3. b. Kebudayaan: Karya Sebagai Dharma

A. 3. b. Kebudayaan: Karya Sebagai Dharma

Seperti sudah pernah diungkakan bahwa bagi orang Jawa “antara pekerjaan, interaksi dan doa tidak ada perbedaan prinsip hakiki” Magnis-Suseno, 2001: 82 dengan demikian setiap aktivitas atau gerak diri sepenuhnya dikontrol oleh ‘kesadaran akan’. Dan derivasi dari seluruh filsafat Jawa adalah ‘mematenkan’ pengetahuan itu dalam sebuah karya. Hakikatnya, karya adalah puncak pengejawantahan hidup yang sesungguhnya bagi orang Jawa. Dari jaman gemilang itu dikenal dan dikenanglah berbagai Pujangga, Pustaka, Pusaka dan Pusara, sebagai museum hidup: situs dan ritus kebudayaan, bahkan hingga keberadaannya hari ini. Namun demikian patut dicatat, pasca Ronggowarsito yang sering disebut sebagai pujangga penutup, atau pasca jatuhnya laskar-laskar Diponegoro 1825-1830, wajah Jawa banyak mengalami pergeseran dan perubahan. Jawa tidak lagi menghasilkan daur hidup yang sejatinya. Hal ini diperparah lagi bahwasanya priyayi-priyayi Jawa sebagai kelas menengah dalam struktur hierarki sosial Jawa tidaklah memainkan peran yang cukup signifikan. Namun kemerosotan itu tertutupi dengan sosialisasi kesenian di tengah masyarakat karena memang hanya itulah yang dapat mereka lakukan. Mengomentari situasi tersebut, dalam sebuah terbitannya 42 tahun lalu, Anderson mengatakan, “Di pedesaan perubahan terjadi dengan lebih lambat, dan disanalah budaya jawa yang tua paling kuat mempertahankan pegangan atas jiwa manusia. Meskipun demikian, musim gugur telah tiba. Pada pohon kebudayaan Jawa daun-daun jatuh satu per satu” 2003: 70. Yang ada bagi Jawa hari ini adalah kebudayaan sebagai komoditas, utamanya komoditas wisata. Satu yang tersisa, katakanlah demikian, adalah wayang. Bagaimanapun bentuknya kini, kesenian ini dapat terus bertahan, walau terkadang berada dalam nuansa yang mengharukan. Wayang dipercaya banyak kalangan sebagai salah satu dari gawang pertahanan terakhir Jawa hari ini. Padanyalah Jawa sebenarnya menyandarkan diri.

A. 3. b. i. Esensialisme dalam Wayang