1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hubungan Islam-Kristen sebutan akrab:
Salam-Sarane
di Maluku pada satu sisi, terkesan sangatlah damai, rukun dan hidup saling berdampingan. Hubungan
Salam-Sarane
ini terbangun lestari dalam satu khasana kearifan lokal di Maluku yang dinamakan
“Pela”.
1
Pela sebagai sebuah sistem kekerabatan yang menekankan relasi persaudaraan
orang basudara:
bersaudara telah menghasilkan sebuah sinergi,
equal
, dan penghargaan. Implementasi dari konsepsi “
orang basudara
” secara kontekstual teraktualisasi ketika kedua
negeri
bersama ‐sama
melakukan “
masohi
”tindakan kerjasama dan tolong menolong pembangunan rumah ibadah Mesjid dan Gereja, pihak saudara
pela
akan menyediakan segala bahan materiil dan tenaga fisik. Tindakan ini dianggap sebagai sebuah kewajiban
mutual yang justru semakin mempererat ikatan
Pela Gandong
antar
negeri
.
2
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa relasi yang telah terbangun antar Islam-Kristen baik individu maupun komunitas dalam satu negeri yang
berpela
adalah relasi persaudaraan. Persaudaraan ini erat terbangun dalam aktifitas bersama yang saling melihat pemenuhan kebutuhan hidup kedua belah pihak.
Ironisnya, Pela dalam konteks berlangsungya konflik ternyata belumlah efektif berguna sebagai instrumen penanganan konflik. Konflik tetap saja tak dapat
dihindari dan terhentikan. Budaya Pela Gandong yang sarat dengan nilai keluhuran: penghargaan dan penghayatan terhadap kepelbagaian, salah satunya
keagamaan “telah terselewengkan” atau dimanipulasi dan direkaya dalam
pandangan-pandangan keagamaan yang berdimensi politik: sistem kekuasaan yang sektarian.
3
1
Pela sebenarnya berasal dari kata peia yang berarti „saudara‟. Makna dari hubungan ini sangat
penting dikaitkan dengan tradisi „perburuan kepala‟ manusia di antara suku-suku di sana. Yang akan diburu adalah kepala dari mereka yang bukan „saudara‟. Jika itu „saudara‟ maka perkelahian
bahkan perdebatan pun dilarang. Seri budaya pela gandong dari pulau ambon. lembaga kebudayaan daerah Maluku, 1997, 15-19
2
Roubrenda N. Ralahallo. “Kultur Damai Berbasis Tradisi Pela Dalam Perspektif Psikologi
Sosial ”. Jurnal Psikologi Volume, 36,2,2009. 177 – 188
3
Forum Kepedulian Kerusuhan Maluku FKKM:Studi Kritis atas Kerusuhan Maluku Ambon dan Upaya Penanggulangannya .
Yogyakarta, 1999
2 Pela Gandong
4
merupakan sebuah pranata adat dan budaya masyarakat Maluku yang telah mengintegrasikan masyarakat Maluku yang tersekat oleh
identitas keagamaan Islam- Kristen dalam ikatan “persaudaraan abadi”
terkukuhkan melalui ritual adat pela yang dianggap sakral. Hubungan Pela Gandong adalah perikatan saudara antara beberapa negeridesa.
5
Kendati hubungan sekutu
pela
Islam-Kristen baik, namun hal itu hanya terbatas pada sekutu
pela
saja. Ia tidak bersifat
general
bagi semua negeri. Hal itu terlihat jelas dalam pengalaman konflik tidak pernah terjadi konflik antar sekutu
Pela Gandong
. Bahkan sesama saudara “
pela
” saling melindungi dan membantu selama terjadinya konflik. Namun itu hanya terbatas pada sekutu
pela
, karena tetap akan terjadi penyerangan pada daerah-daerah lain yang tidak berhubungan
pela
.
Pela
sebenarnya sebuah relasi yang sangat ekslusif sebatas hubungan antar saudara.
6
Berdasarkan pemahaman diatas, maka harus diakui bahwa posisi sentral adat, sebagai sebuah lembaga yang mempersatukan masyarakat yang
berPela Gandong
secara eksklusif ternyata masih memiliki keterbatasan. Hubungan persaudaraan Islam-Kristen dalam adat budaya Pela Gandong itu tidak mengakomodir
kepelbagaian identitas etnis masyarakat Maluku. Misalnya, para migran yang berasal dari Sulawesi: Bugis, Buton, Makassar dan Jawa yang tidak terintegrasi ke
dalam struktur tradisional dan adat tersebut. Pada sisi lain, historitas hubungan kedua komunitas agama ini ternyata juga
memperlihatkan adanya pertikaian atau konflik yang terekam menjadi memori
4
Istilah Pela Gandong yang dimaksudkan menunjuk pada dua kata yang memiliki satu pengertian yakni: hubungan persaudaraan. Bdg. D.C.M. Pattiruhu. Seri budaya Pela-Gandong
dari pulau Ambon, Ambon. LKDM, 1997. 2-3. Terdapat beberapa jenis Pela: pela darah atau pela batu karang
. Ditetapkan dengan ketat melalui sumpah para leluhur dengan meminum darah. Pela ini abadi dan melarang perkawinan antar sekutu pela, berkewajiban saling membantu dalam
masa perang atau krisis; pela-gandong: didasarkan pada ikatan keturunan kekeluargaan pernikahan leluhur: pela tempat-sirih: terbentuk setelah ada peristiwa kecil, untuk memulihkan
kedamaian setelah ada peristiwa pertikaian, atau setelah satu negeri member bantuan kepada negeri yang lain. Lihat. John. Chr. Ruhulessin,. Etika Publik: menggali dari tradisi Pela di
Maluku
. Salatiga : Satya Wacana University Press-Program Pasca Sarjana Program Studi Sosiologi Agama, 2007, 171-178.
5
Konon ikatan persaudaraan pela terbentuk sesuai konteks pembentukannya, misalnya: pertikaian dua negri yang berakhir dengan tanda ada dua pihak yang kalah dan yang menang.
Lihat: Frank. L. Coley, Mimbar dan Tahta Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987, 183-188
6
J. Manuputty D. Wattimnela, “Konflik Maluku” dalam Potret Retak Nusantara: Studi Kasus Konflik
di Indonesia.
Center for
Security and
Peace Studies,
Editor, Lambang,Trijono,ddk,Yogyakarta:Universitas Gadjah Mada,2004, 94
3
pahit yang men
darah-daging
dalam tubuh orang Maluku. Perjumpaan Islam- Kristen dimulai sejak abad ke-16dalam bingkai perlawanan kekuasaan
Islam
7
versus
kepentingan Portugis dan Belanda. Motif beragama kala itu sudah sangatlah terpolitisasi dan diskriminatif. Orang yang menjadi Kristen akan
dianggap merupakan musuh Islam, begitu pula sebaliknya, menjadi Islam sama artinya dengan melawan kekuasaan Penjajah. Konflik makin menguat ketika
kekuasaan VOC selama 70 tahun 1605-1675 secara intensif melakukan Protestantisasi terhadap penduduk yang beragama lain di pulau Ambon serta
wilayah bagian-bagian lain di Maluku. Ketegangan yang mengeras makin nampak eksplisit ketika Pemerintah Belanda yang memanfaatkan para penduduk setempat
yang telah dikristenkan dalam rangka melanggengkan kekuasaan mereka dengan modus-modus: memberikan kesempatan kepada orang Kristen untuk mengikuti
pendidikan, terlibat usaha dagang dan bekerja sebagai pegawai dan tentara kolonial, dan tidak sebaliknya terhadap orang Islam.
8
Berbagai penelusuran historis hubungan Islam-Kristen di Maluku hendak menjelaskan bahwa ketika relasi agama-agama Islam-Kristen ditempatkan
dalam suatu “arena publik”: politik dan kekuasaan maka, terdapat fenomena relasi ketidaksetaraan. Individu maupun komunitas agama Islam-Kristen dijadikan
objek yang diperdayakan, diperalat dan dimanfaatkan untuk sebuah kepentingan kekuasaan.
Konflik atau pertikaian antara komunitas Islam-Kristen di Maluku, kota Ambon mulai pecah pada 19 Januari 1999, diawali dengan perseteruan antara dua
orang pemuda, masing-masing 1dari Kristen dan 1 dari Islam. Perseteruan antar pribadi ini kemudian berkembang menjadi perseteruan komunal dan merambat
dengan sangat cepat dengan isu-isu yang memposisikan keduanya dengan mengatas namakan latar belakang agamanya masing-masing. Pemaknaan konflik
7
Kekuasaan Islam dalam bidang perdagangan rempah-rempah telah terbangun sejauh sebelum masuknya bangsa Eropa: Portugis di Maluku. Keuasaan Islam terpusat di Tarnate dan Tidore.
Atas dasar kepentingan ekonomi inilah proses Islamisasi terjadi di Hitu daerahUtara Pulau Ambon,
Sedangkan Portugis, sebagai “peletak dasar sosial” kekristenan berkepentingan untuk meluaskan kekuataan melawan para pedagang Asia. Perjumpaan Protugis-Islam pada masa ini
telah menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan antara penduduk Ambon. Hitu, Tarnate-TidoreI slam
–Portugis. Bnd, John. Chr. Ruhulessin, Etika Publik. . . 1997, 214-219.
8
Yance Z. Rumahuru, “Agama sebagai Fondasi Perkembangan Masyarakat dan Perubahan
Sosial: Studi Kasus Orang Hatuhaha di Negeri Pelauw Maluku Tengah”. Harmoni: Jurnal Multikultural Multireligius. 2013. Vol. 12,144-160
4
dirumuskan sebagai “perang agama”. Selama konflik ini, bentrokan dan kekejaman yang dilakukan dari kedua belah pihak menjadi berkepanjangan dan
berdampak destruktif secara fisik dan psikis: ribuan korban jiwa, pegungsian sepertiga dari penduduk Maluku dan Maluku Utara, hancurnya infrastruktur
ekonomi, pendidikan dsb dan trauma psikologis yang dialami masyarakat Maluku Muslim-Kristen. Konflik menjadi problematika kemanusiaan yang
digumuli oleh seluruh komponennya baik individu dan komunitas.
9
Konflik yang berujung ketidakharmonisan hubungan kedua agama Islam- Kristen merupakan hal yang telah merusak kesatuan di dalam masyarakat.
Hubungan masyarakat kedua komunitas yang diidealkan integrasi dihalangi oleh dampak psikologi-sosial: trauma, stress, hilangnya rasa percaya diri, frustasi, rasa
cemas, rasa takut, kebencian, dendam yang terus menghantui kehidupan masyarakat. Trauma konflik yang dialami mendorong segregasi yang
teridentifikasi dalam mana letak pemukiman yang dulunya berbaur; aktifitas sosial dan ritual keagamaan tempat ibadah kini telah terkotak-kotakan menurut
letak hunian masing-masing komunitas pasca konflik. Masyarakat kini telah sampai pada titik pemahaman yang mendasar bahwa
konflik tidak membawa keuntungan bagi mereka namun menyebabkan kerugian dengan terciptanya suasana yang tidak harmonis diantara masyarakat. Pemaknaan
diri sebagai korban menjadi substansi dari realitas konflik sebagai memori kolektif. Dalam konteks pasca konflik masyarakat Maluku tanpa membedakan
latar belakang agama itu telah berstatus korban. Sebagai respon terhadap hal tersebut, individu maupun instansi pemerintah-
gereja telah menunjukan kepekaan terhadap fenomena-fenomena kemajemukan, menyadari dan mengakui pentingya dialog dan kerjasama lintas agama sebagai
upaya untuk memupuk kesatuan dalam menggapai visi bersama dan yang intrinsik dalam semua ajaran agama dan kearifan lokal Maluku, yakni perdamaian: rukun
dan harmonis. Kerukunan yang didukung oleh ajaran agama dan kearifan lokal tersebut berubah menjadi kasus-kasus konflik antar umat beragama yang faktanya
tidak semata-mata dipicu oleh perbedaan dan pemahaman keber-agama-an yang
9
Cate, Buchanan. Pengelolaan Konflik di Indonesia
– Sebuah Analisis Konflik di Maluku, Papua dan Poso
. LIPI, Current Asia dan the Centre for Humanitarian Dialogue. Geneva. 2011,15
5
eksklusif dan parsial.
10
Melainkan juga sebagai akumulasi persoalan-persoalan lingkup sosial, ekonomi, politik dan dsb.
11
Konflik adalah luapan dari krisis ekonomi dan politik: sejarah sosial kolonial dan politik permainan kekuasaan
tingkat nasional bahkan internasional, bisnis militer.
12
Selanjutnya, dialog dan kerjasama antar kedua komunitas ini terakomodir dalam berbagai program-program lintas instansi pemerintah dan swasta yang
menjaring berbagai komponen masyarakat dari berbagai latar belakang yang berbeda dengan sejumlah kegiatan yang menyentuh berbagai aspek kehidupan
manusia secara utuh; fisik-psikis, jasmani-rohani ritual semisal, menjaga pengamanan bersama ketika umat kristen merayakan natal, begitu juga sebaliknya
islam dan moment institutif; memfasilitasi ruang-ruang diskusi pemantapan pemahaman teologis masing-masing agama yang menolak fanatisme agama.
13
Promotor dari kegiatan-kegiatan ini tidak lain dilakoni oleh tokoh-tokoh Agama dan tokoh Adat dari masing-masing komunitas.
Peran tokoh-tokoh masyarakat adat-agama terkhususnya kristen menjadi indikator betapa pentingnya posisi pelayan juga umat dalam kapasitas struktur dan
fungsional dalam memaksimalkan tanggungjawab pastoralianya, antara lain: penyembuhan, mendukung, membimbing dan memelihara mendamai
14
ditengah-tengah konteks hubungan pribadi maupun komunitas sebagai klien dalam menghadapi problematika psikologi-sosial yang menerpa pasca konflik
yang bermuara pada “
derita komplikasi
” hubungan Islam-Kristen di kota Ambon.
10
Eksklusifitas dan parialistas pemahaman beragama dibahasakan oleh I. W. J. Hendriks, sebagai Ideologi dualistis hierarkis: spritualitas yang mengarah ke dalam dan individualistis
kelembagaan Gereja dijadikan sebagai tujuan utama bergereja. Indikatornya dalam teologi dan ajaran gereja tentang extra Ecclesia nulla salus dualistis pemahaman: keselamatan hanya di
dalam gereja dan karena itu orang lain harus harus dijadikan Kristen. Menganggap agama kristen yang superior dan agama lain inferior. Pemahan ini tidak menghargai pluralisme masyarakat.
Band. I.W.J. Hendriks
“Ketika Gereja Bicara”, dalam Carita Orang Basudara,Kisah-Kisah Perdamaian dari Maluku
Editor : Jacky Manuputty,dkk Ambon: Lembaga Antar Iman Maluku PUSAD Paramadina,2014, 129-140
11
Alirman Hamzah , “Hubungan Antar Umat Beragama: Pengalaman Rukun dan Konflik di
Indonesia ”, Jurnal TAJDID. Vol. 2,2014,155-179
12
George JunusAditjondro , “Orang-Orang Jakarta Di Balik Tragedi Maluku”. Moluccas
International Campaign for Human Right,2001.
13
Hakis, Institut Agama Islam Negeri IAIN Ambon, “Komunikasi Antar Umat Beragama di
Kota Ambon ” Jurnal Komunikasi Islam, Vol. 5, 2011,98-113
14
William A. Clebsch, Charles R. Jaekle, Pastoral Care in Historical Perspective, Englewood Cleffs, N. J : Prentice-Hall, 1964,33.
6
Problematika hubungan Islam-Kristen pasca konflik dengan berbagai fenomena sebab-akibat, memunculkan persoalan-persoalan menyangkut keutuhan
hidup masyarakat umat: individu-komunitas secara ekonomi, sosial-budaya, psikologi dan spiritual. Dalam menanggulangi dan mengantisipasi realita
konfliktual di Maluku, maka dibutuhkan sebuah pembaruan terhadap pendekatan pelayanan konseling pastoral dengan cara membangun suatu paradigma
pelayanan yang lintas agama dan budaya
15
yang bermuara bagi terciptanya suatu pendekatan konseling konflik.
Problematika konflik yang terjadi di Maluku mereprentasikan bagaimana agama berkembang menjadi sumber penemuan identitas sosial yang menyatukan
serta membedakan orang dari satu ke lain kelompok. Pembedaan ini menciptakan dinamika psikologis antara kelompok “kita” dan “mereka”, yang akan kokoh di
tengah situasi konflik. Benar bahwa agama, bahkan inti ajarannya, menyerukan perdamaian, tetapi juga benar jika dikatakan bahwa semua agama, baik dalam
sejarah maupun dalam konteks kontemporernya, merupakan salah satu dari beberapa sumber konflik kekerasan yang paling pokok. Agama dan kekerasan
saling berhubungan dan ambiguitas, yang sangat nyata.
16
Untuk itu, paradigma dan pendekatan konseling lintas agama dan budaya merupakan sebuah solusi
alternatif merangkul, mempertemukan, pendampingan, pemecahan masalah hubungan
Islam-Kristen baik
individu-komunitas masyarakat
tanpa mengabaikan eksistensi kepelbagaian secara khusus agama-agama dengan seluruh
kekhasannya yang membedakan satu dengan yang lain. Paradigma pelayanan konseling lintas agama dan budaya memandang
dinamika hubungan Islam-Kristen dalam kontek sebelum dan saat konflik yang dibingkai dalam budaya Pela Gandong sebagai ruang perjumpaan dan
pendampingan antar individu dan komunitas. Budaya Pela Gandong telah mengakomodir keberadaan dan peradaban ke-Maluku-an yang interkultural dan
intereligius. Kesadaran akan pentingya pengaruh agama dan budaya akhirnya
15
J. D. Engel, mendefenisikan konseling lintas agama dan budaya sebagai suatu proses pemberian bantuan dari seorang konselor terhadap klien yang berbeda latar belakang agama dan
budaya. Istilah lintas agama dan budaya memuat perbandingan antar kedua kelompok yang berbedaa agama atau budaya yang bermuatan nilai. Bnd. J.D. Engel, Konseling Pastoral dan Isu-
isu Kontemporer , Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2016,80
16
Rizal Panggabean dan Ihsan Ali-Fauzi. Meretas kebersamaan: Polisi, Kebebasan Beragaman
dan Perdamaian . Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, 2011,160-163
7
membuka wawasan bagi upaya membangun sebuah pendekatan konseling yang berbasis niai-nilai spiritual agama dan budaya.
Hubungan Islam-Kristen di dalam Pela Gandong telah digoyahkan oleh konflik berdarah yang sarat dengan muatan kepentingan, ketidakpuasan
masyarakat terkhususnya realitas termarginalkan, represif, kemiskinan orang Maluku sehingga mudah terprovokasi dan diperalat oleh “kekuasaan“, yang telah
terefleksikan dalam pemaknaan sebagai korban. Realitas konflik yang telah menciptakan intensitas dan kualitas kerjasama dan dialog praksis sosial seluruh
komponen masyarakat Maluku memperlihatkan adanya dimensi pemberdayaan masyarakat sebagai aktor atau subjek konseling lintas agama dan budaya dengan
mekanisme pelayanan yang korporatif yang lintas profesi dan instansi. Pendekatan konseling lintas agama dan budaya akan memandang hubungan
Islam-Kristen dalam Pela Gandong yang telah dihancurkan oleh konflik berdarah di kota Ambon sebagai momentum merevitalisasi esensi gagasan Pela
Gandong:“orang basudara“ sebagai instrumen pemulihan atau perdamaian hubungan Islam-Kristen di Maluku.
Berdasarkan pada apa yang telah diuraikan di atas, peneliti kemudian tertarik untuk dapat memahami lebih mendalam melalui penelitian dengan mengangkat
judul:
“
Pela Gandong Sebagai Konseling Orang Basudara Dan Agen Perdamaian Konflik Islam-
Kristen Di Ambon”
B. Rumusan Masalah