Gambaran Singkat Lima Kasus Advokasi

Tabel Daftar Pemohon Uji Materi Undang-Undang No. 27 Tahun 2007

19. Mujahidin (KIARA) diwakili oleh M Riza Adha Damanik

1 Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

1. Tiharom

20. Kusnan 2 Indonesian Human Right Committe for Social

2. Waun

21. Caslan Bin Justice (IHCS) diwakili oleh Gunawan Rasita

3. Wartaka

4. Carya

3 Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan 22. Kartim Peradaban Maritim (PK2PM) diwakili oleh

Bin Darja

Muhamad Karim 23. Rastono Bin

5. Kadma

Cartib 4 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) diwakili

6. Saidin

oleh Idham Arsyad 24. Ratib Bin Takrib

7. Jamhuri

5 Serikat Petani Indonesia (SPI) diwakili oleh 25. Wardi Henry Saragih

26. Andi Sugandi 6 Yayasan Bina Desa Sadajiwa diwakili oleh Dwi

8. Rosad

9. Tarawan

27. Budi Laksana Astuti

10. Tambrin Bin

7 Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia

Tarsum

(YLBHI) diwakili oleh Patra Mijaya Zein

11. Yusup

8 Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)

12. Rawa Nin Caslani

diwakili oleh Berry Nahdian Forqan

13. Kasirin

9 Aliansi Petani Indonesia (API) diwakili oleh Muhammad Nur Uddin

14. Salim 15. Warta 16. Rakim Bin Taip 17. Kadim

18. Abdul Wahab Bin Kasda

Selain 9 organisasi masyarakat sipil dan 27 pimpinan organisasi nelayan di atas, uji materi (judicial review) ke MK ini juga mendapat dukungan dari sejumlah akademisi, di antaranya: Prof Dr Nurhasan Ismail, SH, M.Si, Prof Dr I Nyoman Nurjaya, SH, MH, Prof Dr Ronald Z Titahelu, SH, MS, Dedi Supriadi Adhuri, PhD, dan Henry Thomas Simarmata. Demikian juga, sejumlah saksi dari nelayan dan masyarakat adat seperti Karyono, H. Masnun, dan Bona Beding.

1.5 Upaya masyarakat sipil membatalkan pasal-pasal pro-pasar pada UU Pendidikan dan UU BHMN (privatisasi perguruan tinggi) (2011 – 2012).

Liberalisasi di berbagai sektor publik menjadi salah satu konsekuensi yang ditempuh pemerintah Indonesia pasca penandatangan letter of intent (LoI), setelah krisis moneter yang diikuti dengan krisis ekonomi melanda negeri pada tahun 1997. Krisis ini memaksa Presiden Soeharto menandatangi sejumlah perjanjian yang berkaitan dengan penyesuaian struktural, antara lain, pemerintah Indonesia harus mengurangi subsidi layanan publik, agar IMF bersedia mengucurkan dana talangan ke pemerintah Indonesia. Setahun kemudian, Soeharto pun tak mampu mempertahankan kekuasaan dan dipaksa turun oleh gerakan masyarakat sipil.

Salah satu sektor yang tak luput dari liberalisasi dan privatisasi adalah sektor pendidikan, yang dalam konstitusi dasar disebutkan sebagai salah satu mandat yang harus dipenuhi pemerintah terhadap rakyat Indonesia. Pasca terbitnya Undang-Undang

20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pemerintah pun menginisasi Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, yang sifatnya lebih khusus mengatur tata kelola lembaga pendidikan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, yang disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 29 Januari 2009.

Substansi Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan adalah tekanannya pada pemberian otonomi dan tata kelola pendidikan menyerupai korporasi, misalnya, melakukan inventasi dalam bentuk portofolio (pasal 42) maupun membuka badan usaha (pasal 43). Konon, pemberian otonomi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Klausul ini tentu saja akan cenderung menjadikan pendidikan sebagai komoditas pasar. Pemberian otonomi kepada lembaga pendidikan bisa saja memberi peluang bagi lembaga pendidikan untuk mencari sumber-sumber pendanaan lain (seperti investasi dan badan usaha), namun kebijakan ini juga bisa dipergunakan sebagai legitimasi untuk menaikkan biaya pendidikan.

Kecenderungan ini sudah terjadi sebelumnya, ketika pemerintah menetapkan empat perguruan tinggi negeri (PTN) terkemuka ditetapkan sebagai Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN), yakni UI, UGM, ITB, dan IPB, sejak tahun 2000. Seketika, biaya pendidikan di keempat PTN itu melonjak, yang dengan sendirinya memperkecil kesempatan meraih pendidikan berkualitas bagi masyarakat miskin. Pada Kecenderungan ini sudah terjadi sebelumnya, ketika pemerintah menetapkan empat perguruan tinggi negeri (PTN) terkemuka ditetapkan sebagai Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN), yakni UI, UGM, ITB, dan IPB, sejak tahun 2000. Seketika, biaya pendidikan di keempat PTN itu melonjak, yang dengan sendirinya memperkecil kesempatan meraih pendidikan berkualitas bagi masyarakat miskin. Pada

Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU No 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) karena dinilai melanggar UUD 1945, Rabu, 31 Maret 2010. MK menilai, UU BHP ini menyeragamkan bentuk badan hukum pendidikan sehingga mengabaikan bentuk badan hukum lainya seperti yayasan, wakaf dan sebagainya. Selain itu, penyeragaman ini juga mengakibatkan orang miskin tidak bisa mengakses pendidikan padahal hal tersebut diamanatkan UUD 1945. Oleh MK, UU ini tidak menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional.

Mahkamah menilai UU BHP telah mengalihkan tugas dan tanggung Pemerintah dalam bidang pendidikan. Dengan adanya UU BHP misi pendidikan formal yang menjadi tugas pemerintah di Indonesia akan dilaksanakan oleh Badan Hukum Pendidikan Pemerintah (BHPP) dan Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah (BHPPD). Padahal UUD 1945 memberikan ketentuan bahwa tanggung jawab utama pendidikan ada di negara. UU BHP menjadikan pendidikan nasional diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar tanpa ada perlindungan sama sekali.

Keputusan MK ini dikeluarkan menyusul permohonan uji materil (judicial review) UU BHP yang diajukan sejumlah individu dan lembaga pendidikan di Indonesia. Permohonan uji materil UU BHP juga disertai dengan permohonan uji materil beberapa pasal dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Salah satunya adalah pasal 53 (1) yang menjadi payung hukum dari UU BHP. Walaupun menyatakan UU BHP bertentangan dengan UUD 1945, payung hukumnya tetap dinyatakan berlaku.

Tabel

Para Pemohon Judicial Review UU BHP dan Sisdiknas 47

No. Perkara

Judul Perkara

Pemohon

Putusan

21/PUU-VII/2009 Pengujian UU No. 20 Tahun Pemohon: 1. Yura Pratama Yudhistira dikabulkan 2003 dan UU No. 9 Tahun 2009

2. Fadiloes Bahar 3. Lodewijk F.Paat 4. sebagian tentang Sistem Pendidikan

Jumono 5. Zaenal Abidin 6. Yayasan Nasional dan Badan Hukum

Sarjana Wiyata Tamansiswa 7. Sentra Pendidikan (BHP) [Pasal 53

Advokasi Untuk Hak Pendidikan ayat

Rakyat (SaHdaR) 8. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) "Qaryah Thayyibah" 9. Serikat Rakyat Miskin Indonesia Kuasa Pemohon: Taufik Basari, S.H, S.Hum., LL.M, dkk

126/PUU-VII/2009 Pengujian UU No. 9 Tahun Pemohon: (1) Asosiasi BPPTSI, (2) dikabulkan 2009 tentang Badan Hukum

Yayasan Yarsi, (3) Yayasan Pesantren sebagian Pendidikan [Pasal 1 butir (5), Islam Al-Azhar, (4) Yayasan Perguruan Psal 8 ayat (3), Pasal 10, Pasal Tinggi As-Syafi'iyah, (5) Yayasan

Trisakti, (6) Yayasan Pendidikan dan ayat (1), Pasal 67 ayat (2), Bab Pembina Univ. Pancasila, (7) Yayasan IV tentang Tata Kelola Pasal 14 Univ. Surabaya, (8) YMIK, (9) Yayasan s.d. Pasal 36]

67 ayat (2), (4), dan Pasal 62

Univ. Prof. Dr. Moestopo, (10) YPLP-

47 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4bb37a39de6cc/mk-batalkan-uu-badan- hukum-pendidikan

PGRI, (11) Komisi Pendidikan Konferensi Waligereja Indonesia, (12) Yayasan Mardi Yuana, (13) MPK, dan (14) YPTK Satya Wacana Kuasa Pemohon : Dr. Luhut M. P. Pangaribuan, S.H., LL.M., dkk

14/PUU-VII/2009 Pengujian UU No. 9 Tahun Pemohon: Aminuddin Ma'ruf, Kuasa dikabulkan 2009 tentang Badan Hukum

Pemohon: Saleh, S.H. Sholihudin, Shi sebagian Pendidikan (BHP) [Pasal 41 ayat (5), (7), (9), Pasal 46 ayat (1), dan Pasal 57 huruf b, huruf c]

11/PUU-VII/2009 Pengujian UU No. 20 Tahun Pemohon: Aep Saepudin Kristiono dikabulkan 2003 dan UU No. 9 Tahun 2009 Iman Santoso Sandi Sahrinnurrahman sebagian Tentang Sisdiknas dan Badan Mega Yuliana Lukita BT Luki Da'i A. Hukum Pendidikan (BHP)

Shalihin Mudjiono Eruswandi Utomo [Pasal 6 ayat (2), Pasal 9, Pasal Dananjaya RR. Chitra Retna S Yanti

Sriyulianti Kuasa Pemohon: Emir huruf c dan d, Pasal 12 ayat (2) Zullarwan Pohan, S.H, dkk huruf b, Pasal 46 ayat (1), Pasal

47 ayat (2), Pasal 12 ayat (1)

24 ayat (3), Pasal 56 ayat (2) dan (3) ]

136/PUU-VII/2009 Pengujian UU No. 20 Tahun Pemohon 1: Harry Syahrial Pemohon dikabulkan 2003 tentang Sistem

sebagian Pendidikan Nasional [Pasal 28 Tayasmen Kaka ayat (2), (3), (6), Pasal 42 ayat (2), dan Pasal 51 ayat (1)]

2: Heru Narsono Pemohon 3:

Mahkamah berpendapat, selama badan hukum pendidikan diartikan fungsi penyelenggara pendidikan yang berarti bahwa suatu lembaga pendidikan harus dikelola oleh suatu badan hukum, pasal 53 (1) masih sesuai dengan koridor UUD 1945. Yang jadi masalah adalah apabila badan hukum pendidikan diartikan sebagai nama dan bentuk badan hukum tertentu. Badan hukum pendidikan seharusnya bukan penyeragaman terhadap satu bentuk badan hukum yang ditentukan sama bagi seluruh lembaga pendidikan seperti kehendak dari UU BHP.

Bentuk badan hukum dapat bermacam-macam misalnya yayasan, perkumpulan, perserikatan, badan wakaf, dan sebagainya. Karena itu, penjelasan pasal 53 (1) UU Sisdiknas yang berbunyi, Badan hukum pendidikan dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi penyelenggara dan/atau satuan pendidikan, antara lain, berbentuk badan hukum milik negara (BHMN), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Mahkamah menilai penjelasan pasal 53 ayat (1) mempersempit arti badan hukum pendidikan dan bertentangan dengan maksud pasal 53 ayat (1) itu sendiri.

Pada intinya, MK memberikan 5 alasan mengapa MK menggugurkan eksistensi BHP:(1) UU BHP mempunyai banyak kelemahan baik secara yuridis, kejelasan maksud dan keselarasan dengan UU lain; (2). UU BHP mempunyai asumsi penyelenggara pendidikan di Indonesia mempunyai kemampuan sama. Tapi, realitasnya kesamaan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) tak berarti semua PTN mempunyai kesamaan yang sama; (3) Pemberian otonomi kepada PTN akan berakibat beragam. Karena lebih banyak PTN yang tidak mampu menghimpun dana karena terbatasnya pasar usaha di Pada intinya, MK memberikan 5 alasan mengapa MK menggugurkan eksistensi BHP:(1) UU BHP mempunyai banyak kelemahan baik secara yuridis, kejelasan maksud dan keselarasan dengan UU lain; (2). UU BHP mempunyai asumsi penyelenggara pendidikan di Indonesia mempunyai kemampuan sama. Tapi, realitasnya kesamaan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) tak berarti semua PTN mempunyai kesamaan yang sama; (3) Pemberian otonomi kepada PTN akan berakibat beragam. Karena lebih banyak PTN yang tidak mampu menghimpun dana karena terbatasnya pasar usaha di

badan hukum lainnya. 48

48 http://news.detik.com/read/2010/03/31/152602/1329564/10/5-alasan-mk-membatalkan-uu-bhp