SURVEI PRAKTIK BUDIDAYA UBI KAYU DAN PERSEPSI

tinggi pada umumnya terkonsentrasi dan beralih fungsi di sekitar kota-kota besar terutama di pulau Jawa. Dari aspek fisik lahan, konversi dipengaruhi dua hal yaitu aspek kepemilikan lahan pertanian dan aspek penataan ruang. Aspek kepemilikan terkait dengan hak atas tanah yang absolut yang dalam prosesnya kemudian menyebabkan kepemilikan lahan itu terpecah pecah dan menjadi sangat kecil karena diberikan kepada keturunannya sebagai warisan. Pemilikan yang kecil tersebut menyebabkan rawan untuk terjadinya alih fungsi lahan pertanian karena kesulitan dalam pengendalian pemanfaatan tata ruangnya. Tabel 3.2. Karakteristik lahan dan penanaman ubi kayu di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor Karakteristik Frekuensi Luas lahan ubikayu ha 0.25 21 35.0 0.25-0.5 32 53.3 0.6-1.0 7 11.7 1.0 1 1.7 Status kepemilikan lahan Pemilik penggarap 8 13.3 Penggarap 52 86.7 Pengalaman tanam ubi kayu tahun 5 2 3.3 6-10 4 6.7 11-15 3 5.0 16 51 85.0 Pola tanam Terus menerus 4 6.7 Digilir 56 93.3 Waktu tanam Musim hujan Musim Tidak tentu 60 100.0 Varietas yang ditanam Roti 48 80.0 Manggu 9 15.0 Jimbul 3 5.0 Sumber stek Kebun sendiri 60 100.0 Petani lain Rata- rata petani ubi kayu telah berpengalaman lama dalam menanam ubi kayu yaitu di atas 16 tahun 85 Tabel 3.2. Bahkan ada petani yang sudah 40 tahun bertanam ubi kayu. Jadi dapat dikatakan bahwa di desa terpilih para petani memang dari dahulu sudah menanam ubi kayu. Menurut Hadisapoetro 1992 pengalaman berusahatani berhubungan erat dengan sikap dan keputusan yang terjadi pada diri petani. Semakin banyak pengalaman yang dialami oleh petani semakin tinggi tingkat pemahaman petani tentang usahataninya. Sehingga semakin baik keputusan yang diambil oleh petani dalam berusaha tani. Teknik budidaya ubi kayu umumnya dengan pola tanam bergiliran dengan tanaman lain seperti sayuran dan pepaya 93.33. Rata-rata alasan yang diberikan dengan adanya pergiliran tanaman adalah untuk pemeliharaan tanah supaya tetap subur untuk ditanami. Pola tanam ini sangat dianjurkan karena sistem ini mengarah pada sistem pertanian yang berkelanjutan karena dapat memotong siklus hidup hama, memperbaiki fisik dan kimia tanah dan keterkaitan dengan modal atau biaya produksi untuk komoditas yang digilirkan Wargiono et al. 2009. Semua petani responden mengatakan bahwa mereka memulai penanaman ubi kayu tidak tergantung musim dan mereka menanam kapan saja saat lahan ubi kayu sudah tidak di tanami. Sistem tanam ini mungkin sesuai jika penanaman ubi kayu dilakukan secara terus menerus di lahan yang marginal yang tidak dapat di tanami dengan tanaman lainnya. Namun untuk lahan yang relatif subur dan dapat ditanam dengan komoditas pertanian lainnya, penanaman ubi kayu biasanya dilakukan pada saat keadaan musim kemarau yang panjang karena sifat ubi kayu yang tahan kekeringan. Pada umunya petani responden 90 menanam ubi kayu jenis pahit varietas Roti. Alasan penggunaan varietas Roti karena varietas ini tumbuh lebih baik dan produksinya relatif tinggi. Varietas lainnya yang ditanam adalah Manggu 15 dan Jimbul 5. Semua petani responden 100 menggunakan stek bibit tanaman ubi kayu yang berasal dari kebun mereka sendiri. Penggunaan bibit ubi kayu dari hasil perbanyakan sendiri tidak menjadi masalah karena sistem perbanyakan vegetatif menghasilkan individu yang sama dengan induknya Sundari 2009. Penanam bibit yang sama secara terus-menerus akan menjadi permasalahan bagi hama dan penyakit yang ada di pertanaman. Dalam peneltian CIAT 1993, dikatakan bahwa rotasi tanaman ubi kayu dengan tanaman lain dapat mengurangi penyakit hawar cassava bacterial blight dan mencegah penurunan hasil ubi kayu 14-37. Cara budidaya ubi kayu oleh petani adalah dengan cara mengolah tanah, dan jarak tanam yang digunakan 1m x 1m. Umumnya 96.7 petani menggunakan pupuk kandang kotoran kambing, dan sisanya 3.3 menggunakan kotoran ayam Tabel 3.3. Lebih banyaknya petani yang menggunakan kotoran kambing sebagai pupuk kandang, karena banyak petani yang memelihara kambing di pekarangan rumahnya. Rata-rata pupuk kandang yang diberikan dengan pemakaian 1 kali saat tanaman berumur 15-30 hari setelah tanam 79.31 responden dengan dosis pupuk kandang yang digunakan 11-15 tonha 53.45 responden dan hanya 13.79 yang memberi pupuk kandang di atas 15 tonha. Pemakaian pupuk kandang ini cukup baik dan sesuai dengan pemakaian yang dianjurkan yaitu 5-10 tonha Wargiono et al. 2009. Di samping pupuk kandang, petani juga memberi pupuk urea untuk tanaman ubi kayu, yang diberikan rata-rata sebanyak dua kali dengan frekuensi jawaban 65 petani, yang diberikan pada saat tanaman berumur 3 bulan dan 7 bulan. Dosis pupuk urea yang digunakan umunya 200-500 kghektar 80 responden dan hanya 6.67 yang menggunakan pupuk urea di atas 500 kgha. Pemakaian urea pada tanaman ubi kayu petani di desa ini cukup tinggi, namun tidak diikuti oleh pemakaian pupuk lain seperti Posphat dan KCl. Karena lahan yang digunakan petani untuk tanaman ubi kayu sering dirotasi dengan tanaman sayuran dan pepaya yang dipupuk dengan pupuk lengkap, sehingga pertanaman ubi kayu di daerah ini cukup baik perkembangannya. Petani umumnya hanya menggunakan kedua pupuk ini kandang dan urea dalam budi daya ubi kayu karena keterbatasan biaya dan pengetahuan mereka dalam budidaya tanaman ubi kayu yang baik. Untuk ubi kayu pemupukan berimbang yang dianjurkan adalah pupuk kandang, urea, P, dan KCl sesuai dengan keadaan tanah. Kisaran pemupukan berimbang pada tanaman ubi kayu adalah 150-200 kg urea, 100 kg SP36 dan 100-150 kg KCl per ha Tonglum et al. 2001. Tabel 3.3. Karakteristik perawatan tanaman ubi kayu di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor Karakteristik Frekuensi Pemakaian pupuk kandang Ya 58 96.7 Tidak 2 3.3 Jenis pupuk kandang Kotoran ayam 4 6.7 Kotoran kambing 56 93.3 Dosis pupuk kandang tonha 5 4 6.9 5-10 16 25.9 11-15 32 53.4 15 8 13.8 Waktu pemberian PK hst 15 4 6.7 15-30 48 80.0 30 8 13.3 Dosis pupuk urea kgha 200 8 13.3 200-500 48 80.0 500 4 6.7 Penggunaan Urea kali 1 21 35.0 2 39 65.0 Penyiangan gulma kali 1 17 28.3 2 41 68.3 3 2 3.3 Untuk pemeliharaan tanaman, semua petani melakukan penyiangan gulma secara manual dengan menggunakan arit. Penyiangan gulma dilakukan petani responden pada umumnya sebanyak dua kali 68.33, pada saat tanaman berumur sekitar 4 bulan dan 8 bulan. Jika dilakukan satu kali, penyiangan gulma dilakukan pada umur tanaman 6 bulan, sedangkan untuk tiga kali penyiangan gulma dilakukan saat tanaman berumur 2, 5 dan 8 bulan. Kegiatan penyiangan gulma secara manual yang dilakukan oleh petani telah sesuai dengan kaidah PHT dan dapat meningkatkan umbi ubi kayu yang dihasilkan. Menurut Pane 2009, penyiangan gulma pada 1, 2, 3, 6 dan 9 bulan dapat meningkatkan hasil ubi kayu, baik pada tanaman yang ditanam pada musim hujan maupun musim kemarau. Pemanenan Ubi Kayu dan Penjualan Hasil Panen Petani yang diwawancarai umumnya 92 memanen ubi kayu pada umur 10-13 bulan, dan hanya 8 petani yang memanen ubi kayu pada umur 8-9 bulan Tabel 3.4. Petani memanen ubi kayu biasanya disesuaikan dengan kebutuhan dana atau saat datangnya hari-hari besar agama seperti maulid nabi, isra mikraj dan sebelum puasa. Pemanenan dilakukan pada musim panas atau kemarau karena hasil ubi kayu dijual pada pengusaha pengolah ubi kayu menjadi serutan ubi kayu, untuk pengolahan ini diperlukan panas matahari untuk menjemur hasil serutan dari ubi kayu. Hasil panen ubi kayu, setelah dikupas kulitnya, dijual secara borongan kepada pengusaha penggilingan. Pengusaha kemudian menjual hasil serutan ubi kayu yang telah kering kepada pabrik pembuat tepung ubi kayu. Petani baru akan menerima hasil penjualan dari ubi kayu jika hasil serutannya kering dan telah dijual ke pabrik penepungan. Kriteria utama umur panen ubi kayu adalah kadar pati optimum, yaitu pada saat tanaman berumur 7-9 bulan. Bobot umbi meningkat dengan bertambahnya umur tanaman, sedangkan kadar pati biasanya lebih stabil, sehingga dapat dikatakan bahwa umur panen ubi kayu fleksibel, tanaman dapat dipanen umur 7 bulan atau lebih dari 12 bulan tergantung varietas ubi kayu yang ditanam Wargiono et al. 2009. Tabel 3.4. Karakteristik pemanenan dan penjualan hasil panen ubikayu di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor Uraian Frekuensi Umur panen bulan 8-9 5 8.3 10-11 11 18.3 12-13 44 73.3 Biaya per batang Rp 1000 3 5.0 1000-1500 37 61.7 1600-2000 18 30.0 2000 2 3.3 Hasil panen per batang kg x ≤ 1 1 x ≤ 2 52 86.7 2 x ≤ 3 8 13.3 x  3 Penjualan hasil panen Pengumpulpabrik aci 60 100.0 Pasar Cara penjualan Borongan sebelum panen Borongan setelah panen dan dikupas 60 100.0 Taksiran keuntungan yang diperoleh petani dalam survei ini didasarkan pada perhitungan sederhana, yaitu rataan biaya penanaman ubi kayu per batang dan hasil panen per batang. Petani ubi kayu yang diwawancarai umumnya 62 mengeluarkan biaya antara Rp. 1000 sd Rp 1500 per batang, yaitu di antaranya untuk pengolahan tanah, pembelian pupuk kandang, pembelian urea dan pemanenan. Dalam 1 ha terdapat 10.000 tanaman ubi kayu, sehingga total biaya yang dikeluarkan petani berkisar Rp. 10-15 juta. Biasanya tenaga kerja dari petani tidak diperhitungkan. Dari modal yang dikeluarkan tersebut, hasil panen yang diperoleh umumnya 86.67 sekitar 1-2 kg per batang. Untuk budidaya seperti yang dilakukan petani di desa ini hasil ubi kayu cukup bagus, karena hasil penelitian menunjukkan produksi yang dapat dihasilkan rata-rata adalah 1.7 kgbatang untuk tanah kurang subur Tonglum et al. 2001. Harga saat panen sangat menentukan keuntungan yang diperoleh petani. Harga ubi kayu ditingkat petani bervariasi dari musim ke musim. Pada dua tahun terakhir harga ubi kayu di tingkat petani berkisar antara Rp. 1100 – 1600 per kg ubi kayu yang telah di kupas. Dengan harga itu, petani memperoleh penghasilan Rp. 18,7-27,2 juta. Sehingga terjadi perbedaan keuntungan antara petani dalam berusahatani ubi kayu, yaitu tergantung pada harga ubi kayu saat tanaman dipanen. Salah satu penyebab kecilnya keuntungan adalah berkurangnya produksi yang diikuti dengan rendahnya harga pada saat panen. Persepsi Petani Tentang Hama Kutu Putih Ketika kepada petani diminta untuk menyebutkan hama utama pada ubi kayu yang dijumpai di lapangan, sebanyak 86.7 menyebutkan kutu putih P. manihoti merupakan hama yang paling penting Tabel 3.5. Sementara ada 13.3 petani yang menyebutkan uret sebagai hama paling penting pada ubi kayu. Menurut Kalshoven 1981 jenis uret yang banyak menimbulkan kerusakan berat pada ubi kayu adalah Leucopholis rorida F. Coleoptera: Scarabaeidae. Selama ini hama utama yang merusak di pertanaman ubi kayu adalah tungau merah Tetranychus bimaculatus Indiati 1999. Namun demikian, selama wawancara tidak seorang pun petani yang melaporkan tungau sebagai hama paling penting pada ubi kayu. Mereka menempatkan tungau sebagai hama pada peringkat ke-3 setelah kutu putih dan uret. Uret dianggap lebih penting daripada tungau oleh petani mungkin karena hama yang disebut pertama ini dapat menimbulkan kerusakan langsung pada umbi, sedangkan tungau menyerang daun. Salah satu musuh alami yang sering di temukan di pertanaman ubi kayu adalah predator Plesiochrysa ramburi Neuroptera: Chrysopidae. Predator ini bersifat polifag yang dapat memangsa kutu putih maupun tungau merah di pertanaman ubi kayu. Ketika kepada petani diperlihatkan specimen imago Chrysopidae, seluruhnya mengatakan bahwa mereka belum pernah melihat serangga tersebut di pertanaman ubi kayu. Hal ini mengisyaratkan perlunya dilakukan penyuluhan kepada petani, termasuk pengenalan musuh alami. Tabel 3.5. Persepsi petani ubi kayu terhadap hama kutu putih di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor Karateristik Frekuensi Hama utama Kutu putih 52 86.7 Uret 8 13.3 Tungau Melihat Chrysopidae Ya Tidak 60 100.0 Tahun pertama kali kutu putih menyerang ubi kayu 2007 49 81.7 2008 5 8.3 2009 4 6.7 2010 2 3.3 Ditemukan pada tanaman lain Ya 60 100.0 Tidak Tingkat serangan Ringan 6 10.0 Sedang 51 85.0 Berat 3 5.0 Kehilangan hasil ≤ x  20 6 10.0 20 ≤ x  40 23 38.3 40 ≤ x  60 28 46.7 60 ≤ x  80 2 3.3 80 ≤ x 100 1 1.7 Hama kutu putih P. manihoti adalah hama baru di Indonesia. Ketika ditanyakan kepada para responden kapan hama ini mulai menimbulkan masalah, sebanyak 81.7 menjawab bahwa hama ini mulai menimbulkan masalah sejak tahun 2007 Tabel 3.5. Sebagian kecil 8.3 menyebutkan bahwa hama kutu putih mulai ada sejak tahun 2008, dan sebagian kecil lainnya 6.7 menjawabnya sejak 2009, dan paling sedikit 3.3 yang menyebutkan sejak tahun 2010. Menurut Rauf 2011 dan Muniappan et al. 2011 hama P. manihoti pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 2010. Petani yang menjawab bahwa hama ini sudah ada sejak tahun 2007 mungkin merujuk pada kutu putih papaya, Paracoccus marginatus, yang juga dapat menyerang singkong. Ukuran dan bentuk dari kedua kutu putih ini hampir sama dan sulit dibedakan oleh awam. Hal ini sejalan dengan anggapan seluruh petani reponden bahwa kutu putih yang menyerang singkong juga menyerang tanaman lainnya. Mereka menganggap bahwa kutu putih yang ada pada tanaman ubi kayu merupakan kutu putih yang berpindah dari tanaman pepaya. Hasil pemeriksaan di laboratorium menunjukkan bahwa kutu putih pada tanaman pepaya adalah P. marginatus, berwarna putih dan mempunyai stadia bersayap jantan. Sebaliknya pada tanaman ubi kayu yang menyebabkan daun mengkerut dan mengerdil bunchy top adalah kutu putih P. manihoti , yang berwarna merah jambu pink, tanpa stadia bersayap semua individu adalah betina dan tidak menyerang tanaman pepaya. Dari segi tingkat serangan, sebanyak 85 responden mengatakan bahwa tingkat serangan kutu putih pada tanaman ubi kayu tergolong sedang, dan 5 mengatakan tergolong berat, dan 10 lainnya menjawab tergolong ringan. Berdasarkan perkiraan kehilangan hasil, sebanyak 38 petani menyebutkan terjadi penurunan hasil sebesar 20-40 akibat serangan hama kutu putih. Bahkan 47 reponden mengatakan bahwa kehilangan hasil akibat serangan kutu putih berkisar 40-50 dibandingkan sebelum ada serangan kutu putih. Keragaman pengaruh serangan terhadap kehilangan hasil dipengaruhi oleh saat serangan terjadi. Jika serangan terjadi pada pada saat tanaman ubi kayu masih berumur muda, maka dapat mengakibatkan penurunan hasil yang tinggi dibandingkan kalau serangan terjadi pada umur yang telah lanjut lihat Bab IV. Tingkat serangan kutu putih juga tergantung pada musim. Berdasarkan pengalamannya petani menyebutkan bahwa serangan berat biasanya terjadi pada musim kemarau yang kering. Di Afrika, yang iklimnya kering, serangan kutu putih pada ubi kayu dapat menyebakan kehilangan hasil hingga 90 Schultess 1987; Herren dan Neuenschwander 1991. Walaupun serangan kutu putih menyebabkan kehilangan hasil yang signifikan, umumnya petani tidak melakukan tindakan pengendalian yang terencana. Alasan utama petani adalah karena ketidaktahuan, ketiadaan dana, dan persepsi petani bahwa serangan kutu putih akan berhenti jika musim hujan tiba. Dari pengamatan lapangan, ada sebagian kecil petani yang melakukan pengendalian dengan cara memotong bagian pucuk tanaman yang terserang kutu putih. Kiranya perlu disusun strategi pengelolaan hama kutu putih yang didasarkan pada pemahaman aspek sosial ekonomi petani ubi kayu. Simpulan Petani ubi kayu di wilayah survei umumnya berpendidikan SD, dengan luas penanaman yang sempit 0.5 ha, dan berstatus sebagai penggarap. Walaupun mereka sudah lama bertanam ubi kayu 16 tahun, tetapi tidak tergabung dalam kelompok tani, dan umumnya tidak ada kontak dengan petugas penyuluh pertanian. Varietas ubi kayu yang banyak ditanam adalah Roti dan Manggu. Budidaya yang baik seperti pemupukan dengan pupuk kandang dan urea serta penyiangan gulma telah dilakukan oleh petani. Hama utama yang dirasakan petani banyak menimbulkan kerugian adalah kutu putih P. manihoti, dengan penurunan hasil panen sekitar 50. Walaupun demikian, tidak ada upaya pengendalian yang terencana yang dilakukan oleh petani untuk mengatasi serangan hama baru ini. Kiranya perlu dirancang pelatihan kepada petani tentang pengelolaan hama kutu putih di pertanaman ubi kayu, dengan mempertimbangkan latar belakang sosial ekonomi petani. Daftar Pustaka Apriyana N. 2011. Kebijakan pengendalian konversi lahan pertanian dalam rangka mempertahankan ketahanan pangan nasional. Kementerian Perencanaan dan Pembangunan NasionalBadan Perencanaan Pembangunan Nasional. 17 hal. CIAT. 1993. Cassava program annual report. Working document No. 146. p: 142-143. Hadisapoetro S. 1992. Usaha pembinaan usahatani lahan sempit. Departemen Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. UGM. Jogjakarta. Herren HR, Neuenschwander P. 1991. Biological control of cassava pest in Africa. Ann Rev Entomol. 36: 257-283. Indiati. 1999. Status tungau merah pada tanaman ubi kayu. Dalam: Pemberdayaan Tepung Ubi Kayu sebagai Substitusi Terigu, dan Potensi Kacang-kacangan untuk Pengayaan Kualitas Pangan. Rahmianna eds. Edisi khusus Balitkabi 15: 122-126. James B, Yaninek J, Neuenschwander P, Cudjoe A, Modder A, Echendu N, Toko M. 2000. Pest Control in Cassava Farms. International Institute of Tropical Agriculture. 36p. Kalshoven LGE. 1981. The pests of crops in Indonesia. Revised and translated by van der laan. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve. 710p. Mamahit JME. 2009. Kelimpahan populasi, biologi dan pengendalian kutu putih nanas Dysmicoccus brevipes Cockerell Hemiptera: Pseudococcidae di Kecamatan Jalan Cagak, Kabupaten Subang. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Mulyandari RSH. 2011. Perilaku petani sayuran dalam memanfaatkan teknologi informasi. Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian. J Perpus Pert. 201. Muniappan R, Shepard BM, Watson W, Carner GR, Rauf A, Sartiami D, Hidayat P, Afun JVK, Goergen G, Ziaur Rahman AKM. 2011. New Records of Invasive Insects Hemiptera:Sternorrhyncha in Southeast Asia and West Africa. J Agric Urban Entomol. 264:167-174. Pane H, Santoso B, Kartika. 2009. Pengendalian gulma pada ubi kayu. Pusat Peneltian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 363 h. Pasaribu SM, Sayaka B, Hestina J. 2009. Kelayakan usahatani skala keluarga petani. Badan Litbang Pertanian. Pusat Peneltian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 363 h. Pelebangan S, Hamzah F, Dahlan, Kaharuddin. 2006. Persepsi petani terhadap pemanfaatan bokasi jerami pada tanaman ubi jalar dalam penerapan sistem pertanian organik. J Agrisistem. 121: 46-53. Rauf A. 1996. Analisis ekosistem dalam pengendalian hama terpadu. Dalam: Pelatihan Peramalan Hama dan Penyakit Tanaman Padi dan Palawija Tingkat Nasional. Jatisari: 2-19 Jan 1996. Rauf A. 1999. Persepsi dan tindakan petani terhadap lalat penggorok daun Liriomyza huidobrensis Blanchard Diptera: Agromyzidae. Buletin HPT. 111: 1-13. Rauf A. 2011. Invasive pests. IPM CRSP Annual Report 2010-2011. Schultess F. 1987. The interactions between casava mealybug Phenacoccus manihoti Mat-Ferr populations as influenced by weather. Phd thesis. Swiss Federal Institute of Technology, Zurich. Soekartawi. 1998. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Jakarta: UI Press. Suharno, Djasmin, Rubiyo, Dasiran. 1999. Budi Daya Ubi Kayu. Kendari: Badan Peneliti dan Pengembangan Pertanian. Sundari T. 2009. Pemuliaan tanaman ubi kayu. Badan Litbang Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 363 h. Sundari T. 2010. Petunjuk Teknis Pengenalan Varietas Unggul dan Teknik Budi daya Ubi kayu. Balai Penelitian Kacang Kacangan dan Umbi Umbian, Malang. 16 h. Suyamto, Wargiono J. 2009. Kebijakan Pengembangan Agribisnis Ubi Kayu dalam Ubi kayu Inovasi Teknologi dan Kebijakan Pengembangan. Badan Litbang Pertanian. Pusat Peneltian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 363 h. Tonglum A, Suriyanapan P, Howeler RH. 2001. Cassava agronomy research and adoption of improved practices in Thailand – Major achievement during the past 35 years. Cassava’s Potential in Asia in the 21st Century: Present Situation and Future Research and Development Needs. Proc. of the Sixth Regional Workshop held in Ho Chi Minch City, Vietnam: 228 –258. Untung K. 1996. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 271 hlm. Wargiono J, Kartika, Solihin. 2009. Areal pertanaman dan sistem produksi dalam Ubi kayu Inovasi Teknologi dan Kebijakan Pengembangan. Badan Litbang Pertanian. Pusat Peneltian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 363 h.

BAB IV DINAMIKA SERANGAN

Phenacoccus manihoti MATILE- FERRERO HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE PADA PERTANAMAN UBI KAYU DI BOGOR Abstrak Serangan berat P. manihoti menyebabkan gejala bunchy top, buku pendek dan bengkok, daun gugur, dan pertumbuhan tanaman terhambat. Gejala bunchy top mulai terlihat sejak tanaman berumur 8 mst dan meningkat dengan cepat mulai 16 mst, bersamaan dengan datangnya musim kemarau Mei-Juni. Perkembangan tingkat serangan lebih cepat terjadi pada varietas Jimbul, pada 18 mst seluruh tanaman telah meperlihatkan gejala bunchy top. Sementara pada varietas Roti dan Manggu, 100 gejala bunchy top berturut-turut terjadi pada 30 dan 36 mst. Terdapat pola hubungan antara saat awal terjadi serangan dengan tinggi tanaman dan bobot umbi yang dihasilkan. Tanaman ubi kayu yang terserang sejak muda berukuran lebih pendek dan menghasilkan bobot umbi yang lebih rendah, dibandingkan bila serangan terjadi setelah tanaman berumur lebih lanjut. Lebih rendahnya hasil panen pada varietas Jimbul 0.94 kg pohon daripada varietas Manggu 3,16 kg pohon, diduga karena pada varietas yang disebut pertama serangan kutu putih terjadi lebih awal dan lebih berat. Musuh alami yang paling banyak dijumpai di pertanaman ubi kayu yang terserang kutu putih adalah predator P. ramburi. Predator ini biasanya meningkat populasinya di akhir musim kemarau, pada saat populasi kutu putih sudah mencapai puncaknya dan tanaman ubi kayu sudah terserang berat. Kelimpahan P. ramburi lebih tinggi pada varietas Jimbul yang memiliki tingkat serangan kutu putih yang lebih berat. Banyaknya predator yang ditemukan mencapai 100 butir telur, 80 ekor larva, dan 70 ekor pupa per pohon yang terjadi pada 24 mst. Kata kunci : Ubi kayu, kutu putih, tingkat serangan, Phenacoccus manihoti. Abstract Heavy damage by the cassava mealybug, Phenacoccua manihoti Matile- Ferrero Hempiptera: Pseudococcidae caused symptoms of bunchy top, shortened and distorted nodes, leaf drops, and inhibition of plant growth. Field observations indicated that symptoms of bunchy top appeared as early as 8 weeks after planting wap and rose quickly started 16 wap, at the same time with the advent of the dry season May-June. Level of infestation developed faster on variety Jimbul; at 18 wap all plants had bunchy tops. While on varieties Roti and Manggu, 100 infestation occurred at 30 and 36 wap, respectively. There was a correlation between early infetation with plant height ang yield. Cassava plants infested during early stage were shorter and the yield lower, compared to those infested at further stages. Lower yields of variety Jimbul 0.94 kgtree than variety Manggu 3.16 kgplant, was thought to be related to heavy infestation which occurred during early stage. The most abundant natural enemies in cassava fields infested by P. manihoti was the predatory lacewing P. ramburi. Population of P. ramburi usually increased at the end of dry season, when mealybug population had already reached its peak and cassava plants were severely damaged. Abundance of P. ramburi were higher on variety Jimbul coincided with higher mealybug infestation. Predator density on this plants reached 100 eggs, 80 larvae, and 70 pupae per plant at 24 wap. Key words: Cassava, mealybug, level of infestation, Phenacoccus manihoti. Pendahuluan Kutu tanaman dari famili Pseudococcidae sering disebut dengan mealybug atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan nama kutu putih. Kerusakan tanaman oleh hama ini karena hisapan stilet pada daun dapat menyebabkan daun berkerut, beberapa jenis dapat berperan sebagai vektor virus tanaman atau menimbulkan klorosis karena adanya saliva air liur yang bersifat toksik Williams dan Willink 1992; Ben-Dov dan Hodgson 1997. Kutu tanaman sering menginvasi daerah-daerah yang sebelumnya belum terinfestasi melalui pengiriman bahan tanaman dari suatu daerah ke daerah lain. Ledakan populasi sering terjadi apabila terbawanya kutu tidak disertai dengan musuh alaminya atau tidak terdapat musuh alaminya di daerah baru. Populasi kutu akan tetap stabil pada daerah baru karena adanya kontrol dari musuh alami baik predator maupun parasitoid Williams dan Willink 1992. Peranan penting dari musuh alami kutu putih ini telah banyak dilaporkan di benua Amerika dan Afrika van Driesche et al. 1990; CIAT 1990; Neuenschwander 2004. Salah satu hama kutu putih yang menyerang tanaman ubi kayu di Indonesia adalah P. manihoti. Kutu putih P. manihoti berasal dari Amerika Selatan dan masuk ke Afrika pada tahun 1980- an. Hama ini pertama kali memasuki kawasan Asia Tenggara yaitu di Thailand pada tahun 2009, yang menyebabkan serangan berat, kemungkinan telah menyebar ke Laos dan Kamboja. Di Indonesia pertama kali ditemukan di daerah Jawa Barat pada akhir tahun 2010 Muniappan et al. 2011; Rauf 2011. P. manihoti dewasa berbentuk oval, berwarna merah jambu pink yang ditutupi oleh tepung putih berlilin, ukuran tubuh lebih kurang panjang 1.10 –2.6 mm dan lebar 0.50 –1.40 mm Matile-Ferrero 1978. Sering dijumpai pada pucuk tanaman yang mengakibatkan pucuk menjadi berkerut dan mengerdil bunchy tops . Serangan lebih berat terjadi pada musim kering dibandingkan dari musim basah James et al. 2000. Di Kolumbia P. manihoti dan P. hereni dapat menyebabkan penurunan produksi 68-88 dan di Afrika dapat menyebabkan kehilangan hasil mencapai 80 Schultess 1987; Herren dan Neuenschwander 1991 . Telah diketahui bahwa di Asia, Indonesia merupakan salah satu produsen ubi kayu terbesar setelah Thailand Heriyanto et al. 2009. Disamping itu di dalam negeri ubi kayu banyak digunakan sebagai bahan baku industri pangan dan non pangan. Pada saat ini selain untuk pangan dan pakan, ubi kayu dapat dikembangkan sebagai sumber energi alternatif biofuel. Dengan memanfaatkan bioetanol sebagai campuran premium Premium mix E 10 untuk transportasi. Bioetanol bersumber dari tanaman berpati dan bergula potensial seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, sagu dan tebu. Biaya produksi untuk tiap liter ethanol dari ubi kayu lebih murah dibandingkan dengan bahan baku lainnya sehingga pengembangan industri berbasis ubi kayu cukup prospektif Rozi dan Heriyanto 2009. Meskipun di Indonesia tingkat kerusakan dan serangan berat belum pernah dilaporkan, namun hama ini berpotensi menyebabkan kehilangan hasil ubi kayu jika tidak dilakukan pengendalian. Untuk itu kajian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan serangan P. manihoti, kehilangan hasil ubi kayu akibat hama ini, dan perkembangan musuh alami dominan P. ramburi. Metode Penelitian Penelitian dilakukan pada lahan milik petani di Desa Ngampar, Cikeas dan Sukaraja, Kecamatan Sukaraja. Penelitian berlangsung mulai bulan Februari 2012 sampai Februari 2013. Untuk mengetahui tingkat serangan diambil sampel berupa 10 petak pertanaman ubi kayu diambil secara purposive sampling di setiap Desa Ngampar, Cikeas, dan Sukaraja. Dari setiap petak pertanaman ubi kayu diamati 20 tanaman contoh, dengan teknik pengambilan contoh secara diagonal. Kemudian diamati tanaman yang terserang P. manihoti, dan yang tidak terserang. Pengamatan tingkat serangan dilakukan di kebun petani ubi kayu di Desa Ngampar yang telah terserang oleh hama P. manihoti. Luas kebun petani yang dijadikan petak pengamatan berkisar antara 1000 –2000 m 2 . Pengamatan dilakukan pada tiga jenis varietas ubi kayu lokal yaitu varietas Roti, Manggu dan Jimbul. Populasi masing-masing varietas ubi kayu yang dijadikan contoh terpilih adalah varietas Roti total populasi 1504 tanaman, varietas Manggu 472 tanaman, dan varietas Jimbul 629 tanaman. Teknik budi daya yang diterapkan sesuai dengan yang dilakukan oleh petani yaitu budi daya monokultur dengan jarak tanam 1 m x 1 m, pemupukan dilakukan dengan menggunakan pupuk kandang dan pupuk urea. Pertanaman yang diamati tidak diaplikasi dengan pestisida. Pengamatan untuk mengetahui perkembangan serangan P. manihoti pada tanaman ubi kayu musim hujan dan musim kemarau dilakukan pada semua populasi tanaman dengan interval pengamatan setiap dua minggu. Pengaruh awal serangan kutu putih terhadap produksi dan pengamatan musuh alami dilakukan pada 40 tanaman contoh untuk setiap varietas yang diamati, dengan interval pengamatan sekali dalam dua minggu. Pengamatan terhadap musuh alami dilakukan dengan menghitung jumlah telur, larva dan pupa predator P. ramburi yang ditemukan pada masing-masing tanaman contoh. Hasil pengamatan ditabulasi dan dibandingkan kecenderungannya antara tiga varietas yang diamati. Hasil dan Pembahasan Survei Tingkat Serangan

P. manihoti

Tingkat serangan P. manihoti pada tiga lokasi di Kecamatan Sukaraja sangat tinggi. Tingkat serangan tertinggi terjadi di Desa Sukaraja, yaitu 99.5 dan Desa Ngampar 99.4, tingkat serangan terendah pada Desa Cikeas 73.5. Walaupun berbeda, namun tingkat serangan di kecamatan ini relatif sama dengan rata-rata serangan hampir mencapai seratus persen. Perbedaan tingkat serangan P. manihoti dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Seperti pada umumnya serangga hama, dinamika populasi kutu putih dipengaruhi oleh faktor biotik maupun abiotik yang akan membentuk sifat-sifat populasi hama, seperti kepadatan, laju kalahiran, laju kematian, pola sebaran, potensi biotik, dan perilaku Tarumingkeng 1994. Salah satu faktor abiotik yang mempengaruhi populasi kutu putih adalah keadaan lingkungan seperti iklim terutama curah hujan, suhu dan kelembaban. Populasi kutu putih sangat dipengaruhi oleh keadaan iklim sehingga kelimpahan populasi lebih tinggi di daerah kering dibandingkan dengan daerah dengan curah hujan yang tinggi basah James et al. 2000; Herrera et al. 1989 . Keadaan suhu yang lebih panas dengan kelembaban rendah, merupakan tempat yang lebih sesuai untuk perkembangan dari P. manihoti. Tingginya tingkat serangan dari kutu putih ini terlihat dengan adanya gejala banchy top dan distorsi batang. Perkembangan Serangan

P. manihoti

Pengamatan perkembangan serangan kutu putih dimulai pada saat tanaman berumur 6 minggu setelah tanam mst sampai tanaman dipanen. Di lapangan semua varietas terlihat menunjukkan gejala terserang, namun berbeda pada berat dan ringannya gejala serangan Gambar 4.1. Kondisi ini menunjukkan bahwa terjadi perbedaan ketahanan pada ketiga varietas ubi kayu yang diamati, seperti juga hasil kajian ketahanan 4 varietas ubi kayu di Thailand, antara varietas Kasetsart 50, Huaybong 60, Rayong 9 and Rayong 72, semua varietas terserang oleh P. manihoti, perbedaan terjadi pada tingkat serangan hama Soysouvanh dan Siri 2013. Perkembangan kutu putih P. manihoti, sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, terutama curah hujan. Gambar 4.2 menyajikan curah hujan yang berlangsung selama penelitian. Serangan meningkat cepat mulai bulan Juni, atau setelah tanaman berimur 15 mst, dan mencapai puncaknya pada bulan SeptemberOktober. Keadaan suhu yang relatif panas dan curah hujan yang rendah selama periode itu menyebabkan populasi kutu berkembang lebih cepat khususnya pada Pseudococcidae Boavida dan Neuenschwander 1995; Walton et al . 2004. Umur tanaman mst 5 10 15 20 25 30 35 40 t a n a ma n d e n g a n g e ja la b u n c h y t o p 20 40 60 80 100 Roti Jimbul Manggu Gambar 4.1. Perkembangan serangan P. manihoti pada tiga varietas ubi kayu Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus Sept ember Ok tober Nov ember Desember Cu rah hu jan mm 100 200 300 400 500 600 700 Gambar 4.2. Curah hujan di sekitar lokasi penelitian BMKG 2013 Serangan kutu putih dimulai dengan gejala serangan awal, dimana pucuk tanaman ubi kayu mulai berkerut, gejala awal biasanya terjadi sekitar 7-10 hari, kemudian dengan meningkatnya populasi kutu, maka gejala serangan dengan cepat menjadi bunchy top yaitu pucuk berkerut dan mengumpul. Gejala ini berlangsung relatif lama 20-30 hari. Bila kutu mencapai populasi yang tinggi lebih kurang dalam satu pucuk terdapat 200 –1000 individu, maka pucuk tanaman akan kehilangan daun gugur daun. Pucuk akan tetap tidak berdaun sampai turun hujan. Jika hujan turun maka akan terjadi pertunasan kembali pada pucuk tanaman, akibat serangan kutu akan meninggalkan bekas batang dengan internode yang pendek atau seperti berkerut, bahkan adakalanya batang menjadi bengkok dan berkelok, gejala ini dikenal dengan distorsi pada batang Lampiran 2. Adanya distorsi ini dapat dilihat di sepanjang batang tanaman ubi kayu dan dapat menandakan berapa kali terjadi serangan pada satu pohon ubi kayu selama masa pertumbuhannya. Tingkat serangan terendah terjadi sekitar bulan Nopember sampai Februari, pada saat ini terlihat bahwa intensitas curah hujan yang terjadi cukup tinggi yaitu 429-636 mmbulan BMKG 2013. Adanya hujan yang turun hampir tiap hari pada bulan-bulan ini menyebabkan kutu pada tanaman terbawa secara mekanik oleh air hujan dan mati, sehingga populasinya menjadi menurun. Dengan adanya hujan, pucuk tanaman ubi kayu yang daunnya telah gugur bertunas kembali. Mekanisme matinya kutu tanaman dengan adanya air hujan dapat dijadikan ide untuk mengendalikan kutu putih dengan menggunakan air seperti jatuhnya air hujan dengan menggunakan springkler. Prinsip yang digunakan sistem ini adalah memberi tekanan pada air dalam pipa dan memancarkan ke udara sehingga menyerupai hujan selanjutnya jatuh pada permukaan tanah atau tanaman. Untuk ubi kayu pemberian pengairan belum banyak dilakukan, namun dengan semakin tingginya nilai ekonomi ubi kayu, maka pemberian pengairan baik dengan irigasi tetes maupun springkler mungkin akan berkembang, dan pemberian irigasi dengan menggunkan springkler merupakan alternatif yang dapat digunakan. Karena selain dapat memberikan pengairan pada tanaman namun juga dapat berfungsi secara mekanis menurunkan pupolasi kutu putih. Dalam hal ini penelitian mengenai debit, tekanan air yang di perlukan untuk dapat mengurangi populasi kutu dengan irigasi springkler masih harus dilakukan. Pengairan bertujuan untuk memberikan tambahan air pada air hujan dalam waktu yang cukup dan pada waktu diperlukan tanaman. Secara umum, pengairan berguna untuk mempermudah pengelolahan tanah, mengatur suhu tanah dan iklim mikro, membersihkan atau mencuci tanah dari garam-garam yang larut atau asam-asam tinggi, membersihkan kotoran atau sampah dalam saluran air, dan menggenangi tanah untuk memberantas tanaman pengganggu dan hama penyakit Kurnia, 2004. Ketiga varietas yang diamati merupakan varietas lokal, namun hanya varietas Manggu yang mempunyai asal usul yang jelas. Kedua varietas lain belum jelas asalnya, tapi bisa didekati ciri-cirinya dengan varietas yang sudah di lepas oleh Kementerian Pertanian. Varietas Roti lebih cenderung sama dengan Adira-4, dan Jimbul lebih mendekati pada vareiats Malang-2 deskripsi terlampir. Varietas manggu dihasilkan oleh perkembunan ubi kayu di Lido, Cijeruk, Bogor, yang mampu menghasilkan produksi 80-120 tonha, dengan usia panen 11 bulan, serta kadar pati 32. Pada ketiga varietas yang diamati, perbedaan tingkat serangan terjadi terutama disebabkan oleh perbedaan awal terjadinya serangan, dan kecepatan perkembangan serangan, sampai semua tanaman terserang 100 Gambar 4.1. Rata-rata awal terjadinya serangan kutu putih pada varietas Roti dan Jimbul adalah pada umur 8 mst, sedangkan varietas Manggu pada umur 12 mst, tingkat serangan bertambah dengan semakin bertambahnya umur tanaman. Dari Gambar 4.1 dan 4.2 juga telihat bahwa puncak serangan kutu putih pada varietas Roti terjadi sekitar bulan September, varietas Jimbul pada bulan Juni sampai Juli, dan varietas Manggu pada bulan Oktober. Terlihat bahwa pada varietas Jimbul yang relatif rentan pada keadaan kering karena curah hujan yang rendah menyebabkan tanaman terserang berat. Pada varietas Roti dan Manggu pada puncak kemarau lebih bisa bertahan sehingga tanaman baru terserang seratus persen pada saat musim hujan mulai datang. Laju peningkatan serangan berbeda dari ketiga varietas. Dari Gambar 4.1 terlihat bahwa untuk varietas Roti dan Manggu laju perkembangan serangan relatif konstan, tetapi pada varietas Jimbul terjadi lonjakan peningkatan perkembangan serangan saat umur tanaman 14 –16 mst. Pada varietas Roti dan Manggu, seluruh populasi tanaman terserang saat tanaman berumur lebih dari 34 mst, sedangkan pada varietas Jimbul pada umur 18-20 mst seluruh populasi tanaman sudah terserang oleh P. manihoti. Dari gejala fisik di lapangan juga terlihat bahwa varietas Jimbul memperlihatkan gejala serangan yang lebih berat dibandingkan dua varietas lainnya. Serangan berat bunchy top pada varietas Jimbul terjadi pada umur tanaman 18 mst, pada varietas Roti dan Manggu lebih lambat yaitu berturut-turut pada umur 28 dan 38 mst. Pada Gambar 4.1 juga tampak bahwa varietas Manggu mengalami serangan awal lebih lambat dibandingkan dengan dua varietas lainnya, yaitu terjadi pada 16 mst, dimana saat yang bersamaan kedua varietas lainnya terjadi peningkatan perkembangan serangan. Dari segi struktur fisik, ketiga varietas tanaman tidak jauh berbeda, begitu juga dengan kandungan asam sianida HCN pada tanaman. Hasil uji laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian, Badan Litbang Pertanian diketahui kadar HCN masing-masing varietas di bawah 50 ppm, yaitu pada Manggu 31.20 mgkg, Jimbul 32.06 mgkg, dan Roti 44.85 mgkg. Senyawa asam sianida merupakan senyawa sekunder yang terdapat di dalam floem dari tanaman ubi kayu, sebagaimana diketahui bahwa floem merupakan jaringan tempat kutu putih P. manihoti menghisap cairan untuk dikonsumsi sebagai nutrisi. Senyawa asam sianida mempengaruhi perkembangan dan reproduksi dari P. manihoti, sehingga dengan perbedaan laju perkembangan dan reproduksi dari kutu ini pada masing-masing varietas ubi kayu akan mempengaruhi tingkat ketahanan suatu varietas ubi kayu terhadap P. manihoti. Pada hama ini senyawa sekunder asam sianida berperan sebagai stimulan bagi pertumbuhan dan perkembangannya Catalayud et al. 1994; Fraenkel 1969. Varietas ubi kayu dengan kadar HCN yang lebih tinggi lebih disukai oleh P. manihoti untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Kadar HCN ubi kayu yang tinggi menyebabkan P.manihoti berkembang lebih baik sehingga menyebabkan tanaman mengalami kerusakan yang lebih berat karena adanya populasi kutu yang lebih tinggi. Berdasarkan perbedaan kandungan senyawa asam sianida dari ketiga varietas yang diamati, varietas Manggu dengan kandungan HCN yang lebih rendah terlihat lebih mampu untuk bertahan, dan varietas Jimbul dan Roti merupakan vareitas yang lebih rentan terhadap serangan P. manihoti . Banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan suatu serangga baik faktor fisik maupun kimia. Faktor fisik diantaranya struktur dari tanaman inang, suhu dan kelembaban, faktor kimia diantaranya adalah kandungan nutrisi dan senyawa sekunder yang ada pada tanaman Bernays and Chapman

Dokumen yang terkait

Kutu Putih Singkong Phenacoccus Manihoti Matile Ferrero Persebaran Geografi Di Pulau Jawa Dan Rintisan Pengendalian Hayati

0 4 49

Kesesuaian Dan Parasitisme Anagyrus Lopezi Pada Berbagai Instar Kutu Putih Singkong, Phenacoccus Manihoti Matile Ferrero

0 17 72

Insidensi Cendawan Entomophthorales pada Kutu Putih Pepaya dan Singkong (Hemiptera: Pseudococcidae) Di Wilayah Bogor

1 7 57

Keanekaragaman Spesies Kutu Putih (Hemiptera : Pseudococcidae) pada Tanaman Buah-buahan di Bogor

10 50 91

Tingkat infeksi Neozygites fumosa (Speare) Remaudie’re & Keller (Zygomycetes : Entomophthorales) pada kutuputih pe-paya, Paracoccus marginatus Williams & Granara de Willink dan kutuputih singkong, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococc

1 7 129

Praktek Budidaya dan Persepsi Petani Ubi Kayu Terhadap Hama Kutu Putih Phenacoccus manihoti di Kabupaten Bogor

0 6 38

Biologi dan Potensi Peningkatan Populasi Kutu Putih Singkong, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae), Hama Pendatang Baru di Indonesia

0 6 31

Tingkat Infeksi neozygitesfumosa (Speare) Remaudie're & Keller (Zygomycetes:Entomophthorales) pada Kutu Putih Pepaya, Paracoccus Marginatus Williams & Granara De Willink dan Kutu Putih Singkong, Phenacoccus Manihoti Matie-Ferrero (Hemiptera:Pseudococcidae

1 7 11

KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE-FERRERO (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAWA DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI

0 0 8

Encapsulation rates of parasitoid Anagyrus lopezi (De Santis) (Hymenoptera: Encyrtidae) by cassava mealybug, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae)

0 0 9