2. Sistem Kepercayaan 2. a. Budhisme

Tabel. 5 Alam Pikir Barat, India dan Cina F. Budi Hardiman, 2003: 79

B. 2. Sistem Kepercayaan

Salah satu aspek yang membangun kebudayaan adalah sistem kepercayaan. Dalam masyarakat Cina dikenal tiga kepercayaan yang utama: Budha, Taoisme dan Konfusianisme selain Islam dan Kristen yang masuk kemudian. Berikut adalah sepintas gambaran mengenai ajaran-ajaran tersebut:

B. 2. a. Budhisme

Menurut Suwandi Sandiwan Brata 1993: 49 Budhisme menyandarkan diri pada dua proposisi, yakni pertama—mengakomodir konsep India—kelahiran kembali, karma dan sejarah siklik dan yang kedua disandarkan pada pengalaman meditasi Budha, khususnya saat ia disadarkan pada empat jalan kebenaran: § Duka penderitaan 138 – segala sesuatu adalah penderitaan. § Suka samudaya – sumber penderitaan adalah ingin. § Duka nirodha – berhentinya penderitaan. § Mangga patipada – delapan jalan yang menghentikan penderitaan yang terdiri dari tiga prinsip: prinsip moralitas, kerohanian dan kebijksanaan. 139 Budhisme berpendapat bahwasanya manusia harus membebaskan diri dari kejahatan karena kejahatan adalah sumber derita samsara dan manusia yang tidak berpengetahuan mudah jatuh pada derita tiga akar kejahatan menurut Budha adalah hawa nafsu, kebencian dan ketidaktahuan. Karena pada dasarnya manusia hanyalah agregat atau simpul lima komponen psikofisik yang terdiri dari fungsi fisik, afeksi, kognisi persepsi, psikomotorik sikap dan kesadaran oleh sebab itu manusia harus 138 Duka menurut Suwandi Sandiwan Brata 1993: 53 berasal dari kata du dan kham. Du berarti kotor, keji, hina sementara kham berarti kosong, hampa atau dapat juga menanggung atau memikul. Dengan demikian duka dapat diartikan sebagai “kekosongan atau kehampaan yang buruk, hina, dan menjijikkan. 139 Pada hakikatnya prinsip moralitas dikendalikan oleh tiga hukum utama: jangan membunuh, jangan mencuri dan jangan menggunakan indera dengan salah. Budhaghosa menyebutkan bahwa keutamaan tersebut akan membawa manusia pada struktur mental tertentu yang memungkinkan munculnya aktifitas mental, verbal maupun fisik. Keadaan tersebut akan mendorong manusia memasuki fase selanjutnya yakni usaha untuk memfokuskan seluruh formasi mental yang murni hingga tercapainya kesadaran murni yang biasanya dilakukan dengan cara samãdhi. Pada prinsip kerohanian ini pencapaian kebenaran mutlak hanya akan terwujud apabila persepsi fungsi aspek kognifit dan perasaan afeksi berhenti. Dan yang terakhir, jalan kebijaksanaan—yang dikenal dengan kebijaksanaan transendental atau insight meditation—yang akan membuat manusia bebas dari samsara dan memasuki nibbata: noble birth kelahiran kembali. Mengenai fase ini Suwandi Sandiwan Brata 1993: 60 mengatakan “pada lingkup mental tak ada sesuatu di balik rentetan formasi pemikiran itu; tak ada yang berpikir di balik proses pemikian tersebut; yang ada hanya rangkaian moment pemikiran”. melakukan tindakan benar untuk membebaskan diri dari samsara yang meliputi: pengetahuan benar, kehendak benar, perkataan benar, mencari pengetahuan benar, upaya benar, pikir benar, renungan benar, perilaku baik. Banyak agama atau ajaran seringkali membedakan lapisan realitas dalam sub- sub yang tersusun mulai dari bawah hingga yang tertinggi secara struktural. Biasanya yang tertinggi adalah pencapaian rohaniah yang bersifat metafisik. Sebagai contoh, misalkan saja adalah konsep atman jiwa pada Upanisad dan Vedanta. Tetapi pada Budha hal tersebut menjadi berbeda. Budha secara ontologis menerima, mengafirmasi sekaligus menyangkal konsep tersebut. Dan tidak hanya itu, Sebagai contoh adalah bagaimana Budha menolak konsep ego sekaligus menerima ‘diri sejati’. 140 Ajaran Budha sendiri disebut Yana yang artinya adalah kendaraan, kereta atau bisa jadi perahu yang berguna untuk mengarungi arus dan gelombang samsara.

B. 2. b. Taoisme