11
bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Menentukan seseorang itu bilingual atau tidaknya, maka ada batasan-batasan mengenai bilingualisme yang dikemukakan
oleh beberapa pakar. Menurut Blommfield bilingualisme adalah Native like control of two
languages yang berarti adalah penguasaan yang sama baiknya terhadap dua bahasa. Bilingualisme yang dikatakan oleh Bloomfield ini dipandang merupakan salah satu
tingkat yang paling tinggi. Sedangkan Weinreich dalam Umar, 1993:8 yang mengatakan kedwibahasaan dibatasi sebagai praktek pemakaian dua bahasa secara
bergantian, tetapi batasan tidak disyaratkan tingkat penguasaannya. Berbeda dengan Haugen 1961 Chaer dan Leonie, 2004:86 mengatakan
“tahu akan dua bahasa atau lebih berarti bilingual”. Maksudnya tidak perlulah dwibahasaan menggunakan kedua bahasanya, cukuplah ia mengetahui kedua bahasa
itu. Dengan begitu bahwa bilingualisme yaitu kemampuan memahami, mengerti dengan dua bahasanya yaitu bahasa pertama dan bahasa kedua. Sedangkan yang
dimaksud dengan memahami dan mengerti merupakan suatu keadaan seseorang menguasai bahasanya paling rendah atau pada tahap mengenal saja sudah dapat
disebut dengan bilingualisme, dengan begitu peneliti lebih memfokuskan pendapat Haugen.
2.3 Tinjauan Pustaka
Adanya tinjauan pustaka ini maka penulis berusaha untuk mencari sumber- sumber lainnya yang termasuk ke dalam penelitian ini, di antaranya:
Sugihana 2004 dalam tesisnya yang berjudul Alih Kode Penutur Bahasa Karo Kelurahan Sempakata Kecamatan Medan Selayang. Teori yang digunakan
adalah menurut Fishman tentang konsep ranah perilaku bahasa pada masyarakat bilingual. Penelitiannya menjelaskan adanya perbedaan dalam menggunakan bahasa
12
terhadap ayah, ibu dengan anak. Hasil yang didapat ialah bahwa pengguna bahasa Karo pada umumnya digunakan pada usia 21 sampai 50 tahun dan pengguna bahasa
Indonesia pada usia 8 sampai 20 tahun. Apriani 2009 yang berjudul Bilingualisme pada Masyarakat Simalungun di
Kecamatan Pematang Raya. Teori yang digunakan yaitu teori bilingualisme menurut Haugen. Hasil dalam penelitian yang dilakukan yaitu bahwa faktor penyebab
terjadinya bilingualisme di Desa Sondi Raya dikarenakan perpindahan penduduk, rasa nasionalisme, perkawinan campuran, pendidikan, kemudian pada pemakaian
bahasa Simalungun dan bahasa Indonesia terjadi karena adanya lawan bicara, situasi sosial pembicaraan yaitu situasi formal dan situasi nonformal kemudian topik
pembicaraan. Sinaga 2009 yang berjudul Alih Kode Antara bahasa Indonesia dan bahasa
Arab di Pondok Pesantren Al-Husna. Teori yang digunakan ialah teori sosiolinguistik dan alih kode. Situasi lingkungan memengaruhi mereka dapat
berbahasa Arab sehingga dominan menggunakan bahasa Arab. Adapun hasil skripsi ini karena adanya orang ketiga, pokok pembicaraan, suasana peristiwa, saluran
pemakaian bahasa, terpengaruh oleh lawan bicara, merasa kurang jika tidak berbahasa Arab terhadap teman, mengutip pembicaraan dari peristiwa bicara lain,
lebih akrab jika mempergunakan bahasa Arab, ketidakmampuan menguasai kode tertentu, kurangnya penguasaan diri, pengaruh frase basa-basi, pepatah, dan
peribahasa. Sari 2011 dalam skripsinya yang berjudul Alih Kode Penutur Bahasa
Pesisir di Kecamatan Kualuh Hilir Kabupaten Labuhan Batu Utara. Teori yang digunakan ialah sosiolinguistik, alih kode dan bilingualisme. Hasil yang didapat
yaitu karena faktor adanya penutur, lawan tutur, hadirnya orang ketiga, perubahan
13
topik pembicara, perubahan dari formal ke informal dan jenis alih kode terbagi atas tingkat tutur ngoko tidak ada rasa segan, tingkat tutur krama sopan santun antara
sang penutur dengan lawan tutur, dan tingkat tutur madya sopan tetapi tingkatnya tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah.
Hasil penelitian-penelitian mengenai alih kode sebelumnya dapat menjadi informasi bagi peneliti saat ini. Pada penelitian ini berbeda lokasi, karena lokasi
terletak di Provinsi Riau yang umumnya terkenal dengan mayoritas suku Melayu. Namun, pada salah satu desa di provinsi Riau ini, yang tepatnya di Desa Petapahan
Jaya terdapat masyakarat suku Sunda yang merupakan suku terbanyak kedua setelah Jawa bukan suku Melayu tersebut. Perlu diketahui bahwa masyarakat Desa
Petapahan Jaya ini tidak menggunakan bahasa Melayu untuk berkomunikasi antara warga satu dengan warga lainnya yang berbeda suku, karena memang suku Melayu
di desa Petapahan Jaya ini begitu sedikit jumlah penuturnya. Akan tetapi, mereka menggunakan bahasa Indonesia untuk memermudah dalam berkomunikasi.
14
BAB III METODE PENELITIAN