2. b. Taoisme DESKRIPSI SUBYEK PENELITIAN POLITIK IDENTITAS JAWA-CINA Kajian Atas Ungkapan Tradisional “Jawa Safar Cina Sajadah” Yang Terdapat Pada Tradisi Lisan Jawa.

melakukan tindakan benar untuk membebaskan diri dari samsara yang meliputi: pengetahuan benar, kehendak benar, perkataan benar, mencari pengetahuan benar, upaya benar, pikir benar, renungan benar, perilaku baik. Banyak agama atau ajaran seringkali membedakan lapisan realitas dalam sub- sub yang tersusun mulai dari bawah hingga yang tertinggi secara struktural. Biasanya yang tertinggi adalah pencapaian rohaniah yang bersifat metafisik. Sebagai contoh, misalkan saja adalah konsep atman jiwa pada Upanisad dan Vedanta. Tetapi pada Budha hal tersebut menjadi berbeda. Budha secara ontologis menerima, mengafirmasi sekaligus menyangkal konsep tersebut. Dan tidak hanya itu, Sebagai contoh adalah bagaimana Budha menolak konsep ego sekaligus menerima ‘diri sejati’. 140 Ajaran Budha sendiri disebut Yana yang artinya adalah kendaraan, kereta atau bisa jadi perahu yang berguna untuk mengarungi arus dan gelombang samsara.

B. 2. b. Taoisme

Tao didirikan oleh Lao Tze 141 yang hidup kira-kira tahun 6 SM. Kitab suci bagi penganut Tao adalah Tao Te Ching dan kata Tao sendiri dapat diartikan sebagai ‘jalan’. 140 Dari sekian konsep yang dipaparkan, jelaslah bahwa Budha tidak mengafirmasi kenyataan di luar dunia. Suwandi Sandiwan Brata 1993: 50 menyebutnya “Budha’s self was genuinely practical” sementara A. Peris mengatakannya sebagai “Transphenomenal Beyond”. Dan mengingat sifat-sifatnya itu, Suwandi Sandiwan Brata 1993: 61 mengatakan bahwa sebagai sistem filsafat pada dasarnya Budha dapat dikategorisasikan sebagai pragmatisme dialektis. 141 Tidak banyak catatan yang dapat ditemukan mengenai kehidupan Lao Zhe. Menurut Sima Qian Shu Xian yang menulis sekitar tahun 100 M, bahwa Lao Zi bernama asli Li Er. Ia berasal dari desa Churen, propinsi Hunan, dan hidup sekitar abad ke-6 SM, di ibu kota Loyang Negara Chu. Lao Zhe sempat diangkat sebagai ahli perpustakaan kerajaan pada masa Dinasti Zhou dan juga terkenal sebagai Bagi Lao Tze, Tao adalah sumber misteri tentang Ada. Namun demikian yang Ada ini kemudian tidak didefinisikan sebagai negasi dari yang Tidak Ada. Dalam Tao, Ada dan Tiada adalah dua sisi pada sekeping uang logam. Mereka adalah yang tak tertolakkan dan merupakan realitas tertinggi yang hakikatnya mungkin tak dapat diuraikan tetapi manifestasi dan fungsinya dapat diidentifikasi melalui segala yang terdapat pada alam ini. Dengan demikian konsep ‘jalan ke surga’ ini adalah realitas dualisme relatif yang bersifat mutlak. Berangkat dari konsep tersebut Tao menganjurkan manusia untuk ‘jangan mencampuri’ yang dikenal sebagai Wu-wei. Konsep keutamaan ini mengajak manusia untuk menghindarkan diri dari agresi dan lebih mengedepankan kerendahan hati dan kekosongan. Dengan pilihan tersebut manusia diharapkan dapat mengikuti gerak atau kodrat alam dan tidak melakukan tindakan yang melawan dan merugikan alam. Lao Tze dalam Umarhadi, 1993:82 mengatakan “Dunia dikalahkan dengan tidak berbuat apa-apa Wu-wei. Berbalik adalah gerakan dari Tao. Maju terus berarti berbalik terus”. 142 Wu-wei dengan demikian menuntun manusia untuk berbuat sebagai ahli perbintangan dan peramalan yang menguasai berbagai kitab kuno. Mengenai Dao De Jing, kitab pegangan kaum Tao, diceritakan bahwa setelah masa pensiunnya Lao Zhe akan meninggalkan kota. Namun pada saat itu ia dicegat seorang penjaga gerbang yang memintanya untuk menulis sebuah kitab. Permintaan itu dipenuhi dan jadilah sejilid kitab yang hanya terdiri dari 5000 huruf Mandarin dan disebut Dao De Jing http:budaya-tionghoa.orgmodules.php?name=Newsfile=articlesid=288. 142 Pada prinsipnya Tao memang menentang segala tindakan karena dianggap sia-sia. Sumber permasalahnnya adalah pada ‘ingin’. Keinginan adalah sumber penderitaan oleh karena ingin dalam aras obsesia dapat membuat cemas sekaligus melahirkan harapan-harapan palsu. Dan keadaan tersebut dapat membuat manusia jauh dari perasaan yang intuitif spontan. Bagi Tao segala sesuatu itu bersifat berbanding terbalik. Oleh karena itu hukum kekal yang menjadi sumber keutamaan Tao adalah ‘bebas’ bebas dalam prinsip ini berarti bebas dari prasangka. Tanpa prasangka manusia diharapkan dapat ‘mengerti’ sementara mengerti sama dengan berpengetahuan luas. Dan berpengetahuan luas itu sama arti dengan dekat dengan kebenaran dan manusia yang dekat dengan kebenaran berarti ia akan hidup selamanya dan tak akan gagal sepanjang hidupnya. Dengan demikian Tao tidak pernah mengenal batas absolut selama kebebasan dan Wu-wei menjadi pedoman utama pada banyak kasus kebebasan ini seringkali bergerak menjadi anarki. Hakikatnya menjadi tidak berbeda pada kelompok-kelompok tarekat di Jawa yang berpedoman pada ajaran Siti Jenar. Rupa- spontan, alamiah – natural dan manusia yang berharap mencapai sesuatu harus memulai sesuatu itu dari hal yang berlawanan dan seperti dapat diduga konsep tersebut jelas bertentangan dengan konfusianisme yang menempatkan aktivitas sebagai keutamaan. 143 Spontanitas mungkin dapat disejajarkan dengan analogi seorang anak kecil yang belum mengetahui apa-apa. Dan ketidaktahuan dalam Tao dianggap justru dianggap sebagai ‘kesederhanaan dan kemurnian’. Sebuah pepatah Cina mengatakan “kebijaksanaan adalah ketidaktahuan” dan dalam bahasa Cina keadaan itu disebut dengan “Yu”.

B. 2. c. Konfusianisme