Sendi dari kehidupan pluralis adalah dialog. Dialog merupakan instrument utama dalam pengelolaan kehidupan plural yang sehat dan produktif, karena tanpa
ada dialog masing-masing komunitas yang berbeda sangat rentan untuk menjadi eksklusif dan jatuh jatuh dalam fanatisme yang sempit. Dengan dialog dapat
melahirkan sikap toleran, saling percaya, dan saling menghormati. Esensi dari dialog adalah adanya penghargaan dan pengenalan timbal balik
reciprocal recognition antara pihak yang berdialog . dengan adanya sikap saling mengenal dan menghargai ini maka mereka benar-benar dapat memahami
pendapat, nilai-nilai kebenaran dan keyakinan mitra dialognya.
32
2. Urgensi Dialog Antar Agama
. Dialog lebih memanisfetasikan dirinya sebagai suatu pendirian, orientasi,
atau penunjang komunikasi daripada sebagai suatu metode,teknik atau pola yang spesifik.
33
Ada hal yang harus diingat, kadang kala karakteristik dari dialog disalahgunakan secara tidak bertanggung jawab. Kejujuran yang blak-blakan
dapat dilakukan untuk menghina orang lain dengan tujuan untuk memuaskan ego sendiri dan perasaan mementingkan diri sendiri.
32
Ahmad Watik Pratinya, “Pluralisme, Trust dan Dialog” dalam Ahmad Syafii Maarif, dkk., Ethics and Religious Dialogue In a Globalized World Jakarta: The Habibie
Centre,2010, h. 62
33
Richard L Johannesen, Etika Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,1996 h.64
Apabila seseorang yang sadar akan nilai kemanusiaan, maka pasti dia tidak akan mengganggu atau mengancam manusia lain. penulis teringat yang diutarakan
oleh filsuf moral Frans Magnis Suseno, bahwa “Humanisme tak pernah bisa menjadi ancaman bagi humanisme lain” artinya, bahwa humanisme Kristiani tidak
mengancam humanisme Islam, begitu sebaliknya humanisme Islam tak mengancam humanisme Kristiani.
34
Demikian juga hal ini berlaku bagi humanisme yang lain yang ada dalam masing-masing agama, baik humanisme
yang terdapat dalam individu maupun kelompok. Konsekuensinya adalah agama yang tidak humanis bisa menjadi ancaman bagi orang yang tidak beragama,
ancaman bagi orang yang beragama lain, dan bagi saudara-saudari seagama. Dari sinilah kehadiran forum dialog antar agama menjadi relevan dalam
kehidupan masyarakat kita. Dialog sangat dibutuhkan dalam di tengah-tengah pluralisme. Pluralisme ini muncul dalam berbagai macam ragam dan bentuk yang
meliputi: pluralisme kebutuhan, pluralisme keyakinan, pluralisme kepentingan, pluralisme etnis, pluralisme status sosial, pluralisme agama, dan lainnya.
Berkaitan dengan pemahaman pluralisme, berkembanglah upaya-upaya dialog dalam konteks agama-agama. Dialog antar agama, yang hakekatnya adalah
pertemuan hati dan pikiran antar berbagai macam agama, merupakan aktualisasi sekaligus pelembagaan semangat pluralisme keagamaan.
Dialog antar agama menjadi ajang komunikasi dua orang atau lebih dalam tingkatan agamis. Dengan dialog, jalan bersama menuju kebenaran semakin
34
Frans Magnis Suseno, dalam Ibnu Mujib dan Yance Z. Rumahuru, Paradigma Transformatif Masyarakat Dialog; Membangun Fondasi Dialog Agama-agama Berbasis
Teologi Humanisme Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2010, h. 92-93
terbuka.
35
Dialog bukan debat, melainkan saling memberi informasi tentang agama masing-masing baik mengenai persamaan maupun perbedaannya.
Dialog sama sekali tidak mengurangi loyalitas dan komitmen seseorang terhadap kebenaran keyakinan agama yang sudah ia pegang, akan tetapi lebih
memperkaya dan memperkuat keyakinan itu. Dialog juga jauh dari kemungkinan orang untuk terjerumus ke dalam pandangan sinkretisme. Sebaliknya, dialog
mencegah orang dari sinkretisme karena dengan dialog seseorang akan semakin mendalami pengetahuannya tentang agama atau kepercayaan lain, dan pada saat
yang sama keyakinannya terhadap kebenaran ajaran agama yang ia peluk akan semakin teruji dan tersaring.
3. Bentuk-Bentuk Dialog
Dialog antar agama dapat berlangsung dalam beberapa bentuk diantaranya: dialog kehidupan, dialog kerja sosial, dialog teologis dialog iman, dan dialog
spritual.
36
Disamping itu juga ada dialog perbuatan, dialog kerukunan, dialog sharing
pengalaman agama, dialog doa bersama, interfaith dialogue, dialog terbuka, dialog tanpa kekerasan, dialog aksi dan sebagainya.
37
Pertama,
dialog kehidupan. Dialog kehidupan merupakan bentuk paling sederhana dari pertemuan-pertemuan antar agama yang dilakukan oleh umat
beragama. Disini pemeluk agama yang berbeda-beda saling bertemu dalam kehidupan sehari-hari, berbaur, dan melakukan kerjasama dalam berbagai bidang
kegiatan sosial tanpa memandang identitas agama masing-masing.
35
Burhanuddin Daya, Agama Dialogis; Merenda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama,
Yogyakarta: Mataram-Minang Lintas Budaya,2004, h. 20
36
Mun’im A Sirry, Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif- pluralis,
Jakarta: Paramadina,2004, h. 208
37
Burhanuddin Daya, Agama Dialogis, h. 39
Kedua,
dialog kerja sosial. Dialog kerja sosial merupakan kelanjutan dari dialog kehidupan dan telah mengarah pada bentuk-bentuk kerjasama yang
dimotivasi oleh kesadaran keagamaan. Dasar sosiologisnya adalah pengakuan akan pluralisme sehingga tercipta suatu masyarakat yang saling percaya. Dalam
konteks ini, pluralisme sebenarnya lebih sekedar pengakuan akan kenyataan bahwa kita majemuk, melainkan juga terlibat aktif dalam kemajemukan itu.
Ketiga,
dialog teologis atau dialog iman. Dialog teologis merupakan pertemuan-pertemuan, baik reguler ataupun non reguler untuk membahas
persoalan-persoalan teologis. Tema yang diangkat misalnya pemahaman kaum Muslim dan Kristen tentang Tuhan masing-masing atau tentang tradisi keagamaan
seseorang dalam konteks pluralisme dan lain-lain. Tujuannya adalah untuk membangun kesadaran bahwa diluar keyakinan dan keimanan dari tradisi agama-
agama selain kita. Jika dalam dialog sosial berangkat dari problem bagaimana kita menempatkan agama kita di tengah-tengah agama-agama orang lain, maka dialog
teologis berusaha memposisikan iman kita di tengah-tengah iman orang lain.
Keempat,
dialog spiritual. Dialog spiritual bertujuan untuk menyuburkan dan memperdalam kehidupan spiritual di antara berbagai agama. Dialog ini
bergerak dalam wilayah esotoris yaitu sisi dalam agama-agama. oleh karena itu para pesertanya melampaui sekat-sekat dan batas-batas formalisme agama.
Dialog antar agama paling tidak berlangsung dalam tiga level. Pertama, dialog wacana, yaitu dialog yang membahas masalah-masalah teologis yang
muncul. Misalnya, konsep Tuhan Allah dengan paham Trinitas Kristen. Kedua, membagi sharing pengalaman spiritual, misalnya sama-sama puasa untuk