TINJAUAN PUSTAKA Kutu Putih Ubi Kayu, Phenacoccus Manihoti Matile Ferrero (Hemiptera Pseudococcidae), Hama Invasif Baru Di Indonesia

Interaksi antara musuh alami dengan hama telah banyak dilaporkan, di antaranya oleh Nadel dan van Alphen 1987 dan Souissi et al. 1997 yaitu respon dari parasitoid betina pada zat kimia volatil yang dikeluarkan oleh tanaman ubi kayu yang terserang kutu putih. Telah diteliti model interaksi antara P. manihoti dan Apoanagyrus lopezi, dan P. herreni dengan Apoanagyrus diversicornis Howard, Aenasius vexans Kerrich, Acerophagus coccois Smith Hymenoptera: Encyrtidae. Contoh lain adalah spesies endoparasitoid untuk mengendalikan P. herreni di Amerika Selatan Bertschy et al. 1997; 2001. Senyawa kimia yang dikeluarkan oleh tanaman berperan penting dalam interaksi antara musuh alami dan tanaman. Senyawa kimia yang dikeluarkan oleh tanaman bisa digunakan oleh musuh alami untuk mendeteksi inang atau mangsa. Hal ini secara intensif diteliti pada serangga parasitoid maupun predator tungau Vet dan Dicke 1992, Dicke dan Vet 1999; Cortesero et al. 2000. Namun baru sedikit informasi tentang interaksi antara serangga predator seperti coccinellids dengan hama tanaman. Coccinellidae merupakan predator yang banyak digunakan untuk mengendalikan kutu putih Obata 1986; Zhu et al. 1999. Penelitian pada Coccinellidae, salah satunya telah dilakukan oleh Le Ru and Makayamakosso 2001, diketahui bahwa adanya respon dari betina predator generalis ladybird Epidinocarsis flaviventris pada bau yang dikeluarkan dari interaksi ubi kayu dan kutu putih. Tanaman ubi kayu sendiri dikatakan tidak atraktif dalam menarik musuh alami, tetapi dengan percobaan infestasi kutu putih pada tanaman ubi kayu, maka tanaman ubi kayu mengeluarkan senyawa volatil yang menarik betina dari coccinellids pada mikrohabitatnya. Pengendalian Kutu Putih P. manihoti Pengendalian Biologi. Introduksi Epidinocarsis lopezi untuk mengendalikan P. manihoti sukses dilakukan di Afrika. Ini merupakan contoh pengendalian biologi klasik yang berhasil pada kutu putih Neuenschwander 1994. Epidinocarsis diversicornis mempunyai preferensi makan pada nimfa instar-3 dan A. coccois memparasit pada kokon jantan dan betina, serta nimfa instar-2 P. manihoti. Persentase oviposisi oleh E. diversicornis menyebabkan kematian 13 pada nimfa instar-1 van Driesche et al. 1990. Aenasius vexans mempunyai preferensi makan pada nimfa instar- 2 dan ke- 3, serta dewasa P. manihoti CIAT 1990. Penggunaan Tanaman Resisten Pengendalian kutu putih yang pernah dilakukan adalah dengan kombinasi antara tanaman inang resisten dan pengendalian biologi. Meskipun tanaman inang hanya moderat resisten namun cukup membantu dalam pengendalian kutu putih Porter 1988. Ubikayu mengandung dua senyawa yang meningkat secara signifikan sebagai respon terhadap serangan kutu putih. Kandungan sianida berfungsi sebagai phagostimulant untuk kutu putih, sedangkan senyawa rutin memiliki efek antibiotik. Semakin tinggi kandungan sianida pada tanaman, maka tanaman tersebut semakin disukai oleh P. manihoti, sehingga tanaman semakin rentan, begitu juga sebaliknya dengan semakin rendah kandungan sianida, maka tanaman akan semakin resisten. Tanaman ubi kayu yang resisten bisa memperlambat perkembangan serangga fitofag, dengan demikian proses terpaparnya hama pada predator maupun parasitoid akan lebih lama Panda 1979, sehingga akan terjadi sinergi antara pengendalian dengan menggunakan varietas tahan dan pengendalian biologi. Pengendalian dengan Bahan Kimia Organik Perendaman stek ubi kayu dengan ekstrak cair dari ubi kayu selama 60 menit diketahui secara signifikan mengurangi kutu Razafindrakoto et al. 1999. Pada percobaan Mourier 1997 ditemukan bahwa daun ubi kayu yang diperlakukan dengan ekstrak nimba 1 dapat menolak invasi instar pertama kutu putih dibandingkan daun tidak diperlakukan, dan kutu putih yang telah mengonsumsi ekstrak ini akan mati pada stadia instar kedua. Perlakuan setiap tiga mingguan akan melindungi ubi kayu terhadap nimfa instar awal, namun diketahui pada beberapa kasus ekstrak ini juga bersifat fitotoksisitas. Pengendalian Secara Budi daya Penggunaan pupuk kandang atau lainnya dapat mengakibatkan penurunan populasi kutu putih karena hasil peningkatan unsur hara tanaman. Tanaman yang sehat juga akan berpengaruh pada musuh alami, karena akan meningkatkan reproduksi parasitoid dengan tingkat kesuburan tinggi Schulthess et al. 1997. Penggunaan mulsa dan pupuk kandang juga akan meningkatkan ketahanan tanaman ubi kayu terhadap serangan kutu putih Tertuliano et al. 1999. Daftar Pustaka Allem AC. 2002. The origins and taxonomy of cassava. Di dalam Hillocks RJ, Thresh JM, Bellotti AC, editor. Cassava: Biology, Production and Utilization . New York: CABI Publishing. hlm 1-16. Bertschy C, Turlings TCJ, Bellotti AC, Dorn S. 1997. Chemically-mediated attraction of three parasitoid species to mealybug-infested cassava leaves. Flo Entomol. 80: 383-395. Bertschy C, Turlings TCJ, Bellotti AC, Dorn S. 2001. The role of mealybug- induced cassava plant volatiles in the attraction of the Encyrtid parasitoids Aenasius vexans and Apoanagyrus diversicornis. J Insect Behav. 14: 363- 371. Boussienguet J. 1984. Bio-ecologie de la cochenille du manioc, Phenacoccus manihoti Mat.-Ferr. et de ses ennemis naturels au Gabon. These Universite de Paris Jussieu, Paris, France, 100 p. inPaul-André and Bruno. 2006. Cassava –Mealybug Interactions. Instutute de Recerche Pour Le Developpement. Paris. 112 p. Carlos ED. 1983. Morphology of the cassava plant. Study Guide. CIAT. Cali. Colombia. Calatayud PA, Rahbé Y, Delobe1 B, Khuong-Huu E, Tertuliano M, Le RÜ B. 1994. Infhence of secondary compounds in the floem sap of cassava on expression of antibiosis towards the mealybug Phenacoccus manihoti. Entomol exp appl.

72: 47-57.

Catalayud PA, Le RU B. 2006. Cassava-Mealybug interactions. Paris. 112 p. Charernsom K, Suasa-ard W. 1994. A host list of natural enemies of insect pests in Thailand. Special Publication No 6. National Biological Control Research Center Kasetsart UniversityNational Research Council of Thailand. 144 pp. In Thai Charernsom K, Suasa-ard W. 2010. Insects of Thailand: Host and preys of Natural enemies. Special Publication No 9. National Biological Control Research Center Kasetsart UniversityNational Research Council. 714 pp. In Thai. CIAT 1988. Annual Report Cassava Program. CIAT Calt. Colombia CIAT 1990. Annual Report Cassava Program 1989, CIAT Calt. Colombia CIAT 1992. Annual Report Cassava Program 1987-1991, CIAT Calt. Colombia. Cortesero AM, Stapel JO, Lewis WJ. 2000. Understanding and manipulating plant attributes to enhance biological control. Biol Cont. 17: 35-49. Cox JM, Williams DJ. 1981. An account of cassava mealybugs Hemiptera: Pseudococcidae with a description of a new species. Bull Entomol Res. 71: 247-258. Darjanto, Murjati. 1980. Khasiat, Racun dan Masakan Ketela Pohon. Bogor: yayasan Dewi Sri. Dicke M, Vet LEM. 1999. Plant-carnivore interactions: evolutionary and ecological consequences for plant, herbivore and carnivore. In: Herbivores: between plants and predators, H. Olff, V. K. Brown R. H. Drent eds, Blackwell Science, Oxford, UK, p. 483-520. Fraenkel, G., 1969. Evaluation of our thoughts on secondary plant substances. Entomol exp appl. 12: 473-486. Herren HR, Hennessey RN. 1983. Biological control and host plant resistance to control the cassava mealybug and green mite in Africa: Proceedings of an international workshop. Ibadan, Nigeria: IITA. 154 p . Iheagwam EU. 1981. The influence of temperature on increase rates of the cassava mealybug Phenacoccus manihoti Mat.-Ferr.Homoptera; Pseudococcidae. Rev Zool Afr 95: 959 –967. Iheagwam EU, Eluwa MC. 1983. The effects of temperature on the development of the immature stages of the Cassava Mealybug, Phenacoccus manihoti Mat-Ferr.Homoptera, Pseudococcidae. Deut Entomol Z 30: 17 – 22. James B, Yaninek J, Neuenschwander P, Cudjoe A, Modder W, Echendu N, Toko M. 2000. Pest Control in Cassava Farms. International Institute of Tropical Agriculture. 36p. Lathrap DW. 1970. The upper Amazon. Thames and Hudson. London. Lema KM, Herren HR. 1985. The influence of constant temperature on population growth rates of the cassava mealybug, Phenacoccus manihoti. Entomol Exp Appl 38: 165 –169. Le Ru B, Makayamakasso JP. 2001. Prey habitat location by the cassava mealybug predator Exochomus flaviventris: Olfactory responses to odor of plant, mealybug, plantmealybug complex, and plant-mealybug-natural enemy complex. J Insect Behav. 14: 557-572. Le Ru B, Calatayud PA. 1994. Interactions between cassava and arthropod pests. African Crop Sci J. 2: 385-390. Löhr B, Varela AM, Santos B. 1990. Exploration for natural enemies of the cassava mealybug, Phenacoccus manihoti Homoptera: Pseudococcidae, in South America for the biological control of this introduced pest in Africa. Bull Entomol Res 80: 417 –425 . Matile-Ferrero D, 1978. Cassava mealybug in the Peoples Republic of Congo. In: Nwanze KF, Leuschner K, ed. Proceedings of the International Workshop on the cassava mealybug Phenacoccus manihoti Mat.-Ferr. Pseudococcidae held at INERA-Mvuazi, Bas-Zaire, Zaire, June 26-29, 1977. International Institute of Tropical Agriculture. Ibadania Niger, 29- 46. Mourier M, 1997. Effects of neem Azadirachta indica kernel water extracts on cassava mealybug, Phenacoccus manihoti Hom., Pseudococcidae. J Appl Entomol. 1214: 231-236; 17 ref. Muniappan R, Shepard BM, Watson W, Carner GR, Rauf A, Sartiami D, Hidayat P, Afun JVK, Goergen G, Ziaur Rahman AKM. 2011. New Records of Invasive Insects Hemiptera:Sternorrhyncha in Southeast Asia and West Africa. J Agric Urban Entomol. 264:167-174. Nadel H, van Alphen JJM. 1987. The role of host- and host-plant odours in the attraction of a parasitoid, Epidinocarsis lopezi, to the habitat of its host, the cassava mealybug, Phenacoccus manihoti. Entomol Exp Appl. 45: 181- 186. Neuenschwander P, Schulthess F, Madojemu E. 1986. Experimental evaluation of the efficiency of Epidinocarsis lopezi, a parasitoid introduced into Africa against the cassava mealybug Phenacoccus manihoti. Entomol Exp Appl. 42: 133-138. Neuenschwander P. 1994. Control of cassava mealybugs in Africa:lessons from a biological control project. African Crops Sci J. l24: 369-383. Nwanze KF. 1977. Biology of the cassava mealybug Phenacoccus manihoti Mat-Ferr. in the Republic of Zaire. Proceedings of the International Workshop on Cassava Mealybug Phenacoccus manihoti Mat-Ferr. Pseudococcidae. INERA, M’Vuazi-Zaire, June 26-29, IITA Press, Ibadan, Nigeria, p. 20-28. Obata S. 1986. Mechanisms of prey finding in the aphidophagous ladybird beetle, Harmonia axyridis Coleoptera: Coccinellidae. Entomophaga. 31: 303-311. Panda 1979. Principles of Host-Plant Resistance to Insect Pests. Allanheld Universe, New York. Porter RI. 1988. Evaluation of Germplasm of Cassava Manihot esculenta Crantz for Resistance to the Mealybug Phenacoccus herreni Cx Williams. Thesis Disertation. Cornel University, Ithaca, NY. Rauf A. 2011. Invasive pests. IPM CRSP Annual Report 2010-2011. Razafindrakoto C, Ponte JJ, Andrade NC, Silveira Filho J, Pimentel Gomes F, 1999. [Manipueira and heat treatment for the treatment of cassava cuttings attacked by scale insects.] Manipueira e termoterapia no tratamento de estacas de mandioca atacadas por cochonilhas. Rev Agric Piracicaba. 742: 127-136. Schulthess F, Neuenschwander P, Gounou S, 1997. Multi-trophic interactions in cassava, Manihot esculenta, cropping systems in the subhumid tropics of West Africa. Agriculture, Ecosystems Environment 663:211-222. Souissi R, Nenon JP, Le Ru B. 1997. Behavioural responses of the endoparasitoid Apoanagyrus lopezi to odours of the host and host’s cassava plants. Entomol Exp Appl. 90: 215-220. Sundari T. 2010. Petunjuk Teknis Pengenalan Varietas Unggul dan Teknik Budidaya Ubi kayu. Balai Penelitian Kacang Kacangan dan Umbi Umbian, Malang. 16 h. Tertuliano M, Dossou-Gbete S, Le Ru B. 1993. Antixenotic and antibiotic components of resistance to the cassava mealybug, Phenacoccus manihoti Hom., Pseudococcidae, in various host-plants. Insect Sci Appl. 5-6: 657- 665. Tertuliano M, Calatayud PA, Le Rü B. 1999. Seasonal changes of secondary compounds in the phloem sap of cassava in relation to fertilization and to infestation by the cassava mealybug. Insect Sci Appl. 191: 91-98. Van Driesche RG, Bellotti AC, Castillo JA, Herrera CJ. 1990. Estimating total losses from parasitoids for a field population of a countinously breeding insect, cassava mealybug, Phenacoccus herreni Homoptera : Pseudococcidae in Colombia, S.A. Florida Entomologist. 73: 133-143. Vet LEM, Dicke M. 1992. The ecology of infochemical use by natural enemies of herbivores in a tritrophic context. Annu Rev Entomol. 37: 141-172. Wargiono. 1979. Ubikayu dan cara bercocok tanamnya. LP3. Bogor Williams DJ, Granara de Willink MC. 1992. Mealybugs of Central and South America. CAB International. Wallingford.Oxon, UK, 635 p. Yaseen M. 1982. Exploration for natural enemies of Phenacoccus manihoti and Mononychellus tanajoa : the challenge, the achievements. In: Herren HR, Hennessey RN, editors. Biological control and host plant resistance to control the cassava mealybug and green mite in Africa: Proceedings of an international workshop. Ibadan, Niger: IITA. pp 81 –102 Zhu J, Cosse AA, Obrycki JJ, Boo KS, Baker TC. 1999. Olfactory reactions of the twelve-spotted lady beetle, Coleomegilla maculata and the green lacewing, Chrysoperla carnea to semiochemicals released from their prey and host plant: electroantennogram and behavioral responses. J Chem Ecol. 25: 1163-1177.

BAB III SURVEI PRAKTIK BUDIDAYA UBI KAYU DAN PERSEPSI

PETANI TERHADAP HAMA KUTU PUTIH DI KECAMATAN SUKARAJA-BOGOR Abstrak Survei berlangsung selama bulan September hingga November 2012, dengan mewawancarai 60 petani ubi kayu yang tersebar di tiga desa. Hasil survei menunjukkan sebanyak 52 responden berumur lebih dari 60 tahun, dengan pekerjaan utama adalah bertani. Tingkat pendidikan petani umumnya 83 tamatan atau pernah sekolah SD, dan lulusan SLTP dan SLTA masing-masing 8. Petani ubi kayu umumnya 67 tidak tergabung dalam kelompok tani. Sebanyak 73 responden menyatakan tidak pernah berhubungan dengan tenaga penyuluh pertanian. Luas lahan yang diusahakan untuk pertanaman ubi kayu umumnya 88 kurang dari 0.50 ha. Petani di lokasi penelitian umumnya 87 berstatus sebagai penggarap, dengan pengalaman bertanam ubi kayu lebih dari 15 tahun. Penanaman ubi kayu tidak tergantung pada musim, tetapi dilakukan kapan saja saat lahan kosong. Varietas ubi kayu yang paling banyak ditanam oleh petani yaitu Roti 90, disusul oleh Manggu 15 dan Jimbul 5, dengan stek bibit berasal dari kebun sendiri. Sebagian besar petani 97 menggunakan kotoran kambing sebagai pupuk kandang, dan sisanya 3.3 menggunakan kotoran ayam. Pupuk kandang diberikan sebanyak satu kali yaitu pada saat tanaman berumur 15-30 hari dengan dosis 11-15 tonha. Pupuk urea diberikan sebanyak dua kali, pada saat tanaman berumur 3 dan 7 bulan, dengan dosis 200-500 kg ha. Penyiangan gulma umumnya 68 dilakukan sebanyak dua kali yaitu pada saat ubi kayu berumur 4 dan 8 bulan. Panen umumnya 92 dilakukan pada saat ubikayu berumur 10-13 bulan. Petani ubi kayu umumnya 87 menyebutkan kutu putih P. manihoti merupakan hama yang paling penting pada pertanaman ubi kayu. Sebagian besar petani 82 mengemukakan bahwa hama kutu putih mulai menyerang tanaman ubi kayu sejak tahun 2007. Tampaknya mereka menyamakan kutu putih P. manihoti dengan kutu putih pepaya Paracoccus marginatus yang juga menyerang ubi kayu. Hampir separuh responden menyatakan bahwa serangan kutu putih menyebabkan kehilangan hasil berkisar 40-50. Walaupun demikian, umumnya petani tidak melakukan tindakan pengendalian. Kata kunci : Survei petani, ubi kayu, kutu putih, Phenacoccus manihoti Abstract Surveys were conducted during September until November 2012, by interviewing 60 farmers distributed in three villages. Our studies revealed as much as 52 of respondents aged over 60 years, with the main occupation is farming. In term of level of education, about 83 of the farmers were graduates or have been in elementary school, and primary and secondary high school each 8. Cassava farmers generally 67 were not member of the farmer groups. As many as 73 of respondents had no contacts with agricultural extension agents. Land area used for cassava cultivation generally 88 were less than 0.50 ha. Most of the farmers 87 were tenants, with over 15 years experiences in cassava farming. Cassava planting do not depend on the season, but can be any time whenever no crops on the lands,. Cassava varieties widely grown by farmers were Roti 90, followed by Manggu 15 and Jimbul 5, with cuttings derived from their own previous cassava stands. The majority 97 of farmers used goat manure, and the rest 3.3 chicken manure. Manure was given when the plant 15-30 days old, with a dosage of 11-15 tonha. Urea was given twice when the plant aged 3 and 7 months, with a dosage of 200-500 kgha. Weeding generally 68 were conducted twice when the plant 4 and 8 monthsold. Harvest generally 92 were carried out at 10-13 months old. Farmers generally 87 considered P. manihoti as the most important pests of cassava. The majority of farmers 82 mentioned that the mealybug began attacking cassava since 2007. It seems that they equated P. manihoti with the papaya mealybug Paracoccus marginatus which also attacked cassava. Nearly half the respondents said that attacks by the cassava mealybug caused yield losses about 40-50. Nevertheless, farmers generally di not perform control measures. Keywords : Farmer survey, cassava, mealybug, Phenacoccus manihoti Pendahuluan Di Indonesia umumnya petani membudidayakan tanaman ubi kayu masih secara tradisional, tanpa teknologi khusus, baik cara tanam, pemupukan dan pemeliharaan serta panen. Keadaan ini lebih disebabkan ubi kayu merupakan tanaman yang mempunyai keunggulan agronomis dimana dapat memberikan hasil yang tinggi walaupun tumbuhnya pada lahan yang kurang subur marginal ataupun lahan dengan curah hujan yang rendah Wargiono et al. 2009; Suharno et al . 1999. Seiring perubahan waktu, permintaan ubi kayu dari tahun ke tahun mengalami peningkatan dengan laju 3.63 per tahun dan serapannya mencapai 62-78 dari produksi nasional Suyamto dan Wargiono 2009. Ubi kayu digunakan baik untuk pemenuhan kebutuhan pangan maupun industri. Peran ubi kayu dalam bidang industri akan terus mengalami peningkatan seiring dengan adanya program pemerintah untuk menggunakan sumber energi alternatif yang berasal dari hasil pertanian liquid biofuel, seperti biodiesel dan bioetanol serta diversifikasi pangan berbasis pangan lokal. Untuk dapat mendukung program pemerintah tersebut, maka produksi ubi kayu harus ditingkatkan. Peningkatan produksi ubi kayu dapat dilakukan melalui peningkatan luas panen dan penerapan teknik budidaya yang tepat Sundari 2010. Teknik budidaya yang diterapkan petani selama ini umumnya masih sederhana, dengan sedikit pemupukan dan tanpa pengendalian hama, karena organisme pengganggu tanaman OPT yang berasosiasi dengan tanaman ubikayu relatif sedikit. OPT utama yang sering ditemukan pada tanaman ubi kayu adalah hama tungau merah yang muncul pada musim kemarau. Untuk penyakit yang biasa dijumpai adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri yaitu Xanthomonas manihotis , dan penyakit bercak daun oleh cendawan Cercospora henningsii yang sering dijumpai menyerang daun yang sudah tua Sundari 2010. Namun dengan masuknya hama baru P. manihoti, dapat menjadi ancaman karena menyebabkan kehilangan hasil ubi kayu mencapai 90 Schultess 1987; Herren dan Neuenschwander 1991. Kutu tersebut menghisap cairan daun dan pucuk tanaman. Serangan hama dapat mengurangi panjang internode dan menyebabkan daun menjadi mengkerut dan mengerdil bunchy tops. Gejala lanjut akan menyebabkan daun mengering dan rontok, jika serangan berat dapat menyebabkan defoliasi pada tanaman. Hama juga akan meninggalkan bekas serangan berupa distorsi pada batang. Serangan lebih berat terjadi pada musim kering dibandingkan musim basah James et al. 2000. Dengan adanya informasi akibat yang ditimbulkan oleh hama kutu putih ini petani akan menyadari bahwa hama ini perlu untuk diperhatikan dan dikendalikan. Namun hal ini memerlukan proses karena pertani sudah terbiasa dengan teknik budidaya sederhana yang dilakukan selama ini. Secara umum pengambilan keputusan pengendalian hama yang dilakukan oleh petani ditentukan oleh empat faktor yaitu: 1 permasalahan hama yang menyangkut tingkat serangan dan kehilangan hasil yang ditimbulkannya, 2 pilihan pengendalian yang tersedia bagi petani, 3 persepsi petani terhadap permasalahan hama dan 4 motivasi berusaha tani Untung 1996. Program pengendalian hama berhasil jika tindakan atau keputusan pengendalian hama yang dilakukan oleh petani tepat. Dan program pengendalian ini diharapkan sesuai dengan kaidah dan prinsip Pengendalian Hama Terpadu PHT. Ketepatan pengendalian hama tersebut sangat dipengaruhi oleh cara petani mempersepsi hama tersebut, sikap dan keyakinanya, serta tindakan pengendalian yang dilakukan. Informasi tersebut merupakan salah satu komponen penting yang perlu digali dalam rangka pengembangan PHT Rauf 1996. Menurut Soekartawi 1998 tindakan penerapan inovasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor dari dalam diri petani maupun faktor lingkungan. Faktor dalam diri petani antara lain umur, pendidikan, status sosial, pola hubungan sikap terhadap pembaharuan, keberanian mengambil risiko, fatalisme, aspirasi dan dogmatis. Faktor lingkungan meliputi jarak dari sumber informasi, frekuensi mengikuti penyuluhan, keadan prasarana dan sarana, serta proses memperoleh sarana produksi. Hama kutu putih P. manihoti merupakan hama baru di Indonesia karena itu untuk mengembangkan teknik pengendalian hama kutu putih P. manihot pada tanaman ubi kayu yang sesuai dengan prinsip PHT maka dilakukan survei praktek budidaya dan persepsi petani ubi kayu terhadap kutu putih P. manihoti. Metode Penelitian Penelitian dilakukan sejak bulan September sampai Nopember 2012, dan berlangsung di tiga desa yaitu Desa Ngampar, Sukaraja, dan Cikeas, yang secara administratif termasuk Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor. Ketiga desa tersebut dipilih karena merupakan sentra pertanaman ubi kayu di Kabupaten Bogor. Selain itu, serangan hama kutu putih P. manihoti pada pertanaman ubi kayu di ketiga desa itu cukup berat. Penelitian dilakukan dengan metode survei, yaitu dengan mewawancarai petani ubi kayu menggunakan kuisioner terstruktur dengan sebagian pertanyaan bersifat terbuka Lampiran 1. Selain itu, survei juga menggunakan alat peraga berupa spesimen kutu putih P. manihoti dan tanaman ubi kayu yang terserang kutu putih. Wawancara dilaksanakan pada saat petani berada di kebun ubi kayu atau dengan cara mendatangi petani di rumahnya. .Untuk maksud tersebut, di setiap desa penelitian dipilih 20 orang petani ubi kayu, sehingga keseluruhan responden yang diwawancarai berjumlah 60 orang. Kuesioner yang digunakan terdiri atas tiga komponen informasi utama, yaitu 1 karakteristik petani ubi kayu, 2 karakteristik budidaya tanaman ubikayu, dan 3 persepsi petani terhadap hama dan penyakit, khususnya terhadap hama kutu putih. Data yang terkumpul ditabulasi, dan kemudian dilakukan analisis frekuensi. Hasil dan Pembahasan Karakteristik Petani Ubi Kayu Petani ubi kayu yang menjadi responden paling muda berusia 35 tahun dan paling tua 80 tahun. Sebanyak 51.7 petani ubi kayu yang diwawancarai telah berusia lanjut yaitu lebih dari 60 tahun Tabel 3.1. Dengan kondisi sebagian besar petani ubi kayu yang berumur lanjut, merupakan suatu faktor pembatas dalam penerimaan inovasi teknologi melalui penyuluhan. Kondisi ini juga menunjukkan bahwa rata-rata petani ubi kayu tidak dalam usia produkstif lagi, jika dilihat dari segi penggolongan umur. Umur petani produktif menurut Palebangan et al. 2006 adalah berkisar antara 15-55 tahun. Umur petani secara umum menentukan dalam proses usahatani yang dilakukan. Menurut Sukartawi 1998, difusi inovasi yang paling tinggi adalah pada petani yang berumur setengah tua atau sekitar 40-50 tahun. Kondisi ini berbeda dengan survei petani pada budi daya tanaman kentang dan nanas, dimana umur rata-rata petani berkisar antara 20-50 tahun Rauf 1999; Mamahit 2009. Ketika umur petani produktif, maka akan menunjang dalam kegiatan usahataninya sehingga dapat meningkatkan produktivitas usahataninya, sebaliknya ketika umur petani tidak lagi produktif, maka fisiknya akan cenderung melemah dan memerlukan tenaga kerja dari luar untuk melakukan usahataninya, atau melakukan usahataninya dengan semampunya jika tidak mempunyai dana untuk membayar tenaga kerja dari luar. Keadaan ini akan mempengaruhi usaha tani ubi kayu yang dilakukan pada desa contoh, yang cenderung melakukan usaha tani ubi kayu dengan seadanya. Namun karena sifat usaha tani ubi kayu yang mempunyai keunggulan agronomis yaitu dapat memberikan hasil yang cukup tinggi walaupun tumbuh pada lahan yang tidak terlalu bagus Wargiono et al. 2009, maka keadaan ini tidak begitu menjadi kendala dalam usaha tani ubi kayu. Banyaknya petani yang berusaha tani dalam usia lanjut disebabkan rata-rata petani yang menanam ubi kayu telah bertani sejak usia muda, dan berlanjut hingga pada saat sekarang, sedangkan anak-anak mereka pada umumnya memilih untuk tidak ikut bertani tetapi memilih pekerjaan lain yang dianggap lebih baik, seperti bekerja di pabrik, berdagang atau pekerjaan kantoran. Sehingga yang tetap mengerjakan lahan hanya orang tua mereka. Hal ini juga tampak dari hasil survei, semua petani ubi kayu yang menjadi responden tidak ada yang umurnya kurang dari 30 tahun. Tabel 3.1. Karakteristik petani ubi kayu di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor Karakteristik Frekuensi Umur tahun ≤ 30 31-40 3 5.0 41-50 15 25.0 51-60 11 18.3  60 31 51.7 Pendidikan Tertinggi Tidak sekolahtidak tamat SD 27 45.0 SD 23 38.3 SLTP 5 8.3 SLTA 5 8.3 PT Tanggungan keluarga ≤ 2 20 33.3 3-5 32 53.3 ≥ 6 8 13.3 Kelompok Tani Anggota 20 33.3 Bukan anggota 40 66.7 Kontak dengan PPL Ya 16 26.7 Tidak 44 73.3 Pendidikan akan mempengaruhi cara dan pola pikir petani dalam berusahatani. Tingkat pendidikan petani pada desa contoh relatif rendah yaitu tidak selesai sekolah dasar atau tidak sekolah 45, dan tamatan sekolah dasar 38.33, sisanya menamatkan pendidikan pada jenjang SLTP dan SLTA. Keadaan hampir sama dengan potret petani Indonesia pada umunya yaitu, berpendidikan rendah atau SD. Di sisi lain p etani yang mempunyai akses terhadap teknologi informasi cenderung memiliki pendidikan relatif tinggi karena sarana teknologi informasi merupakan media komunikasi baru yang membutuhkan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi karena lebih rumit dibandingkan dengan media komunikasi lainnya Mulyandari 2011. Dengan keterbatasan ini maka perlu dilakukan penyuluhan-penyuluhan yang lebih intensif kepada petani. Tanggungan keluarga umumnya 53.33 berjumlah 3-5 orang. Jumlah ini cukup besar untuk ditanggung oleh kepala keluarga yang pendapatan utamanya sebagai petani penggarap, karena dari semua petani responden 100 yang diwawancarai, bertani merupakan sumber utama pendapatan mereka. Tanggungan keluarga seharusnya merupakan sumber dari tenaga kerja keluarga dalam berusaha tani Palebangan et al. 2006, namun pada kondisi desa contoh, tenaga kerja untuk berusahatani ubi kayu umumnya dilakukan hanya oleh kepala keluarga, karena luas lahan usahatani yang relatif sempit, dan juga sifat budidaya ubi kayu yang relatif sederhana. Sebagian besar responden 66.67 bukan merupakan anggota kelompok tani, karena tampaknya tidak banyak dibentuk kelompok tani. Hal ini tampaknya berkaitan dengan tidak adanya dorongan dari pihak luar. Sebagian besar petani 73.3 mengatakan tidak pernah melakukan kontak dengan PPL. Di antara kelompok tani yang ada yaitu kelompok tani Tani Jaya dan Jaya Mukti, yang hanya aktif dalam budidaya padi dan tidak dalam tanaman ubi kayu. Namun demikian, adanya kelompok tani yang aktif akan meningkatkan frekuensi pertemuan dan kerjasama antara petani. Karena dengan adanya kelompok tani akan terjalin kerjasama antara individu anggota kelompok dalam proses belajar, proses produksi, pengolahan dan pemasaran hasil untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Pembentukan kelompok ini antara lain dapat berdasarkan persamaan domisili atau komoditi, dengan jumlah anggota 10-20 orang. Budi Daya Ubi Kayu Luas lahan yang diusahakan untuk pertanaman ubi kayu umumnya 53 berkisar 0.25-0.50 ha, bahkan sebanyak 35 petani mengusahakan tanaman ubi kayu pada lahan 0.25 ha Tabel 3.2. Sempitnya lahan yang digunakan untuk tanaman ubi kayu disebabkan pada lahan yang lain petani menanam tanaman yang dapat dipanen cepat seperti sayuran, atau menanam tanaman yang lebih menguntungkan seperti pepaya. Menurut Pasaribu 2009, luas lahan untuk usaha tani ubi kayu subsisten 0.5 haKK, berakibat tercukupinya kebutuhan pangan namun tidak tersedia dana untuk pengadaan sarana produksi dan upah tenaga kerja. Oleh karena itu, sebagian besar kegiatan usaha tani dilakukan dengan tenaga kerja keluarga dengan input yang minimal. Petani yang mempunyai lahan luas cenderung untuk melakukan perubahan teknologi dengan maksud untuk meningkatkan produktivitas usahataninya Hadisapoetro 1992. Sebagian besar petani membudidayakan ubi kayu pada lahan orang lain dengan status hanya sebagai penggarap 86.67 dan sisanya merupakan petani pemilik penggarap Tabel 3.2. Dari wawancara dengan petani terungkap bahwa pada awalnya di desa mereka, mereka merupakan pemilik lahan yang umumnya cukup luas rata-rata lebih dari 5 ha, namun karena pada tiga desa ini terjadi perkembangan pembangunan yang cukup cepat, maka banyak berdiri pabrik- pabrik, perumahan, dan juga jalan tol, sehingga tanah yang ada disekitar pembangunan tersebut dihargai dengan harga tinggi. Banyak petani yang menjual tanah-tanah mereka dan menyisakan sedikit hanya untuk perumahan dan garapan seadanya. Akhir-akhir ini tanah garapan mereka juga dijual kepada para investor tanah yang kebanyakan berada di Jakarta, sehingga sekarang sebagian besar mereka hanya berstatus sebagai penggarap. Berubahnya status petani dari petani pemilik penggarap menjadi penggarap, tidak terlepas dari rendahnya kesejahteraan petani di desa contoh, sehingga mereka lebih menyukai untuk menjual lahan mereka untuk mendapatkan modal dari pada meningkatkan usahataninya untuk dapat mendapatkan hasil yang lebih tinggi. Perilaku ini umum terjadi pada petani di Indonesia karena mereka beranggapan bahwa hasil usahataninya tidak dapat memenuhi kebutuhan konsumtif mereka. Menurut Apriyana 2011 dikatakan bahwa tanah-tanah pertanian dan sawah berkualitas tinggi pada umumnya terkonsentrasi dan beralih fungsi di sekitar kota-kota besar terutama di pulau Jawa. Dari aspek fisik lahan, konversi dipengaruhi dua hal yaitu aspek kepemilikan lahan pertanian dan aspek penataan ruang. Aspek kepemilikan terkait dengan hak atas tanah yang absolut yang dalam prosesnya kemudian menyebabkan kepemilikan lahan itu terpecah pecah dan menjadi sangat kecil karena diberikan kepada keturunannya sebagai warisan. Pemilikan yang kecil tersebut menyebabkan rawan untuk terjadinya alih fungsi lahan pertanian karena kesulitan dalam pengendalian pemanfaatan tata ruangnya. Tabel 3.2. Karakteristik lahan dan penanaman ubi kayu di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor Karakteristik Frekuensi Luas lahan ubikayu ha 0.25 21 35.0 0.25-0.5 32 53.3 0.6-1.0 7 11.7 1.0 1 1.7 Status kepemilikan lahan Pemilik penggarap 8 13.3 Penggarap 52 86.7 Pengalaman tanam ubi kayu tahun 5 2 3.3 6-10 4 6.7 11-15 3 5.0 16 51 85.0 Pola tanam Terus menerus 4 6.7 Digilir 56 93.3 Waktu tanam Musim hujan Musim Tidak tentu 60 100.0 Varietas yang ditanam Roti 48 80.0 Manggu 9 15.0 Jimbul 3 5.0 Sumber stek Kebun sendiri 60 100.0 Petani lain Rata- rata petani ubi kayu telah berpengalaman lama dalam menanam ubi kayu yaitu di atas 16 tahun 85 Tabel 3.2. Bahkan ada petani yang sudah 40 tahun bertanam ubi kayu. Jadi dapat dikatakan bahwa di desa terpilih para petani memang dari dahulu sudah menanam ubi kayu. Menurut Hadisapoetro 1992 pengalaman berusahatani berhubungan erat dengan sikap dan keputusan yang terjadi pada diri petani. Semakin banyak pengalaman yang dialami oleh petani

Dokumen yang terkait

Kutu Putih Singkong Phenacoccus Manihoti Matile Ferrero Persebaran Geografi Di Pulau Jawa Dan Rintisan Pengendalian Hayati

0 4 49

Kesesuaian Dan Parasitisme Anagyrus Lopezi Pada Berbagai Instar Kutu Putih Singkong, Phenacoccus Manihoti Matile Ferrero

0 17 72

Insidensi Cendawan Entomophthorales pada Kutu Putih Pepaya dan Singkong (Hemiptera: Pseudococcidae) Di Wilayah Bogor

1 7 57

Keanekaragaman Spesies Kutu Putih (Hemiptera : Pseudococcidae) pada Tanaman Buah-buahan di Bogor

10 50 91

Tingkat infeksi Neozygites fumosa (Speare) Remaudie’re & Keller (Zygomycetes : Entomophthorales) pada kutuputih pe-paya, Paracoccus marginatus Williams & Granara de Willink dan kutuputih singkong, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococc

1 7 129

Praktek Budidaya dan Persepsi Petani Ubi Kayu Terhadap Hama Kutu Putih Phenacoccus manihoti di Kabupaten Bogor

0 6 38

Biologi dan Potensi Peningkatan Populasi Kutu Putih Singkong, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae), Hama Pendatang Baru di Indonesia

0 6 31

Tingkat Infeksi neozygitesfumosa (Speare) Remaudie're & Keller (Zygomycetes:Entomophthorales) pada Kutu Putih Pepaya, Paracoccus Marginatus Williams & Granara De Willink dan Kutu Putih Singkong, Phenacoccus Manihoti Matie-Ferrero (Hemiptera:Pseudococcidae

1 7 11

KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE-FERRERO (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAWA DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI

0 0 8

Encapsulation rates of parasitoid Anagyrus lopezi (De Santis) (Hymenoptera: Encyrtidae) by cassava mealybug, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae)

0 0 9