1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Di Nusantara terdapat banyak karya sastra tulis berupa naskah klasik yang berisi buah pikiran luhur dan berharga. Serat Wira Wiyata adalah salah
satunya. Serat Wira Wiyata adalah karya besar KG PAA Mangkunagara IV yang ditulis pada tahun 1788 dalam bentuk tembang macapat. Serat Wira Wiyata berisi
piwulang patriotisme yang berguna bagi masyarakat dan generasi muda dalam meneruskan cita-cita luhur para pendiri bangsa. Ajarannya perlu diungkap sebagai
pedoman pembentukan sikap. Masyarakat pada umumnya kurang mengetahui arti patriotisme yang
sebenarnya. Patriotisme artinya semangat kecintaan terhadap tanah air. Pengertian patriotisme secara luas yaitu kerelaan berkorban untuk kepentingan bangsa dan
negara, untuk kepentingan kemanusiaan, dan untuk kepentingan pembangunan. Prajurit dan generasi muda lainnya dapat menerapkan sikap patriotisme dalam
kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Patriotisme diperlukan untuk memupuk sikap dan perilaku sesuai
dengan nilai-nilai kehidupan sehingga Sumber Daya Manusia SDM menjadi lebih baik. Kita bisa melihat dengan jelas bahwa para pemuda saat ini lebih
memilih untuk bersenang-senang dengan kemewahan, hidup tanpa perjuangan sehingga pada akhirnya terjerumus ke dalam hal-hal yang negatif.
Masyarakat dan generasi pemuda perlu berbenah diri, berusaha dan berjuang demi keamanan tanah air karena mereka memiliki tanggung jawab yang
sama dalam menjaga dan membangun negara. Oleh karena itu, sikap patriotisme diperlukan sebagai pedoman dalam pembentukan sikap dan perilaku masyarakat
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini, prajurit memiliki peranan terpenting.
Ajaran patriotisme salah satunya dapat ditemukan dalam karya sastra Jawa. Karya sastra Jawa mengalami kebangkitan pada masa pemerintahan
kerajaan Mataram. Kebangkitan itu dilandasi oleh pemikiran bahwa dalam konteks masyarakat yang sedang dilanda krisis, karya sastra Jawa yang berisi
petunjuk-petunjuk berfungsi sebagai salah satu jalan untuk mempersatukan kekuatan masyarakat di bawah naungan raja Sudewa dalam Suwondo 1994:17.
Oleh karena itu, satu-satunya jalan adalah dengan cara menulis dan menggubah sastra yang berisi piwulang kepada masyarakat.
Kehadiran sastra piwulang tidak pernah lepas dari fungsi penyaluran ide pribadi pengarangnya. Bagi masyarakat pembaca, karya sastra secara tidak
langsung merupakan tawaran ide yang setiap saat akan mempengaruhi pola tingkah laku. Pada umumnya yang disebut sastra piwulang dalam tradisi
kesusastraan Jawa adalah teks berbahasa Jawa yang ditulis oleh raja atau pujangga istana untuk dijadikan dasar pembentuk watak dan perilaku kerabat istana.
Para pujangga menciptakan karya sastra dengan tujuan menjaga harkat dan martabat raja dan bangsawan serta menegakkan kembali nilai-nilai tradisional.
Berbagai tindakan para pujangga itulah yang menyebabkan pertumbuhan dan
perkembangan sastra semakin pesat. Akhirnya muncullah karya-karya KG PAA Mangkunagara IV, salah satunya adalah Serat Wira Wiyata yang berisi ajaran
patriotisme keprajuritan. Karya sastra yang berisi piwulang kepada prajurit ini mampu membangkitkan kembali semangat patriotisme para prajurit pasca
terjadinya krisis pada masa pemerintahan Mataram. Oleh karena itu, kebangkitan pujangga dalam menciptakan karya sastra serat merupakan sumbangan terbesar
bagi kebangkitan semangat keprajuritan. Serat adalah salah satu bukti bahwa karya sastra Jawa klasik masih ada
sampai sekarang. Ajaran-ajarannya dapat diserap dan dipraktekkan oleh masyarakat, khususnya masyarakat Jawa. Kata serat dalam Kamus Lengkap
Bahasa Jawa artinya `tulis`. Serat adalah sastra piwulang yang memberi tuntunan bagi pendidikan moral dan budi pekerti.
Sesuai dengan judul teks ini, Wira Wiyata, kata wira artinya `seorang lelaki perwira` atau `prajurit yang pemberani`, kata wiyata artinya piwulang atau
`ajaran`. Jadi, Wira Wiyata artinya ajaran keprajuritan. Ajarannya disampaikan dalam bentuk tembang macapat Sinom dan Pangkur.
Penulisan Serat Wira Wiyata menggunakan tembang macapat sebagai media untuk menarik minat pembaca dari kalangan masyarakat Jawa. Serat Wira
Wiyata terdiri dari 2 pupuh yaitu pupuh Sinom yang terdiri dari 42 bait, dan pupuh Pangkur yang terdiri dari 14 bait.
Sinom berisi ajaran patriotisme kepada prajurit. Ajaran patriotisme dalam pupuh Sinom antara lain keikhlasan menjadi prajurit, menjaga kesetiaan janji
prajurit, bijaksana, cinta tanah air, berjiwa ksatria, bertekad kuat, rela berkorban, , pantang menyerah, berjiwa pembaharu. Prajurit harus mampu membuktikan
kepada negara seberapa besar jasa, kepandaian dan ketenaran yang dapat dimanfaatkan oleh negara. Hal itu dapat dilakukan dengan rajin berlatih, taat
terhadap peraturan, melaksanakan semua perintah, disiplin, bertanggung jawab, selalu siaga dan tidak takut kematian. Pada hakikatnya semua pekerjaan adalah
sama sehingga tidak boleh beranggapan bahwa menjadi prajurit merupakan pekerjaan yang terberat. Jika pekerjaan dilakukan dengan tulus ikhlas, maka hal
itu sama dengan beribadah sehingga akan memperoleh kemuliaan. Orang yang berhati mulia dan melakukan kebaikan dilambangkan lir wadhahe lenga wangi,
walaupun isinya digantikan dengan air, baunya masih semerbak harum. Adapun pupuh Pangkur berisi pedoman bagi panglima untuk memilih
calon prajurit yang baik. Calon yang diperlukan harus mempertimbangkan tujuh hal, antara lain:
1. Seorang prajurit harus jelas garis keturunannya.
2. Berasal dari bumi kelahirannya.
3. Sehat jiwanya.
4. Berbadan kuat dan kekar.
5. Tidak berpenyakit.
6. Memiliki perangai jantan.
7. Tidak memiliki kegemaran yang merugikan.
Pupuh
Pangkur berisi pengelompokan tugas prajurit ke dalam bidang masing-masing sesuai keocokan ukuran tubuh. Hal ini dilambangkan sebagai
berikut:
1.
Sedheng Dedegira Sedheng dedegira yaitu orang yang memiliki tinggi badan sedang
atau yang berbadan pendek kecil. Dengan ciri-ciri perwatakan seperti itu, cocok untuk memegang senjata.
2.
Lencir Lencir artinya orang yang badannya kurus. Prajurit yang memiliki
perawakan lencir kebanyakan kurang lincah, sebaiknya dipersenjatai dengan tombak karena jangkauan tangannya panjang.
3.
Sadhepah Sadhepah adalah orang yang berperawakan tinggi kekar, tulang
ototnya tampak menonjol. Ini lebih cocok diserahi tanggung jawab untuk mengurus meriam karena kuat dalam mengarahkan meriam pada sasaran.
4.
Luhur kang Sembada Luhur kang sembada artinya orang yang berperawakan tinggi
perkasa. Prajurit dengan ciri-ciri seperti itu cocok untuk menjadi prajurit berkuda. Hal ini dilandasi oleh pemikiran bahwa orang yang berperangai
demikian akan lebih mudah menunggang dan mengendalikan kuda daripada orang yang bertubuh pendek.
5.
Mandraguna Mandraguna adalah orang yang berperawakan serba baik dan
berkemampuan serba bisa. Prajurit ini dapat ditugasi di berbagai bidang. Segala hal untuk kebutuhan prajurit juga harus diperhatikan sehingga
mereka dapat menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya. Itulah sebagian isi Serat Wira Wiyata karangan KG PAA Mangkunagara IV.
Alasan pemilihan Serat Wira Wiyata karena di dalamnya banyak ajaran patriotisme yang bermanfaat bagi masyarakat dan generasi muda penerus bangsa
serta berguna untuk pengembangan pendidikan karakter. Serat Wira Wiyata karya KG PAA Mangkunagara IV bertujuan untuk mengajak para prajurit agar memiliki
jiwa patriotisme yang tinggi. Meskipun ajaran patriotisme dalam serat ini ditujukan untuk prajurit, tetapi masyarakat dan generasi muda lainnya diharapkan
dapat meneladani dan menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Serat merupakan peninggalan budaya yang menyimpan segi kehidupan bangsa pada masa lalu. Namun, karya sastra serat kurang dikenal oleh masyarakat
sekarang karena menggunakan bahasa yang sulit dipahami oleh masyarakat pada umumnya. Karya sastra merupakan struktur yang kompleks sehingga untuk
memahaminya diperlukan suatu analisis. Analisis merupakan usaha secara sadar untuk memberi makna kepada teks sastra yang memuat berbagai sistem tanda.
Oleh karena itu, karya sastra seluruhnya dipandang sebagai tanda Teeuw 1988:130.
Ada berbagai macam teori sastra yang dapat digunakan untuk mengkaji sebuah karya sastra, salah satunya adalah teori strukturalisme. Teori
strukturalisme memandang karya sastra sebagai sebuah struktur yang unsur- unsurnya saling berjalinan erat. Dalam struktur itu unsur-unsurnya tidak memiliki
makna dengan sendirinya, maknanya ditentukan oleh saling hubungannya dengan unsur-unsur lainnya dan keseluruhan atau totalitasnya Hawkes dalam Pradopo
2001:93. Strukturalisme merupakan cabang penelitian sastra yang tidak bisa lepas dari aspek-aspek linguistik. Untuk mengungkap patriotisme dalam Serat
Wira Wiyata digunakan teori strukturalisme. Selain berdasarkan teori strukturalisme, diperlukan analisis berdasar teori
lain. Teori yang sesuai adalah teori semiotik. Semiotik adalah ilmu tentang tanda dan tanda adalah simbol. Tanda-tanda itu mempunyai arti dan makna. Bahasa
sebagai bahan sastra sudah merupakan sistem tanda yang mempunyai arti Pradopo 2001:94. Oleh karena itu, kajian strukturalisme semiotik akan
mengungkap karya sastra sebagai sistem tanda. Makna karya sastra tidak akan tercapai secara optimal jika tidak dikaitkan dengan wacana tanda Endraswara
2003:64. Berdasarkan uraian di atas, Serat Wira Wiyata karya KG PAA
Mangkunagara IV menarik untuk diungkap simbol dan makna serta ajaran-ajaran patriotisme yang terkandung di dalamnya. Penelitian teks Serat Wira Wiyata ini
menggunakan teori strukturalisme semiotik model A. Teeuw karena mempunyai tiga kode yang mampu membedah dan memaparkan simbol dan makna dalam
karya sastra. Tiga kode tersebut adalah kode bahasa, kode sastra, dan kode
budaya. Dengan menggunakan kode-kode tersebut, akan diketahui ajaran patriotisme yang terkandung dalam Serat Wira Wiyata dengan cara menelusuri
simbol dan maknanya.
1.2 Rumusan Masalah