118 sekolah tersebut. Begitupun SDIT Nidaul Hikmah yang
tidak dapat menerima siswa dengan tuna daksa. Di tingkat sekolah menengah, SMP 7 dan SMP 10
juga berlokasi di pinggiran Kota Salatiga. Selain faktor lokasi, sekolah tersebut juga input masuk siswanya
berdasarkan nilai UN tergolong rendah. Selain menjadi rujukan bagi lulusan Sekolah Dasar inklusif, input
siswa di kedua SMP ini tergolong rendah dibandingkan SMP negeri lain di Salatiga.
Sedangkan peserta didik untuk program CIBI dipilih dari siswa yang berprestasi. Siswa yang
mengikuti program pengayaan di SMP 2 dipilih siswa dengan nilai yang bagus sebanyak 20 per kelasnya.
Sedangkan siswa penerima program di SMP Kristen 2 dipilih dari siswa-siswa yang menonjol di setiap mata
pelajaran, khususnya eksakta dan bahasa Inggris. Dengan demikian, semakin banyak ABK yang
terlayani pendidikannya dengan adanya program ini. Peserta didik ABK sebagian besar berkategori slow
learner, sedangkan beberapa sekolah membatasi jenis ketunaan siswa ABK dengan menerima siswa dengan
ketunaan yang dianggap ringan.
4.2.2.2. Identifikasi dan Assesmen
Identifikasi menurut
Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pendidikan
Inklusif 2007:17-18
adalah “upaya penjaringan terhadap anak yang
119 mengalami
kelainanpenyimpangan dalam
rangka pemberian layanan pendidikan yang sesuai”. Setelah
dilakukan proses ini akan ditemukan ABK yang membutuhkan layanan pendidikan khusus. Proses
selanjutnya yaitu assessmen berupa pengumpulan informasi untuk melihat hambatan dan kelebihan siswa
untuk nantinya digunakan untuk menyusun program pembelajaran supaya sesuai dengan kebutuhannya.
Identifikasi dan assessmen sudah dilakukan di sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di
Salatiga. Namun dalam hal ini sekolah masih merasa
kesulitan dalam assessment. Dalam menentukan seorang ABK slow learner atau tidak kebanyakan GPK
hanya melakukan perabaan saja. Seperti yang sudah disebutkan diatas bahwa sebagian besar ABK di
sekolah inklusif di Salatiga adalah siswa slow learner. Sedangkan untuk menentukan ketunaan adalah
dengan bantuan profesional melalui tes IQ. Sementara itu sekolah tidak memiliki dana untuk penyelenggaraan
tes IQ karena sekolah tidak bisa menggunakan dana BOS untuk pelaksanaan tes ini. Suparno, GPK SD
Dukuh 02 menjelaskan dalam wawancara pada 12 Januari 2017 bahwa
“Kami hanya menduga saja, tidak bisa menentukan karena tidak punya wewenang
untuk tes IQ. Kita bisa menyampaikan kepada orang tua bahwa anak tersebut
120
tergolong ABK kan butuh tes IQ. Selama ini belum diadakan tes IQ. Kalau tuna daksa,
tuna netra bisa jelas dilihat secara fisik, tapi kalau slow learner perlu pendekatan yang
sebaik-
baiknya. Dasarnya hanya satu, tes IQ.”
Pelaksanaan tes IQ terutama di SD negeri belum bisa dilakukan dengan partisipasi orang tua. Seperti
yang dijelaskan di atas, rata-rata keluarga siswa di sekolah penyelenggara inklusif di pinggiran kota
Salatiga ini memiliki keterbatasan ekonomi. Sehingga untuk membiayai tes IQ yang relatif mahal susah
dilakukan. Berbeda dengan sekolah swasta penyelenggara
inklusif, biasanya tes IQ dibiayai oleh orang tua sehingga proses assessmen ini tidak menemui kendala.
Namun pada tahun 2017 direncanakan bahwa tes IQ akan dibiayai oleh Dinas Pendidikan melalui anggaran
APBD Kota Salatiga dengan menggandeng psikolog dan Rumah Sakit Umum Daerah dalam pelaksanaannya.
Ringkasnya, sekolah sudah menyelenggarakan identifikasi untuk siswa ABK namun masih mengalami
kesulitan dalam proses assessmen, khususnya siswa slow learner, karena memerlukan bantuan profesional
untuk ini. Bantuan untuk assessmen ini telah diupayakan oleh Pokja untuk penyelenggaraan tes IQ
dengan pembiayaan dari Pokja.
121
4.2.2.3. Kurikulum