kewajiban dan kepatutan Gie, suci hati Lian, dapat dipercaya Sien dan mengenal harga diri atau ‘tahu malu’ Thee.
148
B. 1. d. Neo-Konfusianisme
Perbedaan alam pikir Cina dengan lainnya menurut Prof. Tu Weiming terletak pada visi antropokosmis-nya. Visi ini menyandarkan diri pada peletakan
manusia dan kosmos yang dipahami sebagai sebuah kesatuan yang utuh sekaligus organis.
Logika ini jelas tidak memberi ruang bagi tafsir yang membedakan atau berusaha memisahkan manusia dan alam sebagai sebuah entitas. Dengan demikian
dapat diduga bahwa masyarakat yang mengamini paham ini hanya bertujuan untuk selalu berusaha mengharmoniskan dirinya dengan langit dan bumi sebagai lambang
dari sumber transenden yang kekal. Dan dengan demikian pada konsepsi ini Tuhan tidaklah menjadi Tuhan apabila jika dapat dikatakan. Tidak ada ide personalitas
tentang Tuhan dan karenanya Tuhan dapat digambarkan sebagai pribadi dengan identitas-identitas tertentu.
Pemahaman itu membawa pemikiran Cina pada satu pokok ajaran, yakni usaha memusatkan perhatian pada perkembangan manusia, etika masyarakat dan
jalan mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Pada titik ini filsafat tidaklah dipahami sebagai sebuah nilai positivis namun membantu bagaimana menaikkan
taraf jiwa-jiwa. Ajaran ini berkembang pada masa Dinasti Sung 960-1279 dan secara konseptual dibuat untuk mengimbangi Tao dan Budhisme.
148
Hariyono, 1993: 30
Namun demikian patut diketahui bahwasanya Konfusianisme ataupun Neo- Konfusianisme tidaklah terus menerus diterima dalam masyarakat Cina. Mahasiswa
dan intelektual Cina sempat menolak konsep Da Tong dan membumihanguskan seluruh tradisi kecuali bahasa ketika konflik sosial pasca runtuhnya Dinasti Qing
dan PD II merebak. Konfusian dianggap tidak akomodatif terhadap keadaan yang bergerak dan dituding sebagai biang keladi atas kalahnya Cina pada Perang Candu
dan berbagai kekacauan yang terjadi disana. Puncak penolakan terhadap Konfusianisme terjadi pada peristiwa Empat mei 1919.
149
B. 2. e. Islam