Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pencurian Dalam Keluarga (Kajian Dari Aspek Hukum Pidana Dan Kriminologi Dalam Kasus No.490/Pid.B/2005/PN. Bekasi )

(1)

PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENCURIAN DALAM KELUARGA (KAJIAN DARI ASPEK HUKUM PIDANA DAN KRIMINOLOGI

DALAM KASUS No.490/Pid.B/2005/PN. Bekasi ) SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH: RISKA SINAGA

070200046 HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENCURIAN DALAM KELUARGA (KAJIAN DARI ASPEK HUKUM PIDANA DAN KRIMINOLOGI

DALAM KASUS No.490/Pid.B/2005/PN. Bekasi ) SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH: RISKA SINAGA

070200046 HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(Dr. M. HAMDAN, SH. MH) NIP: 195703261986011001

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

(M. Nuh, SH. M.Hum) (Edi Yunara, SH, M. Hum )


(3)

Kata Pengantar

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih yang telah memberi berkat, kasih dan karunia yang begitu besar kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Ucapan syukur yang tidak terhingga juga penulis ucapkan kepada Yesus Kristus dan Bunda Maria buat penyertaannya sepanjang hidup yang dijalani oleh penulis.

Membuat suatu karya ilmiah merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa yang akan menyelesaikan studi di Perguruan Tinggi khususnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara , dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum.

Dalam kesempatan ini penulis memilih judul “Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pencurian Dalam Keluarga (Kajian Dari Aspek Hukum Pidana Dan Kriminologi Dalam Kasus No.490/Pid.B/2005/PN. Bekasi )

Penulis telah berusaha keras untuk menghasilkan karya tulis yang baik, namun penulis menyadari bahwa karya tulis ini jauh dari sempurna, baik dari segi ilmiahnya maupun dari segi penulisan tata bahasanya. Hal tersebut disebabkan kurangnya pengetahuan dan kemampuan dari penulis. Untuk itu kritik maupun saran yang membangun sangat diharapkan yang akan menjadi masukan yang berharga untuk kesempurnaan karya ilmiah ini.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan studi dan skripsi ini:

1. Untuk kedua orang tua yang paling berharga dan berarti dalam hidupku yang memberikan doa dan kasih sayang yang begitu besar dan tidak ternilai sepanjang hidupku. Buat Bapakku F.Sinaga dan Mamakku yang tercinta L sitanggang.

2. Bapak Prof. Runtung Sitepu, SH. MH, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan kepemimpinannya memajukan Fakultas Hukum;


(4)

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH. M. Hum, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak M. Husni, SH. M. Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Bapak M Hamdan, SH. MH selaku Ketua Pelaksana Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara;

7. Ibu Liza Herwina, SH, M. Hum selaku Sekertaris Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Bapak H. Abul Khair SH. M. Hum, dan Ibu Rafiqoh Lubis, SH.M.Hum selaku Dosen Pembimbing I dan Dosen Pembimbing II yang telah banyak membantu memberi bimbingan, masukan, dan koreksi yang sangat berguna bagi penulis;

9. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH. M.Hum selaku Dosen Wali Penulis yang selalu memberikan dukungan moril dan setiap konsultasi akademis dalam menjalankan studi;

10. Bapak dan Ibu Dosen segenap Civitas Akademia Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara selaku penyelenggara pendidikan dalam memberikan ilmu pengetahuan yang berguna;

11. Bapak Ketua Pengadilan Negeri Depok dan Kepala Kejaksaan Negeri Depok yang memberikan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

12. Dan buat teman-temanku Ima Futri Barus (cimeng) , Arisanta Siambaton (san2), Masnur Sidauruk, Yudika D M Htb, Widya L Silaban, Fitri Wulandari Htb, yang menemaniku melalui hari-hari di Fakultas Hukum USU. Sebuah kebahagiaan untukku karena kita memulai bersama dan berakhir bersama.


(5)

13. Buat Beni Supriadi Sarumaha, Bardixcorry, Gerhat Siagian, Rolly, Aris Shandy, Putra, Andre, Ivan, Olo, Andi Bukit dan teman-teman stambuk 07 yang banyak memberiku semangat selama penyusunan skripsi ini;

14. Terima kasih dan mohon maaf penulis haturkan kepada pihak yang membantu dalam kehidupan penulis hingga dapat diselesaikannya skripsi ini.

Akhirnya penulis mengucapkan banyak terima kasih dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua khususnya untuk perkembangan ilmu pengetahuan.

Medan, Maret 2011 Hormat Penulis


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI

BAB I PENDAHULUAN

a. Latar Belakang ………

1

b. Permasalahan………

5

c. Tujuan dan Manfaat Penelitian………

5

d. Keaslian Penulisan………

6

e. Tinjauan kepustakaan………

7

1. pengertian hukum pidana dan kriminologi…………

7

2. pengertian pencurian………

13

3. pengertian delik aduan………

16

4 . pengertian keluarga dan dalam lingkup keluarga……

26

f. Metode Penelitian……….

28

g. Sistematika Penelitian………

29

BAB II PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP DELIK PENCURIAN

DALAM KELUARGA

a.

Pencurian dalam keluarga merupakan delik aduan………

32

b.

Proses Pemeriksaan Pencurian Dalam Keluarga………

36

1.

Proses penyidikan………

38

-

Kewenangan POLRI menurut KUHP……… 38

-

Hal-hal yang dapat dilakukan oleh penyidik terhadap terjadinya

suatu delik aduan………

49

2.

Penuntutan terhadap pelaku pencurian dalam rumah tangga..

53

c.

Pencabutan Delik Aduan Dan Akibatnya Dalam Peradilan Pidana. 56


(7)

BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MENJADI PENYEBAB PENCURIAN

DALAM KELUARGA DITINJAU DARI SEGI KRIMINOLOGI DAN

AKIBATNYA

a.

Sebab-sebab kejahatan………

58

b.

Faktor- faktor terjadinya pencurian dalam keluarga………

64

c.

Akibat yang ditimbulkan dari perbuatan pencurian dalam

keluarga……….

69

BAB IV UPAYA-UPAYA PENANGGULANGAN KEJAHATAN

PENCURIAN DALAM KELUARGA

a.

Usaha Preventif……….

75

b.

Usaha Represif………..

79

BAB V KASUS DAN ANALISA KASUS

a.

Kasus ………...

85

b.

Analisa kasus………

106

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

a.

Kesimpulan ………

112


(8)

ABSTRAK *Riska Sinaga **M. Nuh, SH, M.Hum ***Edi Yunara, SH, M.Hum

Penelitian ini mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai bagaimana pengaturan dan penerapan hukum pidana tehadap pencurian dalam keluarga, apa yang menjadi penyebab terjadinya pencurian dalam keluarga, dan bagaimana penanggulangan pencurian dalam keluarga. Dalam penulisan ini menggunakan data sekunder, data sekunder diperoleh dengan jalan studi kepustakaan. Data sekunder yang dipakai meliputi bahan hukum primer yaitu Kitab undang Hukum Acara Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang-Undang-undang lain yang berhubungan dengan materi skripsi ini. Bahan hukum sekunder adalah buku-buku refrensi dan Putusan Pengadilan Negeri, khususnya mengenai pencurian dalam keluarga.

Pencurian dalam keluarga delik aduan relatif yang diatur dalam Pasal 367 KUHP. Penyelidikan dan penyidikan dilakukan oleh Polri serta penuntutan dilakukan oleh penuntut umum. Pencabutan pengaduan tidak ada akibat hukumnya pada pemeriksaan di muka pengadilan

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pencurian dalam keluarga ialah karena faktor intern berupa ketidakseimbangan mental, kurang harmonisnya keluarga, rasa ingn memiliki, dan mudah dipengaruhi,sedangkan faktor ekstern dapat berupa keadaan ekonomi, keadaan lingkungan, dampak urbanisasi dan lain-lain.

Penganggulangan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya pencurian dalam keluarga adalah dengan upaya penanggulangan secara preventif dan represif, antara lain dengan cara bergabung dengan organisasi yang baik seperti karang taruna, pramuka, masuk ke pesantren kilat, mengadukan pelaku tindak pidana kepada yang berwenang agar memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana dan memberikan rasa takut kepada orang yang mempunyai potensi untuk melakukan kejahatan.

*Riska Sinaga

** M. Nuh, SH, M.Hum *** Edi Yunara, SH, M. Hum


(9)

ABSTRAK *Riska Sinaga **M. Nuh, SH, M.Hum ***Edi Yunara, SH, M.Hum

Penelitian ini mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai bagaimana pengaturan dan penerapan hukum pidana tehadap pencurian dalam keluarga, apa yang menjadi penyebab terjadinya pencurian dalam keluarga, dan bagaimana penanggulangan pencurian dalam keluarga. Dalam penulisan ini menggunakan data sekunder, data sekunder diperoleh dengan jalan studi kepustakaan. Data sekunder yang dipakai meliputi bahan hukum primer yaitu Kitab undang Hukum Acara Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang-Undang-undang lain yang berhubungan dengan materi skripsi ini. Bahan hukum sekunder adalah buku-buku refrensi dan Putusan Pengadilan Negeri, khususnya mengenai pencurian dalam keluarga.

Pencurian dalam keluarga delik aduan relatif yang diatur dalam Pasal 367 KUHP. Penyelidikan dan penyidikan dilakukan oleh Polri serta penuntutan dilakukan oleh penuntut umum. Pencabutan pengaduan tidak ada akibat hukumnya pada pemeriksaan di muka pengadilan

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pencurian dalam keluarga ialah karena faktor intern berupa ketidakseimbangan mental, kurang harmonisnya keluarga, rasa ingn memiliki, dan mudah dipengaruhi,sedangkan faktor ekstern dapat berupa keadaan ekonomi, keadaan lingkungan, dampak urbanisasi dan lain-lain.

Penganggulangan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya pencurian dalam keluarga adalah dengan upaya penanggulangan secara preventif dan represif, antara lain dengan cara bergabung dengan organisasi yang baik seperti karang taruna, pramuka, masuk ke pesantren kilat, mengadukan pelaku tindak pidana kepada yang berwenang agar memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana dan memberikan rasa takut kepada orang yang mempunyai potensi untuk melakukan kejahatan.

*Riska Sinaga

** M. Nuh, SH, M.Hum *** Edi Yunara, SH, M. Hum


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pencurian adalah salah satu jenis kejahatan terhadap kekayaan manusia yang diatur dalam Bab XXII Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan merupakan masalah yang tak habis-habisnya. Pencurian sudah merajalela dikalangan masyarakat, baik di desa, di kota, maupun di negara lain.

Menurut KUHP pencurian adalah mengambil sesuatu barang yang merupakan milik orang lain dengan cara melawan hak, dan untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada pasal 362 KUHP.

Pasal 362 KUHP yang berbunyi :

“ Barang siapa yang mengambil sesuatu barang yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum karena pencurian dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900,-“.

Tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok seperti yang diatur Pasal 362 KUHP terdiri dari unsur subjektif yaitu dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan hukum dan unsur-unsur objektif yakni, barang siapa, mengambil, sesuatu benda dan sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain.1

Agar seseorang dapat dinyatakan terbukti telah melakukan tindak pidana

1 P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Harta


(11)

pencurian, orang tersebut harus terbukti Telah memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang terdapat di dalam rumusan pasal 362 KUHP.

Salah satu bentuk dari pencurian yang diatur dalam Bab XXII Buku II KUHP adalah pencurian dalam lingkup keluarga, mengenai hal ini diatur dalam Pasal 367 KUHP.

Bunyi dari Pasal 367 KUHP adalah :

(1) Jika pembuat atau pembantu salah satu kejahatan yang diterangkan dalam bab ini ada suami (isteri) orang yang kena kejahatan itu, yang tidak bercerai meja makan dan tempat tidur atau bercerai harta benda, maka pembuat atau pembantu itu tidak dapat dituntut hukuman.

(2) Jika ia suaminya (isterinya) yang sudah diceraikan meja makan, tempat tidur atau harta benda, atau sanak atau keluarga orang itu karena kawin, baik dalam keturunan yang lurus, maupun keturunan yang menyimpang dalam derajat kedua, maka bagi ia sendiri hanya dapat dilakukan penuntutan, kalau ada pengaduan dari orang yang dikenakan kejahatan.

(3) Jika menurut adat istiadat keturunan ibu, kekuasaan bapa dilakukan orang lain dari bapa kandung, maka ketentuan dari ayat kedua berlaku juga bagi orang itu.

Dari ketentuan Pasal 367 KUHP tersebut dapat diketahui bahwa pencurian dalam keluarga merupakan delik aduan, artinya ada atau tidaknya tuntutan terhadap delik ini tergantung persetujuan dari yang dirugikan/ korban/ orang yang ditentukan oleh undang-undang.

Delik aduan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 367 KUHP merupakan delik aduan relatif yakni delik yang adanya suatu pengaduan itu hnaya merupakan suatu syarat agar terhadap pelaku-pelakunya dapat dilakukan penuntutan.

Pencurian dipandang dari segi kriminologi maksudnya mencakup hal-hal sebagai berikut :


(12)

2. Apa sebab-sebab dilakukan pencurian itu

3. Bagaimana dilakukan pencurian itu

4. Apa akibat pencurian itu

5. Bagaimana tipe-tipe dari pelaku pencurian itu

6. Bagaimana cara mengatasi pencurian itu

Dewasa ini semakin banyak ditemukan pencurian yang terjadi di dalam keluarga, dimana pelaku-pelaku pencurian tersebut adalah anggota dari keluarga itu sendiri. Tidak jarang pencurian tersebut dilakukan oleh suami, istri, anak, cucu atau yang lainnya di dalam keluarga tersebut.

Adapun kasus pencurian dalam keluarga seperti kasus dengan terdakwa Imam Ardiansyah dan Susana isterinya.pada tanggal 22 Januari Imam Ardiansyah dan isterinya Susiana mengunjungi rumah almarhum orang tua mereka yang sedang ditempati oleh Haznil, Zaenal, Zurhidah dan Farida (kakak dari Imam Ardiansyah). Di rumah tersebut dibuka usaha katering yang merupakan peninggalan orang tua mereka. Ketika hendak pulang, Imam Ardiansyah dan Susana mengambil barang dari rumah tersebut berupa 4 buah Melon, 2 buah Pepaya, 15-20 buah telur puyuh, 10 potong ayam dan 2 dus aqua. Atas perbuatan terdakwa, korban (kakak terdakwa) mengalami kerugian sebesar Rp.750.000,- (tujuh ratus ribu rupiah). Atas perbuatan tersebut korban mengadukan perbuatan terdakwa kepada Polisi

Kasus pencurian dalam lingkungan keluarga lainnya adalah kasus dengan terdakwa Susianti Hambali yang diadili karena adanya pengaduan dari suaminya Anton Julius Darmawan. terdakwa dituntut telah melakukan pencurian berupa 1 (satu) buah kompor gas, 1 (satu) buah panggangan roti dan 1 (satu) buah panci. Peristiwa pencurian itu terjadi pada 27 Agustus 2001, dimana pada saat kejadian tersebut Susianti Hambali


(13)

(terdakwa) dan Anton Julius Darmawan belum sah bercerai namun sudah bercerai meja makan, tempat tidur selama 3 tahun. Korban merasa keberatan atas perbuatan terdakwa kemudian meminta kepada Polisi untuk memeriksa lebih lanjut.

Kasus pencurian dalam lingkup keluarga yang baru-baru ini terjadi adalah kasus pencurian yang dilakukan oleh Sean Azad (anak dari Ayu Azhari). Sean azad mencuri uang Ayu Azhari sebesar $ 50. Keberatan atas perbuatan anaknya kemudian Ayu Azahari mengadukan anaknya kepada Polisi.

Mengingat beberapa kasus yang telah dipaparkan sebelumnya dan melihat pada kenyataannya masih ada perbuatan pencurian dalam keluarga yang tidak diselesaikan melalui pengadilan, maka hal itulah yang mendorong penulis untuk menulis skripsi ini dengan judul “PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENCURIAN DALAM KELUARGA (KAJIAN DARI ASPEK HUKUM PIDANA DAN KRIMINOLOGI DALAM KASUS N0.490/Pid.B/2007/ PN. Bekasi), agar diperoleh gambaran yang jelas mengenai apa yang menjadi penyebab seseorang melakukan pencurian, bagaimana penerapan hukum pidana terhadap perbutan pencurian dalma keluarga dan bagaimana penanggulangan terjadinya kejahatan tersebut, serta agar terdapat jaminan terhadap harta benda yang dimiliki oleh setiap anggota keluarga. Yang pada akhirnya tujuan dari hukum itu sendiri yaitu menciptakan masyarakat yang adil,, tertib, tentram, makmur dan sejahtera.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal diatas maka yang menjadi perumusan masalah dalam penulisan adalah :

1. bagaimana pengaturan dan penerapan hukum pidana terhadap pencurian dalam keluarga.


(14)

2. faktor-faktor apa yang menyebabkan pencurian dalam keluarga ditinjau dari segi kriminologi.

3. apa upaya-upaya yang dilakukan dalam menanggulangi pencurian dalam keluarga.

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan penulisan

1. Untuk mengetahui apa yang menjadi faktor-faktor terjadinya pencurian dalam keluarga.

2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan hukum pidana dalam tindak pidana pencurian dalam keluarga.

3. Untuk mengetahui bagaimana cara-cara untuk menanggulangi perbuatan

pencurian dalam keluarga.

Manfaat Penulisan

1. Manfaat Teoritis

Karya tulis yang berupa skripsi ini ini diharapkan akan bermanfaat bagi kalangan akademis pada umumnya dan kepada masyarakat pada khususnya, menambah dan memperkaya literatur-literatur yang telah ada sebelumnya, khususnya mengenai pencurian dalam keluarga.

2. Manfaat Praktis

Karya tulis ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada aparat penegak hukum dan masyarakat dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya kejahatan terhadap harta kekayaan, khususnya perbuatan pencurian dalam keluarga


(15)

D. Keaslian Penulisan

Dalam penyusunan skripsi ini pada dasarnya penulis membuatnya sendiri dengan melihat dasar-dasar yang telah ada dan tersedia baik melalui literatur yang diperoleh dari perpustakaan atau buku-buku dan juga media massa, baik cetak maupun media elektronik, yang dituangkan dalam skripsi ini serta ditambah lagi dengan hasil studi kasus dari Pengadilan Negeri. Bila ternyata terdapat skripsi yang sama sebelum skripsi ini dibuat maka saya bertanggungjawab sepenuhnya.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Hukum Pidana Dan Kriminologi Pengertian hukum pidana

Pengertian hukum pidana sebagai objek studi, dapat dikutip pendapat

Enschede-Heijder yang mengatakan bahwa menurut metodenya, hukum pidana dapat dibedakan:2

I. Ilmu-ilmu hukum pidana sistematik;

a. Hukum pidana-hukum pidana materil;

b. Hukum acara pidana-hukum formil;

II. Ilmu hukum pidana berdasarkan pengalaman antara lain:

a. Kriminologi- ilmu pengetahuan tentang perbuatan jahat dan kejahatan;

b. Kriminalistik-ajaran tentang pengusutan

c. Psikiatri forensik dan psikologi forensik;

d. Sosiologi hukum pidana-ilmu tentang hukum pidana sebagai gejala masyarakat, yang mengenai bekerjanya pelaksanaan hukum pidana dalam arti yanhg luas di


(16)

dalam masyarakat, jadi tidak bekerjanya terhadap tersangka atau pembuat. Maksudnya penaatan hukum pidana di dalam masyarakat, tetapi tidak oleh tersangka atau pembuat. Ini berarti bahwa secara sosiologis, masyarakat pada umumnya menaati ketentuan hukum pidana itu. Hanya sebagian kecil yang melanggarnya yang disebut tersangka atau pembuat. Besar kecilnya pelanggaran itu ditentukan oleh ruang, waktu, dan orangnya.

III. Filsafat hukum pidana

Dalam membagi hukum pidana dalam arti luas menjadi hukum pidana materil dan hukum pidana formil, Simons menunjukkan bahwa hukum pidana materil mengandung petujuk-petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan-peraturan tentang syarat-syarat hal dapat dipidananya seseorang (strafbaarheid), penunjukan orang yang dapat dipidana dan ketentuan pidananya, ia menetapkan siapa dan bagaimana orang itu dapat dipidana. Sedangkan hukum pidana formil menurut Simons, yaitu mengatur tentang cara negara dengan perantaraan para pejabatnya menggunakan haknya untuk memidana3

Menurut prof. Mezger, Munchen hukum pidana adalah semua aturan-aturan hukum (die jenige Rechtsnormen) yang menentukan (menghubungkan) suatu pidana sebagai akibat hukum (rechtfolge) kepada suatu perbuatan yang telah dilakukan.4 Pompe mengatakan bahwa hukum pidana adalah semua aturan-aturan hukum yang menentukan terhadap perbuatan-perbuatan apa seharusnya dijatuhi pidana, dan apakah macamnya pidana itu.5

Van Bemmelen merumuskan hukum acara pidana sebagai berikut: “Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang di ciptakan oleh negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana:

3 A Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, (Jakarta : Sinar Grafika, 1995)., hlm. 3. 4 Moeljatno,Asas-Asas Hukum Pidana,(Jakarta : Rineka Cipta, 2002), hlm. 7. 5 Ibid., hlm. 8.


(17)

1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran;

2. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu

3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap sipelaku dan kalau perlu menahannya;

4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dlimpahkan kepada hakim dan kemudian membawa terdakwa ke depan hakim tersebut;

5. Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib;

6. Upaya hukum untuk melawan keputusan itu;

7. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib itu6

Pengertian kriminologi

Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan, secara harafiah berasal dari kata “crimen” yang berarti kejahatan atau penjahat, dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi berarti ilmu tentang kejahatan atau penjahat.7

Bonger memberikan definisi kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya. Melalui definisi ini, Bonger lalu membagi kriminologi ini menjadi kriminologi murni yang mencakup:

Beberapa sarjana memberikan definisi yang berbeda mengenai kriminologi.

8

6 Andi Hamzah, op.cit., hlm. 19.

7 Made Derma Weda, Krimonologi. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996)., hlm. 1. 8Topo Santoso dan Eva Achjani Zulza, Kriminologi, (Jakarta : Rajawali Press, 2001).,


(18)

1. Antropologi kriminil

Ialah ilmu pengetahuan tentang manusia yang jahat (somatis). Ilmu pengetahuan ini memberikan jawaban atas pertanyaan tentang orang jahat dalam tubuhnya mempunyai tanda-tanda seperti apa. Apakah ada hubungan antara suku bangsa dengan kejahatan dan seterusnya.

2. Sosiologi kriminil

Ilmu pengetahuan tentang kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat. Pokok persoalan yang dijawab oleh bidang ini adalah sampai dimana letak sebab-sebab kejahatan dalam masyarakat.

3. Psikologi kriminil

Ilmu pengetahuan tentang penjahat yang dilihat dari sudut jiwanya.

4. Psikopatologi dan neuropatologi kriminil

Ialah ilmu tentang penjahat yang sakit jiwa atau urat syaraf.

5. Penology

Ialah ilmu tentang tumbuh dan berkembangnya hukuman

Disamping kriminologi murni terdapat juga kriminolgi terapan yang berupa:9

a. Hygiene kriminil

Usaha yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan. Misalnya usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk menerapkan undang-undang, sistem jaminan hidup dan kesejahteraan yang dilakukan semata-mata untuk mencegah terjadinya kejahatan.


(19)

b. Politik kriminil

Usaha penanggulangan kejahatan dimana suatu kejahatan telah terjadi. Disini dilihat sebab-sebab orang melakukan kejahatan. Bila disebabkan oleh faktor ekonomi maka usaha yang dilakukan adalah meningkatkan kesejahteraan dan keterampilan atau membuka lapangan kerja. Jadi, tidak semata-mata menjatuhkan sanksi.

c. Kriminalistik (policie scientifik) yang merupakan ilmu tentang pelaksanaan penyidikan teknik kejahatan dan pengusutan kejahatan

Sutherland merumuskan kriminologi sebagai keseluruhan ilmu pengetahuan yang bertalian dengan perbuatan jahat sebagai gejala sosial. Menurut Sutherland kriminologi mencakup proses-proses perbuatan hukum dan reaksi atas pelanggaran hukum. Kriminologi oleh Sutherland dibagi atas tiga cabang yaitu:10

a. Sosiologi hukum

Kejahatan adalah perbuatan yang oleh hukum dilarang dan diancam dengan sanksi. Jadi yang menentukan bahwa suatu perbuatan itu adalah kejahatan adalah hukum. Disini menyelidiki sebab-sebab kejahatan harus pula menyelidiki faktor-faktor apa yang menyebabkan perkembangan hukum (khususnya hukum pidana)

b. Etiologi kejahatan

Merupakan cabang ilmu kriminologi yang mencari sebab-musabab dari kejahatan. Dalam kriminologi, etiologi kejahatan merupakan kajian yang paling utama.

c. Penology


(20)

Pada dasarnya merupakan ilmu tentang hukuman, akan tetapi Sutherland memasukkan hak-hak yang berhubungan dengan usaha pengendalian kejahatan baik represif maupun preventif.

Paul Mudigdo Mulyono tidak sependapat dengan Sutherland, menurutnya defenisi itu seakan-akan tidak memberikan gambaran bahwa pelaku kejahatan itupun mempunyai andil atas terjadinya suatu kejahatan, karena terjadinya kejahatan bukan semata-mata perbuatan yang ditentang oleh masyarakat, akan tetapi adanya dorongan dari si pelaku untuk melakukan perbuatan yang ditentang oleh masyarakat tersebut. Oleh sebab itu Paul Midigdo Mulyono memberikan definisi kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai masalah manusia11

Michael dan Adler berpendapat bahwa kriminologi adalah keseluruhan keterangan mengenai perbuatan dan sifat dari penjahat, lingkungan mereka dan cara mereka secara resmi diperlakukan oleh lembaga-lembaga penertib masyarakat dan oleh anggota masyarakat12

Wood berpendirian bahwa istilah kriminologi meliputi keseluruhan pengetahuan yang diperoleh berdasarkan teori atau pengalaman yang bertalian dengan perbuatan yang jahat dan penjahat, termasuk didalamnya reaksi dari masyarakat terhadap perbuatan jahat dan para penjahat.

13

Noach merumuskan kriminologi sebagai ilmu pengetahuan tentang perbuatan jahat dan perilaku tercela yang menyangkut orang-orang yang terlibat dalam perilaku jahat dan perbuatan tercela itu14

11 Ibid, hlm. 12

12 M Ridwan dan Ediwarman, asas-asas kriminologi,(Medan : USU Press Medan, 1994).,

hlm. 1

13 ibid


(21)

Wolfgang,savitz dan jonhston dalam the sociology of crime and delinquency memberikan definisi kriminologi sebagai berikut;

Kumpulan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan dan pengertian tentang gejala kejahatan dengan cara mempelajari dan menganalisa secara ilmiah keterangan,keterangan, keseragaman-keseragaman, pola-pola dan faktor-faktor kausal yang berhubungan dengan kejahatan, pelaku kejahatan serta reaksi masyarakat terhadap keduanya15

Jika kita membandingkan definisi yang dikemukakan oleh beberapa sarjana diatas, maka kelihatan satu hal yang sama. Semua definisi menggunakan istilah kejahatan dan penjahat.

.

2. Pengertian pencurian

Pengertian umun mengenai pencurian adalah mengambil barang orang lain. Pada Pasal 362 KUHP dikatakan bahwa:

“barang siapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum, karena pencurian dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900,-” Pasal 362 KUHP ini merupakan bentuk pokok dari pencurian, dengan unsur:

a. Objektif;

1) Mengambil

Unsur mengambil mengalami berbagai penafsiran sesuai dengan perkembangan masyarakat. Mengambil semula diartikan memindahkan barang dari tempat semula ke tempat lain. Ini berarti membawa barang dibawah kekuasaan yang nyata. Perbutan mengambil berarti perbuatan yang mengakibatkan barang dibawah kekuasaan yang melakukan atau yang mengakibatkan barang berada diluar kekuasaan pemiliknya.

15


(22)

Tetapi hal ini tidak selalu demikian. Hingga tidak perlu disertai akibat dilepaskan dari kekuasaan pemiliknya

2) Barang

Pengertian barang juga mengalami perkembangan. Dari arti barang yang berjudul menjadi setiap barang yang menjadi bagian dari kekayaan. Semula barang ditafsirkan sebagai barang-barang yang berwujud dan dapat dipindahkan(barang bergerak) . tetapi kemudian ditafsirkan sebagai setiap bagian dari harta benda seseorang. Dengan demikian barang itu harus ditafsirkan sebagai sesuatu yang mempunyai nilai didalam kehidupan ekonomi seseorang. Perubahan ini disebabkan dengan peristiwa pencurian aliran listrik,

dimana aliran listrik termasuk pengertian barang yang dapat menjadi obyek pencurian

3) Yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain;

Barang harus seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain. Barang tidak perlu kepunyaan orang lain seluruhnya, sedangkan sebagian dari barang saja dapat menjadi obyek pencurian, jadi sebagian lagi kepunyaan pelaku sendiri. Barang yang tidak ada pemiliknya tidak dapat menjadi obyek pencurian.

b. Subjektif:

1) Dengan maksud

Istilah ini terwujud dalam kehendak, keinginan atau tujuan dari pelaku untuk memiliki barang secara melawan hukum. Maksud untuk memiliki barang itu tidak perlu terlaksana, cukup apabila maksud itu ada. Meskipun barang itu belum dipergunakan,


(23)

misalnya tertangkap dulu, karena kejahatan pencurian telah selesai terlaksana dengan selesainya perbuatan mengambil barang.

2) Untuk memiliki

memiliki bagi diri sendiri adalah setiap perbuatan penguasaan atas barang tersebut, melakukan tindakan atas barang itu seakan-akan pemiliknya. Maksud memiliki barang bagi diri sendiri itu terwujud dalam berbagai jenis perbuatan yaitu menjual, memakai. Memberikan kepada orang lain, menggadaikan, menukarkan, merubahnya, dan sebagainya. Atau setiap penggunaan atas barang yang dilakukan pelaku seakan-akan pemilik, sedangkan ia bukan pemilik.

3) Secara melawan hukum

Perbuatan melawan memiliki yang dikehendaki tanpa hak atau kekuasaan sendiri dari pelaku. Pelaku harus sadar, bahwa barang yang diambilnya adalah milik orang lain.16

3. Pengertian delik aduan

Untuk memahami pengertian dari delik aduan, terlebih dahulu dipahami mengenai delik. Delik adalah terjemahan dari kata Strafbaarfeit. Terjemahan lain dari

Strafbaarfeit adalah peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak pidana, perbuatan yang

dapat dihukum dan pelanggaran pidana. Masih belum didapat satu sinonim dan atau terjemahan kata yang terpola dan diakui secara umum untuk peristilahan Strafbaarfeit ini.

Strafbaarfeit yang diterjemahkan sebagai peristiwa pidana mencakup unsur

pertanggungjawaban pidana, seperti yang dikemukakan oleh Utrecht

“Apakah seseoranng mendapat hukuman bergantung pada dua hal harus ada suatu kelakuan yang bertentangan dengan hukum(anasir objektif) dan seorang pembuat

16 Anwar M. Hukum Pidana Bagian Khusus Kuhp Buku II(Jakarta : Sinar


(24)

(dader) yang bertanggung jawab atas kelakuan yang bertentangan dengan hukum itu (anasir subjektif)”17

Menurut penulis, peristilahan peristiwa pidana sebagai terjemahaan dari

Strafbaarfeit adalah cukup tepat, karena pemahaman istilah pidana itu yang dapat

dirumuskan adalah terhadap peristiwa pidana yang diancam dengan pidana bukan saja yang berbuat, tetapi juga menyangkut mereka yang tidak berbuat. Pemahaman ini juga sejalan dengan unsur pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana

Peristiwa tindak pidana atau delik atau tindak pidana mengandung arti tindakan manusia yang memenuhi rumusan undang-undang bersifat melawan hukum dan dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.

Kepada seseorang yang telah memenuhi rumusan tersebut di atas dapat dijatuhkan pidana. Peristiwa pidana ini mempunyai dua segi yaitu :

a. Segi obyektif yang menyangkut kelakuan yang bertentangan dengan hukum.

b. Segi subyektif yang menyangkut pembuat/pelaku yang dapat dipertanggungjawabkan atas kelakuan yang bertentangan dengan hukum.

Kepada perbuatan yang tidak memenuhi salah satu unsur dapat tidak dipidana karena adanya alasan penghapus pidana yang terdiri dari :

a. Alasan pemaaf

b. Alasan pembenar

Mendapatkan alasan pemaaf, apabila pelakunya tidak dapat dipertanggungjawabkan, misalnya :orang gila yang melakukan pembunuhan. Sedangkan alasan pembenar, apabila perbuatannya tidak bersifat melawan hukum, misalnya : algojo

17 E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta : PT Penerbitan Universitas


(25)

yang melakukan tugasnya mengeksekusikan pidana mati. Algojo ini mendapatkan alasan penghapus pidana yang berupa alasan pembenar karena perbuatannya membunuh orang adalah menjalankan dinasnya.18

Suatu peristiwa agar dapat dikatakan sebagai suatu peristiwa pidana harus memenuhi syarat-syarat seperti berikut :

a. Harus ada suatu perbuatan,, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang,

b. Perbuatan harus sesuai dengan yang dirumuskan dalam undang-undang. Pelakunya harus telah melakukan suatu kesalahan dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

c. Harus ada kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan. Jadi perbuatan itu memang dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum.

d. Harus ada ancaman hukumannya. Dengan kata lain, ketentuan hukum yang dilanggar itu mencantumkan sanksinya.19

Delik aduan, pada hakekatnya juga mengandung elemen-elemen yang lazim dimiliki oleh setiap delik. Delik aduan juga adalah delik namun berbeda dengan delik lainnya, delik aduan mempunyai ciri khusus tersendiri. Ciri khusus itu teletak pada “penuntutannya”.

Pada umumnya, setiap delik yang ada menghendaki adanya penuntutan dari Penuntut Umum, tanpa permintaan yang tegas dari orang yang menjadi korban atau orang-orang yang dirugikan. Dengan adanya penuntutan ini sesegera mungkin diharapkan

18

A. Siti Soetami, Pengantar Tata Hukum Indonesia,(Bandung : PT Eresco, 1992), hlm. 55.

19


(26)

ketertiban dan kepentingan umum yang telah dilanggar akan dapat dianulir, dengan demikian tujuan keadilan hukum akan tercapai.

Walaupun demikian dalam delik tertentu (umumnya kejahatan), azas umum tersebut tidak diberlakukan, terjadi penyimpangan atasnya, terutama dalam hal penuntutannya. Artinya penuntutan dari si korban atau pihak yang dirugikan adalah syarat utama untuk penuntasan perkara. Dan penuntutan dilakukan terlebih dahulu dengan adanya “pengaduan”. Dengan pengaduan inilah Penuntut Umum menjalankan hak penuntutannya. Disinilah letak penyimpangan azas umum tadi. Delik dengan ciri khusus seperti tadi disebut dengan “delik aduan”

Dalam ilmu hukum pidana mengenai delik aduan ini dapat dibedakan atas 2 (dua) jenis, yaitu:

a. Delik aduan absolut

b. Delik aduan relatif

Delik aduan absolut adalah suatu delik yang selalu hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan, dalam hal ini maka pengaduan diperlukan untuk menuntut peristiwanya yang disertai permintaan supaya diadakan penuntutan terhadap delik atau terhadap pelaku dan mereka yang turut campur didalamnya.

Pasal-pasal yang termasuk didalam delik aduan absolut adalah:

1. Pasal 284 ayat (3) KUHP dinyatakan bahwa pasal 72, 73 dan Pasal 75 KUHP tidak berlaku walaupun pasal tersebut berisi tentang pengajuan pengaduan melalui pihak ketiga sebagai wakil. Hal ini tidak diperkenankan menurut ayat (3) pasal 284 KUHP.


(27)

2. Pasal 75 KUHP menyatakan bahwa barang siapa yang memasukkan pengaduan tetap berhak untuk mencabut kembali pengaduan itu dalam tempo 3 bulan sejak hari dimasukkannya.

3. Pasal 287 KUHP mengancam dengan hukuman selama-lamanya 9 tahun bagi siapa yang bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya sedang diketahui atau patut disangkanya bahwa umur perempuan itu belum cukup 15 tahun. Penuntutannya hanya dapat dilakukan bilamana ada pengaduan, kecuali diketahui umur perempuan itu belum mencapai 12 tahun. Jika usia 12 tahun itu belum dicapai maka penuntutan dilakukan tanpa pengaduan, walaupun perempuan itu telah berusia belum cukup 15 tahun yaitu diatas 12 tahun, maka pengaduan tidak perlu bilamana mengakibatkan luka berat atau bilamana terdapat hubungan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 294 KUHP.

4. Pasal 293 KUHP, penuntutannya hanya dapat dilakukan atas pengaduan dari pribadi yang dijadikan objek yaitu dalam berbuat cabul

5. Pasal 310 KUHP sampai dengan pasal 321 KUHP merupakan kumpulan pasal tentang penghinaan dengan variasi-variasi tertentu. Semuanya adalah delik aduan kecuali pasal 316 KUHP tidak memerlukan pengaduan dari pihak yang dirugikan

6. Pasal 311 KUHP tantang kejahatan menfitnah(laster)

7. Pasal 315 KUHP tentang kejahatan penghinaan ringan(eenvoudige belediging)

8. Pasal 317 KUHP tentang kejahatan mengadu secara menfitnah (lasterlijke aanklacht)

9. Pasal 318 KUHP tentang kejahatan tuduhan menfitnah (lasterlijke verdachtmaking)


(28)

11. Pasal 321 tentang kejahatan menyiarkan dengan menista pada orang yang telah meninggal dunia

12. Pasal 322 dan pasal 323 KUHP tentang kejahatan membuka rahasia (schending vangeheimen)

13. Pasal 332 KUHP, tentang memberikan ancaman hukuman terhadap peristiwa pidana melarikan perempuan. Penuntutannya hanya dapat dilakuakan atas pengaduan,

14. Pasal 335 ayat (2) KUHP tentang kejahatan memaksa dengan ancaman akan menista baik dengan lisan maupun tulisan

15. Pasal 369 KUHP adalah pemerasan dengan menista dan penuntutan hanyalah didasarkan atas pengaduan pihak korban.

Delik aduan relatif adalah delik yang berasal dari peristiwa pidana yang pada dasarnya bukan delik aduan, akan tetapi adanya hubungan kekeluargaan yang erat antara pelaku dan korban membuat delik itu menjadi delik aduan. Pada delik aduan relatif, pengaduan diperlukan untuk menuntut orangmya,Pada delik aduan relatif, pengaduan diperlukan untuk menuntut orangmya, dalam arti pihak yang bersalah dalam peristiwa itu. Dan Karenanya, si pengadu selain menyebutkan peristiwanya juga harus juga menyebutkan orang yang diduga telah merugikan dirinya. Dengan sendirinya si pengadu diberi kuasa untuk memilih (dalam hal penyertaan) mengadu seseorang untuk menuntutnya dan tidak mengadukan yang lain juga sebagai pelaku sekaligus tidak pula mengadakan penuntutan atasnya. Dalam hai ini, maka pengaduan bersifat splitbaar atau dapat dibelah/dipecah, jadi permintaan penuntut dalam pengaduannya harus berbunyi “saya meminta X dituntut”

Pasal-pasal yang termasuk dalam delik aduan relatif yaitu:


(29)

2. Pasal 367 KUHP adalah pasal pencurisn biasa disebut “pencurian di dalam lingkungan keluarga”

3. Pasal 370 KUHP tentang pemerasan dan pengancaman dalam keluarga

4. Pasal 372 jo 367 KUHP tentang kejahatan penggelapan(di kalangan keluarga)

5. Pasal 379 jo 394 jo 367 KUHP tentang kejahatan penipuan dalam kalangan keluarga

6. Pasal 390 KUHP menyatakan pasal-pasal 368 dan 369 yaitu mengenai ancaman dan pemerasan dapat menjelma menjadi delik aduan relatif bilamana pelakunya terlibat hubungan keluarga pada Pasal 367 KUHP

7. Berlaku atas pasal-pasal penggelapan, yaitu Pasal 372,373,374,375 dan Pasal 376 KUHP , merumuskan ketentuan dalam pasal, sehingga dengan demikian maka pasal-pasal yang dimaksud diatas dapat menjadi delik aduan relatif

8. Demikian pula Pasal 394 KUHP yang menunjuk pada Pasal 367 KUHP juga bahwa perkara-perkara penipuan yang diatur dengan Pasal 378 KUHP dan seterusnya dapat menjadi delik aduan

9. Pasal 404 KUHP yang mengatur tentang hak gadai,hak tanah, hak memungut hasil, hak pakai. Merugikan orang yang memberikan hipotik atau pemberi hutang dan sebagainya menjadi delik aduan dengan menunjuk pula pada hubungan keluarga sebagaimana diatur dalam Pasal 76 KUHP

10. Pasal-pasal mengenai menghancurkan atau merusakkan barang sebagaimana diancam dengan Pasal 406,407,408,409, dan 410 KUHP. Menurut Pasal 411 KUHP dapat


(30)

menjadi delik aduan dan dalam hal inipun Pasal 376 KUHP harus dipergunakan untuk menilai hubungan kekeluargaan bagi yang bersangkutan.20

Dari pasal-pasal yang disebutkan diatas, penggunaan istilah “hanya dapat dilakukan kalau ada pengaduan”. maka kalimat itu menimbulkan pemikiran atau pendapat bahwa dengan demikian pengusutan dapat dilakukan oleh pihak petugas hukum demi untuk kepentingan preventif.

Walaupun pendapat demikian itu adalah benar, namun untuk kepentingan tertib hukum, adalah beritikad baik bilamana itu diajukan secara lisan dari pihak

yang dirugikan bahwa ia akan mengajukan pengaduan

Baik delik aduan absolut maupun delik aduan relatif yang sering disebut aduan saja, dimaksudkan untuk mengutamakan kepentingan puhak yang dirugikan dari pada kepentingan penuntutan. Dengan kata lain pembuat undang-undang memberikan penghargaan kepada pihak yang dirugikan dan kesempatan untuk mengadakan pilihan, apakah ia bermaksud mengajukan pengaduan atau mendiamkan persoalan, misalnya demi untuk nama baik keluarga ataupun mungkin menyimpan rahasia yang tidak perlu diketahui orang banyak.

Masih perlu diperhatikan juga bahwa delik aduan absolut, pengaduan tidak dapat dipisah-pisah. Mengadukan seorang suami yang berzina dengan perempuan lain misalnya tidak dapat dilakukan hanya menuntut supaya Polisi menangkap perempuan yang berzina itu dan membebaskan suami. Pengaduan harus diarahkan kepada kedua belah pihak yang berzina itu.

20 . J.E. Jonkes, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda,(Jakarta : PT bina aksara,


(31)

Pengaduan yang dilakukan terhadap delik aduan absolut, diarahkan pada peristiwa pidana yang terjadi sehingga pengaduan harus mencantumkan kalimat”saya minta supaya peristiwa ini dituntut”.

Lain halnya dengan delik aduan relatif, dimana yang dituntut bukan peristiwanya tetapi orangnya, misalnya pencurian dalam lingkungan keluarga, anak dan bapak mencuri uang milik ibunya maka dalam pengadunnya dapat dituntut salah satu dari pelakunya saja. Delik aduan relatif adalah delik yang biasanya bukan merupakan delik aduan atau kejahatan yang dapat dituntut dengan tidak ada pengaduan terlebih dahulu, akan tetapi jika antara pembuat/pelaku atau orang yang turut serta dalam kejahatan itu dengan orangterhadap siapa kejahatan itu dilakukan atau yang menderita akibat kejahatan itu terdapat hubungan tertentu yakni adanya hubungan kekeluargaan yang rapat yang ditentukan dalam undang-undang. Maka penuntutan terhadap pembuat/pelaku tidak boleh dilakukan jika orang yang dikenai kejahatan itu tidak melakuakan pengaduan.

Delik aduan yang relatif ini hanya dijumpai dalam kejahatan terhadap harta kekayaan yang dilakukan oleh anggota keluarga yang rapat, dan diluar kejahatan terhadap harta kekayaan menurut KUHP tidak ada delik aduan yang relatif.

Mengenai siapa yang berhak atas mengajukan pengaduan Pasal 72 KUHP, merumuskan :

1. Jika kejahatan yang hanya boleh dituntut atas pengaduan, dilakukan kepada orang yang umurnya belum cukup 16 tahun dan lagi belum dewasa, kepada orang yang dibawah penilikan (curatele) orang lain bukan dari sebab keborosan, maka selama dalam keadaan-keadaan itu, yang berhak mengadukan adalah wakil-wakilnya yang sah dalam perkara sipil.

2. Jika tidak ada wakil-wakilnya atau dia sendiri yang harus mengadukannya, maka penuntutan boleh dilakukan atas pengaduan wali yang mengawas-awasi atau curator


(32)

atau majelis yang menjalankan kewajiban curator itu, atas pengaduan istri, seorang suami kaum keluarga dalam keturunan memyimpang sampai derajat ketiga.

Dalam Pasal 73 KUHP ditentukan, jika terhadap siapa kejahatan itu telah dilakukan, meninggal dunia, maka pengaduan dilakukan oleh orangtuannya, anak-anaknya atau isteri/ suami dari yang meninggal dunia, kecuali jika orang yang meninggal dunia itu ternyata tidak menghendaki adanya pengaduan itu.

Kecuali yang ditentukan dalam Pasal 72 dan Pasal 73 KUHP, pada umumnya yang berwenang mengajukan pengaduan ialah orang yang menurut sifat dari kejahatannya, merupakan orang yang secara langsung telah menjadi korban. Atau orang yang dirugikan oleh kejahatan yang dilakukan oleh orang lain.21

4. Pengertian keluarga dan dalam lingkup keluarga

Keluarga berasal dari bahasa Sansekerta "kulawarga". Kata kula berarti "ras" dan

warga yang berarti "anggota". Keluarga adalah lingkungan di mana terdapat beberapa

orang yang masih memiliki hubungan darah.22

Keluarga sebagai kelompok sosial terdiri dari sejumlah individu, memiliki hubungan antar individu, terdapat ikatan, kewajiban, tanggung jawab diantara individu tersebut.

Menurut Salvicion dan Ara Celis Keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidupnya dalam suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama

21 P.A.F. Lamintang & Theo Lamintang,op.cit., hlm. 66.


(33)

lain dan didalam perannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan.23

Pengertian keluarga adalah mereka yang mempunyai hubungan darah sampai derajat tertentu atau hubungan perkawinan dengan mereka yang terlibat dalam suatu proses pidana sebagai mana diatur dalam undang-undang ini (pasal 1 butir 30 KUHAP).24

Untuk lebih jelasnya, lihat skema dibawah ini agar bisa cepat mengerti tentang hubungan keluarga sebagaimana diatur dalam Pasal 168 KUHAP:

25

A B

C D E F

G H

• A dan B adalah suami isteri,

• C dan D adalah suami isteri

• E dan F adalah suami isteri,

• C dan E adalah anak dari A dan B,

• D dan F adalah anak menantu dari A dan B,

• G adalah anak dari C dan D

• H adalah anak dari E dan F

24

Hari Sasangka dan Lili Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, (Bandung : Mandar Maju, 2003), hlm. 26.


(34)

Derajat kekeluargaannya :

A dan B dengan C atau E adalah derajat kesatu

A dan B dengan D atau F adalah derajat kesatu (semenda)

A dan B dengan G atau H adalah derajat kedua

C dengan E adalah derajat kedua

E dengan D adalah derajat kedua (semenda)

C dengan F adalah derajat kedua (semenda)

C dengan H adalah derajat ketiga

E dengan G adalah derajat ketiga

G dengan h adalah derajat keempat.

Cara menghitung derajat kekeluargaan, adalah dengan mencari pusatnya; yakni A (orangtua) :26

26 Ibid., hlm. 27.

A

C E

G H

1

2 3

4

Orang tua

Anak


(35)

F. METODE PENULISAN

Dalam penulisan skripsi mengenai penerapan hukum pidana terhadap pencurian dalam keluarga ini penulis melakukan penelitian hukum normatif yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundanga-undangan. Penelitian ini disebut juga dengan penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu penelitian yang berdasarkan hukum yang tertulis dalam buku. Selain itu penulis juga menganalisis sebuah kasus pencurian dalam keluarga.

Pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library reserch) untuk mendapatkan konsep, teori, dan doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan telaahan penelitian ini, juga dapat berupa peraturan perundang-undangan lainnya.

Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi:

1. bahan hukum primer, yaitu Kitab Undang Hukum Pidana(KUHP), Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

2. bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti pendapat dari kalangan pakar hukum dan buku-buku mengenai pencurian, kriminologi dan hukum pidana

G. SISTEMATIKA PENULISAN BAB I : Pendahuluan

Dalam bab ini merupakan pendahuluan skripsi yang berisikan latar belakang pemilihan judul skripsi, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan,metode penulisan dan gambaran singkat tentang isi skripsi.


(36)

BAB II :Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Pencurian Dalam Keluarga Yang Di Tinjau Dari Segi Kriminologi.

Dalam bab ini dipaparkan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pencurian dalam keluarga yaitu:

d. Sebab-sebab kejahatan

e. Faktor- faktor terjadinya pencurian dalam keluarga

f. Akibat yang ditimbulkan dari perbuatan pencurian dalam keluarga

BAB III :Penerapan Hukum Pidana Terhadap Delik Pencurian Dalam Keluarga

Di dalam bab ini menggambarkan bahwa pencurian dalam keluarga tersebut merupakan delik aduan, bagaimana proses pemeriksaan perkara pencurian dalam keluarga, dan pencabutan delik aduan serta akibatnya

BAB IV :Upaya-Upaya Penanggulangan Kejahatan Pencurian Dalam Keluarga

Dalam bab ini dipaparkan bagaimana cara pencegahan terjadinya pencurian dalam keluarga yang dapat dilakukan dengan cara penanggulangan secara preventif dan penanggulangan secara represif.

BAB V : Kasus Dan Analisa Kasus

Dalam bab ini memaparkan mengenai kasus pencurian dalam keluarga yang sudah diputus oleh pengadilan dan analisa mengenai kasus tersebut.


(37)

BAB VI : Kesimpulan dan Saran

Di dalam bab penutup ini, diisi oleh kesimpulan, saran dari skripsi ini


(38)

BAB II

PENGATURAN DAN PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENCURIAN DALAM KELUARGA

A. Pencurian Dalam Keluarga Merupakan Delik Aduan

Strafbaarfeit dapat disepadankan dengan perkataan delik, sebagaimana yang

dikemukakan oleh Samidjo :“Delik adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan hukum lainnya, yang dilakukan dengan sengaja atau dengan salah (sculd), oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.”

Dari perumusan delik ini, tampaklah bahwa suatu delik itu harus berunsurkan: adanya perbuatan manusia, perbuatan itu bertentangan ataupun melanggar hukum, ada unsur kesengajaan dan atau kelalaian serta pada akhirnya orang yang berbuat itu dapat mempertanggungjawaabkan perbuatannya

Delik aduan (klacht delict) pada hakekatnya juga mengandung elemen-elemen yang lazim dimiliki oleh setiap delik. Delik aduan mempunyai ciri khusus dan kekhususan itu terletak pada “ penuntutannya”

Dalam Delik aduan (klacht delicten), pengaduan dari si korban atau pihak yang dirugikan adalah syarat utama untuk dilakukannya hak menuntut oleh Penuntut Umum

Alasan persyaratan adanya pengaduan tersebut menurut Simons yang dikutip oleh Sathochid adalah :

….. adalah karena pertimbangan bahwa dalam beberapa macam kejahatan akan lebih baik merugikan kepentingan-kepentingan khusus


(39)

(bijzondere belang) karena penuntutan itu daripada kepentingan umum dengan tidak menuntutnya27

Untuk menuntut atau tidak menuntut semata-mata digantungkan pada kehendak dari si korban atau orang yang dirugikan. Alasan dan latar belakang perlindungan kepentingan perseorangan (nama baik dan atau kehormatan), kembali menjadi sesuatu yang diutamakan. Dan akibatnya, seolah-olah kepentingan perseorangan dilebihkan daripada kepentingan umum. Menjadi sesuatu yang nyata dan ini memprihatinkan terutama bila kita kaji maksud dan tujuan KUHP, yakni KUHP ditujukan kepada kepentingan umum dan tidak kepentingan perseorangan.28

Pencurian dalam lingkungan keluarga yang diatur dalam Pasal 367 KUHP merupakan salah satu tindak pidana yang tergolong delik aduan. Dalam hal demikian penegak hukum baru menanganinya setelah adanya pengaduan dari seseorang yang merasa dirugikan, baik orangtua, suami,istri dan lain-lain yang merasa dirugikan oleh anggota keluarganya. Kemudian barulah aparat penegak hukum menindak orang yang berbuat tersebut.

Pencurian adalah delik biasa, namun apabila pencurian tersebut dilakukan dalam lingkup keluarga, maka perbutan tersebut menjadi delik aduan. Delik aduan tersebut termasuk delik aduan relatif, karena delik relatif adalah delik yang biasanya bukan delik aduan, akan tetapi jika dilakukan oleh sanak saudara maka menjadi delik aduan.

Dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 367 ayat (1) KUHP, dapat diketahui bahwa keadaan-keadaan tidak bercerai meja makan dan tempat tidur, tidak bercerai harta kekayaan atau tidak bercerai antara suami dan isteri merupakan dasar-dasar yang meniadakan tuntutan bagi seorang suami atau seorang isteri, jika mereka melakukan atau membantu melakukan tindak pidana pencurian seperti yang diatur dalam Pasal 362.

27

Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan kuliah, bagian II, (Bandung : balai lektur Mahasiswa), hlm 165

28

E Utrecht , Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta : PT Penerbitan Universitas, 1996), hlm. 489-490.


(40)

363,364 dan Pasal 365 KUHP terhadap harta kekayaan berupa benda-benda bergerak kepunyaan isteri atau suami mereka, yang pada hakikatnya adalah harta kekayaan mereka sendiri.29

Bagi mereka yang tunduk pada Kitab Undang-undang Hukum Sipil (B.W) berlaku peraturan tentang cerai meja makan yang berakibat, bahwa perkawinan masih tetap, akan tetapi kewajiban suami isteri untuk tinggal bersama serumah ditiadakan. Dalam hal ini maka pencurian yang dilakukan oleh isteri atau suami dapat dihukum, akan tetapi harus ada pengaduan dari suami atau isteri yang dirugikan. Hukum Adat (Islam) Indonesia tidak mengenal perceraian meja dan tempat tidur ataupun perceraian harta benda. Oleh karena itu Pasal 367 KUHP yang mengenai bercerai meja makan, dan tempat tidur atau harta benda tidak dapat diberlakukan pada mereka yang tunduk pada Hukum Adat (Islam)

Menurut Pasal 367 ayat 2 KUHP, apabila pelaku atau pembantu dari pelaku pencurian dari Pasal 362-365 KUHP adalah suami atau isteri korban, dan mereka dibebaskan dari kewajiban tinggal bersama, atau keluarga semenda, baik dalam keturunan lurus maupun kesamping sampai derajat kedua, maka terhadap

orang itu sendiri hanya dapat dilakukan penuntutan atas pengaduan si korban pencurian.

Ayat (3) menentukan, jika menurut adat istiadat garis ibu (matriarchaat dari daerah Minangkabau), kekuasaan bapak dilakukan oleh orang lain dari bapak, maka aturan ayat (2) berlaku juga untuk orang lain.30

Mengenai siapa yang berhak atas mengajukan pengaduan Pasal 72 KUHP, merumuskan :

29

P A F Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus KEJAHATAN TERHADAP HARTA KEKAYAAN Edisi Kedua, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009)., hlm. 64

30 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (bandung : Refika


(41)

3. Jika kejahatan yang hanya boleh dituntut atas pengaduan, dilakukan kepada orang yang umurnya belum cukup 16 tahun dan lagi belum dewasa, kepada orang yang dibawah penilikan (curatele) orang lain bukan dari sebab keborosan, maka selama dalam keadaan-keadaan itu, yang berhak mengadukan adalah wakil-wakilnya yang sah dalam perkara sipil.

4. Jika tidak ada wakil-wakilnya atau dia sendiri yang harus mengadukannya, maka penuntutan boleh dilakukan atas pengaduan wali yang mengawas-awasi atau curator atau majelis yang menjalankan kewajiban curator itu, atas pengaduan istri, seorang suami kaum keluarga dalam keturunan memyimpang sampai derajat ketiga.

Dalam Pasal 73 KUHP ditentukan, “jika terhadap siapa kejahatan itu telah dilakukan, meninggal dunia, maka pengaduan dilakukan oleh orangtuannya, anak-anaknya atau isteri/ suami dari yang meninggal dunia, kecuali jika orang yang meninggal dunia itu ternyata tidak menghendaki adanya pengaduan itu.”

Kecuali yang ditentukan dalam Pasal 72 dan Pasal 73 KUHP, pada umumnya yang berwenang mengajukan pengaduan ialah orang yang menurut sifat dari kejahatannya, merupakan orang yang secara langsung telah menjadi korban. Atau orang yang dirugikan oleh kejahatan yang dilakukan oleh orang lain.31

B. Proses Pemeriksaan Pencurian Dalam Keluarga

Hukum acara pidana pada umumnya tidak terlepas dari hukum pidana materil, artinya masing-masing saling memerlukan satu sama lain, hukum pidana (materiel) memerlukan hukum acara pidana (formil) untuk menjalankan ketentuan hukum pidana, demikian pula sebaliknya hukum acara pidana tidak berfungsi tanpa adanya hukum pidana (materiel).

Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH merumuskan hukum acara pidana sebagai suatu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah


(42)

yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.32

Simon merumuskan hukum acara pidana mengatur bagaimana negara dengan alat-alat perlengkapannya mempergunakan haknya untuk menghukum dan menjatuhkan hukuman.

33

Mr. J.M. Van Bemmelen berpendapat bahwa hukum acara pidana adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur cara bagaimana negara, bila menghadapi suatu kejadian yang menimbulkan syakwasangka telah terjadi suatu pelanggaran hukum pidana, dengan perantaraan alat-alatnya mencari kebenaran, menetapkan dimuka dan oleh hakim suatu keputusan mengenai perbuatan yang didakwakan, bagaimana hakim harus memutuskan suatu hal yang telah terbukti dan bagaimana keputusan itu harus dijalankan34

Dalam pedoman pelaksanaan KUHAP memberikan penjelasan tentang tujuan hukum acara pidana yaitu ; tujuan hukum acara pidana untuk mencari dan mendapatkan setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.

Tujuan hukum acara pidana menurut rumusan pedoman pelaksanaan KUHAP tersebut menunjukkan bahwa kebenaran materil atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil dalam rumusan tersebut dirasa kurang tepat sebab mendekati

32

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi,(Jakarta : Sinar Grafika, 2005), hlm. 2

33 Ibid 34


(43)

kebenaran belumlah dapat dikatakan sebagai suatu kebenaran, oleh karena hukumam yang mungkin dijatuhkan dalam perkara pidana terdapat hukuman badan maka kebenaran materil tersebut harus diperoleh untuk menghindari terjadinya kekeliruan dalam menjatuhkan hukuman.35

Van Bemmelen mengemukan tiga fungsi hukum acara pidana sebagai berikut;

1. Mencari dan menemukan kebenaran.

2. Pemberian keputusan oleh hakim

3. Pelaksanaan keputusan

1. Proses Penyidikan

a. Kewenangan Polri Menurut KUHAP dan Undang-undang Kewenangan Polri Menurut Undang-Undang

Dalam hal tugas dan wewenang Polri telah diatur dalam berbagai peraturan peraturan perundang-undangan, akan tetapi bilamana disimpulkan maka tugas pokok Polri adalah menjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat diseluruh Indonesia.

Dalam rangka menggerakkan tugas pokok menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat tersebut maka Polri mempunyai kewajiban dan wewenang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kepolisian NKRI No.2 tahun 2002 yaitu:

Pasal 2 : Kepolisian Negara Republik Indonesia, bertujuan untuk menjamin tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman masyarakat guna mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan di dalam negeri, terselenggaranya fungsi pertahanan keamanan negara dan tercapainya tujuan nasional dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

35


(44)

Pasal 3 : fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintah negara di bidang penegakan hukum, perlindungan dan pelayanan masyarakat, serta pembimbing masyarakat dalam rangka terjaminnya tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman masyarakat guna terwujudnya keamanan dan ketertiban masyarakat.

Dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam pasal tersebut, maka kepolisian negara mempunyai tugas (Pasal 13 UU No.2 Tahun 2002):

a) Selaku alat negara penegak hukum memelihara serta meningkatkan tertib hukum;

b) Melaksanakan tugas Kepolisian selaku pengayom dalam memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat bagi tegaknya ketentuan peraturan perundang-undangan;

c) Bersama-sama dengan segenap komponen ketentuan pertahanan keamanan negara lainnya, membina ketentraman masyarakat dalam wilayah negara guna mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat;

d) Membimbing masyarakat bagi terciptanya kondisi yang menunjang terselenggaranya usaha-usaha dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a,huruf b, dan huruf c;

e) Melaksanakan tugas lain seperti sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Didalam UU No. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia, maka yang menyangkut

wewenang dari polisi telah ditentukan dalam Pasal 30 yaitu :

1. Selaku alat negara, penegak hukum memelihara serta meningkatkan tertib hukum dan bersama-sama dengan segenap komponen kekuatan pertahanan negara lainnya membina ketentraman dan ketertiban masyarakat,


(45)

2. Melaksanakan tugas kepolisian selaku pengayom dalam memberikan perlindungan dan pelayan kepada masyarakat bagi tegaknya ketentuan peraturan perundang-undangan,

3. Membimbing masyarakat bagi terciptanya kondisi yang menunjang terselenggaranya usaha dan kegiatan sebagaimana dimaksud dengan angka 2 dan 2 ayat 4 pasal ini.

Berdasarkan ketentuan Pasal 30 diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada hakekatnya tugas polisi secara garis besar menyangkut ;

1. Masalah penegak hukum

2. Masalah menyelenggarakan ketentraman masyarakat

3. Masalah memberi perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat

Selanjut dalam pasal 39 (2) UU No. 20/1982, ketentuan bahwa kepada kepentingan Negara RI, memimpin Mabes Kepolisian RI dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab atas :

a. Mengusahakan ketaatan dari warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan

b. Melaksanakan penyidikan perkara berdasarkan peraturan perundang-undangan

c. Mencegah dan melindungi tumbuhnya penyakit masyarakat dan aliran kepercayaan yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan bangsa

d. Memelihara keselamatan jiwa raga, harta benda dan lingkungan alam, gangguan atau bencana termasuk memberikan pertolongan yang dalam pelaksanaan wajib menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, hukum dan peraturan perundang-undangan


(46)

e. Menyelenggarakan kerjasama dan koordinasi dengan fungsi dan tugasnya

f. Dalam keadaan darurat bersama-sama dengan komponen kekuatan pertahanan keamanan negara melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan

Di samping apa yang ditentukan dalam Pasal 30 (4) dan pasal 39 (2) UU No,20/1982, Polri sebagai komponen kekuatan pertahanan keamanan segara diberi tugas pula ikut mempertahankan keutuhan wilayah, daratan Nasional Pasal 30 (1), ikut mempertahankan keutuhan seluruh perorangan dalam yurisdiksi nasional, serta melindungi kepentingan nasional di darat atau di laut Pasal (2) dan ikut mempertahankan wilayah dirgantara nasional pasal 30 (3).

Kewenangan Polri Menurut KUHAP

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHP) Pasal 1 butir 4 dan Pasal 4, menyatakan bahwa Polri adalah pejabat yang berwenang melakukan penyelidikan. Artinya Jaksa atau pejabat lainnya tidak dapat melakukan penyelidikan.

Kemanunggalan fungsi dan wewenang penyelidikan bertujuan;

1. Menyerdehanakan dan memberi kepastian kepada masyarakat siapa yang berhak dan berwenang untuk melakukan penyelidikan;

2. Menghilangkan kesimpangsiuran penyelidikan oleh aparat penegak hukum, sehingga tidak lagi terjadi tumpang tindih seperti yang dialami pada masa HIR;

3. Juga merupakan efisiensi tindakan penyelidikan ditinjau dari segi pemborosan jika ditangani oleh beberapa instansi, maupun terhadap orang yang diselidiki, tidak lagi berhadapan dengan berbagai macam tangan aparat penegak hukum dalam


(47)

penyelidikan. Demikian juga dari segi waktu dan tenaga jauh lebih efektif dan efesiansi.36

Sehubungan dengan itu, oleh KUHAP diartikan bahwa penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya melakukan penyidikan (pasal 1 butir 5 KUHAP). Dengan demikian fungsi penyelidikan dilaksanakan sebelum dilakukan penyidikan, yang bertugas untuk mengetahui dan menentukan peristiwa apa yang sesungguhnya telah terjadi dan bertugas membuat berita acara serta laporannya yang nantinya merupakan dasar permulaan penyidik.

Menurut ketentuan yang tercantum dalam KUHAP dalam melakukan tugasnya penyelidik mempunyai wewenang yang meliputi :

1) Dalam hal tindak pidana tidak tertangkap tangan.

a) Karena kewajibannya mempunyai wewenang;

(1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana

(2) Mencari keterangan dan alat bukti,

(3) Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri,

(4) Mengadakan “tindakan lain” menurut hukum yang bertanggung jawab (Pasal 5 ayat(1) sub a KUHAP), yang dimaksud dengan “tindakan lain” adalah tindakan dari penyelidik untuk kepentingan penyelidikan.

36 M.Yahya,Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP;penyidikan


(48)

Tindakan lain yang dilakukan ini harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut ;

- Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan pejabat,

- Tindakan itu harus patut dan masuk akal serta termasuk dalam lingkungan jabatannya

- Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa,

- Menghormati hak asasi manusia

- Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum,

b) Atas perintah penyidik, penyelidik dapat melakukan tindakan berupa :

(1) Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan,

(2) Pemeriksaan dan penyitaan surat,

(3) Mengambil sidik jari dan memotret seorang,

(4) Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik (pasal 5 ayat (1) sub b KUHAP)

2) Dalam hal tindak pidana tertangkap tangan

Menurut ketentuan pasal 103 (2) KUHAP, dalam hal tindak pidana tertangkap tangan, selain berwenang melakukan tindakan sebagaimana tersebut dalam pasal 5 ayat (1) sub a KUHAP, penyelidik juga berwenang bahkan tanpa menunggu perintah dari penyidik, ia wajib untuk segera mengambil tindakan yang


(49)

diperlukan dalam rangka penyelidikan sebagaimana tersebut dalam pasal 5 ayat (1) huruf b KUHAP, tanpa menunggu perintah dari penyidik (pasal 102 ayat 3 KUHAP).37

Selain melakukan penyelidikan Polri juga berwenang melakukan penyidikan, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 1 dan Pasal 6 KUHAP yang menyatakan bahwa Penyidik adalah pejabat Polisi negara.

Seorang pejabat kepolisian dapat diberikan jabatan penyidik, harus memenuhi syarat kepangkatan seperti yang telah ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (2) KUHAP, yang menyatakan syarat kepangkatan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang syarat kepangkatan tersebut adalah PP No. 27 Tahun 1983. Adapun syarat-syarat yang dimaksud yaitu :

1. Pejabat penyidik penuh

Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) PP No.27 Tahun 1983, Polisi yang dapat menjadi Penyidik penuh adalah polisi yang memenuhi syarat berupa ;

a) Sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi

b) Atau berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua apabila dalam suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik yang berpangkat Pembantu Letnan Dua

c) Ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Kepolisian RI,

2. Penyidik Pembantu

37 Djoko prakoso , Penyidik, Penuntut Umum, Hakim; Dalam Proses Hokum Acara


(50)

Dalam Pasal 3 PP No.27 Tahun 1983 dinyatakan bahwa pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai penyidik pembantu adalah polisi yang memenuhi syarat kepangkatan yakni :

a) Sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi;

b) Atau pegawai negeri sipil dalam lingkunagn Kepolisian Negara dengan syarat sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (golongan II/a);

c) Diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing.

3. Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Penyidik Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, yaitu pegawai negeri sipil yang mempunyai fungsi dan wewenang sebagai penyidik. Pada dasarnya wewenang yang mereka miliki bersumber pada ketentuan undang-undang khusus, yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan pada suatu pasal, misalnya pada Undang-undang Merek No. 14 Tahun 1997, pada Pasal 80 yang menegaskan kewenangan melakukan penyidikan tindak pidana merek yang disebut dalam pasal 81, 82, 83 dilimpahkan kepada PPNS.

Kedudukan dan wewenang Penyidik Pegawai Negeri sipil dalam melaksanakan tugas penyidikannya:

a. Penyidik Pegawai Negeri Sipil kedudukannya berada dibawah:

- Koordinasi penyidik Polri, dan,


(51)

b. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberi petunjuk kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu, dan memberi bantuan penyidikan yang diperlukan

c. Penyidik Pegawai Negeri siipil tertentu, harus melaporkan kepada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang di sidik, jika dari penyidikan itu oleh Penyidik Pegawai Negeri sipil ada ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada penuntut umum.

d. Apabila penyidik pegawai negeri sipil telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum, cara penyerahannya kepada penuntut umum dilakukan penyidik pegawai negeri sipil melalui penyidik Polri. Dalam hal ini penyidik Polri berfungsi sebagai koordinator dan pengawas terhadap penyidik pegaai negeri sipil. Yang dapat meminta kepada penyidik pegawai negeri sipil untuk menyempurnakan hasil penyidikannya.

e. Apabila penyidik pegawai negeri sipil menghentikan penyidikan yang telah dilaporkan kepada penyidik Polri, penghentian tersebut diberitahukan kepada penyidik polri dan penuntut umum.

Sebagai penyidik Polri memiliki kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 KUHAP yaitu :

(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya sebagai berikut :

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana,


(52)

c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal tersangka,

d. Melakukan penangkapan, penahanan. Penggeledahan, dan penyitaan,

e. Melakukan pemeriksaan penyitaan surat,

f. mengambil sidik jari dan memotret seorang,

g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi,

h. Mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara,

i. Mengadakan penghentian penyidikan,

j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab

(3) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai denagan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam pasal 6 ayat (1) huruf a

(4) Dalam rangka melaksanakan tugasnya sebagaimana termaksud dalam ayat (1) dan (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.38

Kewenangan yang dipunyai oleh Polri ini semata-mata digunakan untuk kepentingan mencari kebenaran dari suatu peristiwa pidana.39

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa penyidik adalah Polri atau Pejabar Pegawai Negeri Sipil yang diberikan wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

38 Ibid.,hlm. 72.

39 Mahmud Mulyadi, Kepolisian Dalam Sistam Peradilan Pidana,(Medan : USU Press,


(53)

b. Hal-Hal Yang Dapat Dilakukan Oleh Penyidik Terhadap Suatu Delik Aduan Perlu ditegaskan bahwa setiap peristiwa yang diketahui atau dilaporkan atau yang diadukan kepada pejabat polisi, belum pasti merupakan suatu tindak pidana.

Apabila hal demikian terjadi maka diperlukan proses penyelidikan, dimana pejabat polisi tersebut harus berlaku sebagai penyelidik yang wajib dengan segera melakukan tindakan yang diperlukan yaitu tindakan untuk menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan.

Oleh karena itu secara konkret dapat dikatakan bahwa penyidikan dimulai sesudah terjadinya tindak pidana untuk mendapatkan keterangan-keterangan tentang:

- Tindak apa yang telah dilakukan;

- Kapan tindak pidana itu dilakukan;

- Dimana tindak pidana itu dilakukan;

- Dengan apa tindak pidana itu dilakukan;

- Bagaimana tindak pidana itu dilakukan

- Mengapa tindak pidana itu dilakukan; dan

- Siapa pembuatnya.40

Pasal 102 KUHAP menyebutkan;

40


(54)

1. Penyelidikan yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.

2. Dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, peyelidik wajib segera melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan sebagaimana tersebut dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b.

3. Terhadap tindakan yang dilakukan tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) penyelidik wajib membuat berita acara dan melaporkannya kepada penyidik sedaerah hukum.

Berhubungan dengan pasal 102 ayat (1) KUHAP mengenai adanya pengaduan terhadap suatu tindak pidana maka pengaduan dapat disampaikan atau diajukan kepada penyelidik, penyidik, penyidik pembantu.

Bentuk pengaduan dapat dilakukan dengan lisan atau dilakukan dengan tulisan. Sedangkan cara untuk menyampaikan pengaduan tersebut yaitu :

- Kalau pengaduan berbentul lisan, pengaduan lisan tersebut dicatat oleh pejabat yang menerima. Setelah dicatat, pengaduan ditandatangani oleh pengadu dan si penerima laporan (penyelidik, penyidik, penyidik pembantu);

- Jika pengaduan berbentuk tertulis, pengaduan ditandatangani pengadu

- Jika dalam hal pengadu tidak dapat menulis, hal itu harus dimuat catatan dalam pengaduan (Pasal 103 ayat (3))

- Setelah pejabat (penyelidik, penyidik, penyidik pembantu) menerima pengaduan, pejabat penyelidik atau penyidik memberikan surat tanda penerimaan pengaduan kepada yang bersangkutan.

Dalam kaitannya Pasal 102 ayat (2) KUHAP tentang tertangkap tangan dan hubungannya dengan kasus delik aduan (pencurian dalam keluarga) meskipun belum ada pengaduan dari yang berkepentingan polisi tidak dilarang untuk mengadakan pemeriksaan. Yang berhak untuk mengadakan atau diketahuinya tetapi tidak maka


(55)

penyelidik hanya dapat melakukan penyelidikannya saja sedangkan penuntutan tidak dapat dilakukan.

Dalam hal penyidikan hal-hal yang dapat dilakukan oleh Penyidik adalah :

a) Pemeriksaan tersangka

Pemeriksaan tersangka yang dilakukan oleh penyidik harus dibuat berita acaranya. Dimana berita acara tersebut ditandatangani oleh tersangka/saksi dan oleh penyidik sendiri. Pasal 75 KUHAP menentukan bahwa untuk semua tindakan seperti : pemeriksaan tersangka, penangkapan, penahanan, penggeledahan, pemasukan rumah, penyitaan benda, pemeriksaan surat, pemeriksaan saksi, pemeriksaan di tempat kejadian. Pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan, dan pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini, harus dibuat berita acaranya.

Berita acara tersebut selain ditandatangani oleh penyidik juga ditandatangani oleh semua pihak yang terlibat dalam tindakan itu. Berita acara pemeriksaan yang tidak ditandatangani oleh tersangka, maka penyidik mencatat hal tersebut dalam berita acara dan menyebutkan alasannya (Pasal 118 ayat (2) KUHAP ).

b) Penghentian penyidikan

Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan maka penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum. Adapun alasan-alasan yang sah untuk menghentikan penyidikan itu adalah :

(1) Tidak terdapat cukup bukti


(56)

(3) Tidak ada pengaduan/ pengaduan tersebut dicabut dalam hal tindak pidana aduan

c) Jalannya penyidikan

Sebelum memulai pemeriksaan atas tersangka, maka penyidik wajib memberitahukan kepada tersangka mengenai haknya untuk mendapatkan bantuan hukum. Sewaktu penyidik melakukan pemeriksaan terhadap tersangka, maka penasehat hukum dapat mengikuti jalannya pemeriksaan itu dengan cara melihat dan mendengar pemeriksaan.

Tersangka memberikan keterangan kepada penyidik tanpa ada tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun juga (Pasal 117 ayat (1) KUHAP). Keterangan yang diberikan oleh tersangka kepada penyidik tentang apa yang sebenarnya dilakukannya dengan tindak pidana yang disangkakan kepadanya

d) Pemeriksaan saksi

Untuk kepentingan pemeriksaan perkara, maka penyidik dapat

melakukan pemeriksaan saksi. Saksi yang diperiksa pada tingkat penyidikan memberikan keterangannya tanpa disumpah terlebih dahulu kecuali saksi diduga tidak akan hadir pada pemeriksaan di pengadilan negeri.

Saksi memberikan keterangan tanpa mendapat tekanan dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Keterangan yang diberikan oleh saksi juga dicatat dalam berita acara yang ditandatangani oleh penyidik dan orang yang memberikan keterangan, setelah ia menyetujuinya, dan apabila saksi tidak mau menandatangani berita acara


(57)

itu, maka penyidik mencatat hal itu dalam berita acara dengan menyebutkan alasannya.41

Jadi walaupun suatu delik adalah delik aduan dalam hal ini berupa tindak pidana pencurian dalam keluarga untuk mengadakan penyidikan atas delik tersebut, tidak mesti diisyaratkan adanya pengaduan, akan tetapi untuk diserahkan kepada penuntut umum untuk dilakukannya penuntutan harus ada pengaduan terlebih dahulu oleh pihak yang dirugikan.

Penyidik dalam melakukan penyidikan dalam delik aduan (pencurian dalam keluarga) sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam undang-undang tanpa adanya penambahan atau diubah atau dikurangi.

2. Penuntutan Terhadap Pelaku Pencurian Dalam Keluarga

Tindakan penuntutan adalah melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP dengan permintaan supaya diperiksa dan diputuskan hakim di sidang pengadilan (Pasal 1 burtir 7 KUHAP).

Yang berwenang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan hakim adalah penuntut umum. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim (Pasal 1 butir 6 hurf b dan Pasal 13 KUHAP).

Dalam hal penyidik telah mulai mengadakan penyidikan atas suatu peristiwa pidana pencurian dalam keluarga, maka penyidik memberitahukannya kepada Penuntut Umum (Pasal 109 ayat (1)KUHAP) dan apabila penyidik telah menuntaskan tugas penyidikannya, penyidik wajib menyerahkan berkas perkara (yang berisikan berita acara

41Darwan Prints, Hukum Acara Pidana Suatu pengantar, (Jakarta : djambatan,1989),hlm.


(58)

pemeriksaan sebagai tersebut dalam pasal 75 KUHP, yang antara lain berisikan ; berita acara pemeriksaan tersangka, penangkapan, penahanan di tempat kejadian dan tindakan lainnya)itu kepada Penuntut umum (pasal 110 ayat (1) KUHP) dan akhirnya selesai penyidikan itu apabila ; penyidik dianggap selesai apabila dalam waktu 14 (empat belas hari) penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik (Pasal 110 ayat (4) KUHAP).

Apabila Penuntut Umum berpendapat, bahwa dari hasil penyidikan telah dapat dilakukan penuntutan, maka penuntut umum dalam waktu yang secepatnya membuat “surat dakwaan”. )42

Jaksa sebelum menyusun surat tuntutannya harus mempertimbangkan unsur-unsur mana yang tidak terbukti, sehingga ia dapat menentukan tuntutannya apakah terdakwa akan dituntut pemidanaan, pelepasan dari semua tuntutan ataupun pembebasan.43

Dalam perkara pencurian dalam lingkup keluarga yang merupakan delik aduan, maka penuntutannya sama dengan penuntutan pada delik-delik biasa, yakni penuntut umum membuat surat dakwaan dan membuktikannya dan selanjutnya membuat surat tuntutan berdasarkan surat dakwaan yang telah terbukti di depan persidangan.

Dalam hal Penuntut Umum akan membuat surat dakwaannya maka harus memperhatikan siapa saja pelaku yang dituntut (dalam hal ini pelakunya lebih dari satu). Karena pencurian dalam keluarga merupakan delik aduan relatif dimana yang dituntut adalah orang-orang yang melakukan kejahatan, atau dengan kata lain pencurian dalam lingkup keluarga ini merupakan delik aduan yang relatif yang penuntutannya dapat dipecah.

42 Ibid., hlm. 68. 43 Ibid., hlm. 221.


(1)

memperlancar proses peradilan dan terdakawa menyesal telah melakukan perbutan tersebut. Selain itu terdakwa juga belum pernah dihukum sebelumnya, sehingga menjadi bahan pertimbangan bagi hakim di dalam mengambil keputusan.

Jika dilihat duduk perkara pada kasus di atas, maka dapat dilihat bahwa si terdakwa melakukan pencurian berupa tabung gas kemudian menjual tabung gas ke orang lain, maka dapat dikatakan bahwa salah satu penyebab terdakwa melakukan pencurian tersebut karena membutuhkan uang.

Tindakan dari Antoinette Frederika Mohede (nenek terdakwa) yang melaporkan terdakwa kepada pihak yang berwenang, maka tindakan tersebut dapat dikatakan suatu upaya penanggulangan kejahatan, (dalam hal ini adalah pencurian), karena dengan dijatuhkannya hukuman kepada si terdakwa akan memberikan efek jera kepada pelakunya dan memberikan rasa takut kepada pihak lain yang mempunyai potensi untuk melakukan perbuatan pencurian tersebut.


(2)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Bertitik tolak dari materi pembahasan skripsi yang telah penulis kemukakan pada bab-bab terdahulu, maka Penulis mencoba merangkumkannya dalam beberapa kesimpulan. Adapun kesimpulan tesebut antara lain :

1a. Pencurian dalam kelurga merupakan delik aduan relatif. Dimana delik tersebut pada dasarnya merupakan delik biasa namun karena dilakukan dalam lingkungan keluarga maka tindak pidana tersebut menjadi delik aduan. Pencurian dalam keluarga ini di atur dalam Pasal 367 KUHP.

b. Pencurian dalam keluarga merupakan salah satu bentuk pencurian pada umumnya, akan tetapi karena pencurian dilakukan dalam lingkungan keluarga maka pencurian tersebut menjadi delik aduan. Polri dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap delik aduan sebelum adanya pengaduan, karena perbedaan delik biasa dengan delik aduan terletak pada penuntutannya saja. Apabila terjadi pencabutan pengaduan pada delik aduan relatif, maka proses persidangan akan tetap dilanjutkan, hal ini berbeda dengan delik aduan absolut, jika terjadi pencabutan pengaduan pada delik aduan absolut maka proses pemeriksaan akan dihentikan.

2. Faktor -faktor yang penyebab/ mempengaruh terjadinya pencurian dalam keluarga jika dilihat dari umumnya, disebabkan oleh keadaan ekonomi, dampak urbanisasi, dan tekhnologi. Apabila dilihat dari segi kriminologi maka dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu faktor intern dan faktor ekstern. faktor intern yang bersumber dari dalam diri pelaku itu sendiri yang terdiri dari faktor


(3)

biologis, psikologis, umur, sex, pendidikan, dan agama faktor kedua yaitu faktor ekstern, dimana sumbernya adalah dari luar diri si pelaku, misalnya keadaan keluarga, lingkungan bergaul seseorang, media massa, dan sekolah.

3. Upaya pencegahan dan penanggulangan pencurian dalam keluarga dapat dilakukan dengan cara preventif dan cara represif. Adapun hal-hal yang dapat dilakukan dalam bentuk upaya preventif adalah dengan memberikan anak-anak kegiatan-kegiatan positif, memberikan pengertian kepada anak tentang baik-buruknya suatu perbuatan, dan lain-lain. Cara represif dapat dilakukan dengan melaporkan si pelaku kejahatan kepada aparat yang berwenang agar si pelaku dapat bertanggungjawab atas perbuatannya dan memberikan efek jera.

B. Saran

Dari seluruh uraian penulis, maka penulis ingin memberikan beberapa saran antara lain :

1. Diharapkan Penyidik meningkatkan kerjasama dengan masyarakat agar mempermudahkan penyidik dalam pencarian bukti-bukti adanya pencurian dalam keluarga

2. Kepada pemerintah dan aparat penegak hukum, agar dapat mengetahui dan memahami apa saja yang menajadi faktor penyebab dari terjadinya pencurian dalam keluarga, sehingga kemudian kejahatan pemerintah lebih cermat dalam pelaksanaan usaha pencegahan dan penanggulangan kejahatan pencurian dalam keluarga.

3. Kepada pemerintah dan setiap lapisan masyarakat agar dapat bekerja sama untuk melakukan setiap usaha pencegahan dan penanggulangan kejahatan, terutama kejahatan pencurian dalam keluarga, sehingga terjalin suatu koordinasi yang baik antara aparat keamanan dengan masyarakat.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Arrasaid, Chainur, 1999, Suatu Pemikiran Tentang Psikologi Kriminil, Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan.

Anwar M, 1980, Hukum Pidana Bagian Khusus, PT. Sinar Grafika, Jakarta.

Daliyo, JB, 1987, Penghantar Hukum Indonesia, PT. Prenhallindo, Jakarta.

Farid, Zainal Abidin, 1995, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta.

Hamzah, Andi, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, PT.Rineka Cipta, Jakarta,

---, 2005Hukum Acara Pidana Indonesia, PT. Sinar Grafika, Jakarta

Harahap, M Yahya,1985, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; penyidikan dan penuntutan, PT. Sinar Grafika, Jakarta.

Jonkers J E, 1987, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, PT. Bina Aksara, Jakarta.

Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian II, Balai Lektur Mahasiswa, Bandung.

Lamintang P A F dan Theo Lamintang, 2009, Delik-Delik Khusus Kejahatan terhadap Harta Kekayaan, edisi kedua, PT. Sinar Grafika, Jakarta.

Martasaputra, Momon, 1973, Asas-Asas Kriminologi, Alumni, Bandung.

Moeljatno, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta

Mahmud Mulyadi, 2008, Criminal Policypendekatan integral penal policy dan non penal policy dalam penanggulangan kejahatan, PT. Pusaka Bangsa, Medan


(5)

---, 2009, Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana, USU Press, Medan.

Prakoso Djoko,1987, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim:dalam proses hukum acara pidana, PT. Bina Aksara, Jakarta.

Prints, Darwan, 1989, Hukum Acara Pidana Sebagai Pengantar, PT. Djambatan, Jakarta.

Prodjodikoro Wirjono.1969. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung.

--- , 2003, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, PT.Refika Aditama, Bandung.

Ridwan, M dan Ediwarman.1994, Asas-Asas Kriminologi, USU Press, Medan

Sabuan, Ansori, 1990, Hukum Acara Pidana, PT. Angkasa, Bandung.

Santoso, Topo dan Eva Achiani Zulfa, 2001, Kriminolog Rajawali, Jakarta.

Sasangka, Hari dan LIli Rosita.2003, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, PT. Mandar Maju, Bandung.

Soekanto, Soerjono dan Hartono Widodo, 1987, Penanggulangan Pencurian Kendaraan Bermotor, PT. Bina Aksara, Jakarta.

Soetami, A Siti.1984, Pengantar Tata Hukum Indonesia, PT. Eresco, Bandung

Utrecht,E, 1996, Penghantar Ilmu Hukum Indonesia, Universitas, Jakarta.

Wahid, Abdul dan M.Labib, 2005, Kejahatan Maya Antara, PT. Refika Aditama, Malang.


(6)

Widiyanti, Ninik, 1987, Kejahatan dalam Masyarakat dan Pencegahannya, PT. Bina Aksara, Jakarta.

Peraturan perundang-undangan

Undang-undang No. 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP)

Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Undang-Undang No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian NKRI

Undang-undang No. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia,

Situs Internet

http/baityra.com/2010/09/14/kejahatan-pencurian-meningkat/html.

hukum/PI.157_2770138/p,