SURVEI PRAKTIK BUDIDAYA UBI KAYU DAN PERSEPSI
tinggi pada umumnya terkonsentrasi dan beralih fungsi di sekitar kota-kota besar terutama di pulau Jawa. Dari aspek fisik lahan, konversi dipengaruhi dua hal yaitu
aspek kepemilikan lahan pertanian dan aspek penataan ruang. Aspek kepemilikan terkait dengan hak atas tanah yang absolut yang dalam prosesnya kemudian
menyebabkan kepemilikan lahan itu terpecah pecah dan menjadi sangat kecil karena diberikan kepada keturunannya sebagai warisan. Pemilikan yang kecil
tersebut menyebabkan rawan untuk terjadinya alih fungsi lahan pertanian karena kesulitan dalam pengendalian pemanfaatan tata ruangnya.
Tabel 3.2. Karakteristik lahan dan penanaman ubi kayu di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor
Karakteristik
Frekuensi Luas lahan ubikayu ha
0.25 21
35.0 0.25-0.5
32 53.3
0.6-1.0 7
11.7 1.0
1 1.7
Status kepemilikan lahan Pemilik penggarap
8 13.3
Penggarap 52
86.7 Pengalaman tanam ubi kayu tahun
5 2
3.3 6-10
4 6.7
11-15 3
5.0 16
51 85.0
Pola tanam Terus menerus
4 6.7
Digilir 56
93.3 Waktu tanam
Musim hujan Musim
Tidak tentu 60
100.0 Varietas yang ditanam
Roti 48
80.0 Manggu
9 15.0
Jimbul 3
5.0 Sumber stek
Kebun sendiri 60
100.0 Petani lain
Rata- rata petani ubi kayu telah berpengalaman lama dalam menanam ubi kayu yaitu di atas 16 tahun 85 Tabel 3.2. Bahkan ada petani yang sudah 40
tahun bertanam ubi kayu. Jadi dapat dikatakan bahwa di desa terpilih para petani memang dari dahulu sudah menanam ubi kayu. Menurut Hadisapoetro 1992
pengalaman berusahatani berhubungan erat dengan sikap dan keputusan yang terjadi pada diri petani. Semakin banyak pengalaman yang dialami oleh petani
semakin tinggi tingkat pemahaman petani tentang usahataninya. Sehingga semakin baik keputusan yang diambil oleh petani dalam berusaha tani.
Teknik budidaya ubi kayu umumnya dengan pola tanam bergiliran dengan tanaman lain seperti sayuran dan pepaya 93.33. Rata-rata alasan yang
diberikan dengan adanya pergiliran tanaman adalah untuk pemeliharaan tanah supaya tetap subur untuk ditanami. Pola tanam ini sangat dianjurkan karena sistem
ini mengarah pada sistem pertanian yang berkelanjutan karena dapat memotong siklus hidup hama, memperbaiki fisik dan kimia tanah dan keterkaitan dengan
modal atau biaya produksi untuk komoditas yang digilirkan Wargiono et al. 2009.
Semua petani responden mengatakan bahwa mereka memulai penanaman ubi kayu tidak tergantung musim dan mereka menanam kapan saja saat lahan ubi
kayu sudah tidak di tanami. Sistem tanam ini mungkin sesuai jika penanaman ubi kayu dilakukan secara terus menerus di lahan yang marginal yang tidak dapat di
tanami dengan tanaman lainnya. Namun untuk lahan yang relatif subur dan dapat ditanam dengan komoditas pertanian lainnya, penanaman ubi kayu biasanya
dilakukan pada saat keadaan musim kemarau yang panjang karena sifat ubi kayu yang tahan kekeringan.
Pada umunya petani responden 90 menanam ubi kayu jenis pahit varietas Roti. Alasan penggunaan varietas Roti karena varietas ini tumbuh lebih
baik dan produksinya relatif tinggi. Varietas lainnya yang ditanam adalah Manggu 15 dan Jimbul 5. Semua petani responden 100
menggunakan stek bibit tanaman ubi kayu yang berasal dari kebun mereka sendiri. Penggunaan bibit ubi kayu dari hasil perbanyakan sendiri tidak menjadi
masalah karena sistem perbanyakan vegetatif menghasilkan individu yang sama dengan induknya Sundari 2009. Penanam bibit yang sama secara terus-menerus
akan menjadi permasalahan bagi hama dan penyakit yang ada di pertanaman. Dalam peneltian CIAT 1993, dikatakan bahwa rotasi tanaman ubi kayu dengan
tanaman lain dapat mengurangi penyakit hawar cassava bacterial blight dan mencegah penurunan hasil ubi kayu 14-37.
Cara budidaya ubi kayu oleh petani adalah dengan cara mengolah tanah, dan jarak tanam yang digunakan 1m x 1m. Umumnya 96.7 petani
menggunakan pupuk kandang kotoran kambing, dan sisanya 3.3 menggunakan kotoran ayam Tabel 3.3. Lebih banyaknya petani yang
menggunakan kotoran kambing sebagai pupuk kandang, karena banyak petani yang memelihara kambing di pekarangan rumahnya. Rata-rata pupuk kandang
yang diberikan dengan pemakaian 1 kali saat tanaman berumur 15-30 hari setelah tanam 79.31 responden dengan dosis pupuk kandang yang digunakan 11-15
tonha 53.45 responden dan hanya 13.79 yang memberi pupuk kandang di atas 15 tonha. Pemakaian pupuk kandang ini cukup baik dan sesuai dengan
pemakaian yang dianjurkan yaitu 5-10 tonha Wargiono et al. 2009.
Di samping pupuk kandang, petani juga memberi pupuk urea untuk tanaman ubi kayu, yang diberikan rata-rata sebanyak dua kali dengan frekuensi
jawaban 65 petani, yang diberikan pada saat tanaman berumur 3 bulan dan 7 bulan. Dosis pupuk urea yang digunakan umunya 200-500 kghektar 80
responden dan hanya 6.67 yang menggunakan pupuk urea di atas 500 kgha. Pemakaian urea pada tanaman ubi kayu petani di desa ini cukup tinggi, namun
tidak diikuti oleh pemakaian pupuk lain seperti Posphat dan KCl. Karena lahan
yang digunakan petani untuk tanaman ubi kayu sering dirotasi dengan tanaman sayuran dan pepaya yang dipupuk dengan pupuk lengkap, sehingga pertanaman
ubi kayu di daerah ini cukup baik perkembangannya. Petani umumnya hanya menggunakan kedua pupuk ini kandang dan urea dalam budi daya ubi kayu
karena keterbatasan biaya dan pengetahuan mereka dalam budidaya tanaman ubi kayu yang baik. Untuk ubi kayu pemupukan berimbang yang dianjurkan adalah
pupuk kandang, urea, P, dan KCl sesuai dengan keadaan tanah. Kisaran pemupukan berimbang pada tanaman ubi kayu adalah 150-200 kg urea, 100 kg
SP36 dan 100-150 kg KCl per ha Tonglum et al. 2001. Tabel 3.3. Karakteristik perawatan tanaman ubi kayu di Kecamatan Sukaraja,
Kabupaten Bogor
Karakteristik Frekuensi
Pemakaian pupuk kandang Ya
58 96.7
Tidak 2
3.3 Jenis pupuk kandang
Kotoran ayam 4
6.7 Kotoran kambing
56 93.3
Dosis pupuk kandang tonha 5
4 6.9
5-10 16
25.9 11-15
32 53.4
15 8
13.8 Waktu pemberian PK hst
15 4
6.7 15-30
48 80.0
30 8
13.3 Dosis pupuk urea kgha
200 8
13.3 200-500
48 80.0
500 4
6.7 Penggunaan Urea kali
1 21
35.0 2
39 65.0
Penyiangan gulma kali 1
17 28.3
2 41
68.3 3
2 3.3
Untuk pemeliharaan tanaman, semua petani melakukan penyiangan gulma secara manual dengan menggunakan arit. Penyiangan gulma dilakukan petani
responden pada umumnya sebanyak dua kali 68.33, pada saat tanaman berumur sekitar 4 bulan dan 8 bulan. Jika dilakukan satu kali, penyiangan gulma
dilakukan pada umur tanaman 6 bulan, sedangkan untuk tiga kali penyiangan gulma dilakukan saat tanaman berumur 2, 5 dan 8 bulan. Kegiatan penyiangan
gulma secara manual yang dilakukan oleh petani telah sesuai dengan kaidah PHT
dan dapat meningkatkan umbi ubi kayu yang dihasilkan. Menurut Pane 2009, penyiangan gulma pada 1, 2, 3, 6 dan 9 bulan dapat meningkatkan hasil ubi kayu,
baik pada tanaman yang ditanam pada musim hujan maupun musim kemarau. Pemanenan Ubi Kayu dan Penjualan Hasil Panen
Petani yang diwawancarai umumnya 92 memanen ubi kayu pada umur 10-13 bulan, dan hanya 8 petani yang memanen ubi kayu pada umur 8-9
bulan Tabel 3.4. Petani memanen ubi kayu biasanya disesuaikan dengan kebutuhan dana atau saat datangnya hari-hari besar agama seperti maulid nabi,
isra mikraj dan sebelum puasa. Pemanenan dilakukan pada musim panas atau kemarau karena hasil ubi kayu dijual pada pengusaha pengolah ubi kayu menjadi
serutan ubi kayu, untuk pengolahan ini diperlukan panas matahari untuk menjemur hasil serutan dari ubi kayu. Hasil panen ubi kayu, setelah dikupas
kulitnya, dijual secara borongan kepada pengusaha penggilingan. Pengusaha kemudian menjual hasil serutan ubi kayu yang telah kering kepada pabrik
pembuat tepung ubi kayu. Petani baru akan menerima hasil penjualan dari ubi kayu jika hasil serutannya kering dan telah dijual ke pabrik penepungan. Kriteria
utama umur panen ubi kayu adalah kadar pati optimum, yaitu pada saat tanaman berumur 7-9 bulan. Bobot umbi meningkat dengan bertambahnya umur tanaman,
sedangkan kadar pati biasanya lebih stabil, sehingga dapat dikatakan bahwa umur panen ubi kayu fleksibel, tanaman dapat dipanen umur 7 bulan atau lebih dari 12
bulan tergantung varietas ubi kayu yang ditanam Wargiono et al. 2009. Tabel 3.4. Karakteristik pemanenan dan penjualan hasil panen ubikayu di
Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor Uraian
Frekuensi Umur panen bulan
8-9 5
8.3 10-11
11 18.3
12-13 44
73.3 Biaya per batang Rp
1000 3
5.0 1000-1500
37 61.7
1600-2000 18
30.0 2000
2 3.3
Hasil panen per batang kg x
≤ 1 1
x ≤ 2 52
86.7 2
x ≤ 3 8
13.3 x
3 Penjualan hasil panen
Pengumpulpabrik aci 60
100.0 Pasar
Cara penjualan Borongan sebelum panen
Borongan setelah panen dan dikupas 60
100.0
Taksiran keuntungan yang diperoleh petani dalam survei ini didasarkan pada perhitungan sederhana, yaitu rataan biaya penanaman ubi kayu per batang
dan hasil panen per batang. Petani ubi kayu yang diwawancarai umumnya 62 mengeluarkan biaya antara Rp. 1000 sd Rp 1500 per batang, yaitu di antaranya
untuk pengolahan tanah, pembelian pupuk kandang, pembelian urea dan pemanenan. Dalam 1 ha terdapat 10.000 tanaman ubi kayu, sehingga total biaya
yang dikeluarkan petani berkisar Rp. 10-15 juta. Biasanya tenaga kerja dari petani tidak diperhitungkan. Dari modal yang dikeluarkan tersebut, hasil panen yang
diperoleh umumnya 86.67 sekitar 1-2 kg per batang. Untuk budidaya seperti yang dilakukan petani di desa ini hasil ubi kayu cukup bagus, karena hasil
penelitian menunjukkan produksi yang dapat dihasilkan rata-rata adalah 1.7 kgbatang untuk tanah kurang subur Tonglum et al. 2001.
Harga saat panen sangat menentukan keuntungan yang diperoleh petani. Harga ubi kayu ditingkat petani bervariasi dari musim ke musim. Pada dua tahun
terakhir harga ubi kayu di tingkat petani berkisar antara Rp. 1100 – 1600 per kg
ubi kayu yang telah di kupas. Dengan harga itu, petani memperoleh penghasilan Rp. 18,7-27,2 juta. Sehingga terjadi perbedaan keuntungan antara petani dalam
berusahatani ubi kayu, yaitu tergantung pada harga ubi kayu saat tanaman dipanen. Salah satu penyebab kecilnya keuntungan adalah berkurangnya
produksi yang diikuti dengan rendahnya harga pada saat panen. Persepsi Petani Tentang Hama Kutu Putih
Ketika kepada petani diminta untuk menyebutkan hama utama pada ubi kayu yang dijumpai di lapangan, sebanyak 86.7 menyebutkan kutu putih P.
manihoti merupakan hama yang paling penting Tabel 3.5. Sementara ada 13.3
petani yang menyebutkan uret sebagai hama paling penting pada ubi kayu. Menurut Kalshoven 1981 jenis uret yang banyak menimbulkan kerusakan berat
pada ubi kayu adalah Leucopholis rorida F. Coleoptera: Scarabaeidae. Selama ini hama utama yang merusak di pertanaman ubi kayu adalah tungau merah
Tetranychus bimaculatus Indiati 1999. Namun demikian, selama wawancara tidak seorang pun petani yang melaporkan tungau sebagai hama paling penting
pada ubi kayu. Mereka menempatkan tungau sebagai hama pada peringkat ke-3 setelah kutu putih dan uret. Uret dianggap lebih penting daripada tungau oleh
petani mungkin karena hama yang disebut pertama ini dapat menimbulkan kerusakan langsung pada umbi, sedangkan tungau menyerang daun.
Salah satu musuh alami yang sering di temukan di pertanaman ubi kayu adalah predator Plesiochrysa ramburi Neuroptera: Chrysopidae. Predator ini
bersifat polifag yang dapat memangsa kutu putih maupun tungau merah di pertanaman ubi kayu. Ketika kepada petani diperlihatkan specimen imago
Chrysopidae, seluruhnya mengatakan bahwa mereka belum pernah melihat serangga tersebut di pertanaman ubi kayu. Hal ini mengisyaratkan perlunya
dilakukan penyuluhan kepada petani, termasuk pengenalan musuh alami.
Tabel 3.5. Persepsi petani ubi kayu terhadap hama kutu putih di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor
Karateristik Frekuensi
Hama utama Kutu putih
52 86.7
Uret 8
13.3 Tungau
Melihat Chrysopidae Ya
Tidak 60
100.0 Tahun pertama kali kutu putih menyerang ubi kayu
2007 49
81.7 2008
5 8.3
2009 4
6.7 2010
2 3.3
Ditemukan pada tanaman lain Ya
60 100.0
Tidak Tingkat serangan
Ringan 6
10.0 Sedang
51 85.0
Berat 3
5.0 Kehilangan hasil
≤ x 20 6
10.0 20
≤ x 40 23
38.3 40
≤ x 60 28
46.7 60
≤ x 80 2
3.3 80
≤ x 100 1
1.7 Hama kutu putih P. manihoti adalah hama baru di Indonesia. Ketika
ditanyakan kepada para responden kapan hama ini mulai menimbulkan masalah, sebanyak 81.7 menjawab bahwa hama ini mulai menimbulkan masalah sejak
tahun 2007 Tabel 3.5. Sebagian kecil 8.3 menyebutkan bahwa hama kutu putih mulai ada sejak tahun 2008, dan sebagian kecil lainnya 6.7
menjawabnya sejak 2009, dan paling sedikit 3.3 yang menyebutkan sejak tahun 2010. Menurut Rauf 2011 dan Muniappan et al. 2011 hama P. manihoti
pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 2010. Petani yang menjawab bahwa hama ini sudah ada sejak tahun 2007 mungkin merujuk pada kutu putih
papaya, Paracoccus marginatus, yang juga dapat menyerang singkong. Ukuran dan bentuk dari kedua kutu putih ini hampir sama dan sulit dibedakan oleh awam.
Hal ini sejalan dengan anggapan seluruh petani reponden bahwa kutu putih yang menyerang singkong juga menyerang tanaman lainnya. Mereka menganggap
bahwa kutu putih yang ada pada tanaman ubi kayu merupakan kutu putih yang berpindah dari tanaman pepaya. Hasil pemeriksaan di laboratorium menunjukkan
bahwa kutu putih pada tanaman pepaya adalah P. marginatus, berwarna putih dan mempunyai stadia bersayap jantan. Sebaliknya pada tanaman ubi kayu yang
menyebabkan daun mengkerut dan mengerdil bunchy top adalah kutu putih P.
manihoti , yang berwarna merah jambu pink, tanpa stadia bersayap semua
individu adalah betina dan tidak menyerang tanaman pepaya. Dari segi tingkat serangan, sebanyak 85 responden mengatakan bahwa
tingkat serangan kutu putih pada tanaman ubi kayu tergolong sedang, dan 5 mengatakan tergolong berat, dan 10 lainnya menjawab tergolong ringan.
Berdasarkan perkiraan kehilangan hasil, sebanyak 38 petani menyebutkan terjadi penurunan hasil sebesar 20-40 akibat serangan hama kutu putih. Bahkan
47 reponden mengatakan bahwa kehilangan hasil akibat serangan kutu putih berkisar 40-50 dibandingkan sebelum ada serangan kutu putih. Keragaman
pengaruh serangan terhadap kehilangan hasil dipengaruhi oleh saat serangan terjadi. Jika serangan terjadi pada pada saat tanaman ubi kayu masih berumur
muda, maka dapat mengakibatkan penurunan hasil yang tinggi dibandingkan kalau serangan terjadi pada umur yang telah lanjut lihat Bab IV. Tingkat
serangan kutu putih juga tergantung pada musim. Berdasarkan pengalamannya petani menyebutkan bahwa serangan berat biasanya terjadi pada musim kemarau
yang kering. Di Afrika, yang iklimnya kering, serangan kutu putih pada ubi kayu dapat menyebakan kehilangan hasil hingga 90 Schultess 1987; Herren dan
Neuenschwander 1991.
Walaupun serangan kutu putih menyebabkan kehilangan hasil yang signifikan, umumnya petani tidak melakukan tindakan pengendalian yang
terencana. Alasan utama petani adalah karena ketidaktahuan, ketiadaan dana, dan persepsi petani bahwa serangan kutu putih akan berhenti jika musim hujan tiba.
Dari pengamatan lapangan, ada sebagian kecil petani yang melakukan pengendalian dengan cara memotong bagian pucuk tanaman yang terserang kutu
putih. Kiranya perlu disusun strategi pengelolaan hama kutu putih yang didasarkan pada pemahaman aspek sosial ekonomi petani ubi kayu.
Simpulan
Petani ubi kayu di wilayah survei umumnya berpendidikan SD, dengan luas penanaman yang sempit 0.5 ha, dan berstatus sebagai penggarap.
Walaupun mereka sudah lama bertanam ubi kayu 16 tahun, tetapi tidak tergabung dalam kelompok tani, dan umumnya tidak ada kontak dengan petugas
penyuluh pertanian. Varietas ubi kayu yang banyak ditanam adalah Roti dan Manggu. Budidaya yang baik seperti pemupukan dengan pupuk kandang dan
urea serta penyiangan gulma telah dilakukan oleh petani. Hama utama yang dirasakan petani banyak menimbulkan kerugian adalah kutu putih P. manihoti,
dengan penurunan hasil panen sekitar 50. Walaupun demikian, tidak ada upaya pengendalian yang terencana yang dilakukan oleh petani untuk mengatasi
serangan hama baru ini. Kiranya perlu dirancang pelatihan kepada petani tentang pengelolaan hama kutu putih di pertanaman ubi kayu, dengan mempertimbangkan
latar belakang sosial ekonomi petani.
Daftar Pustaka
Apriyana N. 2011. Kebijakan pengendalian konversi lahan pertanian dalam rangka mempertahankan ketahanan pangan nasional. Kementerian
Perencanaan dan Pembangunan NasionalBadan Perencanaan Pembangunan Nasional. 17 hal.
CIAT. 1993. Cassava program annual report. Working document No. 146. p: 142-143.
Hadisapoetro S. 1992. Usaha pembinaan usahatani lahan sempit. Departemen Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. UGM. Jogjakarta.
Herren HR, Neuenschwander P. 1991. Biological control of cassava pest in Africa. Ann Rev Entomol. 36: 257-283.
Indiati. 1999. Status tungau merah pada tanaman ubi kayu. Dalam: Pemberdayaan Tepung Ubi Kayu sebagai Substitusi Terigu, dan Potensi
Kacang-kacangan untuk Pengayaan Kualitas Pangan. Rahmianna eds. Edisi khusus Balitkabi 15: 122-126.
James B, Yaninek J, Neuenschwander P, Cudjoe A, Modder A, Echendu N, Toko M. 2000. Pest Control in Cassava Farms. International Institute of
Tropical Agriculture. 36p. Kalshoven LGE. 1981. The pests of crops in Indonesia. Revised and translated by
van der laan. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve. 710p. Mamahit JME. 2009. Kelimpahan populasi, biologi dan pengendalian kutu
putih nanas Dysmicoccus brevipes Cockerell Hemiptera: Pseudococcidae di Kecamatan Jalan Cagak, Kabupaten Subang. [Disertasi]. Bogor:
Sekolah Pascasarjana IPB.
Mulyandari RSH. 2011. Perilaku petani sayuran dalam memanfaatkan teknologi informasi.
Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian. J Perpus Pert.
201. Muniappan R, Shepard BM, Watson W, Carner GR, Rauf A, Sartiami D,
Hidayat P, Afun JVK, Goergen G, Ziaur Rahman AKM. 2011. New Records of Invasive Insects Hemiptera:Sternorrhyncha in Southeast Asia
and West Africa. J Agric Urban Entomol. 264:167-174.
Pane H, Santoso B, Kartika. 2009. Pengendalian gulma pada ubi kayu. Pusat Peneltian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 363 h.
Pasaribu SM, Sayaka B, Hestina J. 2009. Kelayakan usahatani skala keluarga petani. Badan Litbang Pertanian. Pusat Peneltian dan Pengembangan
Tanaman Pangan. 363 h. Pelebangan S, Hamzah F, Dahlan, Kaharuddin. 2006. Persepsi petani terhadap
pemanfaatan bokasi jerami pada tanaman ubi jalar dalam penerapan sistem pertanian organik. J Agrisistem. 121: 46-53.
Rauf A. 1996. Analisis ekosistem dalam pengendalian hama terpadu. Dalam: Pelatihan Peramalan Hama dan Penyakit Tanaman Padi dan Palawija
Tingkat Nasional. Jatisari: 2-19 Jan 1996.
Rauf A. 1999. Persepsi dan tindakan petani terhadap lalat penggorok daun Liriomyza huidobrensis
Blanchard Diptera: Agromyzidae. Buletin HPT. 111: 1-13.
Rauf A. 2011. Invasive pests. IPM CRSP Annual Report 2010-2011.
Schultess F. 1987. The interactions between casava mealybug Phenacoccus manihoti
Mat-Ferr populations as influenced by weather. Phd thesis. Swiss Federal Institute of Technology, Zurich.
Soekartawi. 1998. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Jakarta: UI Press. Suharno, Djasmin, Rubiyo, Dasiran. 1999. Budi Daya Ubi Kayu. Kendari:
Badan Peneliti dan Pengembangan Pertanian. Sundari T. 2009. Pemuliaan tanaman ubi kayu. Badan Litbang Pertanian. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 363 h. Sundari T. 2010. Petunjuk Teknis Pengenalan Varietas Unggul dan Teknik Budi
daya Ubi kayu. Balai Penelitian Kacang Kacangan dan Umbi Umbian, Malang. 16 h.
Suyamto, Wargiono J. 2009. Kebijakan Pengembangan Agribisnis Ubi Kayu dalam
Ubi kayu Inovasi Teknologi dan Kebijakan Pengembangan. Badan Litbang Pertanian. Pusat Peneltian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
363 h. Tonglum A, Suriyanapan P, Howeler RH. 2001. Cassava agronomy research and
adoption of improved practices in Thailand – Major achievement during the
past 35 years. Cassava’s Potential in Asia in the 21st Century: Present Situation and Future Research and Development Needs. Proc. of the Sixth
Regional Workshop held in Ho Chi Minch City, Vietnam: 228 –258.
Untung K. 1996. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 271 hlm.
Wargiono J, Kartika, Solihin. 2009. Areal pertanaman dan sistem produksi dalam Ubi kayu Inovasi Teknologi dan Kebijakan Pengembangan. Badan
Litbang Pertanian. Pusat Peneltian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 363 h.