128 SMASMK membuat sekolah masih ragu untuk
mengikuti kebijakan ini.
4.2.2.7. Sarana Prasarana
Sarana prasarana untuk menunjang proses pembelajaran siswa inklusif sudah cukup tersedia.
Bantuan dana yang diberikan untuk sekolah inklusif ini dimanfaatkan untuk pembiayaan pembelian sarana
pendidikan, yaitu alat bantu pendidikan teaching aids seperti alat peraga, LCD projector, langganan internet
dan lain-lain. Selain itu beberapa siswa juga diberikan bantuan berupa kursi roda dan alat bantu.
Beda halnya dengan sarana, prasarana untuk program ini dirasa masih kurang. Sekolah-sekolah
inklusif di Salatiga belum ada yang memiliki ruang sumber secara khusus. Biasanya kegiatan pull out
dilakukan di ruang yang bisa digunakan. Misalnya SD Blotongan 3 memanfaatkan rumah dinas Kepala
Sekolah untuk memberikan ketrampilan tambahan. Sementara
itu SMP
7 memanfaatkan
gazebo, perpustakaan atau ruang konseling BK. Selain ruang
sumber, idealnya
sekolah-sekolah dapat
mengakomodasi kebutuhan siswa disabilitas, misalnya tangga dan WC yang memudahkan siswa yang memiliki
ketunaan. Namun hal ini masih belum ditemui di sekolah inklusif di Salatiga.
129 SDIT Nidaul Hikmah membatasi jenis hambatan
belajar tertentu karena menyadari adanya keterbatasan prasarana yang ada. Kondisi sekolah dengan 3 tiga
lantai, serta
lingkungan sekolah
yang kurang
mendukung bagi siswa dengan ketunaan tertentu membuat sekolah tersebut belum bisa menerima siswa
dengan tuna daksa. Ringkasnya, bantuan dana yang diberikan oleh
pemerintah cukup
membantu sekolah
untuk melengkapi sarana pembelajaran untuk siswa inklusi.
Tetapi, prasarana sekolah belum aksesibel terutama bagi siswa dengan disabilitas.
4.2.2.8. Manajemen Sekolah
Pengelolaan sekolah
inklusi mensyaratkan
sekolah menerapkan
konsep MBS
Managemen Berbasis
Sekolah. MBS
merupakan program
desentralisasi bidang pendidikan dengan otonomi luas di tingkat sekolah dan tingginya partisipasi masyarakat
dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional Irianto, 2011:158.
Dalam prakteknya di lapangan, sekolah-sekolah sudah menerapkan hal ini. Misalnya ketika pemilihan
bentuk kegiatan penerapan sekolah inklusi prgram CIBI. Setiap sekolah yang ditunjuk membuat kebijakan
sendiri tentang program berdasarkan potensi yang ada. Seperti yang disebutkan di atas, SMP 1 menerapkan
130 kelas akselerasi, SMP 2 melaksanakan program
pengayaan, SMP 8 menerapkan program untuk menggali bakat olaharaga dan seni para siswanya.
Walaupun sekolah
sudah menggunakan
otonominya untuk membuat program sendiri, namun program ini masih minim partisipasi dari masyarakat.
4.2.2.9. Pendanaan