seratus tigapuluh hari. b. apabila perkawinan putus karena perceraian, maka masa transisi ditetapkan mengikuti masa transisi istrinya.
37
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa lahirnya pemikiran idah bagi laki-laki merupakan suatu bukti akan tidak puasnya suatu
kelompok terhadap aturan yang berlaku di Indonesia, dengan alasan ketidakadilan pada wanita, aturan tersebut dituntut untuk direvisi sesuai dengan kondisi dan
perkembangan hukum Internasional.
C. Relevansi Idah Laki-Laki Dengan Perkembangan Reformasi Hukum
Keluarga di Indonesia
Sebelum membahas lebih jauh mengenai penjelasan ini, perlu kiranya penulis kemukakan makna dari istilah reformasi terlebih dahulu. Istilah atau kata reformasi
berasal dari bahasa Inggris yaitu reformation merupakan kata kerja to reform yang berarti membentuk kembali, dalam kamus besar bahasa Indonesia, istilah reformasi
diartikan dengan perubahan radikal untuk perbaikan bidang sosial, politik atau agama dari suatu masyarakat atau negara.
38
Jika dikaitkan dengan hukum menurut Thompson yang dikutip oleh Jaenal Aripin, reformasi hukum berarti proses
perubahan tatanan hukum contitutisional reform.
39
37
Ridwan. Membongkar Fikih Negara Wacana Keadilan Gender dalam Hukum Keluarga Islam, cet. pertama Yogyakarta: PSG STAIN Purwokerto Unggun Religi, 2005, h. 182-183.
38
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, cet. II Jakarta: Balai Pustaka, 1989, h. 735.
39
Jaenal Aripin, Reformasi Hukum dan Implikasinya Terhadap Eksistensi Peradilan Agama di Indonesia, h. 3. Artikel diakses dalam
http:ern.pendis.kemenag.go.idDokPdfern-vi-01.pdf. tanggal 27 Maret 2011
Sejarah era reformasi lahir sejak tahun 1998 yaitu dengan jatuhnya rezim pemerintahan orde baru yang pada waktu itu dipimpin oleh Presiden Soeharto. Sejak
jatuhnya rezim pemerintahan orde baru tersebut, terjadi perubahan yang sangat besar dalam diri bangsa Indonesia. Pada era reformasi, isu hukum menjadi salah satu isu
yang sangat penting hingga terjadinya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian berpengaruh besar terhadap kebijakan politik dan hukum Indonesia sampai
sekarang ini. Pada awal reformasi, kebijakan arah dan tujuan bangsa Indonesia diatur dalam
GBHN Tahun 1999. Dengan berlakunya GBHN Tahun 1999 ini, hukum Islam mempunyai kedudukan lebih besar dan tegas lagi untuk berperan sebagai bahan baku
hukum nasional.
40
Perkembangan hukum nasional pasca reformasi mencakup tiga elemen sumber hukum yang mempunyai kedudukan yang sama dan seimbang, yaitu
hukum adat, Barat dan Islam. Ketiganya berkompetisi bebas dan demokratis, bukan pemaksaan.
41
Semenjak berlangsungnya reformasi, sampai saat ini perkembangan mengenai hukum keluarga tidak begitu signifikan, akan tetapi akibat dari reformasi menjadikan
posisi Pengadilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman menjadi peradilan yang berada pada satu atap di bawah Mahkamah Agung RI, hal ini sesuai
dengan Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 1999. Dengan adanya ketentuan ini,
40
A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional Kompetisi Antara Hukum Islam Dan Hukum Umum, cet. II Yogyakarta: Gama Media Offset, 2004, h.169.
41
Ibid, h. 172.
posisi Pengadilan Agama semakin kuat, sebab telah ditetapkan dalam Undang- Undang Dasar sejajar dengan peradilan yang lain.
42
Untuk merealisasikan tujuan reformasi di bidang hukum, maka lembaga- lembaga yang memiliki wewenang untuk mengurus dan mengatur segala ketentuan
mengenai hal ikhwal penegakan hukum harus senantiasa disesuaikan dengan kondisi yang hidup dan berkembang dalam masyarakat dan menyesuaikan diri dengan segala
perkembangan yang terjadi. Tak terkecuali lembaga peradilan agama sebagai pengadilan khusus yang dapat mengadili perkara-perkara tertentu yang telah
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
43
Reformasi yang berlangsung selama kurun waktu 1998-2010 tidak memberikan suatu gebrakan khusus dalam hukum materil mengenai perkawinan
dalam lingkungan peradilan agama. aturan mengenai perkawinan No 1 Tahun 1974 pelaksanaannya melalui peraturan pemerintah No 9 Tahun 1975 yang merupakan
aturan pertama mengenai perkawinan yang berlaku secara nasional, isi dari Undang- Undang ini terdiri dari 14 bab dan 67 pasal, sementara peraturan pelaksanaannya
terdiri dari 10 bab dalam 49 pasal.
44
Mayoritas masyarakat Indonesia yang menganut agama Islam tentunya mereka membutuhkan peraturan yang berdasarkan ajaran
42
Abdul Manan, Hakim dalam Penyelenggraan Peradilan Suatu Sistem dalam Kajian Peradilan Islam, cet. I Jakarta: Kencana, 2007, h. 226.
43
H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama Kumpulan Tulisan,cet. I Jakarta: Rajawali Pers,1997, h. 223.
44
Ibid, h. 25.
agama, hal ini tentu tidak bersifat hanya pada satu aturan saja, akan tetapi dalam segala bidang.
Hukum Islam yang universal dapat sesuai dengan konteks perubahan dan kemajuan zaman, Islam meyakini perubahan sebagai suatu realitas yang tidak bisa
diingkari, Islam juga memberi posisi yang paling tepat demi memudahkan semua hal untuk berubah secara sahih dan aman. Agama berjalan bersama beriringan dengan
lanjutnya kehidupan,tugas agama adalah mengawali perubahan secara benar untuk kemaslahatan manusia.
45
Untuk konteks ke Indonesiaan, pembangunan Hukum Islam di Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Penjabaran Hukum Islam ke dalam sistem hukum Indonesia.
2. Penciptaan serta menyusun kembali lembaga-lembaga hukum baru.
3. Mengupayakan tentang bagaimana hukum tadi dapat dijalankan dengan
efektif.
46
Sementara itu, di sisi lain upaya pembangunan hukum Islam akan melibatkan tiga komponen yang mesti diperhitungkan dengan matang dan cermat, komponen-
komponen itu biasa dikenal dengan istilah “Tri Darma Hukum”, yaitu: 1 komponen
45
Ridwan. Membongkar Fikih Negara Wacana Keadilan Gender dalam Hukum Keluarga Islam,h.101.
46
Deden Effendi, Kompleksitas Hakim Pengadilan Agama Jakarta: Departemen Agama R.I., 1985, h. 2.
perangkat hukum, 2 komponen penegak hukum, dan 3 komponen kesadaran hukum.
47
Perkembangan hukum Islam tidak terlepas dari perubahan dalam dasar-dasar kemasyarakatan,
baik bersifat
struktural maupun
kultural. Dasar-dasar
kemasyarakatan tersebut, menurut Soerjono Seokanto,
48
paling sedikit mencakup: 1 agama, 2 filsafat, 3 ideologi, 4 ilmu pengetahuan, dan 5 teknologi.
Abu A‟la al-Maududi berpendapat sebagaimana dikutip oleh Muhammad Fauzi bahwa manusia dengan kedalaman pengetahuannya tentang alam dan hakikat-
hakikat ilmiah,
menyebabkan bertambah
dalam pemahamannya
tentang menginterpretasikan makna-makna agama.
49
Ciri khas dari hukum Islam itu sendiri harus menjunjung tinggi kemaslahatan. Menurut Wahbah Zuhaili, jika hukum tidak
sejalan dengan kemaslahatan manusia, niscaya mereka akan mengalami kemelaratan dan ini juga berimbas ketidakefektifan hukum dalam perbedaan situasi dan kondisi.
Jika sedemikian, maka bertentangan dengan maksud diterapkannya hukum itu, karena salah satu tujuan diterapkannya hukum Islam adalah menjaga kemaslahatan manusia
dan mewujudkannya.
50
47
Ibid. h.2.
48
Soerjono Soekanto, Ilmu-ilmu Hukum dan Pembangunan Hukum, Analisis Pendidikan. No.02, Tahun ke-IV 1983, h. 37.
49
Muhammad Fauzi, Agama dan Realitas Sosial: Renungan dan Jalan Menuju Kebahagiaan Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007, h. 84.
50
Wahbah Zuhaili, Al-Wajiz fi Ushuli al-Fiqh, Libanon: Darl al-Fikr, 1995, h. 94.
Berbicara mengenai perkembangan hukum, terlebih berbicara perkembangan hukum keluarga Islam, dalam kaitannya dengan hal ini tidak terlepas dari semangat
ijtihad para ulama, para ulama mujtahid telah berhasil memahami dan merumuskan hukum syarak untuk dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan di dunia, baik yang
menyangkut hubungan manusia dengan Allah maupun yang menyangkut hubungan manusia dengan sesamanya, yang kemudian disebut dengan fikih, fikih yang telah
dihasilkan oleh mujtahid pada masa itu merupakan suatu karya agung yang dapat memandu kehidupan umat dalam segala bidangnya, fikih lama secara tekstual sulit
dijadikan panduan kehidupan beragama secara utuh pada saat ini, karenanya fikih lama sulit diterapkan pada saat ini, sedangkan umat sangat membutuhkannya.
51
Pada dasarnya, tujuan diberlakukannya suatu hukum adalah untuk memelihara kemaslahatan dan sekaligus menghindari kerusakan baik di dunia maupun di akhirat.
Segala macam kasus hukum, baik yang secara eksplisit diatur dalam Alquran dan hadis, maupun yang dihasilkan melalui ijtihad, harus bertitik tolak pada tujuan
tersebut. Semua metode itu yang digunakan untuk menemukan hukum, bermuara pada upaya penemuan maslahat.
52
Upaya penemuan maslahat ini juga yang dikehendaki oleh maqasid syariah tujuan penetapan hukum. Maqasid syariah perlu
difahami dalam rangka mengetahui apakah terhadap satu kasus hukum masih dapat
51
Abdul Halim, ed., Meretas Kebekuan Ijtihad: Isu-Isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia, cet.II Jakarta: Ciputat Press, 2005, h. 76.
52
Ibid., h 47-48.
diterapkan satu ketentuan hukum atau karena adanya perubahan struktur sosial, hukum tersebut tidak lagi dapat diterapkan.
Perkembangan mengenai hukum Islam di Indonesia dalam konteks sejarah perjalanannya, dapat dilihat dari dua periode, yaitu: a Periode penerimaan hukum
Islam sepenuhnya; b Periode penerimaan hukum Islam oleh hukum adat.
53
Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, hukum Islam telah diakui semenjak kedatangan Islam. Penyebaran Islam yang berlangsung selama kedatangannya
membawa misi untuk menegakkan hukum-hukum Islam itu sendiri. Penyebaran Islam yang disampaikan dengan penuh kearifan dan memberikan nilai-nilai Islam pada
kebiasaan atau adat yang dianut oleh masyarakat menjadikan ajaran Islam mudah diterima. Sampai saat ini hal tersebut masih berlangsung, bahkan menjadi sangat
terorganisir dan tersusun dengan cukup rapi. Dalam menegakkan hukum-hukum Islam, langkah yang ditempuh oleh
pemerintah dalam memberikan aturan khusus bagi masyarakat muslim yaitu dengan dirancangnya aturan mengenai perkawinan yang bersumber pada ajaran agama Islam,
realisasi pemerintah tersebut ditandai dengan dibuatnya Kompilasi Hukum Islam. Kompilasi Hukum Islam disahkan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun
1991 tanggal 10 Juni 1991, dan pelaksanaannya diatur melalui Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991, dan disebarluaskan melalui
53
Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, cet. Pertama Jakarta: Penamadani, 2004 h. 11.
Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Nomor 3694EVHK.003AZ91 tanggal 25 Juli 1991,
54
yang isinya meliputi berbagai aturan yang dikhususkan bagi umat muslim Indonesia hemat penulis ini merupakan titik
awal diakui syariat Islam di Indonesia secara menyeluruh oleh umat Islam, aturan dalam KHI menjadi bagian penting bagi kesuksesan para ilmuan muslim untuk
memberlakukan aturan secara islami walau hanya sebatas mengenai urusan muamalah.
Kompilasi Hukum Islam tidak dihasilkan melalui proses legislasi Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana peraturan dan perundang-undangan lainnya yang
dijadikan sebagai hukum positif, tetapi merupakan hasil diskusi para ulama yang digagas oleh Mahkamah Agung dan Departemen Agama yang melibatkan berbagai
perguruan tinggi Islam di Indonesia beserta komponen masyarakat lainnya.
55
Perlu dicatat, bahwa berlakunya hukum Islam sebagai hukum positif bagi umat Islam Indonesia yang merupakan jumlah mayoritas di negeri ini dilandasi oleh
nilai filosofis, yuridis dan sosiologis bangsa Indonesia. Oleh karena itu, negara berkewajiban untuk menjadikan hukum Islam sebagai hukum positif bagi umat Islam
Indonesia. Karena pada dasarnya cara berpikir, pandangan hidup, dan karakter semua bangsa tercermin dalam kebudayaan dan hukumnya.
56
54
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998, h. 26.
55
A. Rahmad Rosyadi dan Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum di Indonesia, cet. Pertama Bogor: Ghalia Indonesia, 2006, h. 103-104.
56
Mustofa dan Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer, cet. Pertama Jakarta: Sinar Grafika, 2009, h.160.
Reformasi hukum keluarga dalam catatan sejarah yang ada pada masa pasca kemerdekaan, kesadaran umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam boleh
dikatakan semakin meningkat. Perjuangan mereka atas hukum Islam tidak berhenti hanya pada tingkat pengakuan hukum Islam sebagai subsistem hukum yang hidup di
masyarakat, tetapi juga sampai pada tingkat lebih jauh, yaitu legalisasi dan legislasi. Mereka menginginkan hukum Islam menjadi bagian dari sistem hukum nasional,
bukan semata-mata substansinya, tetapi secara legal formal dan positif. Aturan mengenai hukum keluarga yang berlaku selama ini khususnya
mengenai hukum keluarga Islam, segala ketentuan yang termaktub di dalamnya merupakan hasil ijtihad yang dilakukan oleh kalangan ilmuan muslim Indonesia,
maka tidak berlebihan jika KHI dapat disebut juga dengan Fikih Indonesia. Dalam merumuskan aturan KHI, para ahli hukum Islam menggali lebih dalam mengenai
dalil-dalil yang terdapat dalam hukum Islam, dalil hukum Islam yang telah disepakati oleh jumhur ulama antara lain Alquran, sunah Rasul, ijma dan qiyas, kemudian para
ulama menyepakati bahwa penggunaan dalil tersebut harus berurutan. Dengan diakuinya Peradilan Agama berada dalam satu atap di bawah
Mahkamah Agung RI tentunya menjadikan KHI sebagai hukum meteril yang mempunyai kekuatan hukum yang lebih kuat lagi meskipun KHI hanya sebatas
Inpres, kendati demikian, KHI dapat menjawab segala permasalahan hukum keluarga dan masih relevan jika KHI masih berlaku secara nasional. Menghadapi tantangan
zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan untuk konteks era reformasi, tidak
sedikit dari para ilmuan muslim yang mengkritik KHI sudah tidak relevan lagi, wajar saja bila kritikan itu dilontarkan untuk merevisi KHI karena kebutuhan
masyarakatpun semakin berbeda sesuai dengan perkembangan saat ini. Perkembangan yang marak diteriakkan pada era reformasi yaitu
perkembangan mengenai kesetaraan gender, paham yang diangkat yaitu wanita menjadi korban dalam segala bidang termasuk di dalamnya diskriminasi dalam
hukum. Imbas dari paham ini mengakibatkan kritikan terhadap hukum keluarga yang berlaku di Indonesia, mereka beranggapan bahwa KHI tidak memberikan keadilan
pada perempuan dan isi dalam KHI tidak sesuai dengan kearifan lokal Indonesia. Sebelum membahas lebih jauh, perlu kiranya penulis utarakan makna dari
gender. Gender yang berarti suatu konsep yang kultural yang berupaya membuat pembedaan dalam hal peran, prilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara
laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
57
Istilah gender di Indonesia lazim digunakan dengan memakai ejaan “jender”, diartikan dengan
interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin, yakni laki-laki dan perempuan.
58
Walaupun kata “gender” telah digunakan sejak tahun 1960, namun
57
Siti Musdah Mulia. Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, cet.II Jakarta: Kibar Press, 2007, h. 55.
58
Tim Penyusun, Buku III: Pengantar Tehnik Analisa Gender, Jakarta: Kantor Menteri Negara Urusan Perempuan, 1992, h. 2.
pengertian yang tepat mengenai kata “gender” tidak ada dalam bahasa Indonesia. Kata “gender” berasal dari bahasa Inggris gender yang diberi arti “jenis kelamin”.
59
Paham mengenai kesetaraan gender yang awal mulanya berkembang di daerah Eropa dan Amerika, paham tersebut lahir karena adanya diskriminasi terhadap kaum
perempuan yang dibedakan dalam sistem yang patriarkhi. Paham tersebut tentu bersebrangan jauh dengan paham kesetaraan dalam ajaran Islam yang secara ideal-
normatif, Islam sesungguhnya tidak membedakan antara laki-laki dengan perempuan, atau dengan kata lain Islam menolak segala bentuk diskriminasi yang berbau gender.
Islam sebagai pembawa keselamatan dan kerahmatan bagi seluruh alam rahmatan lil‘alamin menempatkan derajat dan posisi wanita pada kedudukan yang mulia.
60
Wanita sebagai kenyataan sosial masyarakat Arab pada masa Nabi, menjadi salah concren yang ingin dibela Alquran, di samping kelompok budak, kaum fakir miskin,
anak-anak miskin, dan sederet kaum lemah lainnya. Bahkan Alquran secara khusus mendokumentasikannya dalam satu surat khusus yang bernama an-
Nisa„.
61
Aturan yang berlaku saat ini dalam menjalankan idah, segala ketentuannya diwajibkan bagi wanita yang putus perkawinannya dari suaminya, baik yang putus
karena kematian, perceraian maupun yang putus karena keputusan pengadilan dan masa idah tersebut berlaku bagi istri yang sudah melakukan hubungan suami istri,
59
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, cet.XII Jakarta: Gramedia, 1983, h. 265.
60
Masdar F. Mas„udi, Meletakkan Maslahat Sebagai Kerangka Acuan Syari‘ah,Ulumul Qur‘an, Vol. 4, 1995, h. 94.
61
Nurjanah Ismail, Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-Laki dalam Penafsiran, cet. Pertama Yogyakarta: LKiS, 2003, h. 5.
aturan seperti ini sesuai dengan ayat Alquran yang telah dijelaskan sebelumnya. Jika istri tersebut belum melakukan hubungan suami istri, maka baginya tidak diwajibkan
beridah dengan berdasarkan firman Allah surat al-Ahzab 33 ayat 49 yang telah ditulis di atas.
Ayat ini pula yang menjadi landasan hukum dalam Undang-Undang RI No.1 Tahun 1974 pasal 11 dan pasal 153 Kompilasi Hukum Islam. Aturan dalam KHI
mewajibkan beridah hanya bagi perempuan dan tidak ditetapkan bagi laki-laki, hal inilah yang oleh sebagian kalangan pemerhati gender dianggap tidak memberikan
keadilan. Bentuk kongkrit dari usaha mereka dalam mengkritisi aturan-aturan yang
mereka anggap diskriminatif yaitu dengan membuat suatu peraturan tandingan terhadap aturan-aturan mengenai hukum keluarga yang berlaku seperti yang telah
dijelaskan di atas. Dalam menentukan dan menetapkan peraturan-peraturan yang mereka buat berdasarkan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia, mengadvokasikan
kesetaraan dan keadilan gender dalam relasi laki-laki dan perempuan, menyuarakan pandangan yang humanis, pluralis dan demokratis.
62
Peraturan-peraturan yang mereka buat dengan berdasarkan prinsip-prinsip di atas berlawanan dengan aturan-aturan yang berlaku dan bertentangan dengan Alquran
dan sunah Nabi. Ketentuan idah yang telah jelas diatur dalam Alquran dan dijadikan
62
Siti Musdah Mulia, Musdah Mulia. Menuju Perkawinan yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia dalam Sulistiowati Irianti ed Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang
Berprespektif Kesetaraan dan Keadilan, h.144.
rujukan hukum yang berlaku seharusnya tidak berlawanan dengan aturan yang telah ada nashnya. Aturan yang dibuat dalam merumuskan hukum Islam yang selama ini
menjadi pedoman adalah Alquran, karena Alquran sebagai sumber utama dalam menentukan hukum, maka hal yang paling utama mencari jawabannya adalah dalam
Alquran. Selama hukumnya dapat sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Alquran, maka tidak boleh mencari jawabannya di tempat lain, namun apabila
akan menggunakan sumber hukum Islam di luar Alquran, maka kaidah yang digunakan harus sesuai dengan petunjuk Alquran dan tidak boleh melakukan sesuatu
yang bertentangan dengan Alquran.
63
Konsep mengenai idah telah ditentukan dalam Alquran, dengan adanya ketentuan tegas itu, maka konsep idah bagi laki-laki tidak
sesuai dengan prinsip yang digunakan dalam merumuskan suatu aturan mengenai hukum keluarga di Indonesia.
Kalangan yang merumuskan idah bagi laki-laki menggunakan prinsip yang tidak sesuai dengan prinsip pembentukan hukum Islam, dalam merumuskan suatu
aturan yang selama ini berlaku, peran aktif ahli hukum Islam dalam menentukan suatu ketentuan hukum, mereka menggunakan sunah Nabi sebagai sumber hukum
yang kedua, hal ini berdasarkan surat Ali Imran 3 ayat 32 yang menyatakan: Taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kalian berpaling sesungguhnya Allah tidak
menyukai …kemudian penegasan mengenai hal tersebut ditegaskan pula dalam surat
An-Nisa ayat 80 yang arti dari ayat tersebut yaitu: Barang siapa yang mentaati Rasul
63
Abdul Manan. Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006, h.70.
sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dari kedua ayat tersebut, jelas bahwa posisi sunah Nabi menjadi salah satu prinsip yang paling kuat dalam menentukan suatu
hukum. Fungsi dari sunah Nabi itu sendiri untuk menjelaskan ayat Alquran yang masih bersifat global agar dapat dilaksanakan dengan kehidupan sehari-hari.
Selain Alquran dan sunah yang menjadi sumber hukum sumber hukum yang dapat digunakan ketika tidak ditentukan dalam Alquran maupun sunah Nabi, metode
lain yang dapat dipergunakan yaitu dengan menggunakan ijma para ulama. Apabila para ulama telah menetapkan keputusan secara kolektif berdasarkan ijma, maka
keputusan tersebut adalah benar dan terpelihara dari kesalahan, oleh karena itu apabila hukum tersebut ditetapkan berdasarkan ijma yang sharih, maka hukum
tersebut dapat dijadikan hukum yang qat’i, sedangkan apabila ditetapkan berdasarkan
ijma sukuti, menurut sebagian ahli hukum Islam kekuatannya dhanni, sejajar dengan produk fatwa individual. Di samping hukum Islam yang bersumber pada Alquran dan
sunah, pertimbangan yang dapat digunakan dalam menggali hukum teori yang dapat dijadikan pegangan yaitu dengan cara qiyas deduksi analogis, istihsan
pertimbangan suatu hukum yang baik, istishab persangkaan hukum , sadz dzari’ah
menutup jalan kerusakan, istishlah, dan urf adat kebiasaan. Ketentuan-ketentuan di atas digunakan pula oleh para ahli hukum di Indonesia
dalam menentukan dan merumuskan suatu peraturan. Jika melihat dari teori-teori tersebut, maka dapat disimpulkan konsep mengenai idah bagi laki-laki tidak relevan
dengan perkembangan hukum keluarga di Indonesia. Hal ini di sebabkan teori yang
mereka gunakan bersebrangan dengan yang ditetapkan dalam Alquran yang menjadi sumber utama dalam menetapkan hukum Islam.
Tentang prinsip demokrasi, pluralis, humanis dan kesetaraan gender, hal tersebut tidak benar, ajaran Islam tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan
perempuan, ajaran Islam sangat memuliakan perempuan dan memberikan keadilan bagi semesta alam. Aturan yang telah ditetapkan dalam Alquran merupakan bentuk
keadilan bagi manusia itu sendiri yang di dalamnya mempunyai nilai yang sangat mulia dan memberikan nilai kebaikan di dunia terlebih lagi di akhirat yang oleh
seluruh umat Islam diyakini merupakan kehidupan yang kekal di mana amal-amal baik akan dibalas dengan kebaikan dan amal-amal buruk dibalas dengan siksaan.
Oleh karena itu, sepatutnya dalam membuat dan merancang suatu aturan seharusnya berdasarkan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan dalam Islam.
D. Penolakan Terhadap Konsep Idah Bagi Laki-Laki