolika Saluran Terbuka (Open Channel Hydraulics). Terj. E.V. Nensi Rosalina. Jakarta: Erlangga.

Dirjend. Pengairan Dept. Pekerjaan Umum. 1986. Standar Perencanaan Irigasi Kriteria

Perencanaan Bagian Bangunan Utama (KP-02). Bandung: CV. Galang Persada.

Hougtalen, Robert J., Ned H. C. Hwang and A. Osman Akan. 2010. Fundamentals of Hydraulic Engineering Systems. Fourth Edition. New Jersey: Pearson.

Ira Merryza, Yovanka. 2011. Evaluasi Perencanaan Hidrolik Floodway untuk Keperluan Banjir Kota Medan. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Kamiana, I Made. 2011. Teknik Perhitungan Debit Rencana Bangunan Air. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Linsley, Ray K. dan Joseph B. Franzini. 1979. Teknik Sumber Daya Air. Edisi ketiga. Diterjemahkan oleh: Djoko Sasongko. Jakarta: Erlangga.

Nalluri, C. and R. E. Featherstone. 2009. Civil Engineering Hydraulics: Essential Theory with Worked Examples. Fifth Edition. Revised by: M. J. Marriott. West Sussex: Wiley-Blackwell.

Siagian, Trisnafia. 2012. Evaluasi Hidrolis Bendung Lama Terhadap Rencana Bendung Baru pada Bendung Timbang Lawan di Kabupaten Langkat. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Sirait, Jones Hendra M. 2010. Analisis Kemampuan Kanal Banjir Dalam Menanggulangi Masalah Banjir Kota Medan Kaitannya Dalam Pengembangan Wilayah. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Triatmodjo, Bambang. 1993. Hidraulika II. Yogyakarta: Beta Offset.

U.S. Department of Transportation. 2012. Hydraulic Design of Highway Culverts: Third Edition. Arlington: National Highway Institute.

Widagdo, Herning Jati. 2008. Evaluasi Bendung Juwero Kabupaten Kendal Jawa Tengah. Semarang: Universitas Diponegoro.


(6)

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

III.1. Umum

Banjir merupakan fenomena alam yang biasa terjadi di suatu kawasan yang banyak dialiri oleh aliran sungai. Banjir biasanya terjadi akibat berkurangnya kapasitas sungai yang disebabkan oleh keadaan alur sungai yang belum stabil, bahkan ada beberapa alur yang dipersempit, pendangkalan dasar sungai dan kelongsoran tebing sungai.

Setiap sungai akan mengalami banjir yang dapat terjadi secara berkala. Diperlukan adanya suatu upaya untuk meminimalisasi resiko terjadinya banjir dan dampak negatif yang ditimbulkan oleh banjir tersebut. Untuk meminimalisasi terjadinya banjir, maka dibutuhkanlah adanya suatu perencanaan floodway (saluran banjir) yang mampu mengatur ketinggian muka air sungai, sehingga banjir yang terjadi dapat diatasi dengan baik tanpa adanya kerugian yang ditimbulkan dan sungai dapat berfungsi dengan baik untuk menampung curah hujan dan mengalirkannya ke laut. Floodway adalah saluran baru yang dibuat untuk mengalirkan air secara terpisah dari sungai utamanya. Saluran banjir (floodway) ini dapat mengalirkan sebagian atau bahkan seluruh debit banjir.

III.2. Siklus Hidrologi

Secara luas hidrologi meliputi pula berbagai bentuk air, termasuk transformasi antara keadaan cair, padat, dan gas dalam atmosfir, di atas dan di bawah permukaan tanah. Di dalamnya tercakup pula air laut yang merupakan sumber dan penyimpanan air yang mengaktifkan kehidupan di planet bumi ini. Daur atau siklus hidrologi gerakan air laut ke udara, kemudian jatuh ke permukaan tanah dan akhirnya mengalir ke laut kembali. Air hujan yang jatuh di atas permukaan tanah, sebagian kecil akan meresap (absorbsi) di dalam tanah (infiltrasi), sedang yang lainnya akan menjadi limpasan permukaan (surface run off). Air


(7)

meresap ini ada yang keluar dan kembali ke permukaan melalui mata air (interflow), tapi sebagian besar akan tetap tersimpan dalam tanah (ground water). Air tanah ini umumnya membutuhkan waktu yang relatif lama untuk dapat muncul kembali ke permukaan, yang biasa disebut dengan limpasan air tanah. Semua bagian-bagian air yang disebut di atas tadi pada akhirnya akan mengalir menuju sungai, waduk, danau, ataupun laut.

Pemanasan air samudera oleh sinar matahari merupakan kunci proses siklus hidrologi tersebut dapat berjalan secara kontinu. Air berevaporasi, kemudian jatuh sebagai presipitasi dalam bentuk hujan, salju, hujan batu, hujan es dan salju (sleet), hujan gerimis atau kabut. Pada perjalanan menuju bumi beberapa presipitasi dapat berevaporasi kembali ke atas atau langsung jatuh yang kemudian diintersepsi oleh tanaman sebelum mencapai tanah. Setelah mencapai tanah, siklus hidrologi terus bergerak secara kontinu dalam tiga cara yang berbeda:

Evaporasi / Transpirasi

Air yang ada di laut, di daratan, di sungai, di tanaman, dsb. kemudian akan menguap ke angkasa (atmosfer) dan kemudian akan menjadi awan. Pada keadaan jenuh uap air (awan) itu akan menjadi bintik bintik air yang selanjutnya akan turun (precipitation) dalam bentuk hujan, salju, dan es.

Infiltrasi / Perkolasi ke dalam tanah

Air bergerak ke dalam tanah melalui celah-celah dan pori-pori tanah dan batuan menuju muka air tanah. Air dapat bergerak akibat aksi kapiler atau air dapat bergerak secara vertikal atau horizontal dibawah permukaan tanah hingga air tersebut memasuki kembali sistem air permukaan.

Air Permukaan

Air bergerak diatas permukaan tanah dekat dengan aliran utama dan danau; makin landai lahan dan makin sedikit pori-pori tanah, maka aliran permukaan semakin besar. Aliran permukaan tanah dapat dilihat biasanya pada daerah urban.


(8)

Sungai-sungai bergabung satu sama lain dan membentuk Sungai-sungai utama yang membawa seluruh air permukaan disekitar daerah aliran sungai menuju laut. Air permukaan, baik yang mengalir maupun yang tergenang (danau, waduk, rawa), dan sebagian air bawah permukaan akan terkumpul dan mengalir membentuk sungai dan berakhir ke laut. Proses perjalanan air di daratan itu terjadi dalam komponen-komponen siklus hidrologi yang membentuk sisten Daerah Aliran Sungai (DAS). Jumlah air di bumi secara keseluruhan relatif tetap, yang berubah adalah wujud dan tempatnya.

Dengan demikian ada empat macam proses dalam siklus hidrologi yang harus dipelajari oleh para ahli hidrologi dan para ahli bangunan air, yaitu:

a. presipitasi b. evaporasi c. infiltrasi d. surface run off

III.3. Hujan

III.3.1. Pengertian Hujan

Terjadinya hujan disebabkan penguapan air, terutama air dari permukaan laut yang naik ke atmosfer, mendingin dan kemudian menyuling dan jatuh sebagian di atas laut dan sebagian ai atas daratan, sebagian meresap ke dalam tanah (infiltrasi), sebagian di tahan tumbuh-tumbuhan (intersepsi), sebagian menguap kembali (evaporasi) dan sebagian menjadi lembab. Air yang meresap ke dalam tanah sebagian menguap melalui pori-pori di dalam tanah (evapotranspirasi) dan demikian pula air yang ditahan tumbuh-tumbuhan sebagian menguap (transpirasi), Air hujan yang menguap, yang meresap ke dalam tanah, yang ditahan tumbuh-tumbuhan dan transpirasi tidak ikut menjadi aliran air di dalam sungai dan disebut air hilang.


(9)

Para pakar hidrologi telah lama mengetahui bahwa dari seluruh jumlah prespitasi yang jatuh ke wilayah daratan, hanya seperempatnya yang kembali ke laut melalui limpasan langsung (direct runoff) atau aliran air tanah (ground water flow). Penguapan dari permukaan laut adalah sumber utama air hujan, dan diperkirakan tidak lebih dari sepuluh persen dari hujan di daratan berasal dari penguapan dari daratan.

Dalam data hujan ada 5 buah unsur yang harus kita tinjau, yaitu:

a. intensitas i, adalah laju curah hujan = tinggi air per satuan waktu, misalnya mm/menit, mm/jam, mm/hari.

b. lama waktu atau durasi t, adalah lamanya curah hujan terjadi dalam menit atau jam.

c. tinggi hujan d, adalah banyaknya atau jumlah hujan yang dinyatakan dalam ketebalan air di atas permukaan dasar, dalam mm.

d. frekuensi, adalah frekuensi terjadinya hujan, biasanya dinyatakan dengan waktu ulang (return period) T, misalnya sekali dalam T tahun.

e. luas, adalah luas geografi curah hujan A, dalam km2.

Hubungan antara intensitas, durasi dan tinggi hujan dinyatakan sebagai berikut:

= ∫ � ≈ ∑ ∆ ... (3-1) Intensitas rata-rata I̅ dirumuskan sebagai berikut:

�̅ =

... (3-2)

III.3.2. Karakteristik Hujan III.3.2.1. Durasi Hujan

Durasi hujan adalah lamanya kejadian hujan yang diperoleh dari hasil pencatatan alat ukur hujan otomatis (dalam menitan, jam-jaman ataupun harian). Dalam perencanaan drainase, durasi hujan sering diakitkan dengan waktu konsentrasi, khusunya pada drainase permukaan diperlukan durasi relatif pendek, mengingat akan toleransi lamanya genangan.


(10)

III.3.2.2. Intensitas Curah Hujan

Intensitas curah hujan adalah jumlah hujan dalam ratio satuan waktu, yang biasanya dinyatakan dalam milimeter per jam. Besarnya intensitas curah hujan berbeda-beda, tergantung dengan lamanya curah hujan dan frekuensi kejadian.

Pada umumnya semakin besar durasi hujan t, intensitas hujannya semakin kecil. Jika tidak ada waktu untuk mengamati besarnya intensitas hujan atau karena disebabkan tidak adanya alat untuk mengamati, maka dapat ditempuh cara empiris dengan menggunakan rumus-rumus berikut ini:

- Talbot (1881)

� =

+ ... (3-3) - Sherman (1905)

� =

... (3-4) - Inshiguro

� =

√ + ... (3-5) - Mononobe

� =

/ ... (3-6) di mana:

i = intensitas curah hujan (mm/jam)

t = waktu (durasi) curah hujan, menit untuk persamaan (3-3), (3-4) dan (3-5), dan jam untuk persamaan (3-6)

a,b = konstanta


(11)

III.3.2.3. Waktu Konsentrasi

Waktu konsentrasi adalah waktu yang diperlukan air untuk mengalir dari titik yang paling jauh pada aliran ke titik kontrol yang ditentukan di bagian hilir saluran. Waktu konsentrasi dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu:

- Inlet time (t0) yakni waktu yang diperlukan oleh air untuk mengalir di atas permukaan tanah menuju aluran drainase.

- Conduit time (td) yakni waktu yang diperlukan oleh air untuk mengalir di sepanjang saluran drainase sampai ke titik kontrol yang diperlukan.

Waktu konsentrasi (tc) dapat dihitung dengan rumus (3-7).

tc = to + td... (3-7)

III.3.3. Curah Hujan Rencana

Berdasarkan peta jaringan stasiun hidrologi, dapat diketahui letak titik data terhadap jaringan keseluruhan dan dapat diketahui daerah yang dapat diwakili oleh data tersebut. Data hujan memuat catatan tinggi hujan harian dari stasiun hujan. Data hujan dapat berasal dari stasiun hujan otomatis ataupun manual. Data hujan dari stasiun hujan otomatis menginformasikan catatan hujan setiap waktu, data ini digunakan untuk analisis distribusi hujan.

Dari data hujan yang ada dapat diketahui tinggi hujan pada titik-titik yang ditinjau, dan selanjutnya dapat dipergunakan untuk analisis banjir akibat hujan. Analisis selanjutnya diarahkan untuk memperkirakan besarnya debit banjir dengan berbagai kala ulang kejadian.

III.3.3.1. Cara Tinggi Rata-Rata (Arithmatic Mean)

Cara mencari tinggi rata-rata curah hujan di dalam suatu daerah aliran dengan cara arithmatic mean merupakan salah satu cara yang sangat sederhana. Biasanya cara ini dipakai pada daerah yang datar dan banyak stasiun curah hujannya, dengan anggapan bahwa di daerah tersebut sifat curah hujannya adalah sama rata (uniform distribution).


(12)

Tinggi rata-rata curah hujan didapatkan dengan mengambil nilai rata-rata pengukuran hujan di pos penakar hujan di areal tersebut. Cara perhitungannya adalah sebagai berikut:

d =

+ + +⋯+ n

= ∑

i

i= ... (3-8) di mana:

d = tinggi curah hujan rata-rata (mm)

d1,d2,d3,...,dn = tinggi curah hujan di stasiun 1,2,3,...,n (mm) n = banyak stasiun penakar hujan

Gambar 3.1. DAS dengan Tinggi Rata-rata

Cara ini akan memberikan hasil yang dapat dipercaya jika stasiun-stasiun penakarnya ditempatkan secara merata di areal tersebut, dan hasil penakaran masing-masing penakar tidak menyimpang jauh dari nilai rata-rata seluruh stasiun di seluruh areal.

III.3.3.2. Cara Poligon Thiessen

Cara ini diperoleh dengan membuat poligon yang memotong tegak lurus pada tengah-tengah garis penghubung dua stasiun hujan. Dengan demikian tiap stasiun penakar Rn akan terletak pada suatu poligon tertentu An. Dengan menghitung perbandingan luas untuk setiap stasiun yang besarnya = An/A, dimana A adalah luas daerah penampungan atau jumlah luas seluruh areal yang dicari tinggi curah hujannya.


(13)

Gambar 3.2. DAS dengan Perhitungan Curah Hujan Poligon Thiessen

Curah hujan rata-rata diperoleh dengan cara menjumlahkan pada masing-masing penakar yang mempunyai daerah pengaruh yang dibentuk dengan menggambarkan garis-garis sumbu tegak lurus terhadap garis-garis penghubung antara dua pos penakar. Cara perhitungannya adalah sebagai berikut:

d =

+ + +⋯ n n

=

∑ i i

... (3-9) di mana:

A = luas areal (km2)

d = tinggi curah hujan rata-rata areal d1,d2,d3,...,dn = tinggi curah hujan di pos 1,2,3,...,n A1,A2,A3,...,An = luas daerah pengaruh pos 1,2,3,...,n

Hasil perhitungan dengan rumus (3-9) lebih teliti dibandingkan perhitungan dengan rumus (3-8).

III.3.3.3. Cara Isohyet

Cara ini terlebih dahulu harus menggambarkan kontur dengan tinggi curah hujan yang sama (isohyet). Kemudian luas bagian diantara isohyet-isohyet yang berdekatan diukur dan harga rata-ratanya dihitung sebagai harga rata-rata berimbang dari nilai kontur seperti terlihat pada rumus (3-10).


(14)

d =

+ A ++ +⋯+⋯ n− + n n

n ... (3-10)

d =

∑ i− + i i

i ... (3-11)

di mana:

A = Luas areal (km2)

d = Tinggi curah hujan rata-rata areal d0, d1, d2,...dn = Tinggi curah hujan di pos 0, 1, 2,...n

A1, A2, A3,...An= Luas bagian areal yang dibatasi oleh isohyet-isohyet yang bersangkutan

Gambar 3.3. DAS dengan Perhitungan Curah Hujan Isohyet

Ini adalah cara yang paling teliti untuk mendapatkan hujan areal rata-rata, tetapi memerlukan jaringan stasiun penakar yang relatif lebih padat yang memungkinkan untuk membuat garis-garis Isohyet. Pada waktu menggambar garis-garis Isohyet sebaiknya juga memperhatikan pengaruh bukit atau gunung terhadap distribusi hujan.

III.3.4. Distribusi Frekuensi Curah Hujan Rencana

Curah hujan rancangan dihitung berdasarkan analisis Probabilitas Frekuensi seperti yang yang mengacu pada SK SNI M-18-1989 tentang Metode Perhitungan debit banjir.


(15)

Tujuan dari analisa distribusi frekuensi curah hujan adalah untuk memperkirakan besarnya variate-variate masa ulang tertentu.

Banyak macam distribusi teoritis yang kesemuanya itu dapat dibagi dua, yaitu diskrit dan kontinu. Diskrit diantaranya adalah Binominal dan Poisson, sedangkan kontinu adalah Normal, Log Normal, Gamma, Beta, Pearson dan Gumbel. Untuk menganalisis probabilitas banjir biasanya dipakai beberapa macam distribusi yaitu:

a. Distribusi Normal b. Distribusi Log Normal

c. Distribusi Log Pearson Type III d. Distribusi Gumbel

III.3.4.1. Distribusi Normal

Fungsi kerapatan kemungkinan (probability density fungtion) distribusi ini adalah sebagai berikut:

P′ x =

√ π. e − −μ

. ... (3-12)

di mana:

P’ = fungsi kerapatan kemungkinan S = standar deviasi

X = nilai rata-rata

μ = variabel alat

Sifat khas lain dari jenis distribusi ini adalalh nilai koefisien skewnees hampi sama dengan nol (Cs ~ 0) dan nilai koefisien kurtosis mendekati tiga (Ck ~ 3).


(16)

III.3.4.2. Distribusi Log Normal

Fungsi kerapatan kemungkinan (probability density function) distribusi ini adalah sebagai berikut:

=

√ �

.

− , − / ... (3-13)

di mana:

Xn = , ln [ + ]

Sn = [ + ]

Besarnya skewness (Cs) = Cv3 + 3.Cv

Besarnya Kurtosis (Ck) = Cv8 + 6.Cv6 +15.Cv4 + 16.Cv2 + 3 Dengan:

P’ = fungsi kerapatan kemungkinan S = standar deviasi

X = nilai rata-rata Variabel = variabel alat

III.3.4.3. Distribusi Log Pearson III

Untuk menghitung banjir perencanaan dalam praktek, The Hydrology Committee of The Water Resources Council USA, menganjurkan pertama kali mentransformasikan data ke nilai-nilai logaritmanya, kemudian menghitung parameter-parameter statistiknya, karena informasi tersebut, maka cara ini disebut Log Pearson Type III. Garis besar analisis ini sebagai berikut:

a) Mengubah data debit banjir tahunan sebanyak n buah. X1, X2, …. , Xn menjadi log X1 , log X2 , log Xn.


(17)

b) Menghitung harga rata-rata, dengan rumus:

log = ∑�= log � ... (3-14) c) Menghitung standar deviasi dengan rumus:

S = √

∑ni= g i− g

− ... (3-15) di mana:

S = standar deviasi

d) Menghitung koefisien kemencengan dengan rumus:

=

.∑�= g �− g

− − ... (3-16) e) Menghitung Logaritma Banjir atau banjir periode ulang T tahun, sebagaii berikut:

log Xt = log x + K . S ... (3-17) dimana K adalah variabel standar untuk x yang besarnya tergantung pada koefisien G, yang dicantumkan pada Tabel 3.1.


(18)

Tabel 3.1. Menentukan Variabel Standar yang Besarnya Tergantung pada G

III.3.4.4. Metode Gumbel

Menurut Gumbel (1941), persoalan tertua adalah berhubungan dengan nilai-nilai ekstrem datang dari persoalan banjir. Tujuan teori statistik nilai-nilai ekstrem adalah untuk menganalisis hasil pengamatan nilai-nilai ekstrem tersebut untuk memperkirakan nilai-nilai ekstrem berikutnya.

Gumbel menggunakan teori nilai ekstrem untuk menunjukkan bahwa dalam deret nilai-nilai ekstrem X1, X2, X3, ..., Xn, dengan sampel-sampel yang sama besar, dan X


(19)

merupakan variabel berdistribusi eksponensial, maka probabilitas kumulatifnya P, pada sembarang nilai di antara n buah nilai Xn akan lebih kecil dari nilai X tertentu (dengan waktu balik Tr), mendekati

= − − −

... (3-18)

Jika diambil Y = a(X-b), maka dapat menjadi

= − −

... (3-19) di mana: e = bilangan alam = 2,7182818...

Y = reduced variante

Jika diambil nilai logaritmanya dua kali berurutan dengan bilangan dasar e didapat

= [ − {− }] ... (3-20) Waktu balik merupakan nilai rata-rata banyaknya tahun (karena Xn merupakan data debit maksimum dalam tahun), dengan suatu variate disamai atau dilampaui oleh suatu nilai, sebanyak satu kali. Jika interval antara 2 buah pengamatan konstan, maka waktu baliknya dapat dinyatakan sebagai berikut :

= ... (3-21)

Ahli-ahli teknik sangat berkepentingan dengan persoalan-persoalan pengendalian banjir sehingga lebih mementingkan waktu balik Tr(X) dari pada probabilitas P(X), untuk itu rumus (3-21) diubah menjadi :

= = [− � −

� ] ... (3-22) Atau

= − [− � −


(20)

Chow menyarankan agar variate X yang menggambarkan deret hidrologi acak dapat dinyatakan dengan rumus berikut ini:

= � + �. ... (3-24) di mana:

= nilai tengah (mean) populasi σ = standar deviasi populasi

K = faktor frekuensi

Apabila jumlah populasi terbatas sampel, maka persamaan (3-24) dapat didefinisikan dengan persamaan, sebagai berikut:

= ̅ + ... (3-25) di mana:

̅ = nilai tengah sampel s = standar deviasi sampel

faktor frekuensi K untuk nilai-nilai ekstrim Gumbel ditulis dengan rumus:

=

− ... (3-26)

= −ln [−ln { �−

� }] ... (3-27) di mana:

YT = Reduced variate

Yn = Reduced mean yang tergantung dari besarnya sampel n


(21)

Tabel 3.2. Standar Deviasi Yn

Tabel 3.3. Reduksi Variate YT


(22)

Dari rumus (3-25) dan (3-26)

X = X̅ +

T− n

n

s

= X̅ −

n

n

+

T n

Jika dimasukkan = dan ̅ − = , maka:

X = b +

a

Y

... (3-28) di mana:

XT = debit banjir periode ulang T tahun YT = reduced variate

III.3.5. Uji Keselarasan Distribusi

Untuk menjamin bahwa pendekatan empiris benar-benar bisa diwakili oleh kurva teoristis, perlu dilakukan uji kesesuaian distribusi, yang biasa dikenal sebagai testing of goodness of fit. Ada dua jenis uji keselarasan yaitu uji keselarasan chi square dan Smirnov Kolmogorof. Pada tes ini biasanya yang diamati adalah hasil perhitungan yang diharapkan.

III.3.5.1. Uji Keselarasan Chi Square

Prinsip pengujian dengan metode ini didasarkan pada jumlah pengamatan yang diharapkan pada pembagian kelas, dan ditentukan terhadap jumlah data pengamatan yang terbaca di dalam kelas tersebut, atau dengan membandingkan nilai chi square (X2) dengan nilai chi square kritis (X2cr). Uji keselarasan chi square menggunakan rumus:

X = ∑

i− i i

i= ... (3-29) di mana: X2 = Harga chi square terhitung

Oi = Jumlah nilai pengamatan pada sub kelompok ke-i Ei = Jumlah nilai teoritis pada sub kelompok ke-i N = Jumlah data


(23)

Suatu distrisbusi dikatakan selaras jika nilai X2 hitung < X2 kritis. Nilai X2 kritis dapat dilihat di Tabel 3.5. Dari hasil pengamatan yang didapat dicari penyimpangannya dengan chi square kritis paling kecil. Untuk suatu nilai nyata tertentu (level of significant) yang sering diambil adalah 5 %. Derajat kebebasan ini secara umum dihitung dengan rumus (3-30).

Dk = K − P + ... (3-30) di mana:

Dk = Derajat kebebasan

P = Nilai untuk distribusi Metode Gumbel, P = 1 Adapun kriteria penilaian hasilnya adalah sebagai berikut:

 Apabila peluang lebih dari 5% maka persamaan dirtibusi teoritis yang digunakan dapat diterima.

 Apabila peluang lebih kecil dari 1% maka persamaan distribusi teoritis yang digunakan dapat diterima.

 Apabila peluang lebih kecil dari 1%-5%, maka tidak mungkin mengambil keputusan, perlu penambahan data.


(24)

Tabel 3.5. Nilai Kritis Untuk Distribusi Chi Square

III.3.5.2. Uji Keselarasan Smirnov Kolmogrof

Uji keselarasan Smirnov-Kolmogorof, sering juga disebut uji keselarasan non parametrik (non parametrik test), karena pengujiannya tidak menggunakan fungsi distribusi tertentu. Prosedurnya adalah sebagai berikut:


(25)

Rumus yang dipakai:

=

∆ �... (3-31)

1. Urutkan dari besar ke kecil atau sebaliknya dan tentukan besarnya nilai masing-masing peluang dari hasil penggambaran grafis data (persamaan distribusinya) :

X1 P’(X1) X2 P’(X2) Xm P’(Xm) Xn P’(Xn)

2. Berdasarkan tabel nilai kritis ( Smirnov – Kolmogorof test ) tentukan harga Do (seperti ditunjukkan pada Tabel 3.6).

Tabel 3.6. Nilai Delta Kritis Untuk Uji Keselarasan Smirnov Kolmogrof

III.4. Analisa Debit Banjir Rencana

Metode untuk mendapatkan debit banjir rencana dapat menggunakan metode sebagai berikut:


(26)

III.4.1. Metode Rasional

Metode ini adalah tertua dan yang terkenal di antara rumus – rumus empiris. Metode ini banyak digunakan untuk sungai – sungai biasa dengan daerah pengaliran yang luasnya lebih dari 100 km2, dan juga perencanaan drainase daerah pengaliran yang relatif sempit. Rumus:

Q = , x C x I x A ... (3-32) di mana:

Q = Debit maksimum (m3/dtk) C = koefisien limpasan

I = intensitas curah hujan selama waktu konsentrasi (mm/jam) A = Luas DAS (km2)

Tabel 3.7. Koefisien Limpasan (oleh Dr. Mononobe)

III.4.2. Metode Haspers

Analisis metode ini pada dasarnya merupakan metode empiris dengan persamaan umum sebagai berikut :


(27)

1. Koefisien Aliran (α) dihitung dengan rumus:

=

+ ,+ , .. ,, ... (3-34)

di mana: A = Luas DAS (km2)

2. Koefisien Reduksi (β) dihitung dengan rumus:

β

= +

+( , . − , t)

+

.

,

... (3-35)

di mana: t = waktu konsentrasi (jam) 3. Waktu konsentrasi dihitung dengan rumus:

t = , . L , . i− , ... (3-36)

di mana: L = panjang sungai (km) i = kemiringan sungai

4. Modul maksimum menurut Haspers dirumuskan:

q =

t

, . ... (3-37) Rt = R + Sx . U

di mana: Rt = curah hujan dengan kala ulang T tahun(mm) t = waktu konsentrasi/lama hujan terpusat (jam) R = curah hujan maksimum rata-rata (mm) Sx = simpangan baku (standar deviasi)


(28)

U = variabel simpangan untuk kala ulang T tahun 5.. Intensitas Hujan

Untuk t < 2 jam

R =

+ − , ... (3-38)

Untuk 2 < t < 19 jam

R =

+ ... (3-39)

Untuk 19 < t < 30 hari

Rt = 0,707 x R24 x (t + 1) ... (3-40)

III.4.3. Metode Melchior

Besarnya debit banjir maksimum dapat dinyatakan dengan persamaan 3.41.

Q a = . . i . A ... (3-41)

di mana:

Qmax = debit banjir maksimum (m3/dtk)

α

T = koefisien pengaliran untuk periode T tahun

β = koefisien reduksi

iT = intensitas hujan rencana (mm) A = Luas DAS (km2)


(29)

Koefisien reduksi dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut:

A =β− , − + . ... (3-42)

Waktu konsentrasi dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut:

t =

V.L... (3-43)

di mana:

V = kecepatan rambat banjir ke tempat titik pengamatan (km/jam) L = panjang sungai dari ujung hulu sampai ke titik pengamatan (km)

Koefisien aliran (α) berkisar antara 0,42 –0,62 dan Melchior menganjurkan untuk memakai α

= 0,52.

III.4.4. Metode Weduwen

Rumus yang dipakai:

= . . . ... (3-44)

di mana:

α = Koefisien Limpasan = , + ,

√ +

tc = waktu konsentrasi

β = koefisien reduksi = +

+ +9�

+�

T = durasi hujan yang diharapkan dapat menyebabkan banjir = 2tc


(30)

a = sumbu panjang ellips (km) b = sumbu pendek ellips (km)

q = besarnya hujan terpusat yang maksimum = . . +

+ (m

3/det/km)

A = luas DAS (km2)

Qp = debit puncak banjir (m3/det)

III.4.5. Hidrograf Satuan Sintetis (HSS) Gama I

Hidrograf Satuan Sintetik Gama I dikembangkan atas riset Dr. Sri Harto di 30 daerah pengaliran sungai di Pulau Jawa pada akhir dekade 1980-an yang mengkombinasikan antara Metode Strahler dan pendekatan Kraijenhorr van der Leur.

Parameter yang diperlukan dalam analisa menggunakan HSS Gamma I antara lain: 1. Luas DAS (A)

2. Panjang alur sungai utama (L)

3. Panjang alur sungai ke titik berat DAS (Lc) 4. Kelandaian / slope sungai (S)

5. Kerapatan jaringan kuras / Drainage Density (D)

Hidrograf Satuan Sintetik Gama I dibentuk oleh 3 (tiga) buah komponen dasar, yaitu : a) Waktu Naik (TR)

Persamaannya adalah : TR = 0,43 [

. �]


(31)

di mana: TR = Waktu Naik (jam)

L = Panjang sungai utama (km)

SIM = Symmetri Factor merupakan parameter bentu DAS = WF x RUA WF = WU/WL

Gambar 3.4. Penentuan Nilai WF

b) Debit Puncak (QP) Persamaannya adalah :

Qp = 0,13836 . A0,5886. TR0,4008. JN0,2381 ... (3-46) di mana:

JN = Jumlah pertemuan sungai yaitu jumlah segmen (ruas) sungai-sungai orde I dikurangi satu


(32)

TR = Waktu naik (jam) A = Luas DAS (km²) c) Waktu Dasar (TB)

Persamaannya adalah :

TB = 27,4132. TR-,0,1457. S-0,0986. SN0,7344. RUA0,2574 ... (3-47) di mana: TB = Waktu dasar (jam)

S = Kemiringan DAS

SN = Source Frequency = Perbandingan antara jumlah segmen sungai tingkat I dengan jumlah segmen semua sungaio (semua tingkat) RUA = Relative Upstream Area = Perbandingan luas DAS sebelah hulu dan

luas DAS


(33)

Bentuk Hidrograf Satuan Sintetis Gama I ditunjukkan pada Gambar 3.6.

Gambar 3.6. Bentuk Hidrograf Satuan Sintetis Gama I

III.4.6. HSS Snyder

Dalam permulaan tahun 1938, F. F. Snyder dari Amerika Serikat, telah mengembangkan rumus empiris dengan koefisien-koefisien empiris yang menghubungkan unsur-unsur hidrograf satuan dengan karakteristik daerah pengaliran.

Unsur-unsur hidrograf tersebut dihubungkan dengan: A = Luas daerah pengaliran (km²)

L = panjang aliran utama (km)

LC = jarak antara titik berat daerah pengaliran dengan pelepasan (outlet) yang diukur sepanjang aliran utama.

Dengan unsur-unsur tersebut Snyder membuat rumus-rumusnya sebagai berikut :

Τp = Ct (L.Lc)0,3 ...(3-48)

tr = �


(34)

Qp = 2,78

... (3-50)

Tb = + ... (3-51) Koefisien-koefisien Ct dan CP harus ditentukan secara empiris, karena besarnya berubah-ubah antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Besarnya Ct = 0,75 – 3,00 sedangkan CP = 0,90 – 1,40.

Menentukan grafik hubungan antara Qp dan t (UH) berdasarkan persamaan Alexseyev sebagai berikut:

Q = Y.Qp ... (3-52)

III.5. Aspek Hidrolika

Hidrolika adalah bagian dari hidrodinamika yang terkait dengan gerak air atau mekanika aliran. Ditinjau dari mekanika aliran, terdapat dua macam aliran yaitu aliran saluran tertutup dan aliran saluran terbuka. Dua macam aliran tersebut dalam banyak hal mempunyai kesamaan tetapi berbeda dalam satu kesatuan penting. Perbedaan tersebut adalah pada keberadaan permukaan bebas. Aliran saluran terbuka mempunyai permukaan bebas, sedang aliran tertutup tidak mempunyai permukaan bebas karena air mengisi penuh seluruh penampang aliran.

Seperti yang kita ketahui, air mengalir dari hulu ke hilir sampai mencapai suatu elevasi permukaan air tertentu seperti permukaan air di danau atau permukaan air di laut. Kecenderungan ini ditunjukkan oleh aliran di saluran alam yaitu sungai. Walaupun pada umumnya perencanaan saluran ditujukan untuk karakteristik saluran buatan, namun konsep hidrolikanya dapat juga diterapkan sama baiknya pada saluran alam.


(35)

III.5.1. Elemen Geometri

Yang dimaksud dengan penampang saluran (channel cross section) adalah penampang yang diambil tegak lurus arah aliran, sedang penampang yang diambil vertikal disebut penampang vertikal (vertcal section). Dengan demikian apabila dasar saluran terbuka terletak horizontal maka penampang saluran akan sama dengan penampang vertikal. Elemen geometri penampang memanjang saluran terbuka dapat dilihat pada Gambar 3.7.

Gambar 3.7. Penampang Memanjang dan Penampang Melintang Saluran Terbuka

III.5.1.1. Luas Tampang Basah

Untuk tampang trapesium luas tampang dicari dengan rumus:

= + ... (3-53) di mana: A = Luas tampang basah (m2)

B = Lebar saluran (m) y = Kedalaman (m)


(36)

III.5.1.2. Keliling Tampang Basah

Untuk mencari harga keliling tampang basah trapesium digunakan rumus:

P = B + y√ + m ... (3-54) di mana: P = Keliling tampang basah (m)

B = Lebar saluran (m) y = Kedalaman (m)

III.5.1.3. Radius Hidrolik

Untuk mencari harga radius hidrolik digunakan rumus:

R =

... (3-55)

di mana: R = Radius hidrolik (m) A = Luas tampang basah (m2) P = Keliling tampang basah (m)

III.5.1.4. Kedalaman Normal

Untuk mencari kedalaman normal digunakan rumus Manning:

Q = A R / I / = By n

+ n

/

I / ... (3-56)

di mana: Q = Debit (m3/s)

A = Luas tampang basah (m2) n = Harga koefisien Manning


(37)

R = Radius hidrolik (m)

P = Keliling tampang basah (m) I = Kemiringan dasar saluran B = Lebar saluran (m) yn = Kedalaman normal (m)

III.5.1.5. Kedalaman Kritis

Untuk mencari harga kedalama kritis tampang trapesium digunakan rumus:

y = √ g ++ ... (3-57)

di mana: Q = Debit (m3/s) B = Lebar Saluran (m) g = gravitasi (9,81 m/s2) yc = Kedalaman kritis (m)

III.5.1.6. Lebar Muka Air

Pada saluran trapesium lebar muka air dicari dengan rumus:

T = y√ + m ... (3-58) di mana: T = Lebar muka air (m)

y = Kedalaman (m)


(38)

III.5.2. Kriteria Aliran

a. Aliran permanen (steady flow) apabila kedalaman aliran tidak berubah atau konstan sepanjang waktu tertentu.

b. Aliran tidak permanen (unsteady flow) apabila kedalaman aliran berubah sepanjang waktu tertentu.

c. Aliran seragam (uniform flow) apabila kedalaman aliran pada setiap tampang saluran adalah sama.

d. Aliran tidak seragam (varied flow) apabila kedalaman aliran berubah sepanjang saluran. Aliran ini dapat berupa “gradually varied flow” atau “rapidly varied flow”. Aliran dapat dikatakan sebagai “rapidly varied flow” apabila kedalaman air berubah secara cepat pada jarak yang relatif pendek.

III.5.3. Aliran Laminer dan Turbulen

Aliran laminer adalah suatu tipe aliran yang ditunjukkan oleh gerak partikel-partikel cairan menurut garis-garis arusnya yang halus dan sejajar. Sebaliknya aliran turbulen tidak mempunyai garis-garis arus yang halus dan sejajar sama sekali. Karakteristik aliran turbulen ditunjukkan oleh terbentuknya pusaran-pusaran dalam aliran, yang menghasilkan percampuran terus menerus antara partikel-partikel cairan di seluruh penampang aliran.

Untuk membedakan aliran apakan turbulen atau laminer, terdapat suatu angka tidak bersatuan yang disebut Angka Reynold (Reynolds Number). Angka ini dihitung dengan persamaan berikut:


(39)

di mana: Re = Angka Reynold

V = Kecepatan rata-rata (m/s) R = Jari-jari hidrolik (m)

� = Viskositas kinematis (m2/s)

Menurut hasil percobaan oleh Reynold, apabila angka kurang dari 2000, aliran biasanya merupakan laminer. Apabila angka Reynold lebih besar dari 4000, aliran biasanya adalah turbulen. Sedangkan antara 2000 sampai 4000 disebut aliran transisi.

III.5.4. Aliran Subkritis, Kritis dan Superkritis

Efek dari gaya gravitasi pada suatu aliran ditunjukkan dalam perbandingan antara gaya inersia dan gaya gravitasi. Rasio antara gaya-gaya tersebut dinyatakan dalam Angka Froude (Fr), yaitu:

F =

√g.V ... (3-60)

di mana: Fr = Froud Number

V = Kecepatan rata-rata aliran (m/s) D = Kedalaman hidrolik (m)

g = gravitasi (9,81 m/s2)

Aliran dikatakan kritis apabila kecepatan aliran sama dengan kecepatan gelombang gravitasi (Fr = 1). jika kecepatan aliran lebih kecil daripada kecepatan kritis, maka alirannya disebut subkritis (Fr < 1), sedangkan jika kecepatan alirannya lebih besar daripada kecepatan kritis, maka alirannya disebut superkritis (Fr > 1).


(40)

III.5.5. Momentum Pada Saluran Terbuka

Untuk menguraikan prinsip-prinsip persamaan momentum pada saluran terbuka

dengan kemiringan dasar saluran θ, menurut hukum Newton II tentang gerak perubahan

momentum aliran air per satuan waktu dalam saluran adalah sama dengan resultan semua gaya-gaya luar yang bekerja pada kedua tampang aliran yang ditinjau. Pada saluran dengan kemiringan besar, penerapan rumusan perubahan momentum per satuan waktu aliran diantara tampang 1 dan 2 (Gambar 3.8), dapat ditulis :

. − . = − + � � − ... (3-61)

Gambar 3.8. Prinsip Kesetimbangan Gaya-gaya dalam Aliran Air pada Saluran dengan

Kemiringan Dasar Saluran

di mana: Q = debit

= berat per volume air = koefisien momentum


(41)

W = berat air yang terdapat diantara kedua tampang

Θ = sudut kemiringan dasar saluran

Fr = jumlah gaya luar dari gesekan dan tahanan yang bekerja disepanjang bidang kontak air dengan saluran.

Persamaan (3-61) dikenal dengan persamaan momentum.

III.5.6. Hydraulic Jump (Loncatan Air)

Apabila tipe aliran di saluran turbulen berubah dari aliran superkritis menjadi subkritis, maka akan terjadi loncat air. Loncat air merupakan salah satu contoh bentuk aliran berubah cepat (rapidly varied flow). Gambar 3.9 menunjukkan tampang memanjang saluran dengan kemiringan berubah dari kemiringan curam menjadi landai. Keadaan ini terjadi misalnya pada kaki bangunan pelimpah. Aliran di bagian hulu adalah subkritis sedang di bagian hilir adalah superkritis. Di antara kedua tipe aliran tersebut terdapat daerah transisi dimana loncat air terjadi.

Gambar 3.9. Loncat Air

Pengaruh gravitasi terhadap aliran dapat dinyatakan dengan angka Froude. Untuk menghitung angka Froude pada awal loncat air dan di bagian hilir setelah loncatan air digunakan persamaan (3-60).

Pada saluran mendatar atau saluran dengan kemiringan kecil yang lurus dan prismatik, gaya-gaya luar akibat gesekan dan pengaruh berat air diabaikan. Persamaan momentum pada saluran terbuka mendatar dapat dijelaskan dalam Gambar 3.10. Dengan memberikan nilai θ = 0, Fr = 0, dan 1 = 2 = 1, maka Persamaan (3-61). dapat ditulis menjadi :


(42)

− = − ... (3-62)

Gambar 3.10. Persamaan Momentum yang Digunakan pada Loncat Air

Gaya- gaya hidrostatik P1 dan P2 dapat dinyatakan sebagai :

=�ℎ = ̅ dan =�ℎ = ̅ ... (3-63) dengan ̅ dan ̅ merupakan jarak titik berat masing-masing bagian air seluas A1 dan A2 dibawah muka air. Dengan mendistribusikan nilai = dan = pada Persamaan (3-62), maka persamaan momentum diatas dapat ditulis menjadi :

� + ̅ = � + ̅ ... (3-64)

Karena kedua suku pada Persamaan (3-64) sejenis, maka untuk setiap tampang berlaku fungsi umum :

= + ̅ ... (3-65)

Persamaan (3-65) merupakan fungsi yang memuat dua hal, yaitu momentum aliran melalui tampang saluran per satuan waktu tiap satuan berat air dan gaya persatuan berat air. Keduanya merupakan gaya per satuan berat air, maka jumlahnya disebut gaya spesifik.

III.5.7. Energi Spesifik

Secara umum jumlah energi pada penampang saluran dinyatakan dengan :

= + cos � +� ... (3-66) Menurut prinsip kekekalan energi, jumlah tinggi energi pada penampang 1 dihulu akan sama dengan jumlah tinggi energi pada penampang 2 di hilir akan sama dengan jumlah tinggi hf di antara kedua penampang dan dinyatakan dengan persamaan energi dari Bernoulli :


(43)

Gambar 3.11. Persamaan Energi dalam Saluran Terbuka Berubah Beraturan

+ cos � + � = + cos � + � + ℎ ... (3-67) dan, menurut Persamaan (3-67) untuk z = 0, energi spesifik adalah :

= cos � + � ... (3-68) Atau, untuk saluran yang kemiringannya kecil dan = 1

= ℎ +� ... (3-69)

III.5.8. Kehilangan Energi

Gambar 3.12. Kehilangan Energi pada Loncat Air

Kehilangan energi pada loncat air adalah sama dengan perbedaan energi spesifik sebelum dan setelah loncat air yang diberikan oleh bentuk :

∆ = −


(44)

∆ = ℎ ℎ + �ℎ�ℎ

∆ = ℎ − ℎ + �ℎ ℎ (ℎ − ℎ )

Persamaan (3-69) digunakan untuk mengeleminasi nilai q, sehingga :

∆ = − = ℎ −ℎℎ ℎ ... (3-70)

III.6. Bendung Pelimpah

III.6.1. Umum

Menurut Standart Tata Cara Perencanaan Umum Bendung, yang diartikan dengan bendung adalah suatu bangunan air dengan kelengkapan yang dibangun melintang sungai yang sengaja dibuat untuk meninggikan taraf muka air atau untuk mendapatkan tinggi terjun, sehingga air dapat disadap dan dapat dialirkan secara gravitasi ketempat yang membutuhkan. Bendung berfungsi antara lain untuk meninggikan taraf muka air, agar air sungai dapat disadap sesuai dengan kebutuhan dan untuk mengendalikan aliran, angkutan sedimen dan geometri sungai sehingga air dapat dimanfaatkan secara aman, efektif, efisien, optimal.

III.6.2. Klasifikasi Bendung

Berdasarkan fungsinya bendung dapat diklasifikasikan dalam bendung pembagi banjir, bendung penahan air pasang dan bendung penyadap. Selain itu tergantung dari konstruksinya bendung dapat pula diklasifikasikan dalam bendung tetap dan bendung bergerak.

 Berdasarkan fungsi

- Bendung Pembagi Banjir

Bendung semacam ini didirikan pada percabangan sungai untuk mengatur muka air, sehingga terjadi pemisahan antara debit banjir dan debit rendah sesuai dengan kapasitas yang telah ditetapkan sebelumnya.


(45)

- Bendung Penahan Air Pasang

Bendung ini dibangun di bagian sungai yang dipengaruhi pasang-surut air laut untuk mencegah masuknya air asin dan untuk menjamin, agar aliran air sungai senantiasa dalam keadaan normal.

- Bendung Penyadap

Bendung ini digunakan untuk mengatur muka air di dalam sungai guna memudahkan penyadapan airnya untuk keperluan air minum, air perkotaan, irigasi dan pembangunan tenaga listrik.

- Lain-lain

Terdapat pula beberapa tipe khusus, antara lain bendung untuk mengatur muka air debit sungai dan mengatur resim hidrologi sungai, bendung yang berfungsi sebagai ambang untuk mencegah turunnya dasar sungai yang biasanya dibangun pada suatu saluran pembuang, saluran banjir atau sudetan, bendung untuk menjaga air sungai pada kedalaman tertentu yang diperlukan bagi lalu-lintas sungai dan bendung serbaguna yang memiliki beberapa fungsi.

 Berdasarkan Tipe Konstruksi - Bendung Tetap

Bendung Tetap adalah bendung yang terdiri dari ambang tetap, sehingga muka air banjir tidak dapat diatur elevasinya. Dibangun umumnya disungai-sungai ruas hulu dan tengah.

- Bendung Gerak

Merupakan bangunan berpintu yang dibuka selama aliran besar. Bendung gerak dapat mengatur muka air di depan pengambilan agar air yang masuk tetap sesuai dengan kebutuhan irigasi, kesulitan pada bendung gerak adalah pintu harus tetap dijaga dan dioperasikan dengan baik dalam keadaan apapun.


(46)

III.6.3. Bentang Bendung

Bentang bendung adalah jarak antara pangkal-pangkal (Abutment) sebaiknya sama dengan lebar rata-rata sungai pada bagian yang stabil. Persamaannya sebagai berikut:

= − + ... (3-71)

di mana: Be = lebar efektif mercu (m)

B = lebar mercu yang sebenarnya (m) n = jumlah pilar

Kp = koefisien kontraksi pilar

Ka = koefisien kontraksi pangkal bendung H1 = tinggi energi (m)

Gambar 3.13. Lebar Efektif Mercu III.6.4. Perencanaan Mercu Bulat

Bendung dengan mercu bulat memiliki harga koefisien debit yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan koefisien bendung ambang lebar. Pada sungai,hal ini akan banyak memberikan keuntungan karena bangunan ini akan mengurangi tinggi muka air hulu selama


(47)

banjir. Harga koefisien debit menjadi lebih tinggi karena lengkung streamline dan tekanan negatif pada mercu.

Tekanan pada mercu adalah fungsi perbandingan antara hd dan r ( H1/r ). Untuk bendung dengan dua jari – jari ( R2 ), jari – jari hilir akan digunakan untuk menemukan harga koefisien debit.

Untuk menghindari bahaya cavitasi local, tekanan minimum pada mercu bendung harus dibatasi sampai –4 m tekanan air jika mercu tersebut dari beton. Untuk pasangan batu tekanan sub atmosfer sebaiknya dibatasi sampai –1 m tekanan air. Untuk menghitung debit yang melimpas di atas mercu digunakan rumus (3-72).

= ⁄ √ ⁄ . . . . ... (3-72) di mana: Q = debit (m3/dt)

Cd = koefisien debit (Cd = C0C1C2) g = percepatan gravitasi (9,81 m/dt2) Be = bentang efektif bendung (m) H1 = tinggi energi di atas mercu (m) Koefisien debit Cd adalah hasil dari:

- C0 yang merupakan fungsi H1/r (lihat Gambar 3.14) - C1 yang merupakan fungsi p/H1 (lihat Gambar 3.15), dan


(48)

C0 mempunyai harga maksimum 1,49 jika H1/r lebih dari 5,0 seperti diperlihatkan pada Gambar 3.14.

Gambar 3.14. Harga-harga Koefisien C0 untuk Bendung Ambang Bulat sebagai Fungsi Perbandingan H1/r

Gambar 3.15. Koefisien C1 sebagai Fungsi Perbandingan p/H1

Harga-harga koefisien koreksi untuk pengaruh kemiringan muka bendung bagian hulu terhadap debit diberikan pada Gambar 3.16. Harga koefisien koreksi, C2, diandaikan kurang lebih sama dengan harga faktor koreksi untuk bentuk-bentuk mercu tipe Ogee.

Gambar 3.16. Harga-harga Koefisien C2 untuk Bendung Mercu Tipe Ogee dengan Muka Hulu Melengkung


(49)

Bentuk-bentuk mercu bulat dapat dilihat pada gambar di bawah:

(dengan dua jari-jari) (dengan satu jari-jari)

Gambar 3.17. Tipe Mercu Bulat III.6.5. Peredam Energi

Aliran di atas mercu bendung di sungai dapat menunjukkan berbagai perilaku di sebelah hilir bendung akibat kedalaman air yang ada. Gambar 3.14 menyajikan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dari pola air diatas bendung.

 Gambar A menunjukkan aliran tenggelam yang menimbulkan gangguan di permukaan berupa timbulnya gelombang.

 Gambar B menunjukkan loncatan tenggelam diakibatkan oleh kedalaman air di hilir besar.

 Gambar C keadaan loncat air di mana kedalaman air di hilir sama dengan kedalaman konjugasi loncat air.

 Gambar D terjadi apabila kedalaman air di hilir kurang dari kedalaman konjungsi sehingga loncatan akan bergerak ke hilir.

Semua tahap ini biasa terjadi di bagian hilir bendung yang dibangun di sungai. Kasus D keadaan yang tidak boleh terjadi, karena loncatan air akan menghempas bagian sungai yang tak terlindungi dan menyebabkan penggerusan luas.


(50)

Gambar 3.18. Kondisi Aliran di Atas Mercu III.6.6. Kolam Olak

Tipe kolam olak yang akan direncana di sebelah hilir bangunan tergantung pada energi yang masuk, yang dinyatakan dengan bilangan Froude, dan pada bahan konstruksi kolam olak. Berdasarkan bilangan Froude, dapat dibuat pengelompokan – pengelompokan dalam perencanaan kolam sebagai berikut :

1. Untuk Fr 1,7 tidak diperlukan kolam olak. Pada saluran tanah bagian hilir harus dilindungi dari bahaya erosi.

2. Bila 1,7 < Fr 2,5 maka kolam olak diperlukan untuk meredam energi secara efektif. Kolam olak dengan ambang ujung mampu bekerja dengan baik.

3. Jika 2,5 < Fr 4,5 maka loncatan air tidak terbentuk dan menimbulkan gelombang sampai jarak yang jauh di saluran. Kolam olak yang digunakan untuk menimbulkan turbulensi (olakan) yakni tipe USBR tipe IV.

4. Untuk Fr 4,5 merupakan kolam olak yang paling ekonomis, karena kolam ini pendek. Kolam olak yang sesuai adalah kolam USBR tipe III.


(51)

III.6.6.1. Kolam Olak Tipe USBR

Beberapa tipe kolam olak ini telah dikembangkan oleh USBR. Pinggir dari tipe ini adalah vertikal dan pada umumnya mempunyai lantai yang panjang, blok –blok dan ambang hilir biasa maupun ambang hilir bergigi. Ruang olak dengan blok – blok dan ambang tidak baik untuk sungai yang mengangkut batu.

Macam-macam kolam olak tipe USBR sebagai berikut:

1. Kolam olak USBR I, kolam yang terbentuk oleh loncatan hidraulik yang terjadi pada lantai dasar. Tipe ini biasanya tidak praktis karena terlalu panjang dan di pakai untuk bilangan Froude ( Fr =2,5-4,5 ). Gambar dapat dilihat pada Gambar 3.15 sebagai berikut :

Gambar 3.19. Kolam Olak Tipe USBR I

2. Kolam olak USBR II, dikembangkan untuk kolam olak yang banyak digunakan pada bendungan tinggi, bendungan urug tanah dan struktur – struktur saluran besar. Kolam olak dilengkapi dengan blok – blok di ujung hulu dan ambang bergigi di ujung hilir. Panjang kolam olak dapat diperoleh dari kurva yang dibuat oleh biro tersebut. Kolam olak USBR II dapat dipakai pada bilangan Froude lebih besar atau sama dengan 4,5 (Fr 4,5 ), dengan catatan kecepatan V1 16 m/dt untuk menghindari kavitasi. Gambar dapat dilihat pada Gambar 3.16 sebagai berikut :


(52)

Gambar 3.20. Kolam Olak Tipe USBR II

3. Kolam olak USBR III, digunakan pada bangunan drainase kecil dengan panjang ruang olak: = ,

�� , tetapi mempunyai faktor keamanan yang lebih tinggi. Kolam USBR dapat dipakai untuk bilangan Froude lebih besar atau sama dengan 4,5 (Fr 4,5), tetapi bila kecepatan V1 = 16 m/dt. Gambar dapat dilihat pada Gambar 3.17 sebagai berikut :


(53)

4. Kolam olak USBR IV dirancang untuk mengatasi persoalan pada loncatan hidrolis yang berosilasi. Kolam olak ini hanya dapat digunakan untuk penampang persegi panjang. Kolam olak USBR IV dipakai untuk bilangan Froude 2,5 sampai 4,5. Gambar dapat dilihat pada Gambar 3.18 sebagai berikut :

Gambar 3.22. Kolam Olak Tipe USBR IV III.6.6.2. Kolam Olak Vlughter

Kolam Olak Vlughter, (Gambar 3.19) Kolam ini tidak bisa digunakan pada tinggi air hilir di atas dan di bawah tinggi muka air yang telah diuji di laboratorium. Penyelidikan menunjukkan bahwa tipe bak tenggelam yang perencanaannya hampir sama dengan kolam Vlughter lebih baik. Karena kolam Vlughter tidak bisa digunakan pada bendung yang debitnya selalu mengalami fluktuasi. Kolam olak untuk bangunan terjun di saluran irigasi mempunyai batas – batas yang diberikan untuk z/hc 0,5; 2,0 dan 1,5 dihubungkan dengan bilangan Froude yaitu 1,0; 2,8 dan 12,8. Bilangan bilangan Froude diambil pada kedalaman z di bawah tinggi energi hulu, bukan pada lantai kolam untuk kolam loncat air.

ℎ = √ ... (3-73) Jika , <

ℎ , maka = , ℎ + ,

Jika , <


(54)

= , ℎ √ℎ

Gambar 3.23. Kolam Olak Tipe Vlughter III.7. Sabo Dam

Sabo suatu terminologi teknik berasal dari bahasa Jepang, yaitu Sa = Sand = pasir dan bo = pengendali, jadi Sabo adalah pengendali pasir, dimana Sabo dalam pengertian secara luas berarti erosion and sediment control works atau pekerjaan pengendalian erosi dan sedimentasi. Istilah Bangunan Sabo berarti bangunan untuk penanggulangan pasir dan krikil yang pada hakekatnya merupakan usaha untuk mencegah lahan pegunungan terhadap kerusakan akibat erosi, melindungi penduduk dan infrastruktur di bagian hilir terhadap bencana akibat erosi dan sedimentasi.

Terjadinya pergerakan sedimen dan erosi sehingga menyebabkan perpindahan massa sedimen dari satu tempat ke tempat yang lain biasanya mempunyai potensi untuk menimbulkan kerusakan-kerusakan material terhadap bangunan-bangunan prasarana, rumah-rumah, lahan-lahan pertanian maupun jiwa manusia. Proses erosi dan sedimentasi ini terutama di sebabkan oleh energi air yang mengalir hingga dapat mengangkut tebing yang mengakibatkan longsoran. Transport sedimen di alur sungai biasanya di sebabkan oleh volume dan kecepatan air yang terlalu besar. Penambahan volume dan kecepatan air dalam hal ini umumnya diakibatkan oleh bertambahnya curah hujan di hulu.


(55)

sistem aliran pada culvert. Dua kondisi dasar mengenai aliran pada culvert adalah apabila lubang masuk terendam (submerged) atau tidak terendam (unsubmerged) oleh ketinggian muka air hulu. Jika lubang masuk tidak terendam, maka lubang masuk tersebut berfungsi seperti weir. Jika lubang masuk terendam, maka akan berfungsi seperti orifice.

Diantara kondisi unsubmerged dan submerged tersebut, terdapat zona transisi yang dapat didefenisikan dengan menggambarkan kurva antara kurva kondisi unsubmerged dan kondisi submerged. Rumus yang digunakan untuk kondisi unsubmerged dan submerged masing-masing adalah sebagai berikut:

Unsubmerged Flow

= [ . ] … … … −

Submerged Flow

= [ . ] + − . … … … −

di mana: HW = tinggi muka air hulu (m) D = tinggi lubang (m) Q = debit (m3/det) A = luas lubang (m2) S = kemiringan lubang K,M,c,Y = konstanta dari tabel 3.8


(56)

(57)

Pada saat ketinggian muka air telah melewati puncak mercu, maka akan terjadi limpasan dari atas mercu (overtopping flow). Aliran ini hampir sama dengan aliran pada ambang lebar. Untuk menghitung aliran pada mercu digunakan rumus sebagai berikut:

= . … … … −

di mana:

Qo = debit di atas mercu (m3/det)

Cd = koefisien debit dilihat dari grafik (untuk satuan SI dikalikan 0,552)

L = panjang mercu (m)

HWr = kedalaman di hulu, diukur dari puncak mercu (m)


(58)

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN DAN ANALISIS

IV.1. Metodologi Penelitian

IV.1.1. Metode Evaluasi

Untuk mendapatkan hasil evaluasi yang baik sangat diperlukan data-data yang akurat. Ada dua macam data yang dapat kita kumpulkan, data-data tersebut yaitu data primer dan data sekunder.

IV.1.1.1. Pengumpulan Data Primer

Sumber data primer ini diperoleh dari :

 Pengamatan langsung di lapangan

Dengan adanya pengamatan dan peninjauan langsung di lapangan ini, diharapkan dapat memahami keadaan dan kondisi lapangan dengan baik, sehingga studi rehabilitasi dapat berjalan dengan baik.

 Petugas di lokasi bendung

 Foto Floodway dan Bendung Deli

IV.1.1.2. Pengumpulan Data Sekunder

Sumber data sekunder ini diperoleh dari instansi-instansi terkait seperti DPU Pengairan, DPU PSDA, BMG dan lain-lain. Adapun data-data sekunder yang dimaksud adalah :

 Data hidrologi

Data debit sungai

Data skema debit banjir


(59)

IV.1.2. Pengolahan Data

Data yang telah terkumpul kemudian dianalisa, sehingga didapatkan kesimpulan tentang kondisi bendung yang ada saat ini.

IV.1.3. Kesimpulan

Dari hasil perbandingan tersebut dapat dicari upaya alternative – alternative penanganan, sehingga diharapkan bangunan dapat berfungsi secara optimal.

IV.1.4. Bagan Alir Tugas Akhir

Penyusunan laporan dari pengumpulan data sampai pengambilan kesimpulan beserta saran diwujudkan dalam bagan alir langkah-langkah pembuatan tugas akhir

Gambar 4.1. Bagan Alir Langkah-langkah Pembuatan Tugas Akhir

MULAI

SURVEY LAPANGAN DAN INVESTIGASI

STUDI LITERATUR IDENTIFIKASI MASALAH

PENGUMPULAN DATA: 1. DATA PRIMER (foto bendung)

2. DATA SEKUNDER (data hidrologi, data klimatologi, DAS, topografi)

PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA: 1. Analisis Debit banjir

2. Analisa Hubungan Tinggi Muka Air dengan Debit


(60)

IV.2. Analisis Data

IV.2.1. Pos Duga Air Sungai Deli-Simeme

IV.2.1.1. Data Debit Harian Maksimum Tahunan

Data debit harian maksimum tahunan dapat dilihat pada tabel 4.1. sebagai berikut:

Tabel 4.1. Data Debit Harian Maksimum Tahunan Pos Deli-Simeme

IV.2.1.2. Analisa Debit Banjir Rencana

Tidak semua nilai dari suatu variabel hidrologi terletak atau sama dengan nilai rata-ratanya,tetpi kemungkinan ada nilai yang lebih besar atau lebih kecil dari nilai rata-ratanya. Untuk menghitung besarnya dispersi dapat dilakukan pengukuran dispersi, yakni melalui perhitungan parametrik statistik untuk (Xi – Xrt), (Xi – Xrt)2, (Xi – Xrt)3 dan (Xi – Xrt)4 terlebih dahulu. Pengukuran dispersi ini untuk analisa distribusi Normal dan Gumbel.

di mana: Xi = besarnya debit harian maksimum bulanan (m3/det) Xrt = rata-rata debit harian maksimum bulanan (m3/det) No Tahun Debit Harian Maksimum Tahunan (m

3/det) Qmaks

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nov Des (m3/det)

1 2004 16.90 18.20 22.60 16.30 18.80 16.90 19.00 25.10 27.00 22.40 33.50 17.20 33.50 2 2005 22.54 11.90 13.01 31.05 13.93 15.11 13.93 15.04 15.11 37.88 32.32 12.42 37.88 3 2006 49.17 15.12 27.52 32.02 27.12 24.50 20.53 13.85 41.84 27.35 24.48 14.52 49.17 4 2007 15.13 11.80 40.97 14.55 9.30 8.60 7.07 15.13 14.55 22.16 14.55 20.80 40.97 5 2008 7.74 5.51 12.98 8.73 5.77 3.68 7.68 11.50 8.99 8.99 8.71 6.65 12.98 6 2009 44.74 6.44 2.18 23.05 19.07 2.84 1.65 18.11 60.74 15.18 18.42 20.32 60.74 7 2010 20.63 13.87 8.81 8.82 7.39 11.77 17.04 15.32 20.20 24.13 23.97 44.99 44.99 8 2011 44.63 26.31 9.09 9.34 10.35 12.05 15.35 12.47 12.93 12.01 9.56 6.77 44.63 9 2012 8.92 24.12 22.35 10.05 30.73 19.10 19.52 20.55 35.23 38.22 12.71 7.15 38.22 10 2013 25.81 23.50 16.37 22.24 19.74 45.56 20.69 19.83 23.95 38.27 21.54 40.21 45.56


(61)

Sedangkan untuk pengukuran besarnya dispersi Logaritma dilakukan melaui perhitungan parametrik statistik untuk (Log Xi – Log Xrt), (Log Xi – Log Xrt)2, (Log Xi Log Xrt)3 dan (Log Xi – Log Xrt)4 terlebih dahulu. Pengukuran dispersi ini digunakan untuk analisa distribusi Log Normal dan Log Pearson Type III.

di mana: Log Xi = besarnya logaritma debit harian maksimum (m3/det)

Log Xrt = besarnya logaritma rata-rata debit harian maksimum (m3/det)

Bulan Januari

Perhitungan parameter statistik Bulan Januari untuk analisa Distribusi Gumbel dapat dilihat pada tabel 4.2. sebagai berikut:

Tabel 4.2. Parameter Statistik untuk Distribusi Gumbel

Xi (Xi - X̅) (Xi - X̅)2 (Xi - )3 (Xi - )4 SD Cs Ck Cv

49.17 23.549 554.560 13059.392 307536.917

15.278 0.568 1.414 0.596 44.74 19.119 365.540 6988.796 133619.480

44.63 19.009 361.346 6868.860 130570.847 25.81 0.189 0.036 0.007 0.001 22.54 -3.081 9.492 -29.244 90.097 20.63 -4.991 24.909 -124.319 620.462 16.90 -8.721 76.054 -663.260 5784.226 15.13 -10.492 110.080 -1154.948 12117.599 8.92 -16.701 278.920 -4658.216 77796.400 7.74 -17.881 319.727 -5716.999 102225.089

∑ 256.29 0.000 2100.663 14570.068 770361.119

25.621

Macam pengukuran dispersi antara lain sebagai berikut:

1. Standar Deviasi (S)

Perhitungan standar deviasi digunakan rumus sebagai berikut:


(62)

S = √ , = , 2. Koefisien Skewness (Cs)

Perhitungan koefisien skewness digunakan rumus sebagai berikut:

C = n − nn − x ∑ (Xi− XS )

C = x , , = ,

3. Pengukuran Kurtosis (Ck)

Pengukuran kurtosis digunakan rumus sebagai berikut:

C = n∑i= SXi− X̅

C = x , , = ,

4. Koefisien Variasi (Cv)

Pengukuran koefisien variasi digunakan rumus sebagai berikut:

C =S X̅


(63)

Perhitungan parameter statistik untuk analisa distribusi Log Normal dan Log Pearson Type III dapat dilihat pada tabel 4.3. sebagai berikut :

Tabel 4.3. Parameter Statistik untuk Distribusi Log Normal dan Log Pearson III

Log Xi

Log Xi -

Log X

̅̅̅̅̅̅̅ (Log Xi - Log X̅̅̅̅̅̅̅)2

(Log Xi -

Log X ̅̅̅̅̅̅̅)3

(Log Xi -

Log X

̅̅̅̅̅̅̅)4 SD Cs Ck Cv

1.692 0.360 0.130 0.047 0.017

0.282 -0.220 1.770 0.212 1.651 0.319 0.102 0.032 0.010

1.650 0.318 0.101 0.032 0.010 1.412 0.080 0.006 0.001 0.00004 1.353 0.021 0.0004 0.00001 0.0000002 1.314 -0.017 0.0003 -0.00001 0.0000001 1.228 -0.104 0.011 -0.001 0.0001 1.180 -0.152 0.023 -0.004 0.001 0.950 -0.381 0.145 -0.055 0.021 0.889 -0.443 0.196 -0.087 0.039

∑ 13.318 0.000 0.715 -0.035 0.098

Log X

̅̅̅̅̅̅̅ 1.332

Pengukuran dispersi logaritma antara lain sebagai berikut:

1. Standar Deviasi (S)

Perhitungan standar deviasi digunakan rumus sebagai berikut:

S = √∑ (log Xi= n −i− log X̅̅̅̅̅̅)

S = √ , − = ,

2. Koefisien Skewness (Cs)

Perhitungan koefisien skewness digunakan rumus sebagai berikut:


(64)

C = x − , , = − , 3. Pengukuran Kurtosis (Ck)

Perhitungan kurtosis digunakan rumus sebagai berikut:

C = n∑i= log XSi− log X

C = x ,, = , 4. Koefisien Variasi (Cv)

Perhitungan koefisien variasi digunakan rumus sebagai berikut:

C =log XS

C = ,, = ,

Selanjutnya menghitung debit rencana dengan menggunakan Distribusi Gumbel, Distribusi Log Normal dan Distribusi Log Pearson III.

o Distribusi Gumbel

Rumus untuk Distribusi Gumbel adalah: Rt = R + k . SD


(65)

- Contoh perhitungan untuk Q2

Dari tabel dapat dihitung k untuk 2 tahun:

k = , , − , = − ,

maka untuk Q2 dihitung:

Q = , + − , . ,

Q = , m3/det sehingga didapat

Q̅ SD k T Q

25,621 15,278 -0,13553075 2 23,550 25,621 15,278 1.058024431 5 41,785 25,621 15,278 1.800758214 10 53,133 25,621 15,278 2.596251053 20 65,286 25,621 15,278 2.846777591 25 69,114 25,621 15,278 3.587510531 50 80,431 25,621 15,278 4.322767481 100 91,644

o Distribusi Log Normal

Rumus yang digunakan dalam metode ini adalah:

log X = log X̅̅̅̅̅̅ + S. K

- Contoh perhitungan untuk Q2

Dari tabel di dapat Kt untuk 2 tahun adalah 0, maka:

log X = , + , x log X = ,332


(66)

Sehingga didapat:

log Q

̅̅̅̅̅̅̅ SD Kt T log Q Q 1,332 0,282 0 2 1,332 21,478 1,332 0,282 0,84 5 1,569 37,058 1,332 0,282 1,28 10 1,693 49,313 1,332 0,282 1,64 20 1,795 62,299 1,332 0,282 1,708 25 1,814 65,111 1,332 0,282 2,05 50 1,910 81,302 1,332 0,282 2,33 100 1,989 97,512

o Distribusi Log Pearson III

Rumus yang digunakan adalah:

log X = log X̅̅̅̅̅̅ + k . S

- Contoh perhitungan untuk Q2

Dari tabel di dapat k untuk 2 tahun adalah 0,0364, maka:

log X = + , x , log X = ,

Xt = 21,992 m3/det Sehingga didapat:

log

̅̅̅̅̅̅̅ SD k T log Q Q 1,332 0,282 0,0364 2 1.34226 21.992 1,332 0,282 0,8506 5 1.57187 37.31378 1,332 0,282 1,2554 10 1.68602 48.5314 1,332 0,282 1,3945 20 1.72524 53.11774 1,332 0,282 1,6726 25 1.80367 63.63165 1,332 0,282 1,934 50 1.87739 75.40289 1,332 0,282 2,1632 100 1.94202 87.50289

Selanjutnya dilakukan perhitungan seperti di atas untuk bulan-bulan berikutnya dan untuk debit maksimum, sehingga akan didapat hasil akhir sebagai berikut:


(67)

o Distribusi Gumbel

Tabel 4.4. Debit Periode Ulang Distribusi Gumbel

T

2 5 10 20 25 50 100

JAN 23.550 41.785 53.133 65.286 69.114 80.431 91.664 FEB 14.694 23.351 28.738 34.508 36.325 41.697 47.030 MAR 16.074 29.408 37.706 46.593 49.392 57.668 65.882 APR 16.393 27.157 33.856 41.031 43.290 49.971 56.602 MEI 15.085 25.081 31.301 37.964 40.062 46.265 52.423 JUN 14.339 29.067 38.232 48.049 51.140 60.281 69.354 JUL 13.349 21.245 26.158 31.420 33.077 37.977 42.841 AGS 16.123 21.113 24.217 27.542 28.590 31.686 34.759 SEP 23.891 42.937 54.789 67.482 71.480 83.300 93.032 OKT 23.189 36.131 44.185 52.810 55.527 63.558 71.531 NOV 18.786 29.268 35.790 42.776 44.976 51.482 57.939 DES 17.274 33.382 43.406 54.142 57.523 67.520 77.443 Qmax 39.195 53.894 63.040 72.837 75.922 85.044 94.099

o Distribusi Log Normal

Tabel 4.5. Debit Periode Ulang Distribusi Log Normal

T

2 5 10 20 25 50 100

JAN 21.478 37.058 49.313 62.299 65.111 81.302 97.512 FEB 13.964 21.872 27.667 33.534 34.774 41.745 48.480 MAR 13.932 27.575 39.431 52.835 55.837 73.731 92.574 APR 15.631 24.108 30.250 36.422 37.722 44.999 51.990 MEI 14.223 22.713 29.024 35.472 36.841 44.576 52.103 JUN 12.134 24.439 35.266 47.608 50.384 67.004 84.617 JUL 11.776 22.907 32.458 43.168 45.557 59.731 74.562 AGS 16.255 19.916 22.151 24.166 24.566 26.684 28.553 SEP 22.284 36.563 47.389 58.592 60.989 74.611 87.999 OKT 22.233 33.894 42.271 50.643 52.402 62.216 71.604 NOV 18.155 27.042 33.318 39.522 40.818 48.006 54.825 DES 15.417 27.489 37.215 47.683 49.968 63.234 76.678 Qmax 38.459 54.475 65.373 75.893 78.062 89.950 101.018


(68)

o Distribusi Log Pearson III

Tabel 4.6. Debit Periode Ulang Distribusi Log Pearson III

T

2 5 10 20 25 50 100

JAN 21.992 37.314 48.531 53.118 63.632 75.403 87.503 FEB 14.802 22.071 26.365 27.883 31.184 34.364 37.227 MAR 16.464 27.571 33.260 34.941 38.563 41.419 43.570 APR 15.380 23.991 30.565 33.392 39.856 47.473 55.733 MEI 14.556 22.859 28.567 30.616 35.166 41.403 46.895 JUN 12.857 24.750 33.518 37.001 45.090 53.877 64.365 JUL 15.002 21.811 23.974 24.390 25.245 25.680 25.893 AGS 15.999 19.805 22.346 23.379 25.590 28.047 30.537 SEP 21.811 36.322 48.025 53.208 65.312 80.051 114.839 OKT 23.366 34.184 40.607 42.898 47.874 52.718 57.127 NOV 18.591 27.209 32.770 34.898 39.578 44.498 49.252 DES 15.018 27.267 37.820 42.651 54.245 68.898 105.312 Qmax 33.451 48.559 65.319 74.653 97.513 132.592 180.752

IV.2.1.3. Pemilihan Jenis Sebaran

Dalam statistik dikenal beberapa jenis distribusi antara lain Normal, Gumbel, Log Normal, Log Pearson Type III. Untuk itu ditinjau jenis distribusi yang sesuai dengan distribusi data debit yang ada di daerah studi.

Ketentuan dalam pemilihan distribusi untuk daerah studi tercantum dalam tabel sebagai berikut :

Jenis Sebaran Kriteria Hasil Keterangan Log Normal Cs = 3Cv + Cv3 = 0,168

Cv ~ 0,06

Cs = -2,258 Cv = 0,114

Kurang Mendekati Log Pearson

Type III

Cs≠ 0 Cv ~ 0,3

Cs = -2,258 Cv = 0,114

Mendekati Mendekati Gumbel Cs = 1,14

Ck = 5,4

Cs = -1,002 Ck = 3,345

Kurang Kurang


(69)

Dari perhitungan yang telah dilakukan diatas dengan syarat-syarat tersebut diatas, maka dipilih distribusi yang paling mendekati yaitu distribusi Log Pearson III.

IV.2.1.4. Pengujian Keselarasan Sebaran

Berikut adalah perhitungan pengujian keselarasan:

IV.2.1.4.1. Uji Sebaran Chi Kuadrat (Chi Square Test) G = + , ln N, dimana N adalah jumlah data

G = + , ln = , diambil dk = G − R + , ambil R = 1

dk = − + =

=NG = = ∆X = X aG −− X i

∆X = , − , = ,

Xa a = X i − ⁄ ∆X = , − ⁄ , = ,

Tabel 4.7. Perhitungan Uji Chi Kuadrat

No Probabilitas (%) Of Ef Ef-Of (Ef-Of)2/Ef

1 30.095 < X < 36.905 1 2 1 0.5 2 36.905 < X < 43.715 4 2 -2 2 3 43.715 < X < 50.525 4 2 -2 2 4 50.525 < X < 57.335 0 2 2 2 5 57.335 < X < 64.145 1 2 1 0.5


(70)

Dari perhitungan diatas diperoleh nilai Chi-kuadrat ( h)2 = 7,00. Batas kritis nilai Chi-kuadrat untuk dk = 3 dengan α = 5% dari Tabel didapatkan nilai ( h)2cr = 7,815. Nilai ( h)2 = 7 < ( h)2cr = 7,815 maka pemilihan distribusi Log Pearson III memenuhi syarat.

IV.2.1.4.2. Uji Sebaran Smirnov Kolmogorov

Perhitungan uji kecocokan sebaran dengan Smirnov – Kolmogorov untuk Metode Log Pearson III pada daerah studi dapat dilihat pada Tabel 4.6.

Tabel 4.8. Perhitungan Uji Smirnov-Kolmogrov

x m P(x)=m/(n+1) P(x<) P'(x)=m/(n-1) P'(x<) D 1 2 3 4 = nilai 1 - 3 5 6 = nilai 1 – 5 7 33.500 1 0.0909 0.9091 0.1111 0.8889 0.0202 37.400 2 0.1818 0.8182 0.2222 0.7778 0.0404 37.880 3 0.2727 0.7273 0.3333 0.6667 0.0606 38.220 4 0.3636 0.6364 0.4444 0.5556 0.0808 40.966 5 0.4545 0.5455 0.5556 0.4444 0.1010 44.630 6 0.5455 0.4545 0.6667 0.3333 0.1212 44.990 7 0.6364 0.3636 0.7778 0.2222 0.1414 45.560 8 0.7273 0.2727 0.8889 0.1111 0.1616 49.170 9 0.8182 0.1818 1.0000 0.0000 0.1818 60.740 10 0.9091 0.0909 1.1111 -0.1111 0.2020

Dari perhitungan nilai D, Tabel 4.6., menunjukan nilai Dmax = 0,2020, data pada peringkat m=10. Dengan menggunakan data pada Tabel 2.9. untuk derajat kepercayaan 5 %, maka diperoleh Do = 0,41. Karena nilai Dmax lebih kecil dari nilai Do kritis (0,2020 < 0,41), maka persamaan distribusi yang diperoleh dapat diterima.


(71)

IV.2.2. Pos Duga Air Sungai Deli-Helvetia

IV.2.2.1. Data Debit Harian Maksimum Tahunan

Data debit harian maksimum tahunan dapat dilihat pada tabel 4.9. sebagai berikut:

Tabel 4.9. Data Debit Harian Maksimum Tahunan Pos Deli-Helvetia

No Tahun Debit Harian Maksimum Tahunan (m

3/det) Qmaks

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nov Des (m3/det)

1 2004 24.46 22.03 23.79 25.59 44.03 27.86 22.25 26.27 51.39 44.50 23.79 24.02 51.39 2 2005 19.15 18.28 17.65 15.56 18.95 - 24.36 17.17 17.15 15.04 17.16 30.89 30.89 3 2006 15.56 17.17 15.04 32.81 16.07 15.59 18.84 17.06 - - - - 32.81 4 2007 18.36 16.63 18.64 24.05 17.08 14.06 - 17.14 28.11 45.90 46.94 54.18 54.18 5 2008 - 15.44 14.01 10.87 13.73 12.17 15.34 12.18 15.03 18.41 18.47 - 18.47 6 2009 21.69 7.40 10.14 9.88 13.07 7.10 7.58 9.67 9.28 10.45 10.57 17.61 21.69 7 2010 11.43 10.13 21.25 7.96 10.10 11.09 15.40 15.22 14.12 15.24 20.19 30.28 30.28 8 2011 26.86 9.21 16.79 93.44 12.03 8.36 18.27 14.57 18.88 19.92 43.45 10.82 93.44 9 2012 9.50 30.67 6.34 11.04 17.67 7.43 18.58 7.87 7.92 55.71 111.18 48.30 111.18 10 2013 34.07 10.91 4.35 30.21 4.37 30.80 3.59 17.87 26.52 55.59 19.93 77.11 77.11

IV.2.2.2. Analisa Debit Banjir Rencana Bulan Januari

Perhitungan parameter statistik untuk analisa distribusi Normal dan Gumbel dapat dilihat pada tabel 4.10. sebagai berikut:

Tabel 4.10. Parameter Statistik untuk Distribusi Gumbel

Xi (Xi - X̅) (Xi - X̅)2 (Xi - )3 (Xi - )4 SD Cs Ck Cv

34.07 13.950 194.603 2714.705 37870.133

7.701 0.405 1.869 0.383 26.86 6.740 45.428 306.182 2063.667

24.46 4.340 18.836 81.747 354.780 21.69 1.570 2.465 3.870 6.076 19.15 -0.970 0.941 -0.913 0.885 18.36 -1.760 3.098 -5.452 9.595 15.56 -4.560 20.794 -94.819 432.374 11.43 -8.690 75.516 -656.235 5702.681 9.50 -10.620 112.784 -1197.770 12720.321 ∑ 181.080 0.000 474.463 1151.315 59160.512


(72)

Macam pengukuran dispersi antara lain sebagai berikut:

1. Standar Deviasi (S)

Perhitungan standar deviasi digunakan rumus sebagai berikut:

S = √∑i=n −Xi− X̅

S = √ , = ,

2. Koefisien Skewness (Cs)

Perhitungan koefisien skewness digunakan rumus sebagai berikut:

C = n − nn − x ∑ (Xi− XS )

C = x , , = ,

3. Pengukuran Kurtosis (Ck)

Pengukuran kurtosis digunakan rumus sebagai berikut:

C = n∑i= SXi− X̅

C = x ,


(73)

4. Koefisien Variasi (Cv)

Pengukuran koefisien variasi digunakan rumus sebagai berikut:

C =S X̅

C = , , = ,

Perhitungan parameter statistik untuk analisa distribusi Log Normal dan Log Pearson Type III dapat dilihat pada tabel 4.11. sebagai berikut :

Tabel 4.11. Parameter Statistik untuk Distribusi Log Normal dan Log Pearson III

Log Xi

Log Xi -

Log X

̅̅̅̅̅̅̅ (Log Xi - Log X̅̅̅̅̅̅̅)2

(Log Xi -

Log X ̅̅̅̅̅̅̅)3

(Log Xi -

Log X

̅̅̅̅̅̅̅)4 SD Cs Ck Cv

1.532 0.259 0.067 0.017 0.005

0.176 -0.392 1.732 0.139 1.429 0.156 0.024 0.004 0.001

1.388 0.115 0.013 0.002 0.0002 1.336 0.063 0.004 0.0002 0.00002 1.282 0.009 0.0001 0.000001 0.00000001 1.264 -0.009 0.0001 -0.000001 0.00000001 1.192 -0.081 0.007 -0.001 0.00004 1.058 -0.215 0.046 -0.010 0.002 0.978 -0.296 0.087 -0.026 0.008

∑ 11.460 0.000 0.249 -0.013 0.015

Log X̅̅̅̅̅̅̅ 1.273

Pengukuran dispersi logaritma antara lain sebagai berikut:

1. Standar Deviasi (S)

Perhitungan standar deviasi digunakan rumus sebagai berikut:


(74)

S = √ ,− = ,

2. Koefisien Skewness (Cs)

Perhitungan koefisien skewness digunakan rumus sebagai berikut:

C = n

n − n − x ∑ (

log Xi− log X

S )

C = x − ,

− − , = − ,

3. Pengukuran Kurtosis (Ck)

Perhitungan kurtosis digunakan rumus sebagai berikut:

C = n∑i= log XSi− log X

C = x ,, = , 4. Koefisien Variasi (Cv)

Perhitungan koefisien variasi digunakan rumus sebagai berikut:

C =log XS

C = ,, = ,

Selanjutnya menghitung debit rencana dengan menggunakan Distribusi Gumbel, Distribusi Log Normal dan Distribusi Log Pearson III.


(75)

o Distribusi Gumbel

Rumus untuk Distribusi Gumbel adalah: Rt = R + k . SD

k =Y − YS

- Contoh perhitungan untuk Q2

Dari tabel dapat dihitung k untuk 2 tahun:

k = , , − , = − ,

maka untuk Q2 dihitung:

Q = , + − , . ,

Q = , m3/det sehingga didapat

Q̅ SD k T Q

20,120 7,701 -0.13318 2 19.09436 20,120 7,701 1.087102 5 28.49177 20,120 7,701 1.846469 10 34.33965 20,120 7,701 2.659776 20 40.60294 20,120 7,701 2.915913 25 42.57545 20,120 7,701 3.673234 50 48.40758 20,120 7,701 4.424957 100 54.19659

o Distribusi Log Normal

Rumus yang digunakan dalam metode ini adalah:


(76)

- Contoh perhitungan untuk Q2

Dari tabel di dapat Kt untuk 2 tahun adalah 0, maka:

log X = , + , x log X = ,273

Xt = 18,750 m3/det Sehingga didapat:

log Q

̅̅̅̅̅̅̅ SD Kt T log Q Q 1,273 0,176 0 2 1.273 18.74995 1,273 0,176 0,84 5 1.42084 26.3536 1,273 0,176 1,28 10 1.49828 31.49778 1,273 0,176 1,64 20 1.56164 36.44517 1,273 0,176 1,708 25 1.573608 37.46347 1,273 0,176 2,05 50 1.6338 43.03284 1,273 0,176 2,33 100 1.68308 48.20366

o Distribusi Log Pearson III

Rumus yang digunakan adalah:

log X = log X̅̅̅̅̅̅ + k . S

- Contoh perhitungan untuk Q2

Dari tabel di dapat k untuk 2 tahun untuk Cs=-0,39 adalah 0,0644, maka:

log X = , + , x , log X = ,


(77)

Sehingga didapat:

log Q

̅̅̅̅̅̅̅ SD k T log Q Q

1,273 0,176 0.0644 2 1.284334 19.24573 1,273 0,176 0.8548 5 1.423445 26.51214 1,273 0,176 1.2324 10 1.489902 30.89601 1,273 0,176 1.358167 20 1.556307 36.00039 1,273 0,176 1.6097 25 1.59677 39.51569 1,273 0,176 1.8396 50 1.59677 39.51569 1,273 0,176 2.0365 100 1.631424 42.79805

Selanjutnya dilakukan perhitungan seperti di atas untuk bulan-bulan berikutnya dan untuk debit maksimum, sehingga akan didapat hasil akhir sebagai berikut:

o Distribusi Gumbel

Tabel 4.12. Debit Periode Ulang Distribusi Gumbel

T

2 5 10 20 25 50 100

JAN 19.094 28.492 34.340 40.603 42.575 48.408 54.197 FEB 15.121 20.986 24.636 28.545 29.776 33.416 37.029 MAR 14.056 20.612 24.692 29.061 30.437 34.506 38.545 APR 24.554 38.529 47.226 56.541 59.474 68.147 76.756 MEI 16.001 22.247 26.133 30.296 31.607 35.483 39.331 JUN 13.783 24.380 30.975 38.037 40.262 46.838 53.366 JUL 15.136 23.260 28.315 33.729 35.434 40.476 45.480 AGS 15.012 19.329 22.015 24.893 25.799 28.478 31.137 SEP 19.162 35.393 45.493 56.311 59.718 69.791 79.789 OKT 28.693 51.627 65.899 81.184 85.998 100.231 114.359 NOV 30.479 68.525 92.200 117.557 122.543 138.155 158.592 DES 33.804 61.194 78.238 96.492 102.241 119.240 136.112 Qmax 48.734 78.766 97.455 117.471 123.775 142.413 160.913


(1)

4.2.2.4Pengujian Keselarasan Sebaran ... 89

4.2.2.4.1 Chi Square Test... 89

4.2.2.4.2 Uji Sebaran Smirnov Kolmogrov ... 90

4.3 Hubungan Tinggi Muka Air dengan Debit ... 93

4.3.1 Bendung Deli ... 93

4.3.2 Bendung Floodway ... 101

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 104

5.1 Kesimpulan ... 104

5.2 Saran ... 105

DAFTAR PUSTAKA ... xv LAMPIRAN ...


(2)

DAFTAR GAMBAR

HAL

Gambar 2.1. Skema Debit Banjir ... 7

Gambar 2.2. Lokasi Floodway Deli-Percut ... 7

Gambar 2.3. Catchment Area Sungai Deli ... 8

Gambar 2.4. Catchment Area MFC ... 9

Gambar 2.5. Mercu Pelimpah Floodway ... 11

Gambar 2.6. Sampah pada Pintu Air ... 11

Gambar 2.7. Kolam Olak Floodway ... 12

Gambar 2.8. Kondisi Saluran Floodway ... 12

Gambar 2.9. Pertemuan Aliran Floodway dengan Sungai Percut pada Bagian Hilir Floodway ... 13

Gambar 2.10. Tampak Samping Mercu Pelimpah Floodway ... 13

Gambar 2.11. Bendung Deli ... 14

Gambar 2.12. Pintu Air pada Bendung Deli... 14

Gambar 2.13. Tampak Samping Bendung Deli... 15

Gambar 3.1. DAS dengan Tinggi Rata-rata ... 22

Gambar 3.2. DAS dengan Perhitungan Curah Hujan Poligon Thiessen 23 Gambar 3.3. DAS dengan Perhitungan Curah Hujan Isohyet ... 24

Gambar 3.4. Penentuan Nilai WF ... 41

Gambar 3.5. Penentuan RUA ... 42

Gambar 3.6. Bentuk Hidrograf Satuan Sintesis Gama I ... 43 Gambar 3.7. Penampang Memanjang dan Melintang Saluran Terbuka . 45 Gambar 3.8. Prinsip Kesetimbangan Gaya-gaya dalam Aliran Air


(3)

pada Saluran dengan Kemiringan Dasar Saluran ... 50

Gambar 3.9. Loncat Air ... 51

Gambar 3.10. Persamaan Momentum yang Digunakan dalam Loncat Air 52 Gambar 3.11. Persamaan Energi dalam Saluran Terbuka Berubah Beraturan ... 53

Gambar 3.12. Kehilangan Energi pada Loncat Air ... 53

Gambar 3.13. Lebar Efektif Mercu ... 56

Gambar 3.14. Harga-harga Koefisien C0 untuk Bendung Ambang Bulat sebagai Fungsi Perbandingan H1/r ... 58

Gambar 3.15. Koefisien C1 sebagai Fungsi Perbandingan p/H1 ... 58

Gambar 3.16. Harga-harga Koefisien C2 untuk Bendung Mercu Tipe Ogee dengan Muka Hulu Melengkung ... 58

Gambar 3.17. Tipe Mercu Bulat ... 59

Gambar 3.18. Kondisi Aliran di Atas Mercu ... 60

Gambar 3.19. Kolam Olak Tipe USBR I ... 61

Gambar 3.20. Kolam Olak Tipe USBR II ... 62

Gambar 3.21. Kolam Olak Tipe USBR III ... 62

Gambar 3.22. Kolam Olak Tipe USBR IV ... 63

Gambar 3.23. Kolam Olak Tipe Vlughter ... 64

Gambar 3.24. Koefisien Debit Untuk Aliran di Atas Mercu ... 67


(4)

DAFTAR GRAFIK

HAL Grafik 4.1 Rating Curve Bendung Deli ... 100 Grafik 4.2 Hubungan Debit di Atas Mercu dengan Tinggi Muka Air


(5)

DAFTAR TABEL

HAL

Tabel 3.1. Menentukan Variabel Standar yang Besarnya

Tergantung pada G ... 28

Tabel 3.2. Standar Deviasi Yn ... 31

Tabel 3.3. Reduksi Variate YT ... 31

Tabel 3.4. Reduksi Standar Deviasi Sn ... 31

Tabel 3.5. Nilai Kritis Untuk Distribusi Chi Square ... 34

Tabel 3.6. Delta Kritis Untuk Uji Keselarasan Smirnov Kolmogrof .. 35

Tabel 3.7. Koefisien Limpasan ... 36

Tabel 3.8. Konstanta untuk perhitungan submerged dan unsubmerged flow ... 66

Tabel 4.1. Data debit harian maksimum tahunan Pos Deli-Simeme .. 70

Tabel 4.2. Parameter statistik untuk Distribusi Gumbel ... 71

Tabel 4.3. statistik untuk Distribusi Log Normal dan Log Pearson III ... 73

Tabel 4.4. Debit Periode Ulang Distribusi Gumbel ... 77

Tabel 4.5. Debit Periode Ulang Distribusi Log Normal ... 77

Tabel 4.6. Debit Periode Ulang Distribusi Log Pearson III ... 78

Tabel 4.7. Perhitungan Uji Chi Kuadrat ... 79

Tabel 4.8. Perhitungan Uji Smirnov-Klomogrov ... 80

Tabel 4.9. Data debit harian maksimum tahunan Pos Deli-Helvetia .. 81

Tabel 4.10. Parameter statistik untuk Distribusi Gumbel ... 81 Tabel 4.11. statistik untuk Distribusi Log Normal dan


(6)

Log Pearson III ... 83

Tabel 4.12. Debit Periode Ulang Distribusi Gumbel ... 87

Tabel 4.13. Debit Periode Ulang Distribusi Log Normal ... 88

Tabel 4.14. Debit Periode Ulang Distribusi Log Pearson III ... 88

Tabel 4.15. Perhitungan Uji Chi Kuadrat ... 90

Tabel 4.16. Perhitungan Uji Smirnov-Klomogrov ... 90

Tabel 4.17. Hubungan Tinggi Muka Air dengan Debit pada Kondisi Unsubmerged Flow ... 94

Tabel 4.18. Hubungan Tinggi Muka Air dengan Debit pada Kondisi Submerged Flow ... 96

Tabel 4.19. Hubungan Tinggi Muka Air dengan Debit pada Kondisi Overtopping Flow ... 98

Tabel 4.20. Hubungan Tinggi Muka Air dengan Debit di Atas Mercu ... 102