Beberapa Pelajaran Penting

Bab 2 Beberapa Pelajaran Penting

Secara matrikal beberapa pelajaran penting yang dapat diperoleh dari kajian terhadap 5 (lima) kasus terpilih adalah adalah sebagaimana tersaji dalam matrik berikut.

Tabel

Faktor-faktor yang mendukung keberhasilan keberhasilan/kegagalan

advokasi lima kasus

Kasus/isu Substansi/problem Mobilisasi sumber

Political and framing 

Repertoires of

Opportunity Rumusan masalah:

daya/brokerage/aktor action: legal

Structure: situasi clear,

pendukung: lingkar

drafting (NA,

position paper, politik yang argumentative

inti, aliansi, lobby,

atau sejenisnya; mendukung vs strategis,

pendanaan;

draf RUU; DIM; menentang data/contoh yg

aktor penentang

demontrasi;

penguat

mogok; Dll.

Quota globalisasi isu Perempuan dl

jender + +, +, +

Parlem en meluasnya kesempatan partisipasi

politik  Kongres 1995  Bejing 1996 

KPPI 2000  RUU Parpol 2002 – UU 12/2003

UU Pornografi

-, -, +

Perebutan makna pluralisme indonesia 

Formalisme )slam Vs pluralisme liberal

Reforma Agraria meluasnya dan Pengelolaan

kesempatan

(+/-),(+/-),(+/-)

Sumberdaya partisipasi Alam

politik advokasi Berkelanjutan

RA dan PSDA pra-reformasi  Kepres 48/99 ttg Revisi UUPA  Pidato Gus Dus 2000 pasa konvensi nasional  KPA via Prof. Maria dorong Panitia

Kasus/isu Substansi/problem Mobilisasi sumber

Political and framing 

Repertoires of

Opportunity Rumusan masalah:

daya/brokerage/aktor action: legal

Structure: situasi clear,

pendukung: lingkar

drafting (NA,

position paper, politik yang argumentative

inti, aliansi, lobby,

atau sejenisnya; mendukung vs strategis,

pendanaan;

draf RUU; DIM; menentang data/contoh yg

aktor penentang

demontrasi;

penguat

mogok; Dll.

Ad Hoc MPR Cabut (P

Liberalisasi ekonomi vs nasionalisme yang menguat

Liberalisasi pendidikan

Tolak privatisasi

ekonomi vs +,+,+ nasionalisme

yang menguat

Bagian-bagian berikut adalah uraian lebih lengkap atas temuan-temuan pokok kajian ini.

2.1. Substansi, problem, dan framing

Kemampuan aktor gerakan/advokasi untuk merumuskan serta mengemas isu dan masalah yang diperjuangkan, sehingga mudah dipahami —dan dengan demikian mendapat dukungan —publik, khususnya kelompok-kelompok akar rumput yang diperjuangkan. Kejelasan rumusan tuntutan (claim) itu juga mempengaruhi respons positif lembaga negara/pemerintah yang menjadi sasaran advokasi kebijakan yang sedang diperjuangkan.

Dalam kasus advokasi Kuota Perempuan 30 persen di Parlemen, permasalahan dirumuskan dan dikemas dengan singkat, padat dan jelas. Berangkat dengan mengemukakan data jumlah perempuan yang berada di parlemen setiap periodenya, ditunjukkan potret mengenai minimnya perempuan yang duduk dalam pengambilan keputusan. Minimnya representasi perempuan dalam bidang politik ini antara lain disebabkan oleh kondisi budaya yang patriakal di Indonesia. Minimnya jumlah perempuan di parlemen sebagai pengambil keputusan ini menjadi salah satu akar permasalahan dari kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan perempuan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan affirmatif mengenai kuota perempuan sebesar 30% untuk duduk di parlemen. Nampak pula bahwa argumentasi dikemukakan dengan strategis.

Selain itu, kejelasan angka 30 persen pun membuat tuntutan ini begitu matang. Belum lagi contoh di berbagai negara terkait jumlah perempuan dalam parlemen dan kebijakan yang kemudian dihasilkannya. Hal ini membuat tidak hanya banyak perempuan, namun juga laki-laki, memberikan respon positif untuk memberikan dukungan atas tuntutan ini.

Berbeda dengan kasus kutoa perempuan, pada kasus UU Pornografi rumusan permasalahan tidak terlalu clear . Jargon Tolak UU Pornografi yang digunakan dalam tuntutan ini, mengundang banyak persepsi. Argumentasinya juga kurang strategis, karena argumentasi yang digunakan panjang lebar dan ditemukan berbeda-beda dikemukakan. Walaupun banyak contoh untuk menguatkan tuntutan ini berhasil diangkat (seperti baju adat dari berbagai suku, patung, lukisan yang merupakan karya seni, dan lain sebagainya) sehingga beberapa Pemerintah Daerah mendukung tuntutan ini. Namun, dengan ketidakjelasan rumusan masalah serta argumen, menyebabkan counter movement juga berkembang. Ketidakjelasan masalah dan argumen ini bahkan diputarbalikkan seolah-olah gerakan ini menjunjung tinggi pornografi. Sehingga pada akhirnya di tingkat Mahkamah Konstitusi pun tuntutan ini menemukan kegagalan.

Dalam kasus Tap MPR IX/2001, secara substansial sebenarnya dapat dikatakan berhasil sekaligus tidak berhasil. Disebutkan berhasil karena kelompok Pembaruan Agraria berhasil merumuskan masalah dengan baik diikuti dengan argumentasi strategis. Namun seperti dijelaskan di awal, bahwa Kelompok Kerja untuk Pengelolaan Sumber Daya Alam (Pokja PSDA), di momen yang sama juga bergerak mendorong terbitnya Tap MPR tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam. Sehingga kemudian tuntutan ini kemudian menggabungkan dua kepentingan dalam satu payung atas nama Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PA-PSDA). Dijadikannya satu dari dua kepentingan besar ini secara substansi berdampak pada kesimpangsiuran substansi

Seperti yang dikemukakan Gunawan Wiradi, akademisi terkemuka di bidang politik agraria, yang menolak isi Tap MPR ini, dengan alasan diantaranya adalah karena Tap ini ternyata tidak berhasil mengintegrasikan konsep PA dan konsep PSDA. Sekalipun namanya satu Tap, tapi isinya tetap dua hal yang terpisah. Dengan kata lain Tap MPR ini sesungguhnya tidak berhasil menyatukan kedua kepentingan itu menjadi satu-kesatuan yang utuh. Di dalam Tap MPR, sektor agraria dan pengelolaan sumber daya alam ditempatkan dan dimaknai sebagai dua entitas yang berbeda.

Dari sini, menurut Wiradi, Tap MPR ini merupakan hasil maksimal kompromi dari suatu pertarungan antara kelompok pendukung agraria yang genuine, kelompok pendukung kepentingan modal, dan kelompok yang terjebak ke dalam penggunaan jargon-jargon yang berasal dari pihak lain yang sebenarnya mereka musuhi sendiri. Dan, pertarungan gagasan itu dimenangkan kelompok ketiga. Terbukti ketika gerakan kemudian gagal menggolkan UU PA-PSDA. Berdasarkan hal tersebut, maka secara substansi kasus ini dinyatakan tidak berhasil.

Sedangkan pada isu advokasi pembatalan hak pengusahaan perairan pesisir (HP3) melalui gugatan uji materi (judicial review) terhadap UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ke MK pada 13 Januari 2010, gerakan terbukti mampu merumuskan serta mengemas isu dan masalah yang diperjuangkan. Argumen strategis mengenai privatisasi dan komersialisasi yang dilakukan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara nyata bertentangan dengan konstitusi dasar Republik Indonesia, UUD 1945 dapat dikemukakan dengan jelas diikuti dengan berbagai data yang memperkuat argumen. Sehingga pada akhirnya Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan dan membatalkan ketentuan HP3.

Sama halnya dalam kasus advokasi UU BHP, isu yang dikemas untuk menolak UU B(P ini sangat menarik dan menohok, yakni komersialisasi pendidikan , pendidikan

yan g semakin mahal . (al ini sangat menyentuh kehidupan mayoritas penduduk Indonesia, yang menghadapi kehidupan yang semakin sulit karena privatiasi di berbagai sektor layanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, naiknya harga-harga kebutuhan pokok, dan sebagainya.

Kemudian hal ini dibenturkan dengan UUD 1945, dimana konstitusi dasar Indonesia sebenarnya secara eksplisit telah mengatur bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab negara, di mana setiap warga negara berhak memperolehnya. Di sisi lain, sejak urusan pendidikan diserahkan kepada daerah pada era otonomi daerah, banyak diberlakukan pendidikan gratis mulai dari SD-SLTA. Dari sini jelas UU BHP ini bertentangan dengan konstitusi serta semangat perubahan yang sudah terjadi di era desentralisasi.

Kemasan problem yang menarik disertai dengan argumentasi yang jelas ini, membuahkan hasil pada dibatalkannya UU membatalkan UU No 9/2009 tentang BHP oleh MK karena dinilai melanggar UUD 1945. Mahkamah Konstitusi (MK) MK menilai, UU BHP ini menyeragamkan bentuk badan hukum pendidikan sehingga mengabaikan bentuk badan hukum lainya seperti yayasan, wakaf dan sebagainya. Selain itu, penyeragaman ini juga mengakibatkan orang miskin tidak bisa mengakses pendidikan padahal hal tersebut diamanatkan UUD 1945. Oleh MK, UU ini tidak menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional.

Mahkamah juga menilai UU BHP telah mengalihkan tugas dan tanggung Pemerintah dalam bidang pendidikan. Dengan adanya UU BHP misi pendidikan formal yang menjadi tugas pemerintah di Indonesia akan dilaksanakan oleh Badan Hukum Pendidikan Pemerintah (BHPP) dan Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah (BHPPD). Padahal UUD 1945 memberikan ketentuan bahwa tanggung jawab utama pendidikan ada di negara. UU BHP menjadikan pendidikan nasional diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar tanpa ada perlindungan sama sekali.

Berdasarkan gambaran kasus di atas jelas bahwa sebuah advokasi memerlukan rumusan masalah dengan jelas, disertai argumen yang strategis dan mudah dipahami serta data maupun contoh-contoh yang memperkuat. Hal ini akan mempengaruhi respons positif dari sasaran advokasi kebijakan yang sedang diperjuangkan.

2.2. Mobilisasi sumber daya

Mobilisasi sumber daya sangat mendukung isu atau tuntutan yang sedang diperjuangkan. Sumber daya yang dimaksud adalah bagaimana aktor-aktor gerakan advokasi membangun organisasi lingkar inti, aliansi, pendukung, bahkan aspek-aspek pendanaan, sehingga gerakan advokasi memiliki daya dorong yang kuat dan maksimal. Mobilisasi sumber daya adalah berbicara tentang maximizing dan strategizing potensi- potensi yang dimiliki untuk mendorong isu atau kasus ke titik keberhasilan. Kemampuan dalam mengelola sumber daya ini juga penting karena mempertimbangkan setiap gerakan advokasi selalu disertai dengan kekuatan demobiliasasi yang menentang gerakan (counter-movement).

Dalam kasus advokasi Kuota Perempuan 30 persen di Parlemen, organisasi gerakan dalam bentuk aliansi yang dibangun sangat kuat dan besar. Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI), sebagai pendukung utama, adalah organisasi independen yang keanggotaannya bersifat inklusif, yaitu merupakan gabungan 17 partai politik, perempuan anggota DPR-RI yang bergabung dalam Kaukus Perempuan Parlemen, 38 LSM dan organisasi masyarakat seta kelompok akademisi yang bergabung dalam Jaringan Perempuan dan Politik dan 78 organisasi wanita yang bergabung dalam Kongres Wanita Indonesia (KOWANI). (Swara Androgini, Vol. II No. 5 Juni 2003, hal 14).

Bukan hanya didukung organisasi yang besar dan solid, keberhasilan gerakan advokasi ini juga didukung oleh kesamaan pandangan dari berbagai elemen organisasi masyarakat sipil, perempuan dalam parlemen, perempuan dalam partai politik dan berbagai pihak lain. Untuk dapat mencapai kesamaan pandangan ini, KPPI menempuh proses yang cukup panjang. KPPI berusaha melakukan pendekatan secara personal kepada anggota parlemen, terutama perempuan. Mengingat bahwa pintu masuknya justru dari kaum perempuan itu sendiri, Bahkan kemudian dari sini, sejumlah perempuan anggota parlemen periode 1999-2004 mendirikan Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI) pada 19 Juli 2001 di Gedung DRP/MPR. Tidak hanya di parlemen, KPPI terus menerus melakukan konsolidasi dengan para aktifis perempuan, partai politik, instansi pemerintah, dan berbagai pihak lainnya yang concern mengawal kouta perempuan.

Pada kasus UU Pornografi, meskipun didukung banyak aktor dari berbagai lapisan sosial (organisasi masyarakat sipil, artis-artis, budayawan, politisi, tokoh-tokoh bangsa, dan lain-lain), serta berbagai bentuk aksi (repertoires of action) dilakukan, namun gerakan advokasi menghempang UU Pornografi ini tidak berhasil karena ditentang oleh kelompok Islam yang juga memobilisasi perlawanan yang masif untuk mendukung diterbitkannya UU Pornografi.

Sebagai mana diketahui, dukungan terhadap UU Pornografi datang dari berbagai organisasi yang berpengaruh pada masyarakat Islam di Indonesia, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Hizbut Tahir, Front Pembela Islam (FPI), dan Mahasiswa Muslim Indonesia (MMI), dan lain-lain. Bahkan MUI pun mengeluarkan fatwa yang kemudian memperluas simpatisan yang mendukung lahirnya UU ini.

Dari sudut ini, peluang keberhasilan organisasi masyarakat sipil yang menolak UU Pornografi akan lebih besar jika mobilisasi sumber daya yang mereka miliki juga diarahkan untuk mempengaruhi organisasi atau kekuatan-kekuatan penentang mereka. Usaha ini tidak memberi jaminan. Namun, hal yang perlu dipelajari dari kasus ini bahwa movement senantiasa memiliki potensi counter-movement yang harus dikelola.

Dalam kasus Tap MPR IX/2001, sumber daya yang dimiliki organisasi gerakan sesungguhnya cukup besar, namun terpecah. Adanya dua kelompok masyarakat sipil yang masing-masing memiliki agenda yang berbeda, juga serangkaian aksi yang terpisah yang mendahuluinya, membuat kelompok Pembaruan Agraria (PA) dan Kelompok Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA) hanya berhasil mendorong terbitnya Tap MPR IX/2001, tapi tidak berhasil secara substansial. Jika ditelusuri lebih jauh, Tap MPR ini sesungguhnya tidak berhasil menyatukan kedua kepentingan itu menjadi satu- Dalam kasus Tap MPR IX/2001, sumber daya yang dimiliki organisasi gerakan sesungguhnya cukup besar, namun terpecah. Adanya dua kelompok masyarakat sipil yang masing-masing memiliki agenda yang berbeda, juga serangkaian aksi yang terpisah yang mendahuluinya, membuat kelompok Pembaruan Agraria (PA) dan Kelompok Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA) hanya berhasil mendorong terbitnya Tap MPR IX/2001, tapi tidak berhasil secara substansial. Jika ditelusuri lebih jauh, Tap MPR ini sesungguhnya tidak berhasil menyatukan kedua kepentingan itu menjadi satu-

Keberhasilan gerakan ini juga tampaknya sangat dipengaruhi besarnya dukungan politik parlemen dan, meskipun saat itu di tingkat akar rumput terjadi bentrok fisik antara petani penggarap dengan aparat keamanan, namun wacana dan gerakan reforma agraria tidak mendapat counter movement yang berarti. Selama periode itu, tidak ditemukan adanya kekuatan yang terorganisir untuk melakukan aksi tandingan terhadap gerakan reforma agaria.

Salah satu kekuatan gerakan advokasi HP3 melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi adalah solidnya koalisi yang dibangun antara CSO dengan organisasi nelayan dan masyarakat adat pesisir. Meskipun tidak seluruh anggota koalisi secara langsung menangani isu pesisir (sebagai core business lembaga), namun mereka memiliki satu misi yang seragam menolak HP3, yang salam prosesnya memakan waktu sekitar 1,5 tahun.

Dalam beberapa kasus gerakan advokasi di Tanah Air sejauh ini, tidak jarang ditemukan berbagai pespektif dalam memandang suatu masalah, yang seolah-olah mewakili kepentingan yang berbeda —seperti kasus advokasi Tap MPR IX/2001 terjadi perpecahan kelompok CSO pendukung Pembaruan Agraria vs Pengelolaan Sumber Daya Alam. Dalam kasus advokasi HP3 ini, memang ada aktivis CSO (ornop) yang menjadi saksi ahli pemerintah, namun kehadirannya dirasakan tidak signifikan dan mengganggu soliditas koalisi.

Dukungan yang diberikan beberapa pakar yang bersedia menjadi saksi ahli juga pantas dicatat. Umumnya para saksi ahli yang mendukung advokasi Tolak HP3 ini merupakan akademisi perguruan tinggi yang diakui kepakarannya. Kehadiran mereka adalah energi positif bagi koalisi membangun gerakannya. Dalam hal ini, ketiakpuasan nelayan, masyarakat adat, dan organisasi masyarakat sipil mendapat justifikasi ilmiah. Dan hal itu menjadi nilai tersendiri bagi para hakim konstitusi. Apalagi, pihak pemerintah juga menghadirkan para pakar untuk menjustifikasi kebijakannya.

Peran strategis yang dimainkan sekitar 30 pengacara muda, yang umumnya berasal dari organisasi masyarakat sipil dan jaringannya, juga perlu dicatat. Mereka dengan gigih mempelajari dan mendalami sistem perekonomian (bahari) yang selama ini bukan menjadi domain utama mereka.

Selain itu, Koalisi mengerahkan sumber daya yang mereka miliki secara maksimal. Kekuatan massa yang menyebar di berbagai organisasi nelayan dan petani dikerahkan untuk melakukan demonstrasi serentak di berbagai tempat, dukungan CSO di seluruh Indonesia dimobilisasi untuk menekan MK, komunikasi dengan media massa dipelihara dan diintensifkan, serta kampanye publik dengan berbagai metode dilaksanakan secara maraton.

Perlawanan terhadap HP3 ini juga bulat. Tidak ada kelompok masyarakat sipil yang mendukung HP3. Masyarakat sipil tidak mengalami sedikit pun polarisasi kepentingan. Satu-satunya dukungan terhadap HP3 adalah dari pengusaha —dan tentu juga dari Pemerintah, yang secara politik tentu saja merupakan objek yang digugat.

Dalam kasus advokasi UU Badan Hukum Pendidikan, organisasi gerakan advokasi sangat cair dan berjalan sendiri-sendiri. Namun, meskipun tidak terkoordinir, Dalam kasus advokasi UU Badan Hukum Pendidikan, organisasi gerakan advokasi sangat cair dan berjalan sendiri-sendiri. Namun, meskipun tidak terkoordinir,

Gerakan penolakan terhadap RUU BHP ini dimulai dari kampus-kampus yang berstatus BHMN seperti UI, UGM, ITB, dan UPI. Badan eksekutif mahasiswa (BEM) di keempat kampus itu paling sering mengadakan diskusi mengkritisi keberadaan RUU BHP. Di luar Jawa, mahasiswa di Universitas Hasanudin, Makasar, tergolong paling aktif menolak RUU BHP, baik melalui diskusi-diskusi maupun aksi demonstrasi.

Selain mahasiswa, banyak kelompok dan komunitas yang menolak RUU BHP, seperti ABPTSI (Asosiasi Badan Pengelola Perguruan Tinggi Swasta Indonesia), ANBTI (Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika), DPD (Dewan Perwakilan Daerah), Forum Rektor, IER (Institute for Education Reform), Koalisi Pendidikan, PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia), Majelis Luhur Taman Siswa, dan sebagainya. Berbagai kelompok ini melakukan berbagai aksi seperti menyampaikan sikap melalui press release, seminar, diskusi-diskusi publik, dan sebagainya.

Sejumlah CSO memberi dukungan seperti ICW, FITRA, Suara Ibu Peduli, Auditan, Koalisi Pendidikan, dengan mengadakan diskusi publik tentang monitoring dampak implementasi RRU BHP, yang diadakan pada 1 Agustus 2007, di Jakarta. Dukungan terhadap gerakan menolak RUU BHP ini juga datang dari sejumlah tokoh nasional seperti Ahmad Syafii Maarif (Muhammadyah), Tyasno Sudarto (Majelis Luhur Perguruan Taman Siswa), Siswono Yudohusodo (Yayasan Universitas Pancasila), HAR Tilaar (pakar pendidikan), Daoed Joesoef (mantan menteri pendidikan), Sri Sultan Hamengkubuwono X, dan sebagainya.

Sebaliknya, pendukung UU BHP hanya datang dari kalangan pejabat pemerintah dan DPR yang dalam hal ini sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam pembentukan UU-nya, yakni kementerian pendidikan dan Komisi X DPR-RI. Selain itu, dukungan datang dari pimpinan perguruan tinggi yang telah menjadi PT BHMN karena UU ini akan memberikan payung hukum yang kuat bagi status mereka.

Dengan demikian, gerakan advokasi ini didukung oleh kekuatan movement yang besar, tanpa counter-movement yang berarti. Organisasi gerakan advokasi cair, tidak terkoordinir, namun gelombang perlawanan dilakukan secara masif dan sistematis.

2.3. Bentuk-Bentuk Aksi

Bentuk-bentuk aksi (repertoires of action) dilakukan untuk mewujudkan atau mengejawantahkan sumber daya yang dimiliki. Pilihan-pilihan aksi membutuhkan sumber daya yang berbeda-beda. Demikian pula, pilihan-pilihan aksi menentukan hasil atau dampak yang berbeda. Aksi-aksi yang berhasil tidak senantiasa ditentukan oleh jumlah atau kuantitas peserta aksi, tapi seringkali ditentukan kualitas aksi. Sebagaimana akan kita lihat dari dari beberapa studi kasus berikut, ternyata, pilihan aksi harus disesuaikan dengan target dan sasaran aksi advokasi.

Pada kasus advokasi Kuota Perempuan 30 persen di Parlemen, aksi ditempuh melalui pendekatan yang bersifat subyektif dan personal. Tentunya, sebelum itu ada Pada kasus advokasi Kuota Perempuan 30 persen di Parlemen, aksi ditempuh melalui pendekatan yang bersifat subyektif dan personal. Tentunya, sebelum itu ada

Pada awalnya pertemuan-pertemuan formal dijadikan strategi oleh KPPI. Secara aktif dilakukan kunjungan ke berbagai partai politik untuk memperoleh komitmen dukungan (termasuk janji-janji mengenai kuota). Selain itu secara aktif KPPI juga menghadiri undangan RDPU terkait kouta perempuan, sampai kepada melakukan berbagai diskusi kecil yang mengundang para anggota pansus, yang dalam kasus ini terdiri dari dua partai politik yaitu Partai Golkar dan Partai Kebangkitan Bangsa, untuk memberikan masukan dan saran kepada secara bertahap terkait hal ini. Namun, ternyata keluruhan strategi yang ditempuh tersebut menemukan kegagalan dengan tidak dicantumkannya kuota 30 persen perempuan dalam kepengurusan partai politik pada UU Partai Politik. Hal ini memaksa untuk mengubah strategi aksi

Dengan sasaran UU Pemilu, aksi diubah melalui pendekatan yang bersifat subyektif dan personal terhadap anggota pansus dan juga fraksi-fraksi di DPR. Tentunya dengan terlebih dahulu memetakan siapa personal yang memiliki pengaruh dalam parpolnya, seperti contohnya Teras Narang (saat itu menjabat sebagai Ketua Komisi II DPR). Dianggap orang-orang ini dapat menjadi jembatan untuk menggolkan isu yang diusung ke proses legislasi karena kemampuan mempengaruhi anggota parlemen lainnya.

Media komunikasi telepon (baik via SMS dan handphone) menjadi alat yang paling banyak digunakan dari pada pertemuan-pertemuan formal. Seperti yang dinyatakan oleh Ketua Komisi II DPR, Teras Narang (Fraksi PDIP) bahwa para aktivis perempuan seperti Ibu Titi Sumbung dan Prof. Dr. Saparinah Sadli setiap hari tidak kenal siang malam melakukan kontak melalui telepon mengenai upaya kaum perempuan tentang

kuota, dan sempat merasa terganggu . 49 Selain berkomunikasi terus menerus, perlengkapan/tools yang digunakan KPPI

dalam advokasi, adalah menyusun set informasi mengenai kesetaraan gender dan kondisi diskriminatif yang dialami perempuan disebabkan sistem partriarkhal yang berakibat pada kehidupan di wilayah publik dan negara khususnya. Di samping itu juga disusun Daftar Isian Masalah (DIM). DIM dalam draft RUU dipersiapkan untuk diserahkan kepada anggota pansus atau personal terkait pasal-pasal afirmasi bagi perempuan ketika sidang pembahasan. Pilihan aksi ini membuahkan hasil pada diadopsinya tuntutan kuota perempuan dalam UU Pemilu.

Berbeda dengan kasus kuota perempuan ini, aksi yang dipilih oleh gerakan dalam menolak RUU Pornografi dilakukan dengan mempengaruhi pendapat publik. Berbagai atraksi seni dan budaya, pengerahan massa besar-besaran untuk kampanye, deklarasi, pernyataan sikap menjadi pilihan aksi yang dilakukan. Menggalang dukungan dari tokoh-tokoh dan orang terkenal (mulai akademisi, seniman, aktivis sampai selebritis) dilakukan sebagai bagian dari strategi. Termasuk menggalang dukungan dari Pemerintah Daerah di beberapa wilayah (seperti Bali, Yogyakarta, NTT, Papua dan lain sebagainya) untuk mengusung kebhinnekaan Indonesia.

49 Interview Umaimah Wahid dengan Teras Narang (dalam Wahid, ibid)

Keseluruhan aksi ini ditujukan untuk membukakan mata atas realitas kebhinekaaan di Indonesia yang terkait dengan pandangan atas nilai moral dan akhlak yang berbeda. Sehingga penyeragaman dengan melalui sarana hukum dan memberikan ancaman pidana menunjukkan negara telah berupaya untuk melakukan pemaksaan (coersion) atas suatu pandangan yang berbeda.

Kelebihan dari strategi ini tentu saja bahwa publik (termasuk media massa tentunya berperan) berhasil sejenak menaruh perhatiannya pada isu ini. Terbukti dari hampir tua-muda tinggal di kota besar maupun kecil jika ditanya setidaknya tahu ada UU Pornografi (tidak lebih jauh). Namun, pengambilan keputusan tetap berada di anggota parlemen. Sehingga, RUU dapat disepakati dan disahkan menjadi UU tanpa kendala berarti.

Pada kasus mendorong terbitnya Tap MPR No IX mengenai PA-PSDA, organisasi masyarakat sipil menggunakan dua jalur advokasi sekaligus, yakni gerakan perlementer dan ekstraparlementer. Sebagai gerakan parlementer, disiapkan gagasan atau konsep yang komprehensif sebagai peta jalan reformasi pada dua isu besar dimaksud. Konsep ini digagas dari dua kegiatan besar yaitu Konferensi Nasional Pembaruan Agraria untuk Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Asasi Petani beserta Konferensi Nasional Pengelolaan Sumber Daya Alam. Konsep yang komprehensif tadi dijadikan instrumen utama demi berhasilnya tuntutan ini. Selama proses penyusunan Tap MPR pun, organisasi masyakat sipil seperti Konsorsium Pembaruan Agraria, Kelompok Studi Pembaruan Agraria, Serikat Petani Pasundan, Federasi Serikat Petani Indonesia, dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara aktif melakukan tekanan melalui demonstrasi, delegasi, dan petisi ke MPR RI.

Sementara gerakan ekstra parlementer ditempuh melalui berbagai aksi. Selain pendudukan lahan yang berlangsung meluas di seluruh wilayah Nusantara, juga berlangsung lobi, diskusi, seminar, demonstrasi. Aksi berbagai arah ini, menghasilkan terpenuhinya tuntutan lahir Tap MPR No IX mengenai PA – PSDA.

Sedangkan untuk kasua HP3, sebagai awal strategi dibangun Koalisi Tolak HP3, melalui pertemuan-pertemuan di kalangan organisasi masyarakat sipil untuk menyamakan persepsi dan membangun argumentasi terhadap pasal-pasal yang dianggap krusial. Kemudian, pengorganisasian tetap dilakukan di lapangan untuk mengajak dan meyakinkan para pimpinan organisasi nelayan terlibat dalam proses persidangan di MK.

Koalisi juga kemudian secara aktif melakukan serangkaian tekanan melalui press release dan lobi-lobi ke MK. Selain itu, aksi demonstrasi juga diselenggarakan untuk mendesak MK membatalkan HP3. Demonstrasi ini dilakukan secara simultan ketika koalisi menyerahkan naskah gugatan HP3 ke MK. Aksi-aksi massa juga dilakukan, yang mengikut sertakan petani dan nelayan, hampir setiap kali persidangan di MK berlangsung. Nelayan dan petani membawa simbol-simbol kehidupan nelayan. Selain itu, aksi-aksi demonstrasi serempak juga dilakukan di basis-basis nelayan dan organisasi tani, untuk memperluas isu penolakan HP3.

Koalisi juga memobilisasi dukungan dari jaringan NGO dengan cara sebanyak mungkin mengirim faximili ke MK untuk menolak HP3 (petisi). Koalisi juga secara Koalisi juga memobilisasi dukungan dari jaringan NGO dengan cara sebanyak mungkin mengirim faximili ke MK untuk menolak HP3 (petisi). Koalisi juga secara

Dalam kasus perlawanan terhadap UU BHP, aksi dilakukan sejak masih berstatus RUU dan dibahas di DPR tahun 2003. Banyak kelompok dan komunitas maupun tokoh nasional yang menolak RUU BHP. Mereka melakukan berbagai aksi seperti menyampaikan sikap melalui press release, seminar, diskusi-diskusi publik, dan sebagainya.

Paling nyata, gerakan penolakan terhadap RUU BHP ini dimulai dari kampus- kampus yang berstatus BHMN seperti UI, UGM, ITB, dan UPI. Badan eksekutif mahasiswa (BEM) di keempat kampus itu paling sering mengadakan diskusi mengkritisi keberadaan RUU BHP. Hal ini barangkali disebabkan, karena mereka sudah merasakan secara langsung peningkatan biaya pendidikan yang sangat signifikan di kampusnya masing-masing. Di luar Jawa, mahasiswa di Universitas Hasanudin, Makasar, tergolong paling aktif menolak RUU BHP. Khas gerakan mahasiswa, aksi ditempuh baik melalui diskusi-diskusi maupun aksi demonstrasi.

Aksi-aksi mahasiswa juga berlangsung ketika pengesahan. Di dalam gedung DPR, tempat berlangsungnya rapat paripurna, sejumlah mahasiswa UI melakukan aksi.

Mereka meneriaki wakil rakyat sebagai penghianat . Di luar sidang, berlangsung perdebatan antara Presiden BEM UI Edwin nafsa Nauval dengan Ketua Komisi X DPR-RI

Irwan Prayitno dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Di luar gedung, mahasiswa dan masyarakat dari berbagai komunitas sempat dorong-mendorong secara menegangkan dengan aparat keamanan, yang terdiri dari Aliansi Masyarakat Miskin, Aliansi Rakyat Menolak RUU BHP, FITRA, ICW, LMND, juga mahasiswa dari UI, ITB, UNJ,

Mercubuana, yang membagikan pamflet bertuliskan B(P=Badan (aram Pendidikan . Selain itu, di berbagai daerah seperti Makasar, Yogyakarta, Semarang, Purwokerto,

Gresik, Sumatera Utara, Pontianak, Tanjung Pura, juga berlangsung aksi mahasiwa dengan tuntutan serupa: untuk menolak DPR mengesahkan RUU ini. 50

Strategi utama dimainkan masyarakat sipil untuk menolak RUU dan UU BHP adalah gerakan-gerakan advokasi di luar parlemen dan tekanan-tekanan (pressure) yang ditujukan langsung kepada parlemen. Sejauh ini, tidak ditemukan adanya catatan yang menjelaskan upaya mereka mengajukan alternatif kebijakan, atau draft alternatif undang-undang. Hal ini berbuah pada kegagalan menghempang pengesahan UU ini di DPR.

Dengan demikian jelas bahwa bentuk-bentuk aksi yang dilakukan (repertoires of action) untuk mewujudkan tuntutan akan menentukan hasil. Aksi-aksi yang berhasil tidak senantiasa ditentukan oleh jumlah atau kuantitas peserta aksi, tapi seringkali ditentukan kualitas aksi, sebagaimana digambarkan dari studi kasus di atas.

50 Selengkapnya lihat Darmaningtyas dkk (2009: 289-295)

2.4. Struktur Peluang Politik

Struktur peluang/kesempatan politik (political opportunity structure) adalah situasi politik yang mendukung dan bertentangan. Keberhasilan gerakan advokasi seringkali didukung, kalau bukan ditentukan, lingkungan atau situasi eksternal gerakan. Situasi politik pasca-Orde Baru yang relatif demokratis menjadi faktor yang paling utama menentukan keberhasilan gerakan advokasi. Demikian juga wacana good governance yang mengedepankan adanya transparansi, akuntabilitas, partisipasi, responsibilitas, dan sebagainya.

Sebagaimana akan diuraikan berikut ini, keberhasilan advokasi yang dibangun terjadi karena beberapa hal, seperti opini publik yang berkembang terhadap suatu kasus; adanya dukungan elite tertentu dalam pemerintahan —tidak selalu dalam bentuk materi, tetapi juga ide dan keberpihakan; perpecahan (termasuk opini) elite politik; bahkan munculnya locus baru kekuasaan, seperti lahirnya Mahkamah Konstitusi dalam tata negara Indonesia.

Di dalam kasus advokasi kuota perempuan di parlemen, kita bisa melihat pengaruh signifikan dari menyebarnya wacana kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam wacana sosial-budaya di Indonesia sejak tahun 1970-an. Hal ini didorong oleh berkembangnya isu persamaan, kesertaraan, keadilan jender yang telah menjadi wacana global dan didorong berbagai organisasi masyarakat sipil di berbagai belahan dunia. Sejarah parlemen di dunia menunjukkan, jumlah perempuan menjadi anggota parlemen semakin signifikan seperti 20, 30 atau bahkan 40 persen dari total anggota.

Di internal parlemen sendiri, meskipun arus besar wacana di parlemen masih didominasi maskulinitas (PDIP dan Presiden Megawati, antara lain, berada di garis terdepan menentang kuota 30 persen), namun DPR sendiri mengalami apa yang disebut instability of political alignments dengan berdirinya Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI), pada 19 Juli 2001 di Gedung DRP/MPR, oleh sejumlah perempuan anggota parlemen periode 1999-

. Mereka inilah yang menjadi insider dan supporter bagi gerakan CSO dari luar parlemen untuk mendorong isu kuota

persen perempuan. Dalam isu UU Pornografi, yang gagal dihempang organisasi masyarakat sipil,

situasi politik yang mendukung dan menentang berlangsung sama-sama kuat. Ketika gagasan dan wacana pluralisme dan multikulturalisme berkembang di Indonesia pasca- Orde Baru, kekuatan Islam fundamentalis yang menginginkan formalisme syariat Islam juga menguat. Dalam hal ini, political opportunity structure tidak hanya bisa dimanfaatkan oleh aktor gerakan advokasi, tetapi juga oleh kekuatan yang berlawan kepentingannya.

Penggunaan sentimen agama yang digunakan counter-movement actors tak bisa dihempang organisasi masyarakat sipil, bahkan ketika mereka mengajukan nilai-nilai budaya yang bersifat lokal. Kontentasi wacana dan makna akhirnya dimenangkan counter-movement ketika, seperti diketahui, perlawanan advokasi UU ini muncul di antaranya dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Hizbut Tahir, Front Pembela Islam (FPI), dan Mahasiswa Muslim Indonesia (MMI), dan lain-lain —di tengah kenyataan bahwa penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam. Bahkan MUI pun mengeluarkan fatwa yang kemudian memperluas simpatisan yang mendukung lahirnya UU ini.

Pada isu reforma agraria, keberhasilan organisasi masyarakat sipil mendorong lahirnya Tap MPR IX/2001 tak bisa dilepaskan dari faktor maraknya aksi-aksi pendudukan dan reclaiming tanah di berbagai wilayah Nusantara; beralihnya kekuasaan dari Orde Baru Soeharto ke Presiden Habibie, seterusnya ke Abdurahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, yang merupakan dua tokoh penting gerakan reformasi di Tanah Air —selain Amien Rais dan (kemudian) Sri Sultan Hamengkubuwono X; parlemen yang dikuasai partai oposisi pada rezim Orde Baru (gabungan PDI Perjuangan, PKB, PAN, dan Partai Keadilan).

Peran tokoh atau akademisi yang kemudian memiliki akses terhadap kekuasaan ketika itu, yakni Prof. Maria S.W. Sumardjono, yang ketika itu menjabat sebagai staf ahli MPR RI Fraksi PDI Perjuangan —partai pemenang pemilu—juga harus dicatat sebagai opportunity. Kapasitasnya yang mumpuni, keberpihakannya pada agenda reforma agraria, serta kedekatannya dengan organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang reform agraria, memungkinkan wacana reforma agraria menjadi agenda formal di MPR.

Sebelumnya, Presiden Wahid juga sudah menyampaikan pernyataan publik akan membagikan 40 persen tanah perkebunan milik negara kepada petani tak bertanah, khususnya kepada para petani penggarap. Meski statement Gus Dur ini juga tidak sempat diimplementasikan menyusul pemecatan (impeachment) dirinya dari kursi

kepresiden, Juli , pernyataan itu sungguh menjadi legacy yang sangat berharga bagi gerakan reforma agraria. Setidak-tidaknya, statement itu telah menjustifikasi

keberadaan petani penggarap dan pendudukan lahan, sekaligus menjustifikasi bahwa persoalan agraria yang diperjuangkan masyarakat sipil bukanlah isapan jempol. Akan tetapi, perpecahan yang terjadi di kalangan organisasi masyarakat sipil,

yang terjadi sejak awal —dengan munculnya dua draft Tap MPR: Pembaruan Agraria (PA) dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA) —dan hanya bersatu secara taktis untuk mendorong lahirnya satu Tap MPR IX/2001, lalu kemudian terpecah lagi pasca terbitnya Tap MPR, membuat agenda ini tidak berhasil sampai lahirnya UU yang bersifat operasional.

Pada isu advokasi pembatalan hak pengusahaan perairan pesisir (HP3), kita juga melihat berperannya struktur peluang politik secara nyata. Selain, aspek-aspek legal, mobilisasi sumber daya, dan framing isu yang bagus, keberhasilan gerakan advokasi ini, antara lain, juga disebabkan isu privatiasi dan komersialisasi di berbagai bidang telah menjadi concern masyarakat Indonesia secara luas. Opini publik nasional sedang menguat ke arah tema-tema nasionalisasi. Apalagi, sebelumnya uji materi telah pernah dilakukan (dan berhasil) terhadap UU Sumber Daya Air, UU Penanaman Modal Asing (masalah HGU), dan UU Migas jilid I. Putusan-putusan terdahulu ini menjadi yurisprudensi penting bagi uji materi UU 27/2007.

Selain itu, adanya salah satu hakim konstitusi yang benar- benar expert di bidang agraria (agrarian policy) memberikan keuntungan tersendiri bagi Koalisi karena isu yang diusung berkenaan dengan konflik agraria. Hakim Konstitusi Prof. Akhmad Sodiki dinilai mewarnai putusan MK, sehingga putusan itu kaya dengan nuansa UUPA, yang bersifat populis.

Keberhasilan masyarakat sipil menolak dan membatalkan UU BHP sangat dipengaruhi oleh besarnya perhatian publik terhadap kasus ini. Media massa lokal dan Keberhasilan masyarakat sipil menolak dan membatalkan UU BHP sangat dipengaruhi oleh besarnya perhatian publik terhadap kasus ini. Media massa lokal dan

UU BHP juga sangat menarik dan menohok kepentingan mayoritas rakyat )ndonesia, yakni komersialisasi pendidikan , pendidikan yang semakin mahal , yang menghadapi kehidupan yang semakin sulit karena privatiasi di berbagai sektor layanan

publik, seperti pendidikan, kesehatan, naiknya harga-harga kebutuhan pokok, dan sebagainya. Karena itu, banyak pihak dan kekuatan sosial yang bergabung dengan gerakan advokasi, seperti tokoh-tokoh nasional, maupun partai politik partai yang tidak mau kehilangan muka di depan publik. Keberhasilan advokasi UU B(P, melalui

pembatalan di MK, dengan demikian, sangat dipengaruhi opini publik yang berkembang, termasuk ide privatisasi dan komersialisasi yang sejauh ini telah berhasil ditolak karena bertentangan dengan konstitusi (UUD 1945).

Bahan Belajar -2 Topik 1

Abstrak Pertalian yang Buruk :

Studi Awal tentang Relasi Parlemen dan CSO di Indonesia 51

Oleh : Cornelis Lay, Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol), UGM, Yogyakarta

Paper ini adalah bagian dari riset awal saya tentang hubungan parlemen-CSO dalam proses-proses kebijakan di Indonesia. Tujuannya adalah untuk memberikan informasi dasar tentang pertalian politik antara parlemen sebagai arena demokrasi baru yang tercipta dengan CSO, termasuk di dalamnya faktor-faktor yang mendukung dan menghambat hubungan di antara kedua entitas ini. Lebih daripada itu, paper ini bertujuan untuk memberika n gambaran yang lebih jelas tentang keterikatan antara

kekuasaan, ruang, dan arena power, space, and place), satu sama lain, dalam memahami secara lebih baik bagaimana ruang dan arena demokrasi politik baru

tercipta, pihak-pihak yang terlibat di dalam dan landasan keterlibatannya, dinamika pertalian di antara mereka, yang mencerminkan relasi kuasa tertentu.

Dengan demikian, paper ini mengevaluasi dan menggambarkan perkembangan demokrasi di Indonesia yang sedang terjadi, secara khusus menjelaskan tentang masalah pembajakan, hegemoni elit rezim lama, bekerjanya mekanisme institusi formal bersama dengan berbagai bentuk jaringan informal, perubahan yang berlangsung terus- menerus, masalah representasi, pentingnya membangun blok politik, dan masalah lainnya. Berdasarkan riset yang dilakukan, paper ini menyimpulkan bahwa tantangan terbesar demokrasi Indonesia adalah absennya pertalian demokratis, adanya

fenomenya pertalian yang buruk broken linkage .

Dengan mengombinasikan model power cube yang dikembangkan Gaventa dengan kerangka analisis demokrasi Harris, dkk., dan konsep pertalian-pertalian politik, paper ini menyimpulkan bahwa reformasi telah menciptakan dan memperbesar ruang dan arena demokratis di tingkat nasional dan lokal, memperbesar keikutsertaan CSOs dalam proses-proses pengambilan keputusan. Namun demikian, di dalam situasi baru demokrasi yang lebih luas di parlemen, paper ini mengidentifikasi hadirnya ruang- ruang di mana tiga dimensi kekuasaan —kelihatan (visible), disembunyikan (hidden), tak kelihatan (invisible) —bekerja sekaligus, menentukan keseluruhan proses pengambilan keputusan.

Sebagaimana telah disinggung sekilas, paper ini juga mengindikasikan bahwa relasi parlemen dan CSOs yang paling mendasar —yang ditunjukkan melalui berbagai bentuk

51 Dikutip dari paper pen ulisnya untuk Panel tentang ―Demokrasi Indonesia dalam Perpektif Komparasi‖, di Euroseas, Guttenberg, 26-28 Agustus 2010.

hubungan mereka, adalah didominasi oleh kombinasi pertalian berbasis teknokratik (technocratic-based) dan bersifat pribadi (intimacy-based), yang merintangi proses demokrasi bekerja. Hal ini, justru, telah menciptakan relasi kuasa yang semakin kompleks dan proses yang lebih panjang bagi masyarakat (demos) memasuki urusan- urusan publik (public affairs). Sebaliknya, hal ini membuat urusan-urusan publik menjadi institusi yang sulit untuk digapai.

Bahan Belajar -3 Topik 1

Mencari Ruang untuk Perubahan :

Sebuah Analisis Kekuasaan 52

John Gaventa*

1. Pendahuluan

Di berbagai belahan dunia, ruang-ruang baru dan kesempatan bagi keterlibatan warga dalam proses kebijakan terus bermunculan, baik di ranah lokal maupun global. Instrumen-instrumen kebijakan, kerangka-kerangka hukum dan program pendukungnya berlimpah. Namun, disamping kemunculan itu diterima secara luas, semakin menjadi jelas pula bahwa pengaturan-pengaturan kelembagaan baru tidak lantas menghasilkan perubahan kebijakan yang lebih besar mencakup semua kalangan ataupun yang berpihak pada rakyat kecil (pro-poor).

Pertanyaan kritis kemudian harus diajukan. Apakah medan baru ini menunjukkan pergeseran kekuasaan yang sesungguhnya? Apakah ia benar membuka ruang-ruang dimana keikutsertaan dan suara warga memberikan dampak? Apakah meningkatnya keterlibatan diantara para warga akan beresiko sebatas mengabsahkan status quo, atau akan menyumbang pada transformasi pola-pola pemisahan (ekslusi) dan ketidak adilan sosial dan menantang hubungan kekuasaan? Dalam dunia dimana lokal dan global saling berkaitan, dimana pola-pola tata-kelola dan pengambilan keputusan berubah sangat cepat, bagaimana mereka yang mencari perubahan pro-poor memutuskan dimana yang terbaik meletakkan upaya-upaya mereka dan strategi apa yang harus digunakan?

Baik mereka yang mempunyai perhatian terhadap partisipasi maupun inklusi, mereka yang berupaya mewujudkan hak-hak warga maupun yang ingin mengubah kebijakan, semakin banyak pelaku-pelaku pembangunan yang menyadari kebutuhan untuk memasukkan dan memahami gejala yang disebut kekuasaan ini. Pada saat yang sama, sifat dan ekpresi kekuasaan juga mengalami perubahan yang sangat cepat. Penyebaran dan penggunaan bahasa dan diskursus partisipasi dan inklusi oleh pelaku-pelaku yang memiliki kekuasaan mengaburkan batasan tentang siapa yang memiliki dan tidak

memiliki wewenang, siapa yang seharusnya berada di dalam dan siapa yang di luar arena-arena pengambilan keputusan dan kebijakan. Perubahan pengaturan-pengaturan tata- kelola, yang mengundang tata kelola bersama co-governance dan tata-kelola

partisipatif (participatory governance mempertanyakan pembagian tradisional kita terhadap penguasa (para pengatur) dan yang diatur, pembuat kebijakan dan publik. Dengan menggu nakan istilah semacam kemitraan dan kepemilikan bersama secara luas, pelaku kuat seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF)

mengundang keterlibatan pada ranah medan permainan tetapi mengaburkan ketidak- setaraan terhadap sumber-sumber dan kekuasaan. Pemakaian konsep kepemilikan

perusahaan (corporate citizenship oleh pelaku-pelaku perusahaan multi-nasional

52 John Gaventa, ―Finding the Spaces for Change: A Power Analysis‖, IDS Bulletin Volume 37 Number 6 November 2006 © Institute of Development Studies (terjemahan) 52 John Gaventa, ―Finding the Spaces for Change: A Power Analysis‖, IDS Bulletin Volume 37 Number 6 November 2006 © Institute of Development Studies (terjemahan)

perusahaan. Dan di tengah-tengah perubahan bahasa dan diskursus ini, proses globalisasi yang sangat cepat menantang pemikiran- pemikiran tentang komunitas dan

bangsa-negara , menata-ulang dinamika-dinamika ruang kekuasan, dan mengubah asumsi-asumsi tentang titik masuk aksi warga.

Seluruh perubahan-perubahan ini menunjuk pada perlunya aktivis, peneliti, penentu kebijakan dan donor yang memiliki perhatian pada pembangunan dan perubahan untuk mengalihkan perhatian pada bagaimana menganalisis dan memahami perubahan- perubahan bentuk kekuasaan. Jika kita ingin mengubah hubungan kekuasaan, misalkan membuatnya lebih inklusif, adil dan berpihak pada rakyat kecil, kita harus memahami lebih dalam dimana dan bagaimana caranya terlibat. Artikel ini memberikan satu pendekatan terhadap analisis kekuasaan; suatu pendekatan yang dikenal sebagai kubus kekuasaan (power cubes dan memberikan beberapa cerminan dan contoh bagaimana pendekatan ini telah diterapkan di berbagai keadaan.

2 Refleksi terhadap Analisis Kekuasaan

Walaupun setiap orang memiliki dan dipengaruhi oleh kekuasan, arti dari kekuasaan – dan bagaimana memahaminya — berbeda-beda dan sering menjadi perdebatan (seperti yang digambarkan oleh beberapa artikel dalam IDS Bulletin ini). Ada yang melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang dimiliki oleh beberapa pihak atau pelaku: ada yang memiliki kekuasaan sementara yang lain tidak memilikinya. Di sisi yang lain, ada yang melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang lebih masuk ke dalam, terjalin dalam jaring- jaring hubungan dan diskursus yang mempengaruhi setiap orang, namun tidak seorang

pun memilikinya. Ada juga yang melihat kekuasaan sebagai konsep jumlah-nihil (zero- sum –untuk memperoleh kekuasaan bagi sejumlah orang berarti sejumlah orang lain

harus menyerahkan kekuasaannya. Dan karena sangat jarang orang yang memiliki kekuasaan bersedia menyerahkan kekuasaannya begitu saja, hal ini sering

memunculkan konflik dan pergumulan kekuasaan . Yang lainnya melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang lebih cair dan akumulatif. Kekuasaan bukanlah sumberdaya yang

terbatas; kekuasaan dapat digunakan, dibagi atau diciptakan oleh pelaku-pelaku dan jaringan mereka dengan berbagai cara. Beberapa pihak lain melihat kekuasaan sebagai

yang bercirikan negatif –memegang kekuasaan berarti menerapkan pengendalian atas orang lain. Ada juga yang melihat kekuasaan sesuatu yang berkaitan dengan

kemampuan (kapasitas) dan aparat yang memegang (kekuasaan tersebut) untuk bertindak positif.

Kekuasaan seringkali disandingkan dengan kata lain. Kekuasaan atas Power over mengacu pada kemampuan pihak yang memilikinya untuk mempengaruhi tindakan- tindakan dan pemikiran dari yang tidak berkuasa. Kekuasaan kepada Power to ) adalah hal penting bagi kemampuan untuk bertindak; mendayagunakan lembaga dan mewujudkan potensi hak, kewarganegaraan atau suara. Kekuasaan di dalam Power

within sering mengacu pada upaya memperoleh identitas diri, kepercayaan diri dan kesadaran yang merupakan prasyarat untuk bertindak. Kekuasaan dengan Power

with mengacu pada sinergi yang bisa muncul melalui kemitraan dan kerjasama dengan pihak lain, atau melalui proses tindakan bersama dan membentuk sekutu. 1

Pandangan saya tentang kekuasaan dibentuk oleh pengalaman saya terlibat dalam hubungan kekuasaan di dalam sebuah keadaan tertentu. Sebagai ilmuwan muda yang baru lulus, saya bekerja dengan warga akar rumput di sebuah lembah pertambangan terpencil di salah satu wilayah paling miskin di Amerika Serikat. Mereka berupaya menuntut hak-hak politik, ekonomi dan sosial berhadapan dengan pemerintah dan pemilik perusahaan tambang yang berkantor pusat di London. Pandangan konvensional tentang demokrasi dan kekuasaan di AS yang saya pelajari gagal menjelaskan kenyataan yang saya hadapi. Walaupun pelanggaran hak-hak demokratis, ketimpangan kesejahteraan yang besar dan kondisi lingkungan hidup yang mengerikan bisa dijumpai di mana saja, hanya ada sedikit konflik nyata atau tindakan untuk mengubah hal-hal tersebut.

Ada sesuatu tentang kekuasaan yang membuatnya tidak saja mengalahkan suara-suara yang muncul, tetapi juga, entah bagaimana, dari waktu ke waktu, suara-suara tersebut

telah dibisukan sama sekali. 2 Kebanyakan dari kajian saya kemudian beralih kepada bagaimana warga memperoleh kembali perasaan atas kemampuan mereka untuk bertindak, dan bagaimana mereka memobilisasi diri agar masalah mereka didengar dan ditanggapi di dalam agenda publik. Selama hampir 20 tahun, dari pertengahan 1970-an hingga pertengahan 1990-an, sambil mengajar dan meneliti di Universitas Tennesse, saya juga terlibat dengan LSM yang bekerja untuk pemberdayaan akar rumput di Higlander Centre di Selatan AS. Kebanyakan dari pendekatan kami adalah menemukan cara untuk memperkuat kapasitas dari warga kebanyakan dan mengkaji dan menantang ketimpangan kekuasaan yang mempengaruhi kehidupan mereka.

Setelah bergabung dengan Institute for Development Studies (IDS) pada pertengahan 1990-an, saya meneruskan kerja di bidang paritisipasi warga dan keterlibatan di beberapa belahan dunia lain. Di dalam lapangan pembangunan internasional, saya menjumpai begitu banyak pendekatan tentang partisipasi dalam penelitian dan pembelajaran, advokasi dan mobilisasi komunitas, penilaian kemiskinan dan proses kebijakan, tata-kelola lokal dan desentralisasi, dan pendekatan berbasis hak dan pembangunan kewargaan (citizenship building). Pada saat yang sama, dengan meningkatnya penerimaan pendekatan-pendekatan tersebut dalam diskursus arus utama pembangunan, banyak dari pendekatan ini beresiko menjadi masalah teknis belaka dimana orang tidak cukup memberikan perhatian pada hubungan kekuasaan di dalam dan sekitar penggunaan teknik-teknik tersebut. Seiring dengan keprihatinan tersebut, kajian kami di Kelompok Partisipasi di IDS dan banyak rekan kerja kami yang lain mulai mencari pendekatan-pendekatan yang meletakkan kembali pemahaman atas kekuasaan di pusat pemahaman kami atas konsep-konsep dan praktik-praktik partisipasi.

Kajian saya sendiri terpusat pada irisan kekuasaan dengan proses pelibatan warga di dalam tata-kelola di tingkat lokal, national dan global. Bersama dengan Anne Marie Goetz, kami mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai ruang-ruang yang paling penting yang mana yang dapat digunakan warga untuk terlibat di dalamnya, dan bagaimana mendorong suara warga dari akses, ke kehadiran, ke pengaruh (Goetz dan Gaventa, 2001). Bekerja dengan rekan lain, saya mengkaji bagaimana warga yang ikut serta di dalam ruang-ruang kebijakan yang melingkupi pengurangan kemiskinan, dan Kajian saya sendiri terpusat pada irisan kekuasaan dengan proses pelibatan warga di dalam tata-kelola di tingkat lokal, national dan global. Bersama dengan Anne Marie Goetz, kami mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai ruang-ruang yang paling penting yang mana yang dapat digunakan warga untuk terlibat di dalamnya, dan bagaimana mendorong suara warga dari akses, ke kehadiran, ke pengaruh (Goetz dan Gaventa, 2001). Bekerja dengan rekan lain, saya mengkaji bagaimana warga yang ikut serta di dalam ruang-ruang kebijakan yang melingkupi pengurangan kemiskinan, dan

saya bekerja dan belajar bersama kelompok peneliti, dipimpin oleh Andrea Cornwall dan Vera Coehlo, yang meneliti ruang-ruang dan dinamika-dinamika partisipasi warga

(Cornwall and Coehlo 2004; 2006). Beberapa kajian lain, melalui LogoLink 3 memusatkan perhatian pada partisipasi warga di tingkat lokal. Penelitian lain berpusat pada aksi global warga (Edwards and Gaventa 2001). Di semua wilayah kajian ini, isu kekuasaan dan yang berkaitan dengan proses pelibatan warga, partisipasi dan bentuk- bentuk demokrasi yang diperdalam selalu muncul di permukaan.

Selanjutnya kami mulai mencari pendekatan-pendekatan yang dapat membuat perspektif kekuasaan yang implisit menjadi lebih eksplisit, dan yang dapat membantu memeriksa keterhubungan dari berbagai bentuk kekuasan yang kita temui pada ruang- ruang dan seting politik yang beragam. Mengembangkan kajian saya sebelumnya yang

mengacu pada tiga dimensi kekuasaan yang dikembangkan oleh Steven Lukes (Lukes, 1974; Gaventa, 1980), saya melihat bahwa tiga dimensi kekuasan yang diajukan Luke

harus pula dipahami dalam kaitannya dengan bagaimana ruang-ruang bagi pelibatan warga diciptakan, dan tingkat kekuasaan (dari lokal ke global), dimana ruang-ruang itu berada. Memahami masing-masing tiga elemen ini –ruang, tingkat/ranah, dan bentuk kekuasaan —sebagai dimensi yang terpisah tetapi saling berhubungan, dan masing- masing dimensi tersebut memiliki setidaknya tiga komponen di dalamnya, maka dimensi- dimensi ini ketika dijalin bisa digambarkan menjadi sebuah kubus kekuasaan (gambar 1). Dengan menggunakan kerangka ini, menurut pendapat saya, kita bisa mulai menilai kemungkinan-kemungkinan tindakan transformative di dalam berbagai ruang- ruang politik. Lebih jauh lagi, pendekatan ini bisa menjadi alat refleksi bagi para aktivis dan praktisi untuk memetakan jenis-jenis kekuasaan yang akan kita tantang, dan strategi untuk melakukannya.

Gambar 1. Kubus Kekuasaan : ranah, ruang dan bentuk-bentuk kekuasaan

Beberapa pihak berpendapat bahwa gambar kubus tersebut gambar beresiko menjadi terlalu statis dalam menggambarkan kekuasaan, bagi sebagian praktisi,

pendekatan ini terlihat memiliki gaung. Kami telah menggunakan ini untuk lembaga- lembaga donor sebagai alat refleksi strategi mereka di Negara-negara berkembang, dan mendorong refleksi-diri terhadap kekuasaan yang mereka jalankan sebagai lembaga donor (Development Research Centre, 2003). Saya telah menggunakan berbagai pengetahuan ini di dalam lokakarya mengenai peningkatan kapasitas politik Ornop di Indonesia, khususnya menganalisis dan merefleksi cara-cara mereka bergerak dari kerja-kerja penguatan partisipasi lokal kearah pelibatan ke tingkat nasional. Bersama rekan kerja saya di Just Associates –yang telah lama menguji coba pendekatan- pendekatan analisis kekuasaan menggunakan pendidikan popular —pendekatan kubus kekuasaan ini juga kami gunakan dalam lokakarya internasional bersama para pelaku

pendidikan popular, juru kampanye dan pekerja pembangunan dari serikat-serikat buruh dan Ornop Internasional untuk bertukar pikiran tentang bagaimana membangun hubungan antara pengetahuan lokal dan mobilisasi dan kerja-kerja advokasi internasional yang lebih luas dalam rangka menantang kekuasaan ekonomi global (Just

Associates, 2006). 4 Lebih jauh lagi, kerangka ini memberikan sumbangan pada evaluasi terhadap Penilaian Partisipasi Masyarakat Sipil di negara-negara yang didukung oleh Cordaid, Hivos, Novib dan Plan Netherlands 1999-

, dimana kerangka ini diterapkan di Colombia, Guinea, Guatemala, Uganda dan Sri Lanka ((Guijt, 2005;

Gaventa, 2005).

Dalam artikel ini, saya mengurai lebih jauh sisi-sisi yang berbeda, atau dimensi-dimensi kubus, dan kemudian melihat keterhubungan diantara mereka. Saya menutupnya dengan memberikan contoh-contoh lebih jauh tentang bagaimana pendekatan ini terlah diterapkan untuk memahami kekuasaan secara kritis.

3 Memahami ruang, tempat dan bentuk-bentuk kekuasaan

Seperti telah disebutkan di atas, kubus kekuasaan adalah kerangka untuk menganalisis ruang-ruang, tempat, dan bentuk-bentuk kekuasaan dan keterhubungan diantara mereka. Walaupun digambarkan sebagai sebuah kubus, penting untuk diingat bahwa setiap sisi dari kubus itu adalah sebuah dimensi atau seperangkat hubungan, bukan

sebagai seperangkat kategori yang tetap atau statis. Seperti Kubus Rubik, 5 kotak-kotak didalam kubus tersebut bisa diputar –setiap kotak atau sisi kubus bisa digunakan sebagai titik pertama analisis, tetapi setiap dimensi dihubungkan dengan dimensi yang lainnya. Di dalam paparan ini, kita mulai dengan dimensi ruang-ruang, kemudian beralih ke tingkatan kekuasaan, dan menyimpulkannya dengan kembali kepada bagaimana kedua dimensi tadi berhubungan dengan tiga bentuk kekuasaan yang dikembangkan oleh Luke.

3.1 Ruang-ruang bagi partisipasi 6

Pengertian ruang digunakan secara luas dalam literature tentang kekuasaan, kebijakan, demokrasi dan tindakan warga. Beberapa penulis mengacu pada ruang- ruang politik yaitu kanal-kanal kelembagaan, diskursus politik dan praktik-praktik

social dan politik dimana melalui kanal-kanal tersebut kelompok miskin dan organisasi- organisasi yang bekerja dengan mereka bisa menjalankan pengurangan kemiskinan (Webster and Engberg-Petersen, 2000). Kajian lain memusatkan pada ruang-ruang kebijakan untuk memeriksa momen-momen dan kesempatan-kesempatan dimana warga dan pembuat kebijakan berkumpul, juga kesempatan-kesempatan nyata yang

bisa diobservasi, perilaku-perilaku, tindakan-tindakan dan interaksi-interaksi terkadang menandakan adanya potensi trans formatif McGee,

: . Beberapa yang lain melihat ruang-ruang demokratis dimana warga bisa terlibat untuk menuntut

hak mereka sebagai warga dan memengaruhi proses-proses pemerintahan (Cornwall dan Coehlo, 2006). Di dalam artikel ini, yang mengambil tindakan warga dan partisipasi

mereka sebagai titik berangkat, ruang-ruang dilihat sebagai kesempatan, momen, dan kanal-kanal dimana warga bisa bertindak sehingga memengaruhi kebijakan, diskursus,

keputusan dan hubungan-hubungan yang berdampak pada kehidupan dan kepentingan mereka.

Kajian Andrea Cornwall mengingatkan kita bahwa ruang-ruang bagi partisipasi ini tidaklah netral, tetapi ia sendiri dibentuk oleh hubungan-hubungan kekuasaan, yang melingkupi dan berada di dalam ruang-ruang tersebut (Cornwall, 2002). Cornwall juga mengutip, diantaranya, ilmuwan social Perancis (Lefebvre, Foucault, Bourdieu) yang mengajukan keterkaitan yang dalam antara konsep kekuasaan dan konsep ruang. Mengutip Lefebvre : Ruang adalah sebuah produk sosial…tidak semata di sana , wadah netral yang menunggu diisi, tetapi merupakan sesuatu yang dinamis, alat pengendalian yang diciptakan manusia, dan karenanya alat dominasi dari kekuasaan Space is a

social product … it is not simply there , a neutral container waiting to be filled, but is a dynamic, humanly constructed means of control, and hence of domination, of power , (Lefebvre 1991: 24)). Terkandung pula di dalam ide tentang ruang dan tempat adalah

gambaran tentang batasan boundary). Hubungan-hubungan kekuasaan membantu membentuk batasan-batasan ruang-ruang partisipasi; apa yang mungkin di dalam gambaran tentang batasan boundary). Hubungan-hubungan kekuasaan membantu membentuk batasan-batasan ruang-ruang partisipasi; apa yang mungkin di dalam

menyarankan agar kita memahami kekuasaan sebagai jaringan dari batasan-batasan sosial yang membuka medan- medan tindakan yang dimungkinkan . Kebebasaan, di sisi

lain, adalah kemampuan untuk ikutserta secara efektif dalam membentuk batasan- batasan social yang mendefinisikan apa yang mungkin (ayward,

. Dalam pengertian ini, partisipasi sebagai kebebasan tidak saja merupakan hak untuk ikutserta

secara efektif dalam sebuah ruang yang ada, tetapi juga hak untuk mendefinisikan dan membentuk ruang itu.

Jadi, yang harus kita gali dalam memeriksa ruang-ruang bagi partisipasi adalah mempertanyakan bagaimana mereka diciptakan, dan dengan kepentingan siapa dan pelibatan macam apa. Dengan banyaknya perdebatan mengenai definisi ruang, kajian

ini menyarankan ruang sebagai sebuah kontinum ruang-ruang, yang meliputi: 7

 Ruang-ruang tertutup (closed spaces). Walaupun kita ingin memusatkan perhatian pada ruang-ruang dan tempat yang membuka kemungkinan partisipasi, kita harus

menyadari bahwa banyak ruang pengambilan keputusan yang masih tertutup. Dengan kata lain, keputusan-keputusan dibuat oleh sekelompok pelaku di balik pintu tertutup, tanpa mereka bermaksud memperluas batasan untuk mencakup lebih banyak pihak. Di dalam Negara, cara lain untuk membayangkan ruang-ruang ini adalah sebagai ruang- ruang yang tersedia dalam arti para elit birokrat, ahli, atau wakil yang dipilih membuat keputusan dan menyediakan layanan bagi rakyat ,

tanpa menjalankan konsultasi atau partisipasi lebih luas. Banyak upaya-upaya masyarakat sipil yang berfokus pada membuka ruang-ruang seperti ini melalui keterlibatan publik yang lebih besar, keterbukaan dan akuntabilitas.

 Ruang-ruang yang diundang (invited spaces). Bersamaan dengan upaya-upaya memperluas partisipasi, bergerak dari ruang-ruang tertutup menuju ruang yang lebih terbuka , ruang-ruang baru diciptakan yang bisa disebut sebagai ruang-ruang

yang diundang , yaitu ruang-ruang dimana orang (sebagai penggunan, warga atau pemanfaat) diundang untuk berpartisipasi oleh berbagai lembaga otoritas seperti

pemerintah, lembaga-lembaga supra-nasional atau organisasi non-pemerintah (Cornwall, 2002). Ruang-ruang yang diundang bisa saja diatur, atau tengah dilembagakan, atau lebih sementara melalui konsultasi tunggal. Meningkatnya pendekatan-pendekatan bagi tata-kelola partisipatif, ruang-ruang ini terlihat di berbagai tingkatan, mulai dari pemerintah lokal hingga ke kebijakan nasional dan bahkan sampai ke forum-forum kebijakan global.

 Ruang-raung yang diklaim/diciptakan (claimed/created spaces). Akhirnya, terdapat ruang-raung yang diklaim oleh pelaku-pelaku yang kurang memiliki kekuasaan atau menentang para pemegang kekuasaan, atau diciptakan secara lebih otonom oleh mereka. Cornwall menganggap ruang-ruang ini sebagai ruang- ruang organik yang muncul di luar keprihatinan atau identifikasi umum dan bisa saja merupakan hasil dari mobilisasi massa, seperti keprihatinan seputar identitas atau keprihatinan berdasarkan isu, atau bisa mengandung ruang-ruang dimana orang-orang yang

berpikiran sama bergabung dalam pencarian bersama Cornwall, . Penelitian lain bicara tentang ruang- ruang ini sebagai ruang ketiga dimana pelaku-pelaku berpikiran sama bergabung dalam pencarian bersama Cornwall, . Penelitian lain bicara tentang ruang- ruang ini sebagai ruang ketiga dimana pelaku-pelaku

Ruang-ruang tersebut di atas terentang mulai dari yang diciptakan oleh gerakan sosial dan kumpulan komunitas-komunitas, hingga sekedar tempat-tempat dimana orang berkumpul untuk berbincang dan melawan, di luar arena-arena kebijakan yang melembaga. Ruang-ruang ini bukanlah satu-satunya ruang yang mungkin –jenis ruang- ruang kritis bagi pelibatan akan berbeda sesuai dengan seting keadaan dan sejarahnya. Di dalam berbagai penerapan dan penggunaannya, banyak istilah-istilah lain yang relevan ditambahkan pada rangkaian arti ruang ini, misalnya ruang- ruang yang ditundukkan , yang dihasut , atau yang diprakarsai . Dalam sebuah kerja bersama

masyarakat sipil di Colombia, Pearce dan Vela (2005) menemukenali rentangan ruang- ruang yang meliputi:

 Formal diundang (partisipasi secara resmi ditawarkan dalam berbagai cara)  Formal berdasarkan hak (partisipasi secara resmi dimandatkan atau diundangkan)  Diciptakan oleh lembaga-lembaga non-negara (seperti gereja, partai, donor)  Diciptakan oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil (seperti Ornop atau

organisasi akar rumput)  Tindakan kolektif yang sementara (seperti protes atau pendudukan lahan)

Apapun istilahnya, yang penting diperiksa adalah siapa yang menciptakan ruang-ruang tersebut – mereka yang menciptakan sangat mungkin memiliki kekuasaan, dan mereka yang memiliki kekuasaan di satu ruang, mungkin saja tidak memilikinya di ruang yang lain.

Kita juga harus ingat bahwa ruang-ruang berada dalam hubungan yang dinamis satu sama lain, dan terus-menerus membuka dan menutup melalui pergulatan mendapatkan legitimasi dan perlawanan, kooptasi dan transformasi. Ruang-ruang tertutup (closed spaces) kemungkinan akan mencari cara memulihkan legitmasi dengan menciptakan ruang-ruang yang diundang (invited spaces); mirip dengannya, ruang-ruang yang diundang mungkin saja diciptakan dari arah sebaliknya, sebagai gerakan rakyat yang lebih otonom yang berupaya menggunakan forum mereka sendiri untuk terlibat dengan negara. Sejalan dengan itu, kekuasaan yang diraih dalam satu ruang, melalui ketrampilan, kapasitas dan pengalaman, bisa digunakan untuk masuk dan memengaruhi ruang-ruang yang lain. Dari sudah pandang ini, ruang-ruang potensial untuk transformasi bagi tata kelola yang partisipatif harus selalu dinilai dalam hubungannya dengan ruang-ruang lain di sekitarnya. Penciptaan disain kelembagaan baru tata-kelola yang partisipatif, tanpa kehadiran ruang-ruang partisipatif lain yang berfungsi menyediakan dan menopang kekuasaan perlawanan, akan mudah diambil oleh para elit yang sudah kuat.

Keterhubungan antara ruang-ruang juga menimbulkan tantangan bagi strategi masyarakat sipil bagi keterlibatan mereka. Untuk menantang ruang- ruang tertutup , organisasi-organisasi masyarakat sipil dapat berperan sebagai advokat, berdebat untuk keterbukaan yang lebih besar, struktur yang lebih demokratis, atau bentuk-bentuk akuntabilitas publik yang lebih besar. Dengan munculnya ruang- ruang yang diundang , organisasi masyarakat sipil mungkin membutuhkan strategi lain bagaimana melakukan Keterhubungan antara ruang-ruang juga menimbulkan tantangan bagi strategi masyarakat sipil bagi keterlibatan mereka. Untuk menantang ruang- ruang tertutup , organisasi-organisasi masyarakat sipil dapat berperan sebagai advokat, berdebat untuk keterbukaan yang lebih besar, struktur yang lebih demokratis, atau bentuk-bentuk akuntabilitas publik yang lebih besar. Dengan munculnya ruang- ruang yang diundang , organisasi masyarakat sipil mungkin membutuhkan strategi lain bagaimana melakukan

terus menerus dari gerakan sosial, dan bahwa ruang-ruang partisipatif yang lebih otonom merupakan hal penting bagi tuntutan-tuntutan baru untuk berkembang. Menjangkau ruang-ruang ini –dimana masing-masing melibatkan ketrampilan, strategi dan sumber yang berbeda-beda —merupakan tantangan tersendiri. Pada kenyataannya, organisasi masyarakat sipil semestinya harus terus memiliki kekuatan (Pearce dan Vela) untuk bergerak masuk dan keluar ruang-ruang tersebut sepanjang waktu, atau kemampuan untuk membangun sekutu horizontal yang efektif untuk menghubungkan berbagai strategi diantara ruang-ruang tersebut demi terjadinya perubahan.

3.2 Tempat dan tingkatan partisipasi

Perhatian terhadap bagaimana dan oleh siapa ruang-ruang untuk partisipasi dibentuk bersilangan dengan dengan perdebatan tentang tempat-tempat, atau ranah dimana kekuasaan sosial, politik dan ekonomi berada. Jika studi-studi tentang kekuasaan (utamanya tentang gender dan kekuasaan) memulai dengan analisis kekuasaan di dalam ruang- ruang yang lebih intim , maka banyak studi tentang ruang-ruang partisipasi publik melihat persaingan diantara ranah-ranah lokal, nasional dan global

sebagai lokasi kekuasaan. 8 Beberapa pihak berpendapat bahwa praktik-praktik partisipatoris harus dimulai secara lokal, disebabkan oleh karena praktik-praktik tersebut berada dalam arena keseharian warga dimana mereka mampu menolak kekuasaan dan mengkonstruksi suara mereka sendiri. Ada juga yang berpendapat bahwa kekuasaan sedang bergeser ke pelaku-pelaku yang lebih global, dan pergulatan partisipasi ini harus melibatkan diri pada ranah tersebut. Diantara kedua pendapat tersebut, terdapat perdebatan mengenai peran negara-bangsa, dan bagaimana ia memediasi kekuasaan; bagaimana kemungkinan ruang-ruang lokal seringkali bergantung pada kekuasaan yang dilegitimasi secara nasional namun dibagi secara lokal. Banyak pemikiran mengenai desentralisasi misalnya, membicarakan dinamika kekuasaan antara yang lokal dengan negara bangsa, sementara pendapat lain mengatakan pentingnya komunitas –atau asosiasi berbasis tempat (neighborhood- based sebagai lokasi kunci untuk membangun kekuasaan dari bawah .

Namun demikian, banyak studi-studi memperingatkan kita akan bahaya memusatkan perhatian hanya pada lokal , atau nasional di dalam dunia yang mengglobal ini.

Globalisasi, menurut pandangan tersebut, mengubah pengertian tradisional mengenai dimana kekuasaan berada dan bagaimana dijalankan, mengubah asumsi-asumsi bagaimana dan dimana warga memobilisasi aktor-aktor negara dan non-negara (Tarrow 2005; Batliwala and Brown 2006). Perhatian terhadap tata-pemerintahan

global telah menciptakan forum baru extra-nasional dimana warga bisa ikut terlibat, seperti NEPAD The New Partnership for Africa s Development atau Uni Afrika. Lebih

jauh lagi, bukannya menjadi ruang yang terpisah, lokal, nasional dan global malahan semakin saling terhubung. Bentuk-bentuk dan manifestasi kekuasaan lokal terus dibentuk dalam hubungannya dengan aktor-aktor dan kekuatan-kekuatan global, dan pada gilirannya, aksi lokal mempengaruhi dan membentuk kekuasaan global. Aktor- aktor lokal bisa menggunakan forum global sebagai arena aksi (contohnya pada kasus Bendungan Narmada; Chiapas) sama efektifnya –atau bahkan lebih efektif— daripada jauh lagi, bukannya menjadi ruang yang terpisah, lokal, nasional dan global malahan semakin saling terhubung. Bentuk-bentuk dan manifestasi kekuasaan lokal terus dibentuk dalam hubungannya dengan aktor-aktor dan kekuatan-kekuatan global, dan pada gilirannya, aksi lokal mempengaruhi dan membentuk kekuasaan global. Aktor- aktor lokal bisa menggunakan forum global sebagai arena aksi (contohnya pada kasus Bendungan Narmada; Chiapas) sama efektifnya –atau bahkan lebih efektif— daripada

Sebagaimana contoh ruang-ruang partisipasi, dimensi vertikal tempat-tempat partisipasi ini harus dilihat sebagai sebuah kontinum yang fleksibel, bisa beradaptasi, tidak sebagai seperangkat kategori yang tetap. Seperti dalam tipe-tipe ruang, tingkat relevansi dan kepentingan serta tempat-tempat bagi keterlibatan bervariasi seiring dengan berbagai tujuan dan intervensi dari organisasi-organisasi masyarakat sipil, keterbukaan yang tercipta dalam konteks tertentu, dan sebagainya. Dalam studi di Colombia misalnya, organisasi masyarakat sipil menemu-kenali delapan tingkatan berbeda dari keterlibatan masyarakat sipil dalam ruang public, dimana masing-masing memiliki tipe ruang sendiri, termasuk memiliki tingkatan-tingkatan internasional, nasional, departemen, regional/provinsi, kabupaten, komunitas dan rukun warga tersendiri (Pearce dan Vela, 2005). Kebanyakan dari tingkatan-tingkatan tersebut dibentuk oleh kerangka legal administrasi pemerintahan, dan bisa saja berbeda antara

komunitas perkotaan dan pedesaan, namun arena ekstra-lokal terlihat semakin berkembang sebagai pusat kekuasaan dan pengambilan keputusan.

Bagi masyarakat sipil, perubahan kekuasaan di tingkat lokal, nasional dan regional menjadi tantangan tersendiri dimana dan bagaimana melibatkan (diri) ke dalamnya. Beberapa pihak memusatkan diri pada tingkat global, mengobarkan kampanye untuk membuka ruang-ruang tertutup kelompok macam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Sebagian lain memusatkan perhatian pada menantang kekuasaan ekonomi lokal. Namun, keterhubungan tingkatan-tingkatan kekuasaan ini menyarankan tantangan aksinya tidak hanya pada bagaimana membangun aksi partisipatoris pada tingkatan yang berbeda, tetapi juga bagaimana mempromosikan hubungan vertikal yang demokratis dan akuntabel diantara para aktor pada tiap tingkatan. Sebagaimana yang

diungkapkan Pieterse , hal ini melibatkan gerakan ganda, dari reformasi lokal ke atas dan dari reformasi global ke bawah –tiap tingkatan tata kelola, dari lokal ke global,

memainkan peran penting dikutip oleh Mohan dan Stoke,

. Pada saat yang sama, keprihatinan diantara organisasi masyarakat sipil berkait dengan kurangnya

hubungan vertikal ini antara organisasi yang melakukan advokasi di tingkat internasional, seringkali dimotori oleh Ornop Internasional, dengan mereka yang bekerja membangun gerakan sosial atau strategi alternatif bagi perubahan di tingkat yang lebih lokal (Batliwala 2002).

Subyek ini dibahas lebih lanjut pada Lokakarya di )DS tahun tentang Aksi Warga, Pengetahuan dan Kuasa Ekonomi Global (Citizen Action, Knowledge and Global Economic Power , dimana pendekatan kubus kekuasaan digunakan untuk merefleksi dan

menganalisis berbagai bentuk inisiatif masyarakat sipil dalam berbagai tingkatan yang berbeda. Dalam lokakarya tersebut, bahasan mengenai keterputusan hubungan (disconnections) antara mereka yang bicara pada tingkat global dan yang menghadapi masalah kemiskinan atau ketidakadilan ekonomi di tingkat lokal dipertajam. Bahasan kemudian dipusatkan pada cara-cara mengatasi keterputusan hubungan tadi.

3.3 Bentuk-bentuk Kekuasaan di berbagai ruang dan tempat

Setelah kita menelaah hubungan antara ruang dan tempat vis-à-vis partisipasi, kita juga harus meneliti dinamika kekuasaan yang membentuk inklusi dari partisipasi di dalam ruang dan tempat tersebut. Di sini, kebanyakan literatur tentang kekuasaan berhubungan dengan tingkat dimana konflik mengenai isu-isu kunci dan suara-suara dari aktor kunci terlihat (jelas) pada ruang dan waktu tertentu. Dalam studi sebelumnya, berdasarkan studi Lukes (Lukes 1974; Gaventa 1980), saya menggali perbedaan-perbedaan diantara:

 Pendekatan yang lebih pluralis terhadap kekuasaan, dimana persaingan diantara kepentingan-kepentingan diasumsikan jelas terlihat di ruang-ruang publik, yang

karenanya dianggap relatif terbuka.  Bentuk kedua dari kekuasaan, dimana masuknya kepentingan-kepentingan dan aktor-aktor tertentu ke dalam ruang-ruang publik diberikan secara istimewa melalui mobilisasi bias atau aturan-aturan permainan yang ada; dan

 Bentuk ketiga kekuasaaan, dimana konflik lebih jelas terlihat, melalui internalisasi ketidakkuasaan, atau melalui dominasi idiologis, nilai-nilai dan bentuk-bentuk

perilaku.

Dalam studi lebih kini, VeneKlasen dan Miller berpandangan lebih sederhana dalam membedakan bentuk-bentuk kejelasan (visible), tersembunyi (hidden) dan tidak terlihat (invisible) (atau terinternalisasi) dari kekuasaan (lihat Box 1).

Pentingnya kita menganalisis dinamika partisipasi dalam membedakan ruang dan tempat terlihat jelas. Dalam sejarahnya, banyak studi pluralis tentang kekuasaan meneliti –utamanya—kekuasaan dalam manifestasi yang tampak. Ia melihat siapa yang berpartisipasi, siapa yang mendapat manfaat dan siapa yang kalah dalam melihat siapa yang memiliki kekuasaan. Tetapi dari yang telah kita lihat, kekuasaan dalam hubungannya dengan tempat dan ruang juga bekerja membatasi partisipasi, dan mencegah aktor-aktor atau pandangan-pandangan tertentu masuk kedalam arena partisipasi sejak awal. Atau kekuasaan, dalam bentuknya yang lebih licik, mungkin saja diinternalisasi ke dalam nilai-nilai seseorang, self-esteem, dan identitas, sehingga suara- suara tersebut berada dalam tempat-tempat yang terlihat namun ia merupakan gaung dari suara yang diinginkan oleh pemilik kekuasaan untuk didengar. Analisis kekuasaan semacam itu menunjuk sekali lagi pada pentingnya memantapkan prasyarat partisipasi agar ruang-ruang institusional baru bisa mengarahkan perubahan terhadap status quo. Tanpa kesadaran awal sehingga warga memiliki rasa memiliki hak atau menunjukkan suaranya, dan tanpa kapasitas kuat untuk menjalankan kekuasaan tandingan melawan

aturan permainan yang menguntungkan kepentingan lama, mekanisme partisipasi yang baru hanya akan ditangkap oleh kepentingan-kepentingan yang ada.

Box 1 Bentuk-bentuk kekukasaan

Kekuasaan yang tampak: pengambilan keputusan yang dapat diamati

Tingkatan ini termasuk aspek-aspek kekuasaan poitik yang tampak dan bisa didefinisikan –aturan-aturan formal, struktur, kewenangan, kelembagaan dan prosedur- prosedur pengambilan keputusan…Strategi yang menargetkan tingkatan ini biasanya mencoba mengubah siapa, bagaimana dan apa dari pembuatan kebijakan sehingga proses pembuatan kebijakan lebih demokratis dan akuntabel, dan melayani kebutuhan dan hak masyarakat dan kelangsungan hidup planet bumi.

Kekuasaan tersembunyi: menentukan agenda politik

Orang-orang dan lembaga-lembaga yang memiliki kekuasaan memilihara pengaruh mereka dengan mengendalikan siapa yang memperoleh meja pengambilan keputusan dan apa yang ada dalam agenda. Dinamika- dinamika ini beroperasi di berbagai tingkatan untuk mengeluarkan dan menurunkan nilai keprihatinan dan keterwakilan kelompok- kelompok yang lebih tidak berkuasa… Memberdayakan strategi advokasi yang berpusat pada penguatan organisasi dan gerakan kaum miskin bisa membangun kekuasaan kolektif dari kepemimpinan- kepemimpinan baru untuk mempengaruhi bagaimana agenda politik dibangun dan meningkatkan kejelasan dan legitimasi isu-isu, suara dan tuntutan-tuntutan mereka.

Kekuasaan yang tidak nampak: membentuk arti dan apa yang bisa diterima

Kemungkinan dari tiga bentuk kekukasaan yang paling licik, kekuasaan yang tidak terlihat ini membentuk batasan-batasan psikologis dan ideologis dari partisipasi. Masalah-masalah dan isu-isu penting tidak saja dijauhkan dari meja pengambilan keputusan, tetapi juga dari pikiran dan kesadaran pemain-pemain yang terlibat, bahkan dari mereka yang secara langsung terdampak dari masalah tersebut. Dengan mempengaruhi bagaimana seseorang berpikir tentang tempatnya di dunia ini, tingkatan kekuasaan ini membentuk kepercayaan masyarakat, rasa diri dan penerimaan terhadap status quo – bahkan rasa superioritas maupun rendah diri mereka. Proses sosialisasi, kebudayaan dan ideologi melanggengkan ekslusi dan ketidaksetaraan dengan cara mengartikan apa yang disebut normal, bisa diterima, dan aman. Strategi perubahan pada wilayah ini menargetkan budaya sosial dan politik serta kesadaran individu untuk mengubah cara pandang masyarakat tentang diri mereka sendiri dan sekelilingnya, dan bagaimana mereka memandang masa depan dan alternatif-alternatif. Diadaptasi oleh Just Associates dari VeneKlasen dan Miller (2002).

Seperti halnya dalam dimensi lain dari kubus kekuasaan, bentuk jamak kekuasaan juga memberikan tantangan bagi aktor-aktor masyarakat sipil yang mencoba mengubah hubungan kekuasaan. Beberapa kelompok mungkin saja memusatkan perhatian pada pendekatan advokasi, menantang bentuk-bentuk kekuasaan yang nampak dalam arena yang juga terlihat melalui debat public, penelitian dan studi yang mempengaruhi keterwakilan publik. Kelompok lain akan memfokuskan pada memobilisasi dan membuat strategi aksi kolektif, yang bekerja meruntuhkan hambatan-hambatan yang mencegah aktor-aktor dan pengetahuan tertentu memasuki arena public pada awalnya. Kelompok lain bisa saja memusatkan perhatian pada mengubah kekuasaan yang tidak terlihat melalui kampanye membangun kesadaran. Strategi-strategi yang digunakan tersebut melibatkan organisasi dan intervensi yang berbeda pula dalam mengubah kekuasaan, namun sejatinya diperlukan pula strategi yang menghubungkan strategi- strategi yang berbeda tersebut. Misalnya, kemenangan kebijakan pada arena kekuasaan yang nampak memang penting, tetapi bisa saja tidak langgeng, jika mereka yang berada di luar arena tidak sadar bahwa kebijakan itu telah diambil dan bagaimana hal tersebut berkaitan dengan kepentingan mereka, atau mereka tidak dimobilisasi sehingga mereka dapat memastikan kekuasaan tersembunyi lain tidak menghalangi pelaksanaan kebijakan tadi.

4. Keterhubungan ruang, tempat, dan bentuk-bentuk kekuasaan

Seperti telah dibahas di atas, dinamikan kekuasaan bergantung pada jenis-jenis ruang dimana kekuasaan tersebut berada, tingkatan dimana ia beroperasi dan bentuk yang ia ambil. Lebih jauh lagi, seperti yang telah disarankan, beserta dimensi-dimensinya, segala bentuk strategi yang berkelanjutan dan efektif harus memperhatikan bagiamana membangun dan memelihara perubahan diantara seluruh kontinum tersebut. Perubahan transformatif dan fundamental terjadi, saran saya, dalam waktu-waktu yang langka ketika gerakan-gerakan sosial atau aktor-aktor sosial mampu bekerja efektif diantara setiap dimensi-dimensi kekuasaan tersebut secara terus menerus, yaitu ketika mereka mampu menghubungkan kebutuhan-kebutuhan membuka ruang-ruang yang semula tertutup dengan aksi warga dalam ruang-ruang mereka sendiri; merentang kerja diantara aksi lokal dan global, dan menantang kekuasaan yang nampak, tersembunyi, dan tidak terlihat secara simultan. Seperti dalam kubus Rubik, perubahan yang berhasil adalah yang menghasilkan setiap keping dari tiap sisi kubus bersekutu dengan sisi lainnya, secara terus menerus.

Strategi Persekutuan untuk perubahan adalah sebuah tantangan besar, baik bagi tiap dimensi kubus, maupun juga makin menyulitkan karena interaksi diantara mereka.

Sebagai contoh, sepanjang ruang-ruang dalam satu dimensi, sementara banyak kelompok bekerja membuka ruang-ruang yang tertutup melalui tuntutan transparansi atau dukungan terhadap reformasi internal, atau membangun gerakan-gerakan sosial dan mobilisasi dalam ruang-ruang yang diklaim, banyak studi menyarankan bahwa hasilnya akan efektif jika persekutuan horizontal dibangun diantara ruang-ruang ini dimana perubahan riil terjadi. Hal yang sama, advokasi dan strategi perubahan harus dibangun secara vertikal diantara tingkatan lokal, nasional dan global untuk menjamin perubahan-perubahan tersebut berarti di setiap tingkatannya. Dan, mereka yang mencari tidak hanya mempengaruhi kebijakan dalam arena public, tetapi juga mengubah hubungan kekuasaan secara lebih mendasar, harus terus menerus berpikir mengenai isu, mobilisasi untuk memperluasi ruang politik, dan membangun kesadaran mereka yang dikucilkan. Ketimbang satu strategi yang dipilih, paduan beberapa strategi, yang bekerja sama dan tidak bertentangan satu sama lain, lebih dibutuhkan untuk menantang hubungan-hubungan kekuasaan ini.

Memang sulit bagi mereka yang mencari perubahan untuk bekerja diantara dimensi- dimensi kubus ini, namun sebenarnya dimensi-dimensi tersebut secara terus menerus berinteraksi untuk mempengaruhi yang lainnya. Strategi persekutuan di dalam satu garis axis bisa menyumbang perpecahan sekutu pada garis axis lainnya. Mereka yang

mempelajari kubus Rubik berpendapat bahwa terdapat jutaan kemungkinan posisi 9 yang mungkin dimiliki kubus tersebut, menunjukkan kompleksitas dan perubahan susunan dimana kekuasaan berada di antara ruang-ruang, tempat dan bentuk dalam satu konteks tertentu. Agenda lokal, nasional dan global berdampak pada pembukaan dan penutupan ruang-ruang yang diundang (invited spaces); kekusaan yng nampak dibentuk oleh siapa yang menciptakan ruang; pada gilirannya pengalaman partisipasi yang telah membantu mengatasi bentuk-bentuk kekuasaan yang tidak nampak dan tersembunyi, bisa memperkuat kemungkinan keberhasilan rancangan kelembagaan baru bagi partisipasi.

Untuk setiap isu atau aksi, tidak ada strategi tunggal atau titik masuk. Semuanya bergantung pada mengemudi diantara persimpangan keterhubungan, yang pada Untuk setiap isu atau aksi, tidak ada strategi tunggal atau titik masuk. Semuanya bergantung pada mengemudi diantara persimpangan keterhubungan, yang pada

Pada kenyataannya, mereka yang mempelajari kubus Rubik, juga menunjukkan pada kita bahwa kubus tersebut bisa di persekutukan kembali dalam maksimum 29 langkah, jika diambil rangkaian langkah yang tepat. Tanpa ingin membuat perubahan sosial tampak seperti solusi yang memiliki formula tertentu, hal ini memperlihatkan bahwa mereka yang ingin menantang kekuasaan dalam segala ruang, tingkat, dan bentuknya perlu mencari tidak hanya satu solusi, tetapi membangun beberapa strategi yang saling terhubung dan dalam rangkaian atau urutan yang berlainan. Semua tergantung pada titik berangkat pada konteks tertentu. Tantangannya ada pada pemahaman strategi apa yang sekiranya harus diambil, dan bagaimana strategi-strategi tersebut bisa dihubungan untuk membuat persekutuan baru dari dimensi-dimensi kekuasaan. Saat itulah perubahan transformatif terjadi.

Pendekatan kubus kekuasaan tidak melakukan ini untuk kita. Ia bukan daftar periksa, contohnya idenya bukanlah untuk memeriksa setiap kotak, karena signifikansi, dinamika dan keterhubungan dari tiap-tiap dimensi tersebut terus berubah dan sangat beragam dari satu konteks ke konteks lainnya. Ia juga bukan resep, yang memberi nilai pada ruang-ruang lokal dan diklaim atas ruang-ruang global yang berjarak dan tertutup, karena pendekatan ini memandang setiap dimensi memiliki kekuasaan yang nampak, tersembunyi dan yang tak nampak dalam dirinya. Pendekatan ini lebih dimaksudkan sebagai alat analisis, yang bisa digunakan –bersama dengan pendekatan-pendekatan lain —untuk merefleksikan dan menganilisis bagaimana strategi-strategi untuk perubahan bisa mengubah hubungan kekuasaan.

Pada berbagai keadaan, kita menggunakan pendeakatan ini untuk mendorong refleksi para aktor-aktor pembangunan terhadap strategi mereka, dan kekuasaan dan kedudukan mereka sendiri. Dalam kerja di Nigeria, penggunaan formasi awal pendekatan ini telah membantu kami melihat bagaimana perjuangan membuka proses Makalah Strategis Pengurangan Kemiskinan Nasional, yang merupakan intervensi global, telah menantang pendekatan-pendekatan kebijakan kemiskinan yang selama ini

tertutup dan top-down . Pada saat yang sama, dengan tetap menjauh dari aktor-aktor lokal dan dari gerakan-gerakan anti kemiskinan yang ada, agenda donor bagi partisipasi

yang lebih luas dan inklusif bagi proses kebijakan nasional secara tidak sengaja berdampak pada rasa pengucilan pada beberapa aktor-aktor lokal gerakan sosial (Brock et al. 2004).

Dalam menggunakan kubus kekuasaan dengan Ornop Internasional, refleksi menggunakan pendekatan kubus kekuasaan membantu melihat kebutuhan dan kemungkinan keterhubungan yang lebih besar antara kampanye global, yang sering dilakukan oleh advokat professional yang bekerja dalam lingkungan kebijakan yang berubah sangat cepat, dengan kerja pembangunan lokal, dimana strategi lebih diarahkan pada mendorong orang untuk bicara bagi diri mereka sendiri, dan menantang bentuk kekuasaan yang tak nampak dan terinternalisasi. Dalam evaluasi kerja partisipasi masyarakat sipil oleh Ornop Internasional Belanda, pendekatan ini digunakan bagi kelompok-kelompok masyarakat sipil di Sri Lanka, Uganda dan Colombia untuk mendorong kelompok-kelompok lokal merefleksi jenis-jenis ruang dimana mereka berpartisipasi, strategi yang mereka gunakan dalam tiap ruang-ruang tersebut dan bagaimana mereka berinteraksi di dalamnya. Dan dalam bekerja dengan donor, pendekatan ini digunakan untuk merefleksikan jenis-jenis perubahan apa yang donor ingin dukung, dan kemudian meletakkan diri mereka dalam kubus kekuasaan, strategi apa yang mereka gunakan, dan bagaimana dalam melakukannya, mereka menjadi bagian dari kesetaraan kuasa (Guijt 2005).

Kesimpulannya, bahkan jika pendekatan kubus kekuasaan tidak mengajarkan bagaimana kita menyekutukan upaya-upaya kita, namun jika ia bisa digunakan oleh aktor-aktor yang berupaya mengubah dunia untuk merefleksikan dimana dan bagaimana mereka melakukannya, dan bagaimana mereka bekerja sama dengan mereka yang juga bekerja untuk perubahan, maka mungkin persekutuan dari upaya- upaya untuk perubahan kekuasaan menjadi lebih mungkin. Dalam hal ini, refleksi terhadap kekuasaan, dan refleksi oleh agen-agen perubahan terhadap bagaimana kerja mereka mempengaruhi hubungan kekuasaan pada seluruh dimensinya, mungkin menjadi langkah awal membuat kekuasaan yang tersembunyi dan tak nampak menjadi lebih jelas.

Catatan * Versi yang mirip dari makalah ini telah disiapkan untuk evaluasi Dutch CFA, Menilai

Partisipasi Masyarakat Sipil (Assessing Civil Society Participation , yang dikoordinasi oleh Irene Guijt (2005) dari Learning by Design, dan didukung oleh Cordaid, Hivos, Novib dan Plan Netherlands dan the Power, Participation and Change Programme dari Kelompok Partisipasi di the Institute of Development Studies. Terima kasih saya kepada

semua kolega dari Civil Society Participation evaluation, the Participation Group, Just Associates, dan semua pihak yang saya telah belajar menggunakan dan berdiskusi

tentang pendekatan kubus kekuasaan.

1 Untuk melihat lebih jauh perdebatan ini, lihat Vene Klasen and Miller (2002) and Kabeer (1994).

2 Untuk memeriksa pekerjaan ini, lihat Gaventa (1980).

3 Lihat situs LogoLink untuk kajian mengenai partisipasi warga dan tata-kelola lokal, www.ids.ac.uk/logolink/index.htm (diakses pada 7 August 2006).

4 Lokakarya tentang Aksi Warga, Pengetahuan dan Kuasa Ekonomi Global: Refleksi Praktik-praktik Kini dan Tantangan ke Depan (Citizen Action, Knowledge and Global

Economic Power: Reflecting on Current Practices and Challenges Ahead , diselenggarakan oleh Just Associates, Action Aid dan the IDS Participation Group, 1 –3 August 2005 (Just Associates 2006).

5 Kubus Rubik mengacu pada kubus mekanik yang diciptakan pada tahun 1974 oleh profesor arsitek dan pematung Hongaria, Ernö Rubik, dan dipasarkan sebagai puzzle.

Setiap sisi kubus bisa berputar, walaupun sisi yang lain tetap/tidak berputar.

6 Bagian-bagian berikut diambil utamanya dari makalah-makalah mengenai kubus kekuasaan, seperti yang dikutip dalam VeneKlasen dan Miller (2002) dan Kabeer

(1994).

7 Pemikiran ini dikembangkan dari Cornwall (2002); Brock et al. (2001) dan Brock et al. (2004).

8 Dalam makalah ini, kubus kekuasaan memusatkan perhatian utamanya pada kekuasaan di ruang publik public sphere namun juga mengakui bahwa pendekatan ini

tidaklah lengkap.

9 Lebih spesifik, sekitar 43 quintillion, atau 43,252,003,274,489,856,000, menurut Wikipedia!

References

Batliwala, Srilatha Grassroots Movements as Transnational Actors: )mplications for Global Civil Society , Voluntas: International Journal of Voluntary and Nonprofit

Organizations 13.4: 393 –409 Batliwala, Srilatha and Brown, David L. (eds) (2006) Transnational Civil Society: An Introduction, Bloomfield: Kumarian Press Brock, K., Cornwall, A. and Gaventa, J. (2001) Power, Knowledge and Political Spaces in the Framing of Poverty Policy, IDS Working Paper 143, Brighton: IDS Brock, K., McGee, R. and Gaventa, J. (eds) (2004) Unpacking Policy: Actors, Knowledge and Spaces in Poverty Reduction, Kampala: Fountain Press Cornwall, A. (2002) Making Spaces, Changing Places: Situating Participation in Development, IDS Working Paper 170, Brighton: IDS Cornwall, A. and Coehlo, V. (eds) (2006) Spaces for Change? The Politics of Citizen Participation in New Democratic Arenas, London: Zed Books

Cornwall, A. and Coehlo, V. eds New Democratic Spaces? , IDS Bulletin 35.2 (see also www.drc-citizenship.org)

Development Research Centre, Rights and Power Workshop Report (2003), www2.ids.ac.uk/drccitizen/docs/r&pworkshopreportfinal.pdf (accessed 7 August 2006)

Edwards, M. and Gaventa, J. (2001) Global Citizen Action, Boulder; Colorado: Lynne Reinner Publishers

Gaventa, J. Reflections on the Uses of the Power Cube, Approach for Analyzing the Spaces, Places and Dynamics of Civil Society Participation and Engagement ,

prepared for Assessing Civil Society Participation as Supported In-Country by Cordaid, Hivos, Novib and Plan Netherlands 1999 –2004, The Netherlands: MFP Breed Netwerk

Gaventa, J. Towards Participatory Governance: Assessing the Transformative Possibilities , in S. (ickey and G. Mohan eds , From Tyranny to Transformation,

London: Zed Books Gaventa, J. (1980) Power and Powerlessness: Quiescence and Rebellion in an Appalachian Valley, Oxford: Clarendon Press Goetz, A.M. and Gaventa, J. (2001) From Consultation to Influence: Bringing Citizen Voice and Client Focus into Service Delivery, IDS Working Paper 138, Brighton: IDS

Guijt, ). Synthesis Report of Dutch CFA Programme Evaluation , Assessing Civil Society Participation as Supported In-Country by Cordaid, Hivos, Novib and Plan Netherlands 1999 –2004, The Netherlands: MFP Breed Netwerk

(ayward, C.R.

De-Facing Power , Polity 31.1: 1–22

Just Associates (2006) Citizen Engagement and Global Economic Power Workshop

Report, Washington DC: Just Associates

Kabeer, N. (1994) Reversed Realities: Gender Hierarchies in Development Thought, London: Verso Lefebvre, H. (1991) The Production of Space, London: Verso Lukes, S. (1974) Power: A Radical View, London: Macmillan (reprinted 2004,

Basingstoke: Palgrave Macmillan)

McGee, R. Unpacking Policy: Actors, Knowledge and Spaces , in K. Brock, R. McGee and J. Gaventa (eds), Unpacking Policy: Actors, Knowledge and Spaces in Poverty Reduction, Kampala: Fountain Press: 1 –26

Mohan, G. and Stokke, K. Participatory Development and Empowerment: The Dangers of Localism , Third World Quarterly 21.2: 247–68 Pearce, J. and Vela, G. Colombia Country Report for the Dutch CFA Programme Evaluation ,

Assessing Civil Society Participation as Supported In-Country by Cordaid, Hivos, Novib and

Plan Netherlands 1999 –2004, The Netherlands: MFP Breed Netwerk Pieterse, J.

Globalisation and Emancipation: From Local Empowerment to Global Reform , New Political Economy 2.1: 79–92

Soja, E. (1996) Third Space: Journeys to Los Angeles and Other Imagined Places, Cambridge, MA: Blackwell Tarrow, S. (2005) The New Transnational Activism, Cambridge: Cambridge University Press VeneKlasen, L. and Miller, V. (2002) A New Weave of People, Power and Politics: the

Action Guide for Advocacy and Citizen Participation, Oklahoma: World Neighbors Webster, N. and Engberg-Petersen L. (2002) (eds) In the Name of the Poor: Contesting Political Space for Poverty Reduction, London: Zed Books

Bahan Belajar -4 Topik 1

Enabling Environment, Understanding Power Relations. Souce : Power Pack – Understanding Power for Social Change , )nstitute of Development Studies, UK. Useful

links : www.powercube.net (versi terjemahan)

Memahami Hubungan-Hubungan Kekuasaan

Mengartikan Kekuasaan

Kekuasaan tidaklah statis dan juga bukan sebuah sumber yang terbatas. Kekuasaan bisa digunakan, dibagikan, atau diciptakan oleh aktor sosial dan jaringan kerja mereka dalam

berbagai cara. Sebagai contoh, kekuasaan atau hubungan kekuasaan yang tidak

berimbang bisa dilihat sebagai sebuah bentuk kontrol satu orang dari sebuah kelompok (yang berkuasa) atas orang lain yang dipandang sebagai pihak yang tidak berdaya.

 Kekuasaan “atas” sering digunakan dalam berbagai cara untuk menjaga status quo

dan menekan serta membatasi orang atau kelompok orang dari mendapakan hak-

haknya. Meskipun demikian, kekuasaan juga bisa dilihat sebagai daya positif untuk perubahan

pribadi maupun perubahan sosial dan juga sebagai tindakan yang positif.

 Kekuasaan “untuk”: merujuk pada kemampuan untuk melakukan tindakan, sebagai

agen untuk menerapkan dan menyadari akan hak-hak, kewarganegaraan, serta hak untuk bersuara.

 Kekuasaan “dari dalam”: merujuk pada mendapatkan sebuah rasa identitas diri,

kepercayaan diri, dan kesadaran diri yang merupakan prasyarat dalam sebuah tindakan.

 Kekuasaan “bersama”: merujuk pada sinergi yang mungkin muncul melalui

kemitraan dan kerja sama dengan pihak lain atau melalui proses tindakan bersama dan pengembangan sekutu.

Dalam advokasi sangat penting untuk menghargai sebuah hubungan antara perubahan dengan kekuasaan. Meskipun begitu, advokasi sering diartikan tanpa sebuah pemahaman yang jelas maupun analisis yang memadai mengenai bagaimana perubahan Dalam advokasi sangat penting untuk menghargai sebuah hubungan antara perubahan dengan kekuasaan. Meskipun begitu, advokasi sering diartikan tanpa sebuah pemahaman yang jelas maupun analisis yang memadai mengenai bagaimana perubahan

Meskipun tidak ada satu ukuran yang sama dalam pendekatan perubahan kekuasaan, namun melakukan analisis kekuasaan akan membantu Anda dalam menjelajahi berbagai macam bentuk kekuasaan yang bermain di dalam konteks apapun, terkait bagaimana cara mereka mempengaruhi perubahan yang ingin Anda capai, dalam melihat kesempatan yang seperti apa, dan dengan titik masuk yang tersedia untuk bertindak. Ada banyak pendekatan yang berbeda dalam analisis kekuasaan, dan salah satu alat yang paling mudah dipahami adalah seperti yang kita garis bawahi berikut ini:

PERANGKAT Kubus Kekuasaan 53

Pendekatan Kubus Kekuasaan adalah perangkat yang sangat berguna dalam mengenali tingkat, ruang, dan bentuk kekuasaan, serta menganalisis cara mereka saling berhubungan satu sama lain. Hal ini akan memungkinkan Anda untuk melakukan sebuah analisis kekuasaan yang meliputi banyak hal dalam konteks atau masalah apapun yang akan membantu Anda dalam mendalami lebih lanjut mengenai relasi dan kekuasaan untuk menemukan titik masuk yang memungkinkan dalam advokasi serta cara-cara terkait dinamika penentangan kekuasaan.

53 Kerangka kerja Kubus Kekuasaan dikembangkan oleh para peneliti dari tim ―Partisipasi, Kekuasaan, dan Perubahan Sosial ‖ yang dikepalai oleh John Gaventa di Institut Studi Pembangunan di Inggris .

Tingkat

Global

Bentuk Kekuasaan

Nasional

Lokal Tidak Terlihat Tersembunyi Terlihat

Tertutup Undangan Diciptakan

Ruang

DIMENSI KEKUASAAN CARA-CARA PENENTANGAN KEKUASAAN BENTUK

Terlihat: mekanisme pembuatan keputusan Melobi, advokasi, dan mobilisasi untuk mempengaruhi yang dapat terlihat (sebagai contoh: organisasi proses pembuatan keputusan. politik, legislatif, majelis lokal, dan forum).

Menguatkan suara rakyat dan kapasitas mereka dalam mempengaruhi agenda politik dari balik layar

berbicara; melampaui semua batasan akan partisipasi (sebagai

contoh: membela

kepentingan

melalui mobilisasi; menggunakan penelitian dan media pembuat kebijakan dengan cara menciptakan

dalam menantang bagaimana isu-isu tertentu akan batasan akan partisipasi dan menjaga isu-isu

dibingkai.

tertentu agar tetap di luar agenda).

Tidak Terlihat: cara-cara di mana kesadaran akan

hak dan kepentingan seseorang Peningkatan kesadaran, pendidikan orang dewasa, disembunyikan melalui adopsi akan ideologi, penelitian

untuk menguatkan norma, dan nilai tertentu yang dianut, serta pengetahuan masyarakat, komunikasi popular dalam

partisipatori

bentuk-bentuk kebiasaan. menantang stereotype yang dominan, serta diskusi.

RUANG

Ruang Tertutup: di mana keputusan dibuat Permintaan akan transparansi yang lebih luas, hak oleh kelompok tertutup di balik pintu yang untuk informasi dan pengungkapan sebuah kasus, tertutup

atau akuntabilitas publik, serta tuntutan akan kesempatan keterlibatan secara luas (contoh: dewan, yang sama dalam memperoleh suara yang lebih besar. perlemen, kelompok ahli, dan lain-lain).

dan minim

konsultasi

Ruang Undangan: tempat di mana orang- Mendapatkan pengetahuan dan keahlian tentang kunci

orang diundang untuk berpartisipasi tapi

peraturan, strategi dalam dengan batasan tertentu. Tempat tersebut bisa

permasalahan

dan

bernegosiasi dan berkompromi terhadap serangkaian dilembagakan atau hanya untuk sementara

batasan dalam berpartisipasi.

(contoh: forum partisipasi, konsultasi satu kali).

Ruang yang Diklaim: tempat di mana Memastikan bahwa suara dan pesan dari tempat- kelompok yang kurang kuat membuat klaim tempat ini disampaikan dalam pembukaan di dalam atas tempat untuk mereka bisa melaksanakan proses pengambilan keputusan. agenda mereka (contoh: melalui gerakan sosial, protes, atau perkumpulan masyarakat).

TINGKAT Global:

pada Menargetkan organisasi-organisasi supra-nasional tingkatan global -pemerintahan global- telah seperti PBB, WTO, World Bank, IMF, Uni Eropa, Uni berkembang dengan meningkatnya globalisasi. Afrika, ASEAN, Mercosur, dan sebagainya. Otoritas

kekuasan dan

dengan dikelola oleh organisasi-organisasi di tingkat regional (contoh: Persekutuan Afrika –

Eropa).

Nasional: pemerintahan

nasional

tetap

merupakan titik masuk yang penting untuk Memfokuskan usaha pendampingan pada kementerian perubahan, khususnya dalam memungkinkan negara, organisasi yang terpilih (contoh: parlemen), terbentuknya perkembangan lingkungan OMS organisasi

eksekutif,

partai politik nasional,

pengadilan, dan sebagainya).

yang lebih efektif. Lokal: kekuasaan sub-nasional mungkin Strategi partisipasi dalam pemerintahan lokal bisa saja

bervariasi sesuai konteksnya, tetapi tetap melibatkan keikutsertaan pengawas dan pengontrol sebagai titik penting untuk mendongkrak anggaran atau memegang institusi lokal dalam hal dalam memegang dan menentang kekuasaan.

keuangan.

Panduan

Dalam menganalisis kekuasaan menggunakan kerangka kerja Kubus Kekuasaan, Anda bisa memulai dengan dimensi apa saja. Jika Anda ingin berkonsentrasi pada bagaimana hubungan kekuasaan akan mempengaruhi isu Anda, maka Anda bisa mulai dengan melihat pada bentuk kekuasaan. Jika Anda tertarik untuk menganalisis dan membuka ruang untuk partisipasi, aksi masyarakat, dan dialog antar-stakeholder, maka Anda akan memulainya dengan dimensi tersebut. Jika Anda ingin fokus untuk mendalami hubungan ekspresi kekuasaan antara lokal, nasional, dan global dalam tema Anda, maka Anda akan memulainya dengan mengidentifikasi relasi kekuasaan dalam tingkat-tingkat yang berbeda.

Bagaimanapun, tantangan sebenarnya dalam melakukan sebuah analisis kekuasaan adalah dalam mengenali bahwa tidak hanya setiap konsep yang sejalan dengan satu dimensi kekuasaan, akan saling berhubungan satu dengan yang lain (contoh: lokal, nasional, internasional), tapi hal itu juga akan berhubungan dengan konsep dalam dimensi kekuasaan yang lain. Anda harus bertindak pada lebih dari satu tingkat dan mengalamatkan pada lebih dari satu dimensi kekuasaan secara simultan dalam menciptakan perubahan yang bertahan lama.

Sumber: Paket Kekuasaan – Memahami Kekuasaan untuk Perubahan Sosial , Institut Studi Pembangunan, Inggris.

Tautan penting: www.powercube.net

Bahan Bacaan Pendukung

- Teorisasi Gerakan-gerakan Sosial , makalah tidak diterbitkan, dikutip dari Dimpos Manalu, Gerakan Sosial dan Perubahan Kebijakan Publik: Studi Kasus

Perlawanan Masyarakat Batak vs PT Inti Indorayon Utama di Sumatera Utara, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009.

- Adrián Gurza Lavalle, Peter P. Houtzager and Graziela Castello, In whose name? Political representation and civil organisations in Brazil, Institute of Development Studies, Brighton, Sussex BN1 9RE, England, June 2005.

- Alistair Clark, Parties and Political Linkage: Towards A Comprehensive Framework for Analysis , Paper Presented for PSA Annual Conference, University of Leicester, 15th-17th April 2003.

- Bob Sugeng (adiwinata, From heroes to troublemakers ? Civil society and democratization in Indonesia, dalam Marco Bunte dan Andreas Ufen, Democratization in Post-Suharto Indonesia, New York: Routledge, 2009.

- Charles Tilly dan Sidney Tarrow, Contentious Politics, Oxford/New York: Oxford University Press, 2007.

- Donatella della Porta dan Mario Diani, Social Movements: An Introduction (2nd edition), Oxford, UK: Blackwell Publishing, 2006.

- Mikaela Nyman, Civil society and the challenges of the post-Suharto era , dalam Marco Bunte dan Andreas Ufen, Democratization in Post-Suharto Indonesia, New York: Routledge, 2009.