80 telah tumbuh di Indonesia telah memakan korban yang tidak sedikit dan
mengakibat efek negatif yang meluas wide spread dalam struktur sosial masyarakat Indonesia. Kedua, diskriminasi jelas-jelas menghambat cita-cita
negara untuk mewujudkan Indonesia bersatu dengan tidak mengsampingkan ideologi Bhineka Tunggal Ika.
Ide kriminalisasi ini tampaknya didukung pula dalam Konsep KUHP, karena permasalahan diskriminasi telah diformulasikan dalam Buku Kedua
tentang Tindak Pidana, Bab V Tindak Pidana terhadap Ketertiban Umum, Paragraf 3 tentang Penghinaan terhadap Golongan Penduduk, Pasal 286 dan Pasal
287.
D. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP KEBIJAKAN HUKUM PIDANA
Kebijakan hukum pidana penal policy adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan
hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang
menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.
105
Kebijakan pidana penal policy dapat juga diartikan sebagai politik hukum pidana. Politik hukum sendiri menurut Sudarto dijabarkan sebagai berikut:
106
105
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, h. 21
106
Ibid, h.24
81 1.
usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.
2. kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam
masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Penjabaran di atas tentang politik hukum, maka akan mempengaruhi
hakikat politik hukum pidana yaitu bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik, sehingga akan
berkaitan erat dengan tujuan penanggulangan kejahatan. Hal inilah yang membuat politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan
kejahatan dengan hukum pidana. Lebih lanjut, mengingat upaya-upaya yang terdapat dalam kebijakan hukum pidana merupakan salah satu perwujudan usaha
penegakkan hukum, maka kebijakan hukum pidana juga merupakan bagian dalam kebijakan penegakkan hukum law enforcement policy. Pada akhirnya kebijakan
hukum pidana adalah salah satu bagian dari kebijakan sosial social policy, karena ada upaya dari kebijakan hukum pidana untuk menggabungkan
kesejahteraan masyarakat social welfare dan usaha perlindungan masyarakat social defence.
107
Pada hakikatnya masalah kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaan teknik perundang-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis
normatif dan sistematik-dogmatik. Di samping pendekatan yuridis-normatif,
107
Ibid ,h. 26
82 kebijakan hukum pidana juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang dapat
berupa pendekatan sosiologis, historis, dan komparatif; bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin sosial lainnya dan pendekatan
integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya.
108
Aspek kebijakan hukum pidana penal policy, sasaran adressat dari hukum pidana tidak hanya mengatur perbuatan warga masyarakat pada umumnya, tetapi
juga mengatur perbuatan dalam arti kewenangan kekuasaan penguasa aparat penegak hukum. Jadi kebijakan hukum pidana pada hakikatnya mengandung
kebijakan mengatur mengalokasi dan membatasi kekuasaan, baik kekuasaan kewenangan warga masyarakat pada umumnya untuk bertindakbertingkah laku
dalam pergaulan masyarakat maupun kekuasaan atau kewenangan penguasa penegak hukum.
109
Pengertian kebijakan kriminal criminal policy menurut Hoefnagels adalah sebagai berikut:
110
Criminal policy is the science of crime prevention...Criminal policy is the rational organization of the social reactions to crime..... Criminal policy as a science of
policy is part of a larger policy: the law enforcement policy..... Criminal policy ia also manifest as science and as application. The legislative and enforcement
policy is in turn part of social policy.
108
Ibid, h. 22
109
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu Integrated Criminal Justice System, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, 2006, h. 10
110
Hoefnagels dalam makalah Nyoman Serikat Putra Jaya, Kebijakan Kriminal dalam Penggulangan Money Laundering,
83 Dengan pernyataan bahwa criminal policy as a part of social policy,
menurut Muladi sangat penting dan akan dapat menghindarkan hal-hal sebagai berikut:
111
a. pendekatan kebijakan sosial yang terlalu beorientasi pada social welfare
dan kurang memperhatikan social defence policy. b.
Keragu-raguan untuk selalu melakukan evaluasi dan pembaharuan terhadap produk-produk legislatif yang berkaitan dengan perlindungan
sosial yang merupakan sub sistem dari national social defence policy c.
Perumusan kebijakan sosial yang segmental, baik nasional maupun daerah, khususnya dalam kaitan dengan dimensi kesejahteraan dan perlindungan.
Pemahaman bersama akhir-akhir ini terhadap UU Pemerintah di daerah sekarang Pemerintah Daerah merupakan langkah yang baik untuk
meningkatkan koordinasi
d. Pemikiran yang sempit tentang kebijakan kriminal, yang seringkali hanya
melihat kaitannya dengan penegakan hukum pidana. Padahal sebagai bagian dari kebijakan sosial, penegakan hukum pidana merupakan sub
sistem pula dari penegakan hukum dalam arti luas yang meliputi penegakan hukum perdata dan penegakan hukum administrasi.
e. Kebijakan legislatif legislatif policy yang kurang memperhatikan
keserasian aspirasi baik dari suprastruktur, infrastruktur, kepakaran maupun pelbagai kecenderungan internasional.
Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana tidak dipidana menjadi suatu
tindak pidana perbuatan yang dapat dipidana. Jadi pada hakikatnya, kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal criminal policy dengan
menggunakan sarana hukum pidana penal sehingga termasuk dalam bagian dari kebijakan hukum pidana penal policy.
112
Dalam hal penghapusan adanya diskriminasi dalam sejarah kehidupan manusia, maka sepatutnya Indonesia mengharmonisasikan kebijakan penal
nasional dengan kebijakan penal internasional. Sebab permasalahan diskriminasi
111
Muladi, Kapita selekta Sistem Peradilan Pidana, BAdan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang, 1995, h.97
112
Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara; Perkembangan Cyber Crime di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, h. 20
84 bukan merupakan isu lokal saja, tetapi isu kemanusiaan yang telah mengglobal.
Kiranya sudah sepatutnya Indonesia melakukan harmonisasi kebijakan penal dalam hal penghapusan diskriminasi, karena Indonesia telah meratifikasi
International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination. Dengan diratifikasinya konvensi tersebut, maka Indonesia telah
mengikatkan diri pada “rambu-rambu” kebijakan formulasi penghapusan diskriminasi internasional.
Proses harmonisasi kebijakan penal yang nantinya akan mempengaruhi kebijakan formulasi penghapusan dskriminasi pastinya tidak mudah, karena
sangat bergantung pada sistem hukum pidana materiil yang sedang berlaku di suatu negara atau sistem yang sedang dibangun dicita-citakan. Bila harmonisasi
tersebut berjalan di luar sistem, maka dapat dikatakan upaya tersebut gagal. Oleh karena itu kebijakan formulasi penghapusan diskriminasi Indonesia harus tetap
memegang erat kaedah ide dasar sistem hukum pidana materiil yang saat ini berlaku di Indonesia.
113
113
Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara; Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia, Rajawali Grafindo Perkasa, Jakarta, 2006, h. 45
85
E. PENGERTIAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA PENAL