Dasar Hukum Idah TINJAUAN UMUM TENTANG IDAH

“ Nama untuk masa wanita untuk menunggu dan terlarang untuk menikah setelah suaminya meninggal atau bercerai”

B. Dasar Hukum Idah

Setelah membahas masalah idah dari segi pengertian, maka di bawah ini penulis akan membahas dasar hukum idah yang mengacu pada dalil naqli guna memperjelas tentang idah itu sendiri. 1. Dasar dari Al Quran Artinya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri menunggu tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka para suami itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. QS. Al Baqarah 2: 228 2. Dasar dari Hadis Kewajiban beridah selain telah diatur dalam Alquran, dalam hadis Nabi juga mengatur dan memperjelas permasalahan tersebut, berikut adalah beberapa hadis Nabi yang menjelaskan tentang kewajiban bagi istri untuk beridah. Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Saibah telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Idris dari Ubaidillah dari Na fi’ dari Ibnu Umar ia berkata : aku mentalak isteriku dalam keadaan haid kemudian Umar menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah. Kemudian Rasulullah bersabda “Perintahkan kepadanya Ibnu Umar supaya kembali kepada isterinya sehingga suci kemudian haid kemudian suci lagi, kemudian apabila ia ingin mentalaknya hendaklah ia mentalak sebelum berhubungan dengannya, apabila tetap ingin bersamanya, maka hendaklah bersamanya. Itulah idah yang diperintahkan oleh A llah”. HR Ibn Majah. Dasar hukum yang bersumber dari hadis Rasul saw. tentang idah bagi wanita yang ditinggal wafat oleh suaminya yaitu: Artinya: “Telah bercerita kepada kami Yahya bin Yahya ia berkata : aku membacakan hadis dihadapan Malik dari Abdullah bin Abi bakr dari Humaid bin Nafi’ dari Zainab binti Abi Salamah bahwa Zainab telah meriwayatkan hadis ini. Humaid bin Nafi’ berkata bahwa Zainab pernah berkata “aku bertemu dengan Umi 6 Al-Hafiz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Quzwini Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, juz.I Beirut: Dar al-Fikr, t.th., h. 651. 7 Nawawi, Shahih Muslim, juz.V, Kairo: Daar al-Hadist, 2005, h. 368. Haibah isteri Nabi ketika ayahnya meninggal ayahnya Abu Tsufyandst. Kemudian Umi Habibah berkata “aku mendengar Rasulullah bersabda di atas mimbar “tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir meratapi mayit lebi dari tiga hari kecuali atas suaminya selama empat bulan sepuluh hari”. HR Muslim 8 Artinya : Telah bercerita kepada kami Yahya ibn Khaza ’ah: telah bercerita kepada kami Malik dari Hisyam bin Urwah dari bapaknya, dari Miswar putera Makhramah: “Bahwasanya Subai’ah Aslamiyah ra. melahirkan setelah suaminya meninggal dunia beberapa malam, kemudian ia menghadap Rasulullah dan minta izin untuk kawin, maka Rasulullah mengizinkannya, kemudian ia kawin.” HR. Bukhari. Dari beberapa dasar diwajibkannya idah di atas menjadi suatu pijakan dalam memahami dan menjalankan aturan sesuai dengan aturan yang berlaku. Di Indonesia sendiri aturan mengenai idah tersebut telah diatur dalam suatu peraturan formal yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan tentunya aturan tersebut bersumber dari dalil- dalil Alquran ataupun Hadis, peraturan tersebut penulis akan bahas lebih lanjut pada bahasan di bawah ini. 3. Dasar Hukum Positif Perundang-undangan hukum Indonesia, khususnya dalam Undang-undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan serta dalam peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam. Telah 8 Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mugirah bin Barzabah al- Bukhoriyyu al- Zu‟fiyyu. Shahih al-Bukhori, cet. IV Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiah, 2004, h. 1000. memberikan klasifikasi dengan tidak menyebut suatu istilah tertentu yang dipergunakan, akan tetapi sebagaimana diketahui bahwa materi dari Undang-undang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya merupakan cuplikan yang diambil dari norma masing-masing agama di Indonesia yang didominasi oleh aturan-aturan yang digariskan dalam syariat Islam. Undang-undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menetapkan waktu tunggu bagi seorang wanita yang putus perkawinan. 9 Selanjutnya atas dasar pasal 11 Undang-undang RI No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan ditetapkan waktu tunggu sebagai berikut: Ayat 1 Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. 2 Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat satu akan diatur dalam peraturan pemerintah lebih lanjut. 10 Demikian pula pada Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur waktu tunggu yang dituangkan pada bab VII pasal 39. Pada pasal 153 Kompilasi Hukum Islam tentang perkawinan dalam menentukan waktu tunggu sebagai berikut : Ayat 1 Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau idah kecuali qobla dhukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami. 9 K.Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, cet.IV, Jakarta: Ghalia Indonesia,1978, h. 20. 10 Undang-undang Perkawinan di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaan, Jakarta. PT Pradya Paramita,1987, h. 10. Sama halnya dengan yang di atur dalam pasal 154 dan pasal 155 Kompilasi Hukum Islam tentang perkawinan, mengatur waktu idah. Sementara itu, apabila perkawinan putus karena khulu, fasakh, atau l i‟an 11 , maka waktu tunggu seperti idah talak. Sedangkan apabil a seorang istri tertalak raj‟i kemudian di dalam menjalani masa idahnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 153 ayat 2 huruf b, ayat 5 dan ayat 6 ditinggal mati oleh suaminya, maka idahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari atau 130 hari yang mulai penghitungannya pada pada saat matinya mantan suaminya tersebut. Adapun masa idah yang telah berjalan pada saat suaminya masih hidup tidak dihitung, tetapi mulai dihitung pada saat kematian. Karena hal tersebut dianggap masih terikat dalam perkawinan karena sang suami masih berhak merujuknya selama masih dalam masa idah. Karakteristik masa idah tersebut, merupakan ketentuan hukum mengenai tenggang waktu hitungan masa idah dalam hukum perkawinan Islam. 12 4. Keharaman Untuk Melakukan Perkawinan Selama Masa Idah Untuk memperjelas pengertian tersebut di atas, dapat dikemukakan hasil Tim Departemen Agama RI yang merumuskan bahwa idah menurut pengertian hukum Islam ialah masa tunggu yang ditetapkan oleh hukum syarak. Hukum syarak yang dimaksud disini adalah pengertian hukum syarak menurut istilah fuqaha, yaitu: 11 Khulu adalah cerai gugat atas dasar tebusan atau iwad dari istri. Sedangkan fasakh adalah putus karena salah satu dari salah satu istri atau suami murtad atau sebab lain yang seharusnya ia tidak dibenarkan kawin dan li‟an yaitu menuduh istri melakukan perzinaan. 12 Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet.Pertama Jakarta: Sinar Grafika 2006, h. 89. 13 . Artinya: Adapun hukum syarak menurut istilah fuqaha ialah pengaruh yang dikehendaki oleh kitab Syari Tuhan terhadap suatu perbuatan seperti kewajiban, larangan dan kebolehan. Bertolak dari beberapa definisi yang telah dijelaskan di atas dapat dirumuskan bahwa idah menurut pengertian dalam hukum Islam adalah masa tunggu yang ditetapkan oleh hukum syarak bagi wanita istri untuk tidak melakukan akad nikah baru dengan laki-laki lain dalam masa tersebut, dengan tujuan untuk membersihkan diri dari pengaruh akibat hubungan antara mantan suaminya itu serta sebagai nilai ibadah kepada Allah swt. Merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 akan kita ambil pengertian yang sifatnya sudah cukup tegas. Hal ini disebabkan karena definisi waktu tunggu idah itu sendiri sudah diulas secara konkrit dan jelas. Idah yang berarti tenggang waktu di mana janda bersangkutan tidak boleh kawin bahkan dilarang pula menerima pinangan atau lamaran dengan tujuan untuk menentukan nasab dari kandungan janda itu bila ia hamil. Dan juga sebagai masa berkabung bila suami yang meninggal dunia dan untuk menentukan masa rujuk bagi 13 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, cet.VIIII Jakarta: Majlis al-Ala al-Indonesia Li al-Dakwah al-Islamiyah, 1972, h. 100. suami bila talak itu berupa talak r aj‟i. 14 Pemahaman ini diinspirasikan secara implisit oleh pasal-pasal yang berhubungan dengan masalah idah itu sendiri, yaitu pasal 11 Undang-undang RI No. 1 Tahun 1974 dan pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Dengan demikian, pengertian idah adalah masa tenggang waktu atau tunggu sesudah jatuhnnya talak. Di dalam waktu idah itu, bekas suami diperbolehkan untuk merujuk kepada bekas istrinya. Atas dasar inilah istri tidak diperbolehkan melangsungkan perkawinan baru dengan laki-laki lain. 15

C. Macam-macam Idah