dijual. Itulah sebabnya mereka secara tidak langsung menjadi tuan tanah ditempat tinggalnya. Sebaliknya bagi warga yang kekurangan modal kadangkala mereka
menjual lahannya kepada warga yang mampu tadi. Akibatnya mereka kehilangan lahan pertaniannya. Apabila mereka tidak sanggup membeli lahan lagi, berarti akan
mempersulit diri sendiri karena tanah sebagai sumber produksi sudah tidak dimiliki lagi, akhirnya mereka memiliki kesulitan dalam membiayai hidup keluarganya.
Buruh tani adalah petani yang mempunyai lahan pertanian sempit atau bahkan tidak mempunyai sama sekali sehingga Ia harus bekerja pada pemilik lahan agar
dapat memnuhi kebutuhan hidupnya. Di Desa Sipangan Bolon ada berbagai jenis buruh tani diantaranya, yaitu pertama, buruh tani tetap yaitu buruh tani yang terikat
pada satu pemilik lahan dan tidak bebas bekerja pada pemilik lahan yang lain, kedua buruh tani langganan yaitu buruh tani yang dipakai secara tetap apabila pemilik lahan
membutuhkannya untuk mengelolah lahannya namun tidak terikat dan bebas bekerja ditempat lain, ketiga buruh tani bebas yaitu buruh tani yang tidak terikat pada pemilik
lahan dan bebas bekerja dilahan pertanian siapa saja.
4.3.2 Hubungan Patron klien pada masyarakat Desa Sipangan Bolon
Pada hakekatnya manusia memiliki naluri untuk hidup bersama atau yang disebut “gregoriousness”. Dalam kehidupan bersama tersebut, manusia selalu
mengadakan hubungan secara dinamis antara individu yang satu dengan individu lainnya, antara individu dengan kelompok dan antara kelompok yang satu dengan
kelompok yang lainnya. Dalam hubungan atau interaksi itu yang paling penting adalah reaksi yang timbul dari hubungan – hubungan tersebut. Reaksi itu mempunyai
kecenderungan untuk menyerasikan diri dengan tindakan – tindakan orang lain, sebab manusia pada hakekatnya mempunyai keinginan untuk mempertahankan
keseimbangan dalam hubungannya dengan manusia lain disekelilingnya Harsja W. Bachtiar dalam Sunarti, 1990:88-89.
Seperti manusia pada umumnya yang membutuhkan bantuan manusia lain dan membentuk sebuah hubungan, demikian juga dengan para petani. Antara petani satu
dengan petani lain akan selalu berhubungan atau saling membutuhkan sehingga tidak heran akan terbentuknya suatu hubungan yang tidak biasa karena terlalu sering
melakukan interaksi. Hubungan yang terjalin antar petani cukup luas mulai dari petani dengan sesama petani, buruh tani dengan tuan tanah . Biasanya hubungan
antara buruh tani dengan tuan tanah disebut hubungan patron klien. Kondisi yang mencetuskan lahirnya hubungan patron klien dapat
diidentifikasikan karena adanya perbedaan penguasaan sumber daya, kekayaan dan kekuasaan, tidak ada pranata yang menjamin keamanan, dan lemahnya ikatan
kekerabatan untuk perlindungan individu. Boissevain dalam Kausar 2009 beranggapan bahwa hubungan patron klien muncul karena ia merupakan bagian dari
upaya manusia untuk bertahan hidup dalam keadaan tertentu, karena itu ia adalah bagian dari strategi adaptasi. Kausar, 2009
Hubungan patron klien adalah pertukaran hubungan antara kedua peran yang dapat dinyatakan sebagai kasus khusus dari ikatan yang melibatkan persahabatan
instrumental dimana seorang individu dengan status sosio-ekonominya yang lebih tinggi patron menggunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk menyediakan
perlindungan, serta keuntungan-keuntungan bagi seseorang dengan status yang dianggapnyanya lebih rendah klien. Klien kemudian membalasnya dengan
menawarkan dukungan umum dan bantuan termasuk jasa pribadi kepada patronnya. Sebagai pola pertukaran yang tersebar, jasa dan barang yang dipertukarkan oleh
patron dan klien mencerminkan kebutuhan yang timbul dan sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing pihak.
Ikatan antara pelindung patron dan klien, satu bentuk asuransi sosial yang terdapat dimana – mana di kalangan petani, merupakan satu langkah jauh lainnya
dalam jarak sosial dan seringkali moral, teristimewa apabila sang pelindung bukan warga desa. Apakah ia seorang tuan tanah, seorang pejabat kecil atau pedagang,
seorang menurut definisinya adalah orang yang berada dalam posisi untuk membantu klien – kliennya. Meskipun klien – klien seringkali berusaha sebisa- bisanya untuk
memberikan arti moral kepada hubungan itu, Oleh karena kedudukan mereka dalam menghadapi patron seringkali lemah sekali. Patronase itu ada segi baiknya, bukan
petama – tama karena dapat diandalkan melainkan mengingat sumberdayanya. Scott, 1976
Hubungan patron-klien bersifat tatap muka, artinya bahwa patron mengenal secara pribadi klien karena mereka bertemu tatap muka, saling mengenal pribadinya,
dan saling mempercayai. Lande 1964 dalam Rustinsyah 20110, menyebut model patron-klien sebagai solidaritas vertikal. Ciri-ciri hubungan patron-klien, menurut
Scott 1972 adalah 1 terdapat suatu ketimpangan inequality dalam pertukaran; 2 bersifat tatap muka; dan 3 bersifat luwes dan meluas Rustinsyah, 2011.
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Op Nanchy:
“….aku kalo sama pekerja ku yang gak tetap gak mau ngasih uang pinjaman banyak – banyak, paling banyak aku kasih pinjam dua ratus ribulah, karna
gak percaya aku orang itu mau mulangkan” wawancara, 25 juni 2015 Terlihat bahwa hubungan patron klien terbentuk ketika patron dan klien sudah
berhubungan sangat lama dan dekat. Dalam hal ini seorang pemilik lahan mau membantu lebih pada buruh tani yang merupakan buruh tani tetap. Karena buruh tani
tetap telah lama bekerja padanya sehingga pemilik lahan sudah mengenalnya secara pribadi dan percaya. Berbeda halnya terhadap buruh tani langganan atau buruh tani
bebas yang hanya sesekali saja bekerja padanya. Maka hal ini yang membuat pemilik lahan memperlakukan para buruh tani berbeda sesuai dengan kedekatannya dengan
pemilik lahan. Semakin dekat buruh tani dengan pemilik lahan, maka pemilik lahan akan memberi bantuan lebih banyak daripada yang lain yang kurang dekat. Hubungan
patron klien itu sendiri akan berlangsung dalam waktu yang cukup lama, karena untuk membangun terciptanya hubungan patron klien itu pun dibutuhkan waktu yang
cukup lama.
Pada masyarakat Desa Sipangan Bolon, para petani juga menciptakan sebuah hubungan antar pemilik lahan dengan buruh tani. Hubungan patron klien ini terlihat
dari adanya pertukaran yang tidak seimbang dimana klien akan memberikan jasanya berupa tenaga kepada patron untuk mengerjakan lahan pertaniannya. Sedangkan
patron akan membalasnya dengan memberikan upah, memberikan bantuan dalam bentuk barang dan bahkan akan memberikan jaminan atau perlindungan kepada
kliennya. Kondisi ini serupa dengan yang diungkapkan Scott dalam Kausar 2009 bahwa dalam hubungan patron klien terdapatnya ketidaksamaan dalam pertukaran
yang menggambarkan perbedaan dalam kekuasaan, kekayaan dan kedudukan. Klien adalah seorang yang masuk dalam hubungan pertukaran tidak seimbang, Ia tidak
mampu membalas sepenuhnya pemberian patron, hutang kewajiban mengikatnya dan tergantung kepada patron Kausar, 2009. Pemilik lahan disini sebagai patron yaitu
sebagai pelindung atau pemberi jaminan, sedangkan buruh tani yang akan menerima jaminan tersebut. Pemilik lahan akan memberikan bantuan – bantuan saat buruh tani
yang bertindak sebagai klien mengalami kesulitan. Sebagaimana yang diutarakan oleh Ibu Erita saat wawancara:
“………. orang itu sering ngajak makan sama – sama dirumahnya, mau juga ngasih baju yang bekas tapi masih bagus, kalo aku lagi gak punya uang
orang itu maunya minjamin uang” Wawancara, 24 juni 2015 Dan ungkapan Ibu Santi:
“…………. Orang itu sering ngasih bantuan sama kami, kalo ada makanan dikasih. Mau juga ngasih barang – barang yang bekas tapi masih bagus dan
masih bisa dipake. Kalo lagi krisis kami juga sering minjam sama orang itu dan orang itu selalu ngasih pinjam. Kadang juga upah kami dikasih lebih dan
kalo akhir tahun dikasih bonuslah, anak – anak juga dibelikan baju baru atau sandal”
“ ……..kayak mana lah sebenarnya gak cukupnya gaji ku ini untuk biaya hidup kami, belum lagi adek mu ini sekolah harus naik mobil. Ongkosnya
udah dua puluh ribu untuk 2 orang padahal gaji cuma lima puluh ribunya, kalo gaji suami juga berapa lah. Tapi kami cukup – cukupkannya untuk
semuanya ditambah lagi kadang kalo lagi sulit kali minta bantuan lah sama tempat aku bekerja” Wawancara, 25 juni 2015
Dari informan buruh tani yang telah diwawancarai mereka mengatakan bahwa para majikan akan memberikan bantuan walaupun bentuk bantuannya berbeda –
beda. Buruh tani merasa memiliki seorang pelindung, ketika mengalami kesulitan mereka tahu harus kemana tempat mencari bantuan. Buruh tani digambarkan seperti
seorang anak yang menggantungkan hidupnya pada ayahnya, demikian juga buruh tani menggantungkan hidupnya pada bantuan majikannya atau pemilik lahan.
Sedangkan pemilik lahan harus memiliki tanggung jawab atas nasib buruh tani yang telah bekerja padanya. Dari hasil penelitian terlihat bahwa pemilik lahan merasa
bertanggung jawab apabila kliennya mengalami krisis ekonomi sehingga pemilik lahan terbeban untuk menolong para buruh tani yang bekerja padanya.
Seperti yang diungkapkan oleh Op Nanchy: “………..kayak mana ya, kita kasian liat orang itu, orang susah makanya kita
bantu. Kalo orang itu butuh duit kasih pinjam, dikasih barang – barang yang masih bagus tapi gak dipake lagi, sering juga ngasih bonus kalo akhir tahun.
Anak – anakya juga kubelikan baju, sandal”. Wawancara, 25 juni 2015 Pemilik lahan memberi bantuan kepada buruh tani bukan hanya sekedar
merasa kasihan tapi karena pemilik lahan menyadari bahwa Ia harus membalas bantuan yang telah Ia terima sebelumnya. Buruh tani telah membantu pemilik lahan
mengerjakan lahannya dengan baik sehingga pemilik lahan merasa berterimakasih atas loyalitas yang telah diberikan buruh tani padanya. Hal ini berhubungan dengan
norma resiprositas yang diungkapkan oleh Scott bahwa kewajiban untuk membalas budi merupakan prinsip moral yang paling utama yang berlaku bagi hubungan baik
antara pihak – pihak sederajat maupun pihak – pihak yang tidak sederajat. Ikatan patron klien bersifat luwes dan meluas. Sifat meluas tidak hanya pada
hubungan kerja saja, melainkan juga pada hubungan pertetanggaan, kedekatan secara turun menurun atau persahabatan di masa lalu. Selain itu, juga terlihat pada jenis
pertukaran yang tidak melulu uang atau barang tetapi juga bantuan tenaga dan dukungan kekuatan Kausar, 2009. Kondisi tersebut telah terjadi pada masyarakat
desa Sipangan Bolon, dimana masyarakat patron akan membantu klien dalam bentuk apapun.
Hubungan patron klien merupakan salah satu bentuk hubungan pertukaran khusus. Dua pihak yang terlibat dalam hubungan pertukaran mempunyai kepentingan
yang hanya berlaku dalam konteks hubungan mereka. Dengan kata lain, kedua pihak memasuki hubungan patron klien karena terdapat kepentingan yang bersifat khusus
atau pribadi, bukan kepentingan yang bersifat umum. Persekutuan semacam itu dilakukan oleh dua pihak yang masing – masing merasa perlu untuk mempunyai
sekutu yang mempunyai status, kekayaan dan kekuatan lebih tinggi superior atau lebih rendah inferior daripada dirinya. Persekutuan antara patron dan klien
merupakan hubungan saling tergantung. Dalam kaitan ini, aspek ketergantungan yang cukup menarik adalah sisi ketergantungan klien dan patron. Sisi ketergantungan
semacam ini karena adanya hutang budi klien kepada patron yang muncul selama hubungan pertukaran berlangsung. Patron sebagai pihak yang memiliki kemampuan
lebih besar dalam menguasai sumber daya ekonomi dan politik cenderung lebih banyak menawarkan satuan barang dan jasa kepada klien, sementara klien sendiri
tidak selamanya mampu membalas satuan barang dan jasa tersebut secara seimbang. Ketidakmampuan klien diatas memunculkan rasa utang budi klien kepada patron,
yang pada gilirannya dapat melahirkan ketergantungan. Hubungan ketergantungan yang terjadi dalam salah satu aspek kehidupan sosial, dapat meluas keaspek – aspek
kehidupan sosial lain. Hefni, 2009. Menurut Roniger dalam Kausar 2009 bahwa hubungan patron klien
biasanya bercirikan pertukaran simultan antara dua tipe sumber dan jasa yang berbeda: 1. Instrumental contohnya ekonomi dan politik 2. Sociational misalnya
janji kesetiaan dan solidaritas. Dengan kata lain, hubungan patron klien biasanya meliputi sebuah kesepakatan yang baik, patron maupun klien sepakat melakukan
pertukaran dua barang atau jasa yang berbeda tersebut. Patron dan klien menerima keterikatan hubungan mereka secara mutlak atau tanpa syarat. Hubungan tersebut
dipersepsikan sebagai hubungan jangka panjang dan lepas dari imbalan tertentu, penghargaan dan kewajiban yang muncul dari ikatan terseubt juga berlangsung dalam
jangka panjang. Kausar, 2009 Hubungan patron klien atau biasa disebut dengan hubungan klientelisme,
adalah suatu hubungan hierarkis yang satu pihak merasa tergantung kepada pihak lain karena terjadinya suatu ikatan yang didasari ketaksamaan kedudukan dan kekuasaan.
Hubungan antara dua pihak yang mempuyai perbedaan kedudukan, kekuasaan ataupun tingkat sosial ekonominya saling memberi antara satu dengan
lainnyameskipun dengan ketidakseimbangan yang ada padanya. Kausar, 2009 Kondisi yang memungkinkan timbulnya hubungan patron-klien antara
pemilik lahan dan buruh tani adalah karena adanya ketimpangan sumber daya ekonomi pemilikan tanah dan penyediaan lapangan pekerjaan. Mereka saling
membutuhkan, klien memerlukan keamanan dan perlindungan untuk memenuhi jaminan subsistensinya sepanjang tahun untuk menghadapi krisis. Scott 1976, klien
memerlukan jaminan sosial bagi subsistensi dan keamanan. Sebaliknya patron memerlukan tenaga kerja sepanjang waktu dan kontinyu untuk kelancaran kegiatan
ekonominya. Sebagaimana yang diakui oleh Ibu Hesti sebagai buruh tetap:
“Sangat terbantulah bisa kerja disana karena kadang kalo lagi butuh uang bisa pinjam uang nanti bayarnya pake tenaga. Minjam uang banyak juga
dikasih karena orang itu udah percaya sama kita makanya maunya aku kerja disanalah terus karna udah enak. Orang itu pun udah kenal lama jadi udah
percaya” Wawancara, 24 Juni 2015 Diuangkapkan oleh Ibu Santi:
“lebih enaklah kerja sama orang itu daripada sama yang lain, karena udah lama kerja sama orang itu jadi orang itu pun udah percaya. Kalo bisa
janganlah ganti lagi karna susah sekarang cari kerja sama orang lagi” Wawancara, 25 Juni 2015
Dalam suatu kondisi yang stabil, hubungan kekuatan antara patron dan klien menjadi suatu norma yang mempunyai kekuatan moral tersendiri dimana didalamnya
berisi hak-hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Norma-norma tersebut akan dipertahankan sejauh memberikan jaminan perlindungan
dan keamanan dasar bagi klien. Usaha-usaha untuk merusmuskan kembali hubungan tersebut kemudian dianggap sebagai usaha pelanggaran yang mengancam struktur
interaksi itu sehingga sebenarnya kaum elitlahpatronlah yang selalu berusaha untuk mempertahankan sistem tersebut demi mempertahankan keuntungannya. Hubungan
ini adalah berlaku wajar karena pada dasarnya hubungan sosial adalah hubungan antar posisi atau status dimana masing-masing membawa perannya masing-masing.
Peran ini ada berdasarkan fungsi masyarakat atau kelompok, ataupun aktor tersebut
dalam masyarakat, sehingga apa yang terjadi adalah hubungan antar posisi dikeduanya.
Pengakuan Op Nanchy: “maunya pekerjaku orang itu aja terus, karna orang itu baik – baik semua,
aku udah percaya sama orang itu. Kalo orang itu berhenti bekerja sama ku, aku gak tau mau cari pekerja dimana, karena susah sekarang cari orang mau
kerja sama kita dan udah bisa dipercaya” Wawancara, 25 Juni 2015 Diungkapkan oleh Op Intan:
“…ya kalo bisa orang itu ajalah terus pekerja ku. Udah percaya aku sama orang itu, orang itu jujur, gak mau menokoh berbohong. Kalo orang itu
berhenti, susah cari gantinya”Wawancara, 26 Juni 2015 Bagi klien, unsur kunci yang mempengaruhi tingkat ketergantungan dan
penlegitimasiannya kepada patron adalah perbandingan antara jasa yang diberikannya kepada patron dan dan hasiljasa yang diterimannya. Makin besar nilai yang
diterimanya dari patron dibanding biaya yang harus ia kembalikan, maka makin besar kemungkinannya ia melihat ikatan patron-klien itu menjadi sah dan legal.
Patron dan klien sama – sama memiliki sifat ketergantungan terhadap keduanya. Patron tergantung pada klien karena Ia membutuhkan tenaga kerja untuk
mengelolah lahannya sedangkan klien tergantung pada patronnya karena Ia membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selain itu Ia juga
membutuhkan seorang patron yang dapat melindunginya ketika buruh tani mengalami kesulitan. Itu lah yang membuat keduanya saling ketergantungan
sehingga hubungan keduanya berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama. Upaya-upaya patron dalam menjaga hubungan baik dengan kliennya antara
lain. Pertama, menunjukkan kedermawanan terhadap kliennya. Kedermawanan seorang majikan sebagai patron dapat membuat klien kerasan bekerja, dan merasa ada
hutang budi. Misalnya, majikan tidak pelit dengan memberikan hadiah pada saat tahun baru dan memberikan pinjaman saat kliennya membutuhkan karena tertimpa
musibah. Kedua, patron dapat memberikan jaminan hidup keluarganya dengan cara mempekerjakan klien sepanjang tahun. Umumnya patron mempunyai kegiatan
ekonomi ganda di sektor pertanian dan di luar pertanian agar dapat mempekerjakan kliennya sepanjang tahun. Pekerjaan di luar pertanian yang banyak diminati patron
adalah berdagang. Misalnya, seorang pemilik lahan memiliki kurang lebih tujuh klien. Ia memiliki tanah pertanian dua hektar dan mempunyai kegiatan berdagang
pupuk kimia, pupuk kandang, distributor minyak tanah dan usaha penggergajian kayu; mempunyai klien sebanyak tujuh orang yang tidak pernah libur bekerja kecuali
hari raya. Demikian pula beberapa pemilik lahan lainnya yang mempunyai klien dipastikan mempunyai kegiatan ekonomi ganda di sektor pertanian dan di luar
pertanian. Menurut Scott sebagai suatu mekanisme sosial, ikatan patron-klien bukan
bersifat modern ataupun tradisional secara keseluruhan. Memang, dari satu segi, gaya hubungan patron klien bersifat patrikularistik, tersebar dan informal, sedangkan
ikatan modern bersifat universal, spesifik dan kontraktual. Namun demikian, walaupun gayanya tradisional, jaringan patron klien berfungsi untuk menyatukan
individu yang bukan kerabat dan sebagai sarana bagi terciptanya suatu integrasi vertical. Sebagai pola pertukaran terbesar, jasa dan barang yang dipertukarkan oleh
patron dan klien mencerminkan kebutuhan yang timbul dari kedua belah pihak dan sumberdaya yang dimiliki masing-masing. Hal ini tercermin dalam arus hubungan
patron ke klien dan sebaliknya klien ke patron. Hubungan terbalik antara sifat dapat diandalkan dan besarnya sumber daya
menghadapkan petani, di satu pihak, dengan sesama saudara yang tidak akan segan – segan untuk memberikan kemeja yang sedang dipakainya sendiri namun yang
biasanya sama – sama melarat dan, dilain pihak, dengan negara yang lebih mampu untuk membantu namun yang mungkin sekali tidak akan mengakui kebutuhan petani
itu sebagai tanggung jawabnya. Jika boleh memilih, petani mungkin lebih suka memenuhi kebutuhannya dengan kekuatan sendiri atau dengan bantuan sanak saudara
dan sesama warga desa yang dapat diandalkan, akan tetapi mungkin ia tidak dapat memilih, apabila perlindungan yang diberikan oleh lingkungan terdekatnya tidak
mencukupi Scott, 1976. Selanjutnya jelas pula bahwa, begitu seorang petani mengandalkan kepada
sanak- saudaranya atau patronnya daripada kepada sumberdayanya sendiri, maka atas dasar timbal balik ia memberikan kepada mereka hak atas tenaga kerja dan
sumberdayanya sendiri. Kerabat dan kawan yang telah menolongnya dari kesulitan akan mengharapkan perlakuan yang sama apabila ia mampu memberikan
pertolongan. Begitu pula, dalam konteks desa, norma – norma desa yang menjamin bahwa seorang yang miskin akan mendapat bagian sebidang lahan dari tanah
komunal serta makanan, juga mewajibkannya untuk menyumbangkan tenaganya apabila pejabat- pejabat atau pemuka – pemuka desa memerlukannya. Klien yang
mengandalkan pada perlindungan dari seorang patron yang lebih berpengaruh, sekaligus juga berkewajiban untuk menjadi anak- buahnya yang setia dan selalu siap
melakukan pekerjaan apa saja yang diberikan kepadanya Scott, 1976 Diungkapkan oleh Pak Marincen:
“kalo kami kerja gak mesti diawasi atau dijaga – jaga sama pemilik lahan, orang itu meninggalkan kami saat bekerja, orang itu udah percaya sama kami
kalo kami gak bakalan malas – malasan bekerja. Kalo mau kerja ya harus jujur, gak boleh menokoh berbohong” Wawancara, 24 Juni 2015
Diungkapkan oleh Ibu Hesti: “……. Orang itu juga punya kerjanya yang lain, jadi kalo kerja diladangnya
kami sering ditinggalkan tapi orang itu percaya sama kami kalo kami gak langsung malas – malasan kalo gak ada orang itu disitu” Wawancara, 24
Juni 2015
Diungkapkan oleh Ibu Sarma:
“aku gak taunya gimana keadaan diladangku, orang kerja itunya yang melapor sama aku kalo jagungnya udah bisa dipanen, cabe atau banyak kopi
yang merah. Orang itunya yang buat kerjanya sendiri diladangku istilahnya mengolah langsung. Aku Cuma ngasih gaji aja. Kalo udah panen hasilnya
dibawa kerumah untuk dijual, aku percaya orang itu gak mungkin membohongi aku karna udah lama kerja sama aku”. Wawancara, 26 Juni
2015 Diungkapkan oleh Op Intan:
“…. Orang itu waktu kerja gak pernah ku lihat atau ku jagai. Orang itu dating pagi – pagi kerumah aku langsung nyuruh beekerja ke ladang orang
itu langsung kerjakan tanpa harus ku jagai, kalo udah sore orang itu dating membawa hasilnya dari ladang”. Wawancara, 25 juni 2015
Kepercayaan juga merupakan salah satu syarat berbentuknya hubungan patron klien. Ketika patron dan klien telah saling percaya maka hubungan patron klien ini
akan bertahan lama. Sudah seharusnya antara pemilik lahan dengan buruh tani membangun kepercayaan diantara mereka dalam melakukan perannya masing –
masing.
4.3.3 Perbedaan Perlakuan Patron Terhadap Klien