desa, pada program – program asuransi atau kesejahteraan, atau melalui perbaikan desa Damsar: 2009.
Hubungan patron klien dalam masyarakat petani yang dipandang sebagai bentuk hubungan harmonis yang menjaga kepentingan petani miskin menurut
ekonomi moral. Dalam kenyataannya, sebaliknya yang terjadi, kata Popkin, dimana hubungan tersebut ditandai dengan hubungan eksploitatif. Hubungan ini,
sebenarnya lebih menguntungkan pihak patron dibandingkan klien. Karena sumberdaya yang diinvestasikan oleh patron bukan hanya untuk memperbaiki
keamanan dan subsistensi klien, tetapi juga untuk menjaga hubungan tersebut tetap diadik serta menghambat petani, menghambat keterampilan yang bisa
merubah keseimbangan kekuatan Damsar: 2009. Hubungan patron klien di desa – desa tertutup sama sekali bukan hubngan
timbal balik yang melindungi kepentingan golongan miskin di desa seperti yang diasumsikan oleh aliran ekonomi moral. Hubungan patron klien dalam
pendekatan ekonomi politik dianggap sebagai hubungan eksploitasi. Patron selalu berusaha mencegah agar para kliennya tetap terikat secara ekoomis
kepadanya tanpa mereka memiliki kemampuan menawar terhadap segala tuntutan yang diajukan oleh patron. Patron bukanlah dewa pelindung golongan miskin
Sairin, 2001.
2.3 Struktur Masyarakat Pertanian
Menurut Betrand 1987 dalam Wisadiraha 2004 nilai budaya masyarakat merupakan dasar untuk membedakan kelas sosial secara vertikal. Seorang individu
berada pada tingkat superior karena memiliki aktivitas, atribut dan kepemilikan mereka yang lebih bernilai dan sangat dihargai dibanding dengan orang lain. Dengan
kata lain, posisi sosial yang lebih bergengsi di dalam masyarakat dan sukar untuk dicapai oleh setiap individu. Posisi pemilik dari suatu kebun yang luas telah
ditetapkan untuk menempati posisi diatas pekerja harian. Sedangkan Walikota dari suatu kota berada pada posisi yang sangat bergensi dibandingkan dengan masyarakat
pada umumnya Wisadiraha, 2004. Lebih lanjut Betrand 1987 dalam Wisadiraha 2004 mengemukakan bahwa
orang – orang yang dikelompokkan bersama oleh karena ranking sosial yang sama, terutama bagi mereka yang mempunyai hubungan akrab, disebut sebagai suatu kelas
sosial atau lapisan sosial. Masyarakat terbagi kedalam beberapa kelas secara spesifik yaitu kelas tertinggi, kelas menengah, kelas rendah, kelas pekerja kantor, kelas bisnis,
kelas pekerja, para professional dan para petani Wisadiraha, 2004. .
Hierarki status yang konvensioanal di kalangan orang miskin di pedesaan biasanya adalah: petani-pemilik tanah kecil, petani penyewa, buruh. Sudah tentu
kategori – kategori itu tidak bersifat ekslusif, oleh karena biasanya ada petani yang selain memiliki lahan sendiri juga menggarap lahan tambahan yang ia sewa, begitu
pula ada buruh yang memiliki lahan sendiri. Meskipun demikian, kategori – kategori itu merupakan realitas sosial dalam hal – hal yang menyangkut preferensi dan status
di pedesaan meskipun dalam kenyataannya, dari segi penghasilan, bisa terjadi, dan
memang terjadi, banyak tumpang – tindih di antara kategori – kategori itu. Petani kecil yang marginal, yang menggarap tanahnya sendiri, umpamanya sering kali lebih
miskin dari petani – penyewa yang dapat menyewa lahan yang besar, begitu pula, petani penyewa yang marginal seringkali lebih miskin daripada buruh apabila ada
pasaran yang baik untuk tenaga kerja Scott, 1976. Pemilik tanah dianggap lebih tinggi kedudukannya daripada penyewa lahan,
dan penyewa lahan dianggap lebih tinggi daripada buruh lepas oleh karena, meskipun dari segi penghasilan mungkin tidak, masing – masing mewakili satu loncatan
kuantum dalam kepercayaan terhadap subsistensi. Oleh karena itu, jaminan terhadap krisis merupakan prinsip stratifikasi yang lebih aktif dalam pandangan petani
dibandingkan dengan penghasilan. Selain itu, pembedaan – pembedaan di dalam kategori – kategori penyewa dan buruh pada umumnya di dasarkan atas kepastian hak
sewa atau lapangan kerja dan besarnya jaminan sosial yang biasanya diberikan oleh pemilik tanah atau majikan Scott, 1976.
2.4 Teori Pertukaran Sosial