Efektipitas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga.

Sementara itu, salah satu terobosan hukum lain dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 adalah diaturnya mengenai perihal peran dari Relawan Pendamping. Menurut undang-undang ini, ada beberapa hal yang menjadi tugas dari Relawan Pendamping, yakni : a. menginformasikan mengenai hak korban untuk mendapatkan seorang atau lebih pendamping; b. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban agar dapat memaparkan kekerasan yang dialaminya secara objektif dan lengkap; c. mendengarkan segala penuturan korban; d. memberikan penguatan korban secara psikologis maupun fisik.

C. Efektipitas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga.

Dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sudah sepantasnya berdampak baik terhadap masyarakat, khususnya bagi keluarga. Dalam Undang-Undang ini efektipitas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 ini ditentukan dari kepedulian masyarakat untuk mensosialisasikan dan menerapkan Undang-Undang ini dalam kehidupan bermasyarakat, karena undang-undang itu hadir untuk dapat diterapkan dalam permasalahan-permasalahan yang ada dalam masyarakat sekaligus untuk menguji akan kegunaan dan efektipitas undang-undang itu sendiri.Masyarakat harus saling bekerja sama baik sesama warga maupun dengan penegak hukum. Sikap saling bahu membahu untuk menyelesaikan suatu perkara yang ada dalam kehidupan bermasyarakat memudahkan untuk tercapainya kelayakan dan kegunaan undang-undang ini bagi masyarakat. Sanksi dari hukuman yang terdapat dalam Undang-Undang 23 tahun 2004 juga berpengaruh untuk menjaga efektipitas dalam Undang-Undang Tersebut. Dimana sebagai alat pemaksa agar seseorang menaati, norma-norma yang berlaku. Norma atau kaidah hukum bertujuan agar tercapainya kedamaian dalam kehidupan bersama , dimana kedamaian berarti suatu keserasaian antara ketertiban dengan ketentraman atau keserasian antara perikatan dengan kebebasan. Itulah yang menjadi tujuan hukum, sehingga tugas hukum adalah tidak lain dari mencapai suatu keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum. Dalam masyarakat terdapat 4 empat norma, yaitu norma keagamaan , norma kesusilaan, norma kesopanan dan norma hukum. Dari keempat norma tersebut, norma hukumlah yang mempunyai sanksi yang lebih mengikat sebagai alat pemangsa. Adapun pelaksana “alat pemangsa” tersebut diserahkan kepada penguasa negara. Berbeda dengan pelanggaran terhadap norma-norma yang lain. Di mana pelaksanaan sangsi tidak dilakukan oleh penguasa dan tidak segera dirasakan oleh yang melanggar. Sangsi yang dijatuhkan pada norma hukum , segera dapat dirasakan oleh si pelanggar dalam hal ini pelaku tindak kekerasan dalam rumah tangga. Efektipitas Undang-Undang ini juga dipengaruhi oleh jumlah dan keinginan masyarakat untuk melaporkan dan tidak lagi merasa malu membuka permasalahan kekerasan dalam rumah tangga kepada lingkungannya. Ada yang menarik dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 dimana dalam satu pasal satu jenis perbuatan pidana sekaligus terdapat delik biasa dan umum dan delik aduan. Hal ini memudahkan kepada pengungkapan kasus kekerasan dalam rumah tangga karena tidak hanya korban yang harus langsung melaporkan tindakan kekerasan yang diterimanya, namun dapat juga dilaporkan oleh masyarakat yang melihat dan menyaksikan tindak pidana kekerasan tersebut. Karena sebagai warga masyarakat yang baik dan peduli akan terjadinya suatu perbuatan yang melanggar hukum dapat melaporkan ke aparat kepolisian. Karena menurut pasal 1 ke 24 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak dan kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang diduga akan terjadinya peristiwa pidana. 28 1 Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana diamaksud dalam pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana Hal tersebut terdapat dalam Bab VIII tentang ketentuan pidana dalam Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004. Masing- Masing pasal dikemukakan sebagai berikut : Bunyi pasal 44 undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 : 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1. penjara paling lama 5 lima tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 lima belas juta rupiah 2 Dalam Hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun atau denda paling banyak Rp30.000.000,00 tiga puluh juta rupiah. 3 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 mengakibatkan matinya korban,dipidana dengan penjara paling lama 15 lima belas tahun atau denda paling banyak Rp45.000.000,00 empat puluh lima juta rupiah. 4 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan kekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 empat bulan atau denda paling banyak Rp5.000.000,00 lima juta rupiah. Kemudian pasal ini perlu dikaitkan dengan Pasal 51 dari undang-undang yang Sama, yang berbunyi : “tindak pidana kekerasan fisik segagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat 4 merupakan delik aduan.” Selanjutnya, Pasal 45 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 berbunyi: 1 Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tiga tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 sembilan juta rupiah. 2 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan mata pencarian atau kegiatan sehari-hari, dipidana penjara paling lama 4 empat bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 tiga juta rupiah. Kemudian Pasal 45 ini, perlu dikaitkan dengan Pasal 52 dari undang-undang yang sama , yang berbunyi : “Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat 2 merupakan delik aduan.” Adapun Pasal 46 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 berbunyi : “setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 dua belas tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 tiga puluh enam juta rupiah. Pasal 46 tersebut berkaitan dengan Pasal 53 dari undang-undang yang sama, yang berbunyi : “Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 yang dilakukan oleh seseorang terhadap istri atau sebaliknya merupakan delik aduan.” Kiranya apa yang telah dicantumkan dalam peraturan tersebut merupakan pedoman bagi para aparat penegek hukum agar lebih mantap dalam menjalankan tugasnya dan bagi korban sendiri merupakan jaminan akan ditegakkannya keadilan dibidang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Namun, kalau kita amati justru tindak kekerasan pada istri yang dilakukan oleh suami, dijatuhi pidana yang lebih ringan dari pada kalau tindak kekerasan tersebut dilakukan terhadap mereka selain istri yang ada dalam lingkup rumah tangga. Tindak dijelaskan apa dasar pertimbangan adanya pidana yang lebih ringan tersebut. Masyarakat dan penegak hukum yang akan menguji Epektipitas dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, diiringi dengan waktu dan mampunya masyarakat menerima dan menerapkan secara baik dan benarnya undang-undang tersebut. BAB III FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TIMBULYA KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH SUAMI TERHADAP ISTRI A.Dalam Perspektif Kriminologi Masalah kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri tentunya bukan merupakan fenomena baru dalam dunia kriminologi. Sebagaimana ditegaskan oleh Benedict S Alper bahwa kejahatan merupakan the oldest sosial problem. 29 29 Barda Nawawi Arief, ”Kebijakan Legislatif Dalam Pembaharuan Hukum”, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1996, halaman. 11. Kejahatan termasuk juga kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri yang juga biasa disebut kekerasan dalam rumah tangga, yang walaupun kekerasan dalam rumah tangga tersebut tidak hanya dilakukan oleh suami terhadap istri, namun dalam kebanyakan kasus selalu istri yang menjadi korban. Kekerasan ini mungkin setua dengan umur perkawinan umat manusia, hanya saja secara normatif hal ini di Indonesia khususnya baru diformulasikan normanya, sehingga terkesan kasus kekerasan dalam rumah tangga hal yang sangat baru dalam dunia penegakan hukum. Sekalipun dalam KUHP diatur delik aduan yang mengatur tentang adanya tindak pidana dalam keluarga. Untuk mengetahui faktor pendorong atau penyebab seseorang melakukan kejahatan, kita tinjau hal-hal yang terdapat kriminalogi. Karena menurut Sutherland and crassey, kriminalogi adalah himpunan pengetahuan mengenai kejahatan sebagai gejala masyarakat.yang termasuk dalam ruang lingkupnya adalah proses pembuatan perundang-undangan dan reaksi-reaksi terhadap pelanggaran tersebut. Selanjutnya disebutkan bahwa kriminalogi terdiri atas 3 tiga bagian utama, yaitu: 1. Ilmu kemasyarakatan dari hukum atau pemasyarakatan hukum the sociologi of law, yaitu usaha penganalisaan keadaan secara ilmiah yang akan turut memperkembangkan hukum pidana, 2. Etimologi kriminil,yaitu penelitian secara alamiah mengenai sebab-sebab kejahatancontrol of crime Pada pembahasan ini di fokuskan kepada etiologi kriminil yang berarti mempelajari sebab-sebab timbulnya suatu kejahatan aethos = sebab-sebab , yang terbagi dalam 3tiga mazhab yaitu : 1. Mazhab antropologis atau Machab biologis atau mazhab italia, 2. Mazhab sosiologis atau Mazhab Prancis, 3. Mazhab Biososiologis atau Mazhab gabungan atau Mazhab convergentie. Ketiga mazhab tersebut termasuk ajaran determinisme,yaitu kehendak manusia itu,sudah ditentukan terlebih dahulu. 30 Peletak dasar Mazhab Antropologis adalah Cesere Lambroso yang menyatakan bahwa sebab-sebab timbulnya kejahatan adalah karena penyebab dalam, yang bersumber pada bentuk-bentuk jasmaniah, watak, dan rohani seseorang, sedangkan menurut Mazhab Sosiologis faktor penyebab utama dari kejahatan adalah tingkatan niveau-theorie penjahat dan lingkungannya millieu- theorie yang tidak menguntungkan. Tokoh yang mengemukakan ajaran ini adalah Manouvrier dan Lacassagne. Aliran yang ketiga yaitu Mazhab Biososiologis menggunakan theorie convergentie gabungan sebagai penyebab kejahatan. Tokoh Mazhab ini adalah ferry dan van Bemmelen. Menurut ajaran ini, timbulnya berbagai bentuk kejahatan dipengaruhi oleh sederetan faktor-faktor, dimana watak dan lingkungan seseorang banyak berperan. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah : sifat, bakat, watak, intelek, pendidikan, dan pengajaran, suku bangsa, seks ,umur, kebaangsaan, agama, ideologi, pekerjaan, keadaan ekonomi, dan keluarga. Kejadian demi kejadian, periode dan periode,kekuatan-kekuatan relatif dari watak dan lingkungan silih berganti atau bersamaan berpengaruh terhadap seseorang. 31 Dimuka telah disebutkan bahwa ketiga mazhab tersebut menganut teori determinisme, yang mengemukakan bahwa seseorang melakukan kejahatan ditentukan determine oleh pengaruh luar atau lingkungannya, sedangkan 30 Ibid 31 Ibid menurut teori indeterminisme, kehendak seseorang untuk melakukan kejahatan itu dikedalikan oleh kemauan sendiri dan tidak dipengaruhi oleh “faktor luar”. Dengan demikian faktor pendorong terjadinya kekerasan dalam rumah tangga,dapat disebabkan oleh adanya berbagai faktor tersebut.Artinya dapat dipengaruhi oleh faktor dari luar atau lingkungan,tetapi dapat juga dipicu karena adanya faktor dari dalam diri pelaku sendiri.Hal ini dapat diperoleh dari kasus- kasus yang pernah terjadi dan ditangani oleh lembaga bantuan hukum.sehingga faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga dapat digolongkan menjadi 2 dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal menyangkut kepribadian dari pelaku kekerasan yang menyebabkan ia mudah sekali melakukan tindak kekerasan apabila menghadapi situasi yang menimbulkan kemarahan dan frustasi. Kepribadian yang agresif biasanya dibentuk melalui interaksi dalam keluarga atau dengan lingkungan sosial di masa kanak-kanak. Tidaklah mengherankan bila kekerasan biasanya bersifat turun temurun, sebab anak-anak akan belajar tentang bagaimana akan berhadapan dengan lingkungan dari orang tuanya. Apabila tindak kekerasan mewarnai kehidupan sebuah keluarga, kemungkinan besar anak-anak mereka akan mengalami hal yang sama setelah mereka menikah nanti. Hal ini disebabkan mereka menganggap bahwa kekerasan merupakan hal yang wajar atau mereka dianggap gagal kalau tidak mengulang pola kekerasan tersebut. Perasaan kesal dan marah terhadap oraang tua yang selama ini ditahan, akhirnya akan muncul menjadi tindak kekerasan terhadap istri. Faktor eksternal adalah faktor-faktor diluar dari si pelaku kekerasan. Mereka yang tidak tergolong memiliki tingkah laku agresif dapat melakukan tindak kekerasan bila berhadapan dengan situasi yang menimbulkan frustasi misalnya kesulitan ekonomi yang berkepanjangan, penyelewengan suami atau istri, keterlibatan anak dalam kenakalan remaja atau penyalahgunaan obat terlarang dan sebagainya. Faktor lingkungan lain seperti stereotife bahwa laki-laki adalah tokoh yang dominan, tegar dan agresif. Adapun perempuan harus bertindak pasif, lemah lembut dan mengalah. Hal ini menyebabkan banyaknya kasus tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami. Kebanyakan istri berusaha menyembunyikan masalah kekerasan dalam keluarganya karena merasa malu pada lingkungan sosial dan tidak ingin dianggap gagal dalam rumah tangga. Adanya perubahan pada tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan yang dimiliki oleh perempuan, khususnya di kota-kota besar juga menambah beban pada kaum laki-laki. Kini banyak perempuan yang bekerja diluar rumah dan memiliki penghasilan sendiri yang baik. Tidak jarang penghasilan mereka lebih besar dari pada penghasilan suami. Padahal secara normatif, laki-laki adalah kepala keluarga yang seharusnya memberi napkah kepada kepala keluarga dan memiliki hal yang lebih dari pada istri. Keadaan ini menimbulkan perasaan “tersaingi”dan tertekan pada kaum laki-laki yang dapat menimbulkan munculnya tindak kekerasan dalam rumah tangga. 32 32 httpwwwlbh-apik.or.idkdrt-pentingnya memberikan perlidungan hukum kepada korban tindak kekerasan dalam rumah tangga.htm. faktor-faktor eksternal apabila di jelaskan secara terperinci maka akan ditemukan beberapa sebab-sebab terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri, yaitu sebagai berikut. 1.masalah Ekonomi Ekonomi sebagai faktor penyebab terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri, berhubungan dengan incame penghasilan keluarga. Penghasilan ini juga berkaitan erat dengan pekerjaan. Pekerjaan seorang bapak keluarga sangat menentukan kehidupan ekonomi keluarga. Tentunya penghasilan lebih besar dari kebutuhan dalam rumah tangga atau manajemen keuangan yang patut diperhatikan. Kebutuhan yang besar dengan penghasilan yang kecil memicu terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri. Ketika kebutuhan anggota keluarga tidak dapat diakomudir, maka kekerasan akan mulai menggeliatmerupakan senjata ultimum remedium untuk meredam permintaan para anggota keluarga. 2. masalah Cemburu Cemburu selalu menghiasi kehidupan keluarga. Kecemburuan telah menjadi beban yang berat tatkala relasi di antara suami dan istri mulai mengendor. Apalagi jika ada PIL Pria Idaman Lain dan WIL Wanita Idaman Lain mulai menggeser cinta diantara suami-istri. Padahal sesunguhnya kecemburuan itu terjadi bisa saja terjadi karena “komunikasi” yang kurang antara suami-istri. Kecemburuan bisa diatasi jika suami-istri selalu berkomunikasi secara baik dan terbuka, jika dalam pekerjaan ataupun relasi sosial ada temansahabat dan bukan merupakan atau menganggap sahabat itu adalah PILWIL. Pasangan suami istri juga hendaknya selalu terbuka dengan pasangannya dan saling menyayangi dengan memperkuat benih-benih cinta diantara kedua pihak ,sehingga saling percaya antara satu dengan yang lain dan menjauhkan dari sikap egois dan berprasangka buruk terhadap pasangannya. 3. Masalah Miras Minuman Keras Miras telah menjadi sebab terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri karena miras telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat hingga di pelosok-pelosok daerah di Indonesia sehingga miras dapat dinikmati setiap waktu. Hanya saja miraslah yang memicu adanya kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri , karena ketika suamiistri meneguk miras, istrisuami dan atau anak bisa menjadi korban kekerasan.Dalam pandangan masyarakat, seperti masyarakat batak yang mengenal tuak sebagai minuman tradisional, tetapi miras jika kebanyakan diteguk maka peminum akan terimajinasi oleh hal-hal yang negative, bisa memperkosa, memaki, dan bahkan membunuh. Itulah sebabnya miras memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. 4. Masalah Anak Salah satu pemicu terjadinya perselisihan antara suami dan istri adalah masalah anak.Perselisihan dapat semakin meruncing kalau terdapat perbedaan pola pendidikan terhadap anak antara suami dan istri .Hal ini dapat berlaku baik terhadap anak kandung maupun terhadap anak tiri atau anak asuh. Dalam hal ini yang menjadi korban tidak hanya istri tetapi juga kepada anak yang menyaksikan terjadinya kekerasan yang dia lihat dan rasakan baik secara langsung maupun tidak langsung. Sehingga dalam hal ini dapat mempengaruhi perkembangan anak. Misalnya anak dapat menyendiri dan malu untuk bertemu dengan teman-temannya yang lain, depresi dan stress karena melihat terjadinya kekerasan di hadapannya yang dilakukan oleh ayahnya sendiri selaku suami dari ibunya, dan yang paling menghawatirkan anak akan mencontoh dan memperaktekkan kekerasan yang dia lihat kepada teman dan orang lain. Bagi pasangan suami dan istri yang belum mempunyai anak juga dapat menjadikan ketidak hadiran anak dalam keluarga sebagai masalah, karena anak merupakan salah satu tujuan dari pernikahan atau perkawinan untuk meneruskan keturunan.Sehingga hal ini selalu menjadi problem dalam rumah tangga dan pada masalah yang lebih serius dapat menimbulkan kekerasan baik kekerasan secara fisik maupun secara fsikis kepada istri. 5. Masalah Sopan Santun. Sopan santun seharusnya tetap dipelihara meskipun suami dan istri sudah bertahun-tahun menikah. Suami dan istri berasal dari keluarga dengan latar belakang yang berbeda. Untuk itu perlu adanya upaya saling menyesuaikan diri , terutama dengan kebiasaan-kebiasaan yang dibawa dari keluarga masing-masing. Kebiasaan lama yang mungkin tidak berkenaan di hati masing-masing pasangan , yang harus dihilangkan. Antara lain, suami dan istri harus saling menghormati dan saling penuh pengertian. Kalau hal ini diabaikan dapat memicu kesalah pahaman yang memicu pertengkaran dan kekerasan psikis. Ada kemungkinan juga berakhir pada kekerasan fisik. 6. Masalah Masa Lalu. Seharusnya sebelum melangsungkan pernikahan antara calon suami dan istri harus terbuka, masing-masing menceritakan atau memberitahukan masa lalunya. Keterbukaan ini merupakan upaya untuk mencegah salah satu pihak mengetahui riwayat masa lalu dari pasangan dari orang lain. Pada kenyataannya cerita yang diperoleh dari pihak ketiga sudah tidak realistis. Pertengkaran yang dipicu karena adanya cerita masing-masing pihak perpotensi mendorong terjadinya perselisihan dan kekerasan. 7.Masalah Salah Paham Suami dan istri ibarat dua buah kutub yang berbeda.Oleh karena itu usaha penyelesuaian diri serta saling menghormati pendapat masing-masing pihak, perlu dipelihara. Karena kalau tidak ,akan timbul kesalah pahaman.Kondisi ini sering dipicu oleh hal-hal yang sepele,namun kalau dibiarkan terus tidak akan diperoleh tiitk temu. Kesalah pahaman yang tidak segera dicarikan jalan keluar atau segera diselesaikan, akan menimbulkan pertengkaran dan dapat pula memicu terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri. 8.Masalah Tidak Memasak Memang ada suami yang mengatakan hanya mau makan masakan istrinya sendiri,sehingga kalau istri tidak bisa masak atau tidak sedang ingin memasak makanan maka akan terjadi pertengkaran. Sikap suami seperti ini menunjukkan sikap dominan. Karena saat ini istri tidak hanya dituntut diranah domestik saja tetapi juga sudah masuk di ranag publik. Perbuatan suami tersebut menunjukkan sikap masih mengharapkan istri berada diranah domestik atau dalam rumah tangga saja. Istri yang merasa tertekan dengan sikap ini akan melawan dan akibatnya timbul pertengkaran mulut yang berakhir dengan kekerasan yang dilakukan terhadap istri. Tentunya beberapa faktor ini tidak menjadi “main faktor”, tapi hal-hal diatas merupakan faktor yang paling banyak terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri. Dengan etiologi kriminal, dapat pula dipetakan sejauh mana faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri itu dapat diantisipasi ke depannya. Selain pemikiran diatas, dapat pula dipakai pemikiran yang menggunakan pendekatan naturalistik, yaitu: 1. Kriminologi Klasik; 2. Kriminologi Positif; dan 3. Kriminologi Kritis. Kriminologi klasik ini mendasarkan bahwa intelegensi dan rasionalitas merupakan ciri fundamental manusia dan menjadi dasar bagi penjelasan perilaku manusia baik yang bersifat perorangan maupun yang bersifat kelompok. Dengan kriminologi aliran klasik ini kasus kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri dapat dibedah melalui intelegensia manusia. intelegnesia manusia menjadi kekuatan untuk membedah suatu kasus kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri itu. Apakah kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya perbuatan menyimpang, atau kejahatan. Melalui kriminologi aliran klasik hal itu dapat dipecahkan. Kejahatan didefinisikan sebagai setiap pelanggaran terhadap perbuatan yang dilarang undanag-undang pidana, penjahat adalah orang yang melakukan kejahatan. Oleh karena itu, secara rasional tanggapan yang diberikan oleh masyarakat terhadap hal ini adalah dengan meningkatkan kerugian yang harus dibayar dan menurunkan keuntungan yang diperoleh dari kejahatan agar orang-orang tidak memiliki untuk melakukan kejahatan. Dalam hubungan ini maka tugas kriminologi adalah untuk membuat pola dan menguji sistem hukuman yang dapat meminimalkan terjadinya kejahatan. Aliran kriminologi positivis ini menolak penjelasan yang berorientasi pada alam pada umumnya. Aliran positivisme ini menolak penjelasan yang berorientasi pada nilai dan mengarahkan pada aspek-aspek yang dapat diukur dari pokok persoalannya dalam usaha mencari hubungan sebab akibat. Untuk itu tugas dari kriminologi adalah menganalisa sebab-sebab perilaku kejahatan melalui studi ilmiah terhadap ciri-ciri penjahat dari aspek sosial, fisik, sosial dan kultural. Kasus kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri dapat memecahkan pula kebuntuan mengenai pelaku kekerasan tersebut, teristimewa secara makro, tidak sekedar aspek yuridis semata, tetapi aspek sosiologis pula. Mungkin yang lebih mendetail untuk membedah kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri itu, dapat dipergunakan kriminologi kritis. Dalam pemikiran kriminologi kritis yang dikenal dalam berbagai disiplin ilmu seperti politik, ekonomi, sosiologi dan filsafat muncul pada beberapa dasawarsa terakhir ini. Aliran pemikiran kritis tidak berusaha menjawab pertanyaan apakah perilaku manusia itu bebas atau ditentukan akan tetapi lebih mengarahkan pada mempelajari proses-proses manusia dalam membangun dunianya dimana dia hidup. Oleh karenanya kriminologi kritis mempelajari proses-proses dimana kumpulan tertentu dari orang-orang dan tindakan-tindakan ditunjuk sebagai kriminal pada waktu dan tempat tertentu. Kriminologi kritis tidak hanya mempelajari mengenai perilaku dari orang-orang yang didefinisikan sebagai kejahatan, akan tetapi juga dari perilaku dari agen-agen kontrol sosial aparat penegak hukum, disamping mempertanyakan dijadikannya tindakan-tindakan tertentu sebagai suatu kejahatan. Menurut kriminologi kritis, tingkat kejahatan dan ciri-ciri perilaku ditentukan oleh bagaimana undang-undang disusun dan dijalankan. Hal ini mengandung arti bahwa ciri-ciri pelaku kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya yang digolongkan melakukan suatu kejahatan adalah bagaimana undang-undang tersebut mengatur dan menggolongkan setiap tindakan yang dilarang dalam suatu rumusan undang-undang. Adapun tindak lanjut dari setiap peraturan yang telah dirumuskan dalam undang-undang ini dilaksanakan sesuai dengan aturan undang-undang tanpa adanya perbedaan antara masyarakat satu dengan yang lain. Sehubungan dengan hal tersebut diatas maka tugas kriminologi kritis adalah menganalisis proses-proses bagaimana cap atau label jahat pelaku kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap itri tersebut diterapkan terhadap tindakan dan orang-orang tertentu. Pendekatan kriminologi kritis ini dapat dibedakan dalam 2 dua metode pendekatan yakni pendekatan interaksionis dan pendekatan konflik. Pendekatan interaksionis ini pada dasarnya berusaha untuk menentukan tindakan-tindakan dan orang-orang tertentu diidentifikasikan sebagai kriminal di masyarakat tertentu dengan cara mempelajari “persepsi” makna kasus kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang dimiliki masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian untuk memahami kejahatan, perlu dipelajari proses-proses yang mempengaruhi pembentukan undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tinggi yang dalam hal ini merupakan undang-undang yang mengatur kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri, yakni dijadikannya perbuatan-perbuatan tertentu sebagai tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri maupun dalam bekerjanya hukum yakni proses-proses yang menjadikan orang-orang tertentu sebagai pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Hubungannya dengan kasus kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri dalam proses kriminalisasi secara umum dinyatakan dengan digunakan konsep kekerasan dalam rumah tangga sebagai penyimpangan deviance dan reaksi sosial. Kekerasan dalam rumah tangga dipandang sebagai bagian dari penyimpangan sosial dalam arti bahwa tindakan yang bersangkutan “berbeda” dari tindakan yang dipandang sebagai tindakan normal di masyarakat dan terhadap tindakan yang dianggap berbeda tersebut dikenakan reaksi sosial yang negatif dalam arti secara umum masyarakat memperlakukan orang-orang tersebut sebagai “berbeda” atau “jahat”. Dasar pemikiran interaksionis ini bersumber pada “symbolic interactionism” yang menekankan bahwa “sumber” perilaku manusia tidak hanya ditentukan oleh peranan kondisi-kondisi sosial akan tetapi juga peranan individu dalam menangani, menafsirkan dan berinteraksi dengan kondisi-kondisi yang bersangkutan. Menurutnya manusia sebagai pencipta dan sekaligus sebagai produk dari lingkungannya dapat saja melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Demikian halnya dengan pendekatan konflik, orang dianggap berbeda jika melakukan kekerasan terhadap istrinya ,dikarenakan mereka memiliki perbedaan, kekuasaan dalam mempengaruhi perbuatannya dan bekerjanya hukum. Secara umum dikatakan bahwa mereka yang mempunyai tingkat kekuasaan yang lebih besar, mempunyai kedudukan yang lebih baik menguntungkan dalam mendefinisikan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai dan kepentingannya dapat melakukan kekerasan terhadap istrinya sebagai kejahatan. Secara umum dapat dikatakan bahwa kejahatan termasuk kekerasan dalam rumah tangga merupakan kebalikan dari kekuasaan. Semakin besar kekuasaan yang dimiliki seseorang ayahanak laki-laki dalam system patriarkat, semakin besar kemungkinannya untuk melakukan suatu kejahatan dan begitu pula sebaliknya. Pandangan dengan mendasarkan pada pendekatan konflik ini terletak pada teori-teori interaksi sosial mengenai pembentukan kepribadian dan konsep “proses sosial” dan perilaku kolektif. Pandangan ini mengasumsikan bahwa manusia selalu merupakan makhluk yang terlibat dalam kelompoknya dalam arti hidupnya merupakan bagian produk dari kelompok kumpulannya. Pandangan ini juga beranggapan bahwa masyarakat merupakan kumpulan kelompok-kelompok yang bersama-sama memikul perubahan, namun mampu menjaga keseimbangan dalam menghadapi kepentingan-kepentingan dan usaha-usaha dari kelompok yang bertentangan. Dalam kaitannya dengan perkembangan hukum pidana, kriminologi dan hukum pidana merupakan suatu unsur yang saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain dalam rangka penegakan hukum. Hal ini berarti hasil-hasil dari penyelidikan kriminologi khususnya mengenai kasus kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya .sehingga dapat membantu pemerintah dalam menangani masalah-masalah kejahatan, terutama melalui hasil- hasil studi di bidang etiologi kriminal dan penologi. Selain itu dalam suatu penelitian kriminologi dapat dipakai untuk membantu pembuatan undang-undang pidana kriminalisasi dan pencabutan undanag-undang dekriminalisasi. B.Dalam Perspektif Keagamaan Kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri dapat juga dipengaruhi dari perspektif keagamaan. Faktor-faktor yang sering ditemui dalam kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang berbenturan langsung dengan keagamaan yaitu : 1. Pendidikan dan Pemahaman Keagamaan yang Kurang Dalam sebuah keluarga hendaknya memiliki pendidikan dan pemahaman keagamaan yang cukup. Karena kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri juga dipengaruhi oleh seberapa besarnya pendidikan agama dan ahlak dari seseorang manusia.Dalam kenyaataannya orang-orang yang memiliki keimanan yang tinggi lebih dapat menahan hawa nafsunya. Dalam kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya tidah dapat dijauhkan dari masalah keagamaan seseorang. Para pelaku kekerasan terhadap istrinya sendiri seperti yang dijelaskan diatas baik mengenai faktor ekonomi, cemburu dan miras, semua dapat dicegah apabila keimanan dan ahlak seorang suami sudah kuat. Seorang suami akan berpikir dua kali dalam mengambil sikap untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap istrinya apabila pendidikan keagamaannya sudah kuat.hal ini merupakan fenomena dalam kehidupan bermasyarakat sekarang ini. Masyarakat yang rendah pendidikan agamanya, tidak akan memikirkan dan menyelesaikan masalah dengan pikiran yang baik dan jernih karena telah dikuasai oleh hawa nafsunya sendiri. Seorang yang melakukan kekerasan terhadap istrinya kadang kala melupakan adanya dampak lain terhadap kehidupan keluarganya termasuk masa depan anak dan perkawinannya. Dalam perspektif keagamaan seorang suami harus mengetahui hak-hak bagi istrinya dan sebaliknya sehingga terjauh dari perbuatan yang menjurus pada kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri. Suami dan juga istri harus mengetahui hak-hak suami istri dalam rumah tangga, yang bertujuan untuk mencapai kebahagiaan, ketentraman dan keberlangsungan keluarga. Seseorang laki-laki dalam rumah tangga harus memelihara kasih sayang dalam rumah tangga dan menjaga istrinya dari segala sesuatu hal yang dapat merusak dan mencemarkan kehormatannya. Berkenaan dengan hal tersebut, seorang laki-laki atau suami dalam rumah tangga haruslah memperlakukan istrinya dengan cara yang baik dan mampu memberikan nasehat kepada istrinya dengan cara yang baik pula. Bukan dengan sebaliknya ,memperlakukan istri dengan kejam dan tidak berperi kemanusaan. 33 33 Khalis Mutashim ,Jangan Lupa Wahai Muslimin, Jakarta: Alifbata, 2007 halaman 170. Begitu pula dengan istri harus mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajibannya dan juga memiliki latar belakang keagamaan yang kuat agar tidak melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan suami menjadi marah sehingga terjadi kekerasan terhadap dirinya sebagai istri. Jadi, pendidikan agama seseorang juga mempengaruhi akan terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga. 2. Penapsiran Yang Salah Dari Suami. Indonesia sebagai mayoritas penduduk beragama Islam seringkali terbentur dalam masalah penapsiran-penapsiran yang kurang benar dalam sebuah isi dari Al-Quran .Banyak ayat al-Qur’an yang menyinggung persoalan kekerasan terhadap perempuan menyangkut kekerasan fisik. Al-Qur’an berbicara mengenai pemukulan suami yang nunyuz, hal ini dijelaskan dalam Q.S. An Nisa’ ayat 34.Yang Isinya adalah: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka laki-laki atas sebagian yang lain wanita, dan karena mereka laki-laki telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shaleh, ialah taat kepada Allah lagi memelihara diri. Ketika suaminya tidak ada oleh karena Allah telah memelihara mereka wanita-wanita yang kamu khawatiri Nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka ditempat tidur mereka, dan pukulah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkanya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” Q.S. Surat an Nisa’Ayat 34. 34 Sebab sebuah himbauan yang tersurat maupun tersirat dalam ayat itu adalah bahwa kaum pria harus menjadi pemimpin bagi kaum wanita dengan memberikan perlindungan dan pemeliharaan terhadap mereka bukanya untuk menguasai ataupun memonopoli. Surat An-Nisa ayat 34 di atas merupakan salah satu ayat yang membahas kelebihan derajat pria dari wanita dalam hal kepemimpinan. Jadi kemudian beranggapan bahwa dengan dasar tersebut, kaum laki-laki berhak berbuat seenak hati terhadap kaum wanita. 35 Di antara tugas kaum laki-laki adalah melindungi kaum perempuan. Ini sebabnya mengapa hanya diwajibkan kepada laki-laki, tidak kepada perempuan, 34 Depertemen Agama RI, AlQuran dan Terjemahnya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemah al Qur’an, 1997, halaman. 85. 35 Salim Bahreisy, Tafsir Ibnu Kasir, Jilid II, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1990, halaman. 387. begitu juga menafkahi keluarga. Inilah yang lebih banyak dalam harta warisan, tetapi di luar hak-hak yang disebutkan hak mengendalikan, menuntut dan memimpin maka dalam masalah hak ataupun kewajiban adalah sama. Ayat ini sebagai landasan bahwa kaum laki-laki berkewajiban memelihara dan menjaga perempuan karena laki-laki diberi kelabihan jasmani, ayat ini juga sebagai pijakan bagi suami untuk membari pendidikan kepada istri mereka yang membangkang dengan cara menasehati. Dan jika dengan nasehat dia masih membangkang maka pukulah mereka. Akan tetapi pukulan itu tidak boleh terlalu menyakitkan dan melukai. Demikianlah seharusnya hubungan suami istri dalam rumah tangga Islam, namun dalam kenyataan pasangan suami istri itu kadang-kadang lupa menerapkan petunjuk-petunjuk tersebut, dan tergelincir dalam pertengkaran di antara mereka dan terjadilah apa yang tidak dikehendaki serta yang paling dibenci Allah SWT yaitu putusnya hubungan pernikahan. Hal tersebut dikarenakan sempitnya dan kurang telitinya menapsirkan isi dari Al-Quran, suami sering kali menganggap dirinya adalah segalanya dalam keluarga dan ini berlanjut terus hingga dalam masyarakat. Dalam penapsiran yang salah suami merasa “lebih” dalam segala hal dibandingkan dengan istri. Oleh karena itu,suami menginginkan segala kehendaknya menjadi semacam “undang-undang”, dimana semua orang yang tinggal dalam rumah tangga tunduk kepadanya. Dengan demikian kalau ada perlawanan dari istri atau penghuni rumah yang lain ,maka akan timbul pertengkaran yang diikuti dengan timbulnya kekerasan. 36 Orang tua dari pihak suami maupun istri dapat menjadi pemicu pertengkaran dan menyebabkan keretakan hubungan diantara suami dan istri.Kadang kala orang tua selalu ikut campur dalam rumah tangga anaknya, misalnya meliputi masalah keuangan, pendidikan anak atau pekerjaan, seringkali memicu pertengkaran yang berakhir kepada kekerasan yang dilakukan seorang suami terhadap istrinya. Padahal sudah seharusnya orang tua tidak terlalu mencampuri masalah rumah Pada umumnya tindak kekerasan fisik selalu didahului dengan kekerasan verbal misalnya saling mencaci, mengumpat, mengungkit-ungkit masa lalu atau mengeluarkan kata-kata yang menyinggung perasaan salah satu pihak. C.Lingkungan Sosial Yang Ada Dalam Masyarakat. Selain hal-hal tersebut diatas lingkungan sosial yang ada dalam masyarakat juga menjadi faktorpemicu terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri. Seperti adanya pihak ketiga yang membuat retaknya hubungan perkawinan yang berujung pada terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri. Seperti beberapa masalah-masalah, yaitu: 1.Masalah Orang Tua 36 Murtia Hadiati,op.cit.,halaman .42 tangga dari anaknya, walaupun itu demi kebaikan si anak tetapi kadang kala orang tua lupa kalau anaknya telah memiliki sebuah masa depan yang harus dijalaninya bersama dengan pasangannya dalam sebuah rumah tangga. 2.Masalah Saudara Sepertinya halnya orang tua, saudara yang tinggal dalam satu atap maupun tidak, dapat memicu keretakan hubungan dalam keluarga dan hubungan suami istri. Campur tangan dari saudara dalam kehidupan rumah tangga sering sekali menjadi penyebab terjadinya jurang pemisah yang menimbulkan semacam jarak antara suami dan istri. Kondisi seperti ini kadang memang kurang disadari oleh suami maupun istri. Kalau keadaan semacam ini dibiarkan tanpa adanya jalan keluar , akhirnya akan menimbulkan ketegangan dan pertengkaran-pertengkaran. Apalagi kalau disertai dengan kata-kata yang menyakitkan atau menjelek-jelekkan keluarga masing-masing. Maka hal tersebut paling sedikit akan menyebabkan kekerasann psikis. 3.Masalah tetangga dan teman . Sering kali dalam sebuah rumah tangga masalah tetangga dan teman terdekat dapat menjadi salah satu penyebab retaknya hubungan dalam suatu rumah tangga .Dalam hal ini tetangga atau teman terdekat dapat saja menghasut dan membuat situasi dalam rumah tangga semakin sulit, seperti adanya gunjingan-gunjingan yang mengenai keharmonisan rumah tangga, masalah harta atau keuangan dalam rumah tangga dan keinginan untuk dapat mencapai atau melebihi apa yang dimiliki oleh tetangga atau teman terdekat. Teman juga dapat menjadi penyebab masalah, seperti mengajak kehal-hal yang tidak pantas dilakukan seperti mengajak untuk minum-minuman keras, berjudi, serta aktipitas lain yang salah dan dapat merugikan .maka hendaknya lingkungan terdekat seperti tetangga dan teman-teman terdekat ini dapat memberikan motivasi kepada pasangan suami dan istri untuk menjalani kehidupan rumah tangganya dengan baik . Dari ketiga perspektif diatas,baik dalam perspektif kriminalogi, keagamaan dan dari lingkungan sosial yang ada dalam masyarakat, ketiganya saling berkaitan dan saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnnya.

BAB IV PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA KEKERASAN