Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pela Gandong sebagai Konseling Orang Basudara dan Agen Perdamaian Konflik Islam-Kristen di Ambon T2 752012008 BAB IV

(1)

114

BAB IV

KONFLIK BERDARAH DI KOTA AMBON DARI

PRESPEKTIF HUBUNGAN ISLAM DAN KRISTEN

DALAM PELA GANDONG

A. Hubungan Pela Gandong Batumerah-Passo Sebelum Konflik 1. Praktik Pela Gandong Batumerah-Passo

Praktik hubungan berpela antara negeri Batumerah-Passo sebelum konflik

merupakan serangkaian peristiwa adatis eksklusif (moment khusus) yang dilakukan -diatur dan dikerjakan- (saling bahu-membahu atau sepenanggungan) bersama oleh kedua komunitas. Peristiwa dimaksud antara lain, yakni: pelantikan raja; pembangunan rumah adat (Baileu), rumah ibadah (Mesjid dan Gereja), acara panas-pela. Adapun proses inti dalam praktik adatis Pela ini diisi dengan beberapa muatan ritual yang berhubungan dengan historitas pembentukan hubungan Pela tersebut, diantaranya: akta minum sopi oleh tua-tua adat, sejarah pembentukan pela antar kedua negeri didramatisir, diceritakan, dibacakan kembali.

Kedua ritual tersebut dilakukan dengan tujuan yakni agar hubungan ini abadi menjadi peringatan bersama oleh kedua komunitas, dan memediasi keterhubungan mereka dengan para leluhur yang dianggap sebagai sumber kebijaksanaan yang memiliki andil dalam proses pembentukan hubungan Pela tersebut.

Praktik adat bermuatan ritual historis pembentukan hubungan Pela Batumerah Passo dengan tujuan memediasi keterhubungan masyarakat dengan para leluhur

tersebut sejalan dengan gagasan Ruhulessin1 mengenai sejarah tradisi Pela. Hal

tersebut penting, karena secara historis hubungan Pela tidak dapat dilepaskan dari latar keyakinan masyarakat Maluku umumnya dan di Pulau Seram khususnya bahwa hubungan Pela yang dibentuk oleh para Leluhur.

Selanjutnya, yang unik berkaitan dengan pelaksanaan peristiwa adatis tersebut, bahwa praktik pela Batumerah-Passo ini, tidak mengabaikan fakta

1

John. Chr. Ruhulessin,. Etika Publik: Menggali Dari Tradisi Pela di Maluku, (Salatiga: Satya Wacana University Press-Program Pasca Sarjana Program Studi Sosiologi Agama. 2007),255


(2)

115

agama-an kedua belah pihak. Hal tersebut nampak ketika dalam kegiatan pembangunan rumah Ibadah, baik Mesjid di Batumerah dan Gereja di Passo,

proses pengerjaan diawali dengan serangkaian ritual keagaman –dilakukan dalam

gedung gereja atau masjid- yang sesuai dengan keyakinan masing-masing pihak di mana pekerjaan tersebut dilangsungkan. Pada saat itu, orang Batumerah masuk dalam gereja dan sebaliknya orang Passo ke Mesjid untuk berdoa. Perilaku

demikian sejalan dengan yang diungkapkan Ruhulessin2 tentang pemaknaan

hakekat hubungan Pela sebagai kesatuan Persaudaraan (Orang Basudara) yang

paling jelas terlihat dalam relasi Islam-Kristen. Dikatakan sejalan karena secara religius, kebersamaan dan kesatuan Islam-Kristen merefleksikan kesatuan dan kesamaan: kesetaraan dihadapan Tuhan. Olehnya masyarakat Batumerah-Passo adalah masyarakat yang secara historis telah mengakui, menerima dan menghargai adanya perbedaan agama sebagai ciri masyarakat yang majemuk.

Karakter masyarakat Batumerah-Passo berwatak komunitas kultur yang khas telah menuntun kedua untuk memahami kepentingan individu-komunitas masing-masing yang berbeda menjadi satu kepentingan bersama yang dikerjakan dan

dipelihara bersama. Hal tersebut masih sejalan dengan gagasan Ruhulessin3,

bahwasannya makna penting dari hubungan sebagai “orang basudara”

terimplementasi manakala masing-masing pihak memposisikan diri sebagai yang setara, harus dihormati. Perbuatan yang dilakukan terhadap sesama anggota komunitas yang berPela dipahami sebagai sebuah tindakan yang dilakukan terhadap diri sendiri secara pribadi.

Tindakan yang dilakukan oleh orang Batumerah (Islam) yang bekerjasama dan membantu orang Passo (Kristen) untuk mengerjakan gedung Gereja -yang walaupun bukan untuk kepentingan bersama atau hanya sepihak- tidak hanya dimaknai sebagai sebuah tindakan yang dilakukan bagi dirinya sendiri tetapi lebih daripada itu yakni untuk kepentingan komunitas masyarakat secara keseluruhan. Hal tersebut terjadi karena secara historis hubungan Pela Batumerah-Passo sebagai orang basudara sebagaimana orang yang dilahirkan sekandung (Gandong) terbentuk dari suatu pengakuan dan kesepakatan bersama untuk hidup saling mensejahterakan.

2

John. Chr. Ruhulessin,. Etika Publik…. (2007),259

3


(3)

116

Selain itu, khususnya berkaitan dengan praktek adat panas pela, hubungan

Batumerah-Passo tidak hanya berfungsi sebagai momentum mempererat ikatan

hubungan berpela. Tetapi juga sebagai sebuah pendekatan penyelesaian konflik

antar sesama negeri yang berpela. Faktual dalam pengalaman kedua negeri

Batumerah-Passo, sebagaimana diungkapkan oleh seorang informan: ...ketika keduanya pernah terlibat dalam persoalan perkelahian, orang Passo memukul orang Batumerah di negeri Passo, yang mengakibatkan orang Passo mengalami wabah penyakit... . Untuk menyelesaikan konflik tersebut maka, Orang Batumerah-Passo, dengan perantara tokoh-tokoh adat negerinya melakukan perjumpaan dan menggelar pertemuan bersama, berkompromi, bernegosiasi, mencari solusi menyelesaikan masalah tersebut. Adapun praktik ritus yang

dilakukan kedua komunitas yakni, orang Passo mengambil air dari “Mesjid

Batumerah“ dan memberikan kepada warga Passo yang menderita penyakit. Dan

akhirnya wabah penyakit tersebut berangsur-angsur hilang.

Upaya penyelesaian konflik hubungan antar warga berPela dalam

pengalaman negeri Batumerah dengan metode negosiasi yang termediasi melalui perjumpaan tokoh-tokoh adat seperti yang telah diungkapkan di atas sejalan

dengan gagasan Galtung4 tentang perdamaian dengan tipe peacemaking. Artinya,

konflik “horisontal“ dapat diselesaikan lebih tepat melalui peacemaking. Hal

tersebut termungkinkan karena secara kultural, hubungan Pela sangat memiliki

muatan konsep perdamaian yang ampuh dalam penyelesaian konflik dalam sebuah organisasi atau kelompok secara internal.

Penyelesaian konflik melalui pendekatan kultur dalam pengalaman negeri Batumerah-Passo yang seperti demikian akhirnya menegaskan apa yang telah

diungkapkan oleh Wirawan5 tentang rekonsilasi sebagai proses tua yang telah

berakar pada budaya dan praktek hidupan masyarakat Indonesia, dengan metode pengaturan sendiri oleh pihak-pihak yang terlibat konflik untuk menyelesaikan

konflik. Mengapa demikian, karena secara sosio-religio, relasi berpela dengan

4

Yulius Hermawan, Transformasi dalam studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu, dan Metodologi, (Yogyakarta, Graha Ilmu, 2007), 9393 dan Jhon. Galtung. “Three Approaches to Peace: Peacekeeping, Peacemaking, and Peacebuilding””. In Editor, J. Galtung. Peace, War and Defence: Essays in Peace Research. (Copenhagen: Christian Ejlders, 1976), 284-288

5

Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik: Teori dan Aplikasi (Jakarta: Salemba Humanika, 2010),177


(4)

117

aspek perjanjian yang teraktakan melalui ritus minum darah dan bersumpah untuk saling mengasihi dalam persaudaraan telah menjadi spirit: keyakinan dan perilaku yang dapat melahirkan kedamaian.

Akhirnya, praktek hubungan Pela Gandong Batumerah –Passo yang berakar

secara historis dan pada kenyataannya memiliki guna (nilai) bagi masyarakat

kedua negeri. Hal tersebut sejalan dengan pikiran Van peursen6, tentang realitas

fakta dan nilai, maka budaya Pela Gandong dalam hubungan Batumerah-Passo instrinsik memperlihatkan realitas nilai kultural, agama dan sosial yang saling

berkaitan, terdapat relasional antara seluruh komponen adat Pela Gandong,

masyarakat-ritual-leluhur yang terwujud dalam perilaku antar sesama komunitas yang saling membantu, menolong (solider), penghargaan, dan penerimaan fakta keragaman, perbedaan keberagamaan tidak memisahkan masyarakat untuk bersekutu, bekerjasama demi kepentingan bersama.

Berdasarkan kajian diatas, maka salah satu hal penting berkaitan dengan pemaknaan terhadap hubungan Pela dalam praktik Batumerah-Passo terpahami

dalam dua segi. Pertama, hubungan Pela Gandong sebagai hubungan yang

didasari oleh pengakuan bahwa kedua negeri berasal dari keturunan yang sama

(geneologis); dan Kedua, sebagai sebuah kontrak sosial. Keduanya secara

bersamaan mengarahkan individu-komunitas untuk berperilaku inklusif, kolektif, dan aktif bagi pemenuhan kepentingan bersama.

2. Dampak Praktik Pela Gandong Batumerah-Passo Terhadap hubungan Islam-Kristen

Hubungan antar Islam-Kristen di Kota Ambon sebelum peristiwa pecahnya konflik berdarah tahun 19 januari 1999 sangat rukun. Hal tersebut ditandai ketika pada masing-masing negeri Batumerah (Mayoritas Islam)- Passo (Mayoritas Kristen) terdapat penduduk Kristen dan pemeluk Islam, yang walaupun minoritas tetapi keduanya dapat hidup berbaur erat dalam kebersamaan yang saling percaya, menghargai dan berbagi antar sesama yang berbeda keyakinan. Keadaan ini turut didukung dengan jalinan komunikasi antar umat maupun pimpinan umat kedua agama untuk memediasi silaturahmi, khusus pada moment-moment perayaan hari

6


(5)

118

besar keagamaan masing-masing. Dengan demikian maka, interaksi Pela Batumerah-Passo memiliki dampak yang luas terhadap hubungan antar agama. di dalam relasi komunitas berPela, semua orang (warga) yang berbeda keyakinan, tanpa membedakan latar budaya, suku, asal usulnya mengalami dinamika hubungan layaknya orang basudara (bersaudara) yang saling tolong-menolong atau membantu dalam memenuhi kebutuhan fisik (individual), dan spiritual (komunal).

Dinamika hubungan antar agama dalam pengalaman Islam-Kristen di Kota Ambon menyiratkan kedudukan dan peran Pela Batumerah-Passo dengan kandungan nilai persaudaraan orang Maluku, khususnya di Kota Ambon sangat

tinggi. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Coley7 tentang fungsi sosial Pela.

Dikatakan sejalan karena secara sosiologis adat Pela menghubungkan anak negeri Maluku dengan anak negeri yang lain sebagai satu persekutuan masyarakat adat. Pada titik ini, nilai dasar Pela Gandong: persaudaraan seperti yang telah

diungkapkan Ruhulessin8 terimplementasi secara praksis dalam aktivitas-aktivitas

kerjasama lintas masyarakat berPela, lintas masyarakat agama, Islam-Kristen membawa kesejahteraan bersama. Praksis tersebut tidak saja berguna bagi

hubungan berpela tetapi bagi masyarakat Islam-Kristen secara keseluruhan.

Dengan demikian maka, kajian terhadap dampak hubungan Pela Islam-Kristen Batumerah-Passo melahirkan satu pemahaman akan adanya dimensi pemberdayaan yang mewujud dalam dinamika relasional mutual lintas masyarakat dan agama di Ambon.

B. Hubungan Pela Gandong Pada Saat Konflik

1. Faktor Pemicu, Penyebab dan dampak Konflik Islam Kristen di Ambon Hubungan Islam-Kristen pada negeri Batumerah-Passo sebelum pecahnya konflik secara internal sangat rukun, tetapi pada sisi lain terdapat fenomena konflik antar warga (individual) desa tetangga seperti yang terjadi antar pemuda Batumerah (Islam) - Mardika (Kristen), dan konflik antar penduduk asli (Islam-Kristen) dengan para pendatang. Konflik (di luar hubungan Pela Gandong atau

bukan konflik antar warga berpela) komunal terjadi karena faktor kecemburuan

7

Frank.L. Coley, Mimbar dan Tahta, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1987), 238

8


(6)

119

sosial, atau orang asli merasa ingin menguasai dan tidak ingin dikuasai pendatang. Konflik berlatar kecemburuan ekonomi ini sejalan dengan penjelasan Wirawan

tentang konflik ekonomi9, atau konflik karena perebutan wilayah pasar oleh para

pedagang pada satu daerah. Keadaan ini sesuai dengan fakta demografi, kependudukan di negeri Batumerah sebelum konflik yang tidak hanya warga asli tetapi juga terdapat penduduk dari berbagai suku, yakni orang bugis, buton, makasar, cina, arab, dan jawa yang yang mendominasi aktifitas perdagangan.

Konflik tahun 1999 yang awalnya terjadi di Batumerah bertepatan dengan moment perayaan hari besar keagamaan umat Muslim, yakni hari Idul Fitri. Ketika itu, masyarakat Ambon saling bersilaturahmi, mengunjungi kediaman masing-masing untuk berjabat tangan. Konflik yang terjadi bertepatan dengan momentum Gerejawi (protestan), ketika, para pemimpin umat Protestan sementara melangsungkan persidangan Klasis di jemaat GPM Bethara di wilayah Batumerah Dalam. Pada saat konflik pecah, orang Kristen di Batumerah tiba-tiba dikagetkan dengan huru hara dan sejumlah penyerangan yang dilakukan oleh kelompok Muslim.

Konflik berkepanjangan di Ambon yang berlangsung hampir seabad akhirnya telah memposisikan orang Ambon, individu dua komunitas agama yang dominan jumlah pemeluknya (Islam-Kristen) sebagai yang saling berlawanan satu dengan yang lain. Pihak Islam maupun Kristen berkepentingan untuk saling mengalahkan, saling menyerang memperebutkan kantong-kantong minoritas pada

kedua wilayah. Kenyataannya di Batumerah, pihak Islam berhasil

mengkosongkan penghuni Kristen wilayah Batumerah dengan menghancurkan perumahan dan gedung ibadah (Gereja) Kristen, Gereja Bethara (Batumerah Dalam), Gereja Petra (GPM) dan Yakobus (Katolik) (Ahuru). Sementara itu, di Passo, pihak Kristen mengkosongkan penghuni Islam wilayah Larier dan menghancurkan salah satu mesjid (Batu Gong).

Perilaku ekspresif yang diperlihatkan kedua pemeluk agama (Islam-Kristen) dalam situasi konflik diatassejalan dengan gagasan Thomas & Kilmann dan

Rahim10 tentang gaya manajemen konflik, secara khusus Kompetisi atau

dominasi. Dikatakan sejalan karena secara politis baik pihak Islam maupun

9

Wirawan,Konflik dan Manajemen(2010), 62-105

10


(7)

120

Kristen pada wilayah-wilayah mayoritas berkeinginan untuk membangun basis-basis kekuatan yang dengannya dapat digunakan untuk memenangkan konflik. Di satu sisi, penyerangan dan pengrusakan harta milik pribadi apalagi sarana peribadahan sebagai simbol eksistensi keagamaan memupuk amarah reaktif masing-masing komunitas.

Konflik yang melibatkan warga Islam-Kristen hendak menjelaskan tentang bagaimana kekerasan dapat terjadi karena warga terpicu oleh merebaknya isu-isu, simbolisasi keagamaan yang berakar pada fanatisme keagamaan yang kuat baik di pihak Islam maupun Kristen. Isu-isu agama yang muncul dalam konflik, yakni

seruan “…tolong. . tolong tolong orang Kriten mau potong beta…. ”; orang Islam telah dibunuh di wilayah Kristen; ketika orang Kristen menyerang komunitas muslim, seorang wanita Islam dipaksa untuk membuka jilbabnya. Sedangkan simbol-simbol agama yang digunakan ketika konflik yaitu, Islam dengan kain atau jubah putih dan orang Kristen yang berikatkan kain merah. Ada juga

teriakan atau yel-yel: Allah huakbar…. dan tagbir oleh komunitas Islam yang

akhirnya membakar semangat juang individu untuk berperang melawan orang Kristen.

Konflik dan kekerasan komunal Islam-Kristen yang terjadi karena dipicu oleh adanya isu-isu simbolisasi keagamaan sekiranya sejalan dengan pemikiran

Aritonang11 tentang fenomena konflik dalam perjumpaan Islam-Kristen di

Indonesia. Gejala-gejala yang nampak sama yakni, kerusuhan dipicu oleh peristiwa yang sepele dan tidak punya hubungan dengan masalah agama, konflik semakin meluas ketika ada muatan keagamaanya. Konflik 1999 yang melibatkan warga Islam-Kristen di Ambon tak lepas dari gejolak politik: transisi kepemimpinan negara, jatuhnya pemerintahan Orde Baru. Dikatakan demikian karena faktanya, konflik pada dasarnya hanya bermula pada perseteruan atau perkelahian antar pribadi. Persoalan individu ini kemudian menjadi persoalan komunitas ketika tersusupi dengan isu-isu identitas komunal.

Selanjuntya, konflik juga dilatari oleh keterlibatan pihak TNI, Laskar Jihat

(pihak Islam) dan Kelompok Agas (pihak Kristen) yang “bermain” langsung dalam aksi kekerasan dan penyerangan terhadap masing-masing komunitas. Pada

11

Jan.S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam Di Indonesia. (Jakarta:BPK. G. Mulia. 2006),2006,532


(8)

121

beberapa momentum, digambarkan tentang indikasi konspirasi antara TNI dengan kelompok-kelompok militan. Keberadaan dan keterlibatan TNI pada satu sisi telah menyadarkan kedua belah pihak (Islam Kristen) tentang adanya unsur

“permainan” atau konflik telah diskenariokan oleh pihak-pihak tertentu. Menanggapi situasi yang demikian, individu-komunitas GPM dan Katolik di Ahuru memilih untuk mempertahankan wilayah huniannya, dan tidak melakukan penyerangan. Perilaku seperti demikian sejalan dengan gagasan Thomas &

Kilmann dan Rahim12tentang gaya manajemen konflik menarik diri atau

menghindar. Mengapa demikian, karena bagi masyarakat yang tidak memiliki kepentingan, konflik hanya dipahami sebagai kondisi yang jelas-jelas mengancam dan merugikan dirinya. Pengetahuan tentang adanya faktor-faktor eksternal yang melatarbelakangi konflik ini telah berpengaruh pada pola perilaku masyarakat.

Pada lain sisi, keberadaan dan keterlibatan TNI yang seperti demikian menunjukan ketidakefektifan pemerintah dalam mengupayakan penyelasaian

konflik. Kenyataan ini apabila dikaji dari pemikiran Galtung13, perihal pendekatan

peacekeeping, dalam hal ini intervensi militer yang jelasnya tidak bisa menghentikan konflik horisontal. Secara faktual, pendekatan penyelesaian konflik: kekerasan oleh pihak pemerintah melalui TNI sebagai aparatur negara sebaliknya justru melanggengkan konflik, manakala pihak militer tidak netral dan bahkan terlibat menjadi aktor kekerasan yang tidak memihak terhadap salah satu pihak tetapi malah menjadi penyebab jatuhnya korban jiwa dari pihak Islam maupun Kristen. Akhirnya tidak dapat dipungkiri jika ada pandangan bahwa konflik adalah bisnis kerusuhan. Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya,bahwa konflik di Ambon terjadi karena kepentingan pihak-pihak tertentu (pemerintah dan kelompok-kelompok tertentu) yang dengan kekuasaanya ingin meraup keuntungan dari peristiwa konflik.

Selanjutnya, tentang keberadaan dan keterlibatan kelompok-kelompok radikal (Laskar Jihad (Islam) dan Pasukan Agas (Kristen) dalam arena konflik sebagai aktor kekerasan semakin memperuncing pemahaman tentang konflik Ambon sebagai sebuah konflik yang berwatak agama, manakala agama bertumbuh menjadi identitas kelompok, dan karena itu memicu

12

Wirawan, Konflik dan Manajemen… (2010), 138-144.

13


(9)

122

sentimen keagamaan para pemeluknya. Individu dan kelompok keagamaan masing-masing berkonflik untuk mempertahankan identitas agamanya yang

terancam. Hal tersebut sejalan dengan tinjauan Goddard14 tentang fenomena

konflik yang melibatkan komunitas agam-agama (Islam-Kristen) dalam konteks sejarah timur tengah-eropa. Secara historis, konflik yang nampak langsung melalui sikap dan perilaku kekerasan (saling berperang) yang dilakukan dan dialami kedua belah pihak pada akhirnya menjadi ladang bagi bangkitnya gerakan-gerakan berbasis keagamaan. Masing-masing gerakan keagamaan merepresentasikan sudut pandang kedua komunitas sebagai pihak-pihak yang harus dilawan, diperangi demi mempertahankan identitas keagamaannya.

Lebih lagi, konflik antar pemeluk agama yang terjadi di Ambon dilatari oleh beberapa faktor, antara lain: kecemburuan sosial-ekonomi; terkait pembagian kuasa dan jabatan struktur: birokrasi dan akademisi. Bagi pihak Islam, minimnya keterwakilan mereka dalam menduduki posisi-posisi kunci dalam birokratif dibandingkan dengan pihak Kristen mengindikasikan hegemoni politik Kristen yang ingin menguasai Maluku (Ambon). Karena itu, dalam proses mediasi yang dilakukan oleh pemerintah (Malino II tahun 2002), kepentingan pihak Islam mengusung satu point mengenai pemerataan dan penyeimbangan proporsi Islam-Kristen dalam jabatan-jabatan struktur pemerintahan. Jadi, bagi mereka, kepemimpinan publik harus dipilih sesuai dengan jumlah orang atau penduduk berdasarkan agama, bukan berdasarkan kemampuan intelektual, professional dan

manajerial. Sebagaimana yang terungkap dalam penelitian: “orang menjadi

pimpinan bukan karena kualitas, tetapi semata-mata karena alasan keadilan:

seimbang atau sama rata”.

Konflik dalam hubungan antar agama dengan latar belakang kecemburuan ekonomi antar penduduk asli versus pendatang yang terjadi sebelum konflik bergeser keranah politik kepentingan pihak-pihak tertentu dalam hal ini Islam kelas menegah (pegawai negeri sipil) yang merasa dinomor duakan, terdiskriminasi dalam kebersamaan ditengah-tengah masyarakat. Indikator kecemburuan sosial-ekonomi yang melatarbelakangi konflik antar agama di Ambon tersebut sejalan dengan gagasan Wirawan dan Liliweri tentang penyebab

14

Hugh. Goddard, Sejarah Perjumpaan Islam-Kristen: Titik Temu dan Titik Seteru Dua Komunitas Agama Terebesar di Dunia. (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2013),164.


(10)

123

konflik.15 Secara sosiologis, konflik dan kekerasaan dalam sebuah organisasi:

masyarakat dapat terjadi karena adanya “kondisi objektif” atau objek konflik.

Keduanya sama-sama melihat konflik dengan dimensi ekonomi dilatari oleh adanya pertentangan terhadap sumberdaya yang terbatas. Bagi Liliweri, konflik dapat terjadi ketika salah satu pihak merasa tidak puas atas ketidakadilan distribusi sumberdaya tersebut.

Dengan demikian, konflik antar agama di Ambon tidak disebabkan karena persoalan kepentingan agama, melainkan agama hanya dikambing hitamkan (menjadi alat) untuk tujuan politik, ekonomi, dan sosial dari satu kelompok atau

individu tertentu(baca: elite lokal). Dimensi “politik kepentingan” sebagai faktor

primer yang melatarbelakangi konflik sebagaimana yang telah dipaparkan diatas

sekiranya sejalan dengan gagasan Wirawan16 tentang jenis-jenis konflik dalam

kehidupan terkhusus dalam konteks Indonesia. Konflik antar agama sebagaimana yang terjadi di Maluku adalah konflik yang tidak dilatarbelakangi oleh satu fator tunggal, tetapi bermulti dimensional, diantaranya yakni politik-ekonomi-sosial. Karena itu, konflik Ambon dapat dipahami sebagai konflik antar agama yang bermuatan politik yang berkepentingan menguasai Ambon. Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa Agama hanya dipakai sebagai sumbu yang dinyalakan, karena faktanya ketika sentimen keagamaan disinggung, dan atau secara sengaja dilibatkan sebagai faktor yang memicu ketegangan, maka konflik itu akan terjadi lebih cepat dan dengan eskalasi tinggi.

Kajian diatas hendak menjelaskan tentang bagaimana konflik dan kekerasan yang terjadi di Ambon dengan isu-isu pemicu SARA yang telah mengiring kedua pemeluk agama Islam-Kristen untuk saling bertindak keras, saling berkompetisi dan mendominasi. Konflik tidak hanya bersifat horizontal-primordial (masyarakat

vs masyarakat: individu-kelompok ekstrimis berlabel keagamaan ) tetapi juga

vertikal-nasional (masyarakat-negara: aparatur penegak Hukum atau TNI). Kondisi demikian melahirkan pemahaman dan reaksi sikap masyarakat untuk menghindar. Konflik dilatar belakangi oleh faktor-faktor eksternal yang multi

15

Wirawan, Konflik dan Manajemen... 7-14. Lht. juga Alo Liliweri, Prasangka dan Konflik…. . (2005), 256-261

16


(11)

124

dimensional, diantaranya: ekonomi, dalam hal ini kecemburuan sosial antar orang asli dan pendatang, kepentingan politik dan kekuasaan aras lokal.

2. Dampak Konflik terhadap hubungan Islam-Kristen Di Kota Ambon Pada permulaannya, hubungan Islam-Kristen di Kota Ambon pada saat konflik terjalin dalam interaksi yang saling menjaga. Di Batumerah, warga yang mayoritas Islam mengamankan pihak Kristen. Sementara itu, di Passo, warga Islam-Kristen bekerjasama menjaga jalur perbatasan Passo-Leihitu bahkan juga rumah-rumah ibadah kedua komunitas. Namun, kondisi ini tidak dapat dipertahankan ketika kedua belah pihak telah memahami konflik sebagai konflik antar agama. Alhasil, konflik melahirkan perubahan yang signifikan terhadap relasi antar agama (Islam-Kristen).

Kerekatan hubungan antar masyarakat yang dibingkai dalam budaya orang Basudara di Maluku sebelum konflik telah menjadi renggang pada masa konflik. Hubungan antar agama menjadi eksklusif, tidak ada komunikasi yang terbangun. Masing-masing pemeluk agama enggan untuk bersilatuharmi. Hal ini diperparah dengan munculnya dampak psikologi-sosial yang diakibatkan oleh konflik, antara lain: warga minoritas yang tetap memilih untuk tinggal menetap atas dasar kesalingpercayaan yang telah lama terbangun menjadi tertekan, takut dan terancam akibat teror dari para pendatang (pengungsi) dari wilayah luar negeri (desa).

Dampak perubahan demografis (kependudukan) pada saat terjadinya konflik, seperti yang disebabkan oleh arus masuknya para pengungsi korban konflik dari luar yang kemudian berdomisili tetap pada katong-katong Muslim maupun Kristen pada umumnya, dan di negeri Passo khususnya secara langsung menciptakan kendala sosial berupa melemahnya fungsi kontrol pemerintah negeri untuk menjaga stabilitas keamanan warga lokal. Kenyataan tersebut sejalan dengan gagasan wirawan tentang dampak negatif konflik, salah satunya yakni bahwa konflik menciptakan rasa tidak tenang, dan keterancaman. Dikatakan sejalan karena secara psikologis, pengungsi yang tadinya adalah korban konflik telah membawa emosi negatif yang terpendam dan sekali-kali dapat melampiaskan emosinya: amarah dan kebencian terhadap warga lokal, sehingga mau tidak mau keadaan ini pada akhirnya berpengaruh dalam bagaimana


(12)

125

membangun relasi sosial yang baik dan kondusif antar pemeluk yang berbeda agama pada saat konflik. Hal mana juga telah terungkap dalam gagasan

Wirawan17 tentang pengaruh konflik, dalam hal ini mengarah pada pengaruh atau

dampak negatif bagi komunitas masyarakat. Dikatakan demikian karena kondisi dampak psiko-sosial konflik telah merusak hubungan komunikasi dan hilangya rasa saling percaya antar masyarakat Islam-Kristen di Ambon.

Kajian diatas melahirkan beberapa pemahaman mendasar tentang seluk beluk konflik antar pemeluk agama (yang bukan disebabkan atau dilatarbelakangi oleh

persoalan agama (ajaran dan dogmatik) yang terjadi di Ambon. Pertama, konflik

di Ambon yang telah “menyeret”individu-komunitas Islam-Kristen sebagai aktor sekaligus korban pada akhirnya menciptakan perubahan pola relasi sosial antar kedua agama. Hubungan-hubungan internal pemeluk agama(komunitas masyarakat setempat) yang dulunya rekat: harmonis menjadi renggang: disharmonis, komunikasi terhenti, kehilangan saling percaya, saling curiga, rasa takut dan terancam. Alhasil kerekatan hubungan yang telah terbangun sebelum konflik menjadi renggang. Hubungan antar agama menjadi eksklusif, tidak ada komunikasi yang terbangun. Masing-masing pemeluk agama enggan untuk bersilatuharmi.

Kedua, Konflik dipicu oleh maraknya isu-isu simbolisasi agama sehingga Islam-Kristen yang berhasil memunculkan sentimen-sentiman keagamaan yang berakibat fatal bagi hubungan antar agama. Orang Islam adalah musuh orang Kristen dan sebaliknya orang Kristen adalah musuh orang Islam. Agama sebagai

sebuah keyakinan memang telah membedakan orang ambon “orang basudara”

tetapi tidak menjadi alasan penyebab konflik melainkan agama digunakan atau dipolitisasi, pemeluk agama dibodohi, diberdayakan oleh pihak-pihak yang

berkepentingan. Ketiga, konflik disebabkan karena faktor-faktor yang tidak

tunggal, yakni berdimensi ekonomi, antara lain: kecemburuan sosial, pada wilayah perdagangan yang melibatkan penduduk asli dan para pendatang dari luar daerah; antara warga komunitas Islam-Kristen (Batumerah Mardika), serta politik kepentingan.

17


(13)

126

C. Hubungan Pela Gandong Batumerah-Passo sebagai resolusi terhadap konflik berdarah Islam-Kristen di Ambon

Hubungan Pela Gandong pada masa konflik dalam praktiknya merupakan serangkaian aktifitas bersama yang tidak hanya terlaksana dalam peristiwa-peristiwa ritual adat yang eksklusif sebagaimana yang terjadi sebelum konflik. Akan tetapi, cenderung terarah pada bagaimana mengupayakan penyelesaian konflik.

Beberapa praktek hubungan Pela Gandong Batumerah Passo yang terkait

dengan itu yakni: pertama, orang Batumerah-Passo saling melindungi dan

menyelamatkan ketika masing-masing pihak secara individu-komunitas terbekuk

dalam kondisi krisis. Kedua, para tokoh adat saling berkomunikasi, bertukar

informasi. Ketiga, saling mengkondisikan suasana kedamaian dan ketentraman

pada wilayah-wilayah kedua negeri. Keempat, saling berdialog, berkompromi

untuk mendudukan pemaknaan tentang konflk dengan muatan-muatan penyebabnya. Keputusan bersama yang dilaksanakan yakni, bahwa hanyalah

orang Ambon yang bisa menyelesaikan konflik. Kelima, Pada konteks yang luas,

praktek hubungan Pela Gandong Batumerah-Passo yang berhasil terbangun dalam konflik kemudian menjadikan negeri Batumerah-Passo sebagai sampel perdamaian. Beberapa upaya mediasi perdamian yang dilakukan oleh pemerintah: perjanjian Malino 2 juga telah mengakomodir keterwakilan komponen masyarakat Adat berpela Batumerah-Passo.

Keseluruhan praktek Pela gandong Batumerah-Passo seperti yang telah

diuraikan diatas sejalan dengan pemikiran Galtung18 tentang proses penyelesaian

konflik: resolusi konflik, yang meliputi: peacekeeping, peacemaking, dan

peacebuilding. Dikatakan sejalan karena secara sosio-kultur hubungan Pela Gandong secara substansial telah menyumbangkan alternatif penyelesaian konflik dan kekerasan di aras internal (konflik horisontal) sekutu Pela Gandong yang dalam praksisnya semua orang Maluku terhususnya di Ambon termediasi melalui mekanisme hubungan kerjasama komunal pada tingkat warga hingga tokoh-tokoh masyarakat. Masyarakat berpartisipasi aktif dalam menjalankan peran sebagai penjaga perdamaian yang netral, yang membatasi masuknya milisi-milisi sipil dari

18


(14)

127

luar kota ambon: Leihitu dan menolak kekerasan dalam wilayahnya; kedua belah pihak terlibat dalam serangkaian upaya penyelesaian konflik pihak ketiga diaras nasional: pemerintah maupun di aras lokal; dan yang paling mendasar yakni telah berupaya membuka ruang pemberdayaan potensi dan kapasitas personal, yang mana terkait dengan hasil keputusan Malino yang mengakomodir keterlaksanaan sistem rekruitmen pejabatan akademis dalam upaya rehabilitasi Universitas Pattimura yang mesti berlandaskan pada prinsip keterbukaan, keadilan dan profesosionalitas.

Pengkajian terhadap praktek hubungan Pela Gandong diatas mengartikan bahwasalah satu fungsi pela yang penting pada saat konflik adalah fungsi

pemersatu, antara masyarakat berpela menyikapi konflik yang mengakibatkan

perpecahan sosial. Hubungan pela merupakan suatu yang unik, ia berkembang menjadi satu identitas kultural yang mengusung nilai inti kemanusiaan yang universal lewat saling mengamanakan dan menyelamatkan antar sesama

masyarakat yang berpela. Hal mana pada akhirnya melahirkan pemahaman

bahwa budaya Pela Gandong tetap bertahan, dan terus mengalami kebangkitan yang menjadi institusi yang batasan dan peraturannya paling dipatuhi.

Dengan demikian, hubungan Islam-Kristen dalam Pela Gandong sebagai proses resolusi konflik telah nampak sebagai serangkaian tindakan yang dilakukan bersama melalui kerjasama yang terbangun antara pihak-pihak yang berkonflik dalam hal ini Islam-Kristen di Batumerah-Passo sebagai bagian internal dari komunitas dua agama yang berkonflik. Prosedur resolusi konflik berawal dari penguraian masalah (menentukan penyebab konflik) untuk dipecahkan dan dihilangkan secara bersama-sama. Olehnya itu, resolusi konflik melalui intervensi pihak ketiga dalam hal ini masyarakat adat dua negeri (Batumerah-Islam-Kristen-Passo) dapat dilihat sebagai bentuk upaya penanganan konflik dalam rangka membangun hubungan baru diantara kelompok-kelompok yang berkonflik yang berseteru.

Secara khusus berkaitan dengan upaya penyelesaian konflik Islam-Kristen dalam hubungan Pela Gandong Batumerah-Passo di Ambon, maka metode resolusi konflik yang dilakukan pun mengarah pada dua sisi pengaturan secara bersamaan. Pada satu sisi, penyelsaian konflik diatur sendiri oleh pihak-pihak


(15)

128

yang terlibat konflik (Islam-Kristen di Batumerah-Passo). Dan pada sisi yang lain, komponen masyarakat adat Batumerah-Passo juga terlibatan pada proses penyelesaian konflik yang diatur melalui intervensi pihak ketiga: pemerintah

melalui Malino 2. Hanya saja, pengaturan intervensi pihak ketiga unsich melalui

pendekatan perselisihan alternatif. Yang mana kedua belah pihak, serta pihak ketiga terlibat dalam proses negosiasi dan atau mediasi bersama yang menghasilkan suatu kerjasama atau konsensus. Secara metodik, hubungan Pela Gandong Batumerah-Passo sebagai resolusi konflik menegaskan kembali gagasan

Wirawan19 tentang metode resolusi konflik dapat dikelompokan menjadi:

pengaturan sendiri oleh pihak-pihak yang terlibat konflik untuk menyelesaikan konflik, dan atau pengaturan intervensi pihak ketiga, dalam hal ini melalui perselisihan alternatif.

Selain itu, pengalaman Islam-Kristen khususnya di Batumerah-Passo, mengungkapkan bahwa ada upaya masyarakat adat untuk mengembalikan komunitas Katolik di Ahuru (Batumerah), dan menjaga eksistensi keIslaman, melalui pemerilaharaan salah satu Mesjid yang ada di Larier (Passo) hingga sekarang. Mesjid tersebut memang belum dapat digunakan secara maksimal. Akan tetapi, bagi orang Passo, berdirinya Mesjid tersebut merupakan wujud kehendak masyarakat untuk merajut kembali hubungan kehamonisan antar agama-agama yang bertikai (Islam-Kristen).

Upaya penyelesaian konflik melalui pendekatan kultural yang telah nampak diatas melahirkan satu pemahaman bahwasannya, masyarakat adat Batumerah-Passo dalam Pela Gandong yang menjamin ketentraman dan hak kebebasan individu dan komunitas agama-agama yang berbedatelah sampai pada upaya menghargai eksistensi keberagamaan yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Bahkan Hubungan tersebut muncul sebagai salah satu metode resolusi konflik. Praktik penyelesaian konflik dengan metode rekonsiliatif hubungan Pela Gandong Batumerah-Passo seperti demikian telah mampu mengobati derita psikologis, yakni rasa takut dan kehilangan yang dialami oleh kedua belah pihak. Olehnya itu, masyarakat adat Batumerah-Passo dapat dikatan memiliki mekanisme penyelesaian konflik yang berdimensi pemulihan, yang mana hubungan tersebut

19


(16)

129

telah mampu mengubah keadaan dari yang tadi-tadinya konflik kembali kepada keadaan yang semula, yaitu keadaan kehidupan yang harmonis dan damai.

D. Hubungan Islam-Kristen Dalam Pela Gandong Dari Prespektif Konseling Lintas Agama Dan Budaya

Hubungan Islam-Kristen dalam Pela Gandong pada hakekatnya dapat dipahami sebagai relasional individu-komunitas yang berbeda secara identitas keagamaannya yang dipersatukan dalam sebuah masyarakat adat Pela Gandong:

sebagai orang basudara. Secara real Islam-Kristen baik individu maupun

komunitas dalam Pela Gandong yang terdiri dari berbagai etnis, agama berkewajiban untuk hidup berdampingan, saling memperhatikan, saling menolong, saling bekerjasama dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan masing-masing komunitas secara menyeluruh. Praktik kemanusiaan yang saling memberdayakan dalam hubungan Pela Gandong seperti demikian telah menjadi suatu hal yang terwariskan,dan menjadi landasan berperilaku dalam hidup bermasyarakat. Praktik hubungan Pela Gandong merupakan representasi dari

spiritualitas masyarakat. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Stoyles20 tentang

spiritualitas sebagai kapasitas serta keunikan, yang mendorong individu mencari dan mengenali hubungan antara diri dan orang lain. Dikatakan sejalan karena secara sosiologis Pela Gandong sebagai sebuah kearifan lokal telah memediasi

keterhubungan individu-komunitas berPela Gandong untuk berpikir,

bertingkahlaku sosial untuk mengupayakan kesejahteraan bersama.

Selanjutnya, pengalaman Konflik di Ambon telah menciptakan perubahan dan menuntut Orang Ambon(individu-Komunitas Islam-Kristen dalam hubungan pela gandong) secara sadar untuk sedapatnya bersama memecahkan akar persoalan demi meningkatkan kualitas hidupnya. Kausalitas konflik turut mengiringi perubahan yang terjadi di setiap aspek kehidupan. Permasalahan kehidupan ditengah konflik sangatlah kompleks. Berawal dari permasalahan pribadi, kemudian berkembang menjadi permasalahan komunal. Konflik sebagai sebuah permasalahan bersama yakni, kehancuran atau keretakan sosial, ketidakberdayaan, keterpurukan sosial yang dihadapi oleh semua orang Ambon tanpa membedakan

20

Stanford. Stoyles, A Measure of Spirituality Sensitif of Children, dalam J. D. Engel, Konseling Pastoral. . . . ,(2016), 12


(17)

130

latarbelakang identitas etnis dan agama, telah mendorong mereka untuk segera menyelesaikannya, karena secara sadar atau tidak, individu akan selalu berupaya untuk keluar dari masalah yang tengah dihadapinya. Hal tersebut muncul dari

kesadaran spiritual masyarakat. Sejalan dengan gagasan Krauss21 tentang spritual

sebagai energi kehidupan. Dikatakan sejalan karena secara historis kultur masyarakat Ambon dalam hubungan pela gandong padanya telah memiliki visi kemanusiaan tersimpul dalam gagasan dan praktik sosial yang tidak lain merupakan kehendak bersama yang disepakati bersama pula.

Konflik juga telah membelajarkan tentang pentingnya kesadaran akan perbedaan, dan bahwa perbedaan dapat berbuah konflik. Artinya bahwa sebesar apapun kesamaan latarbelakang identitas, dalam hal ini Pela Gandong sebagai

kultur yang dapat menyatuhkan individu-komunitas tetapi toh tidak dapat

diacuhkan bahwa setiap individu yang adalah bagian dari komunitas itu adalah manusia yang unik. Hubungan antar agama (Islam-Kristen) dalam konflik di Ambon yang seperti demikian hendak mengartikan bahwa manusia (individu-kelompok Islam-Kristen) adalah berbeda atau unik sekaligus sama-sama menempati posisi yang saling melakukan dan membutuhkan pertolongan satu dengan yang lain. Hubungan Islam-Kristen dalam Pela gandong sebagai relasi mutual tolong-menolong tersebut sejalan dengan gagasan Engel tentang konseling lintas agama dan budaya. Menurut Engel, Konseling dalam prespektif lintas budaya dan agama merupakan relasi saling memberikan bantuan atau pertolong antar konselor dan klien yang berbeda latar belakang agama dan budaya. Dengan demikian, hubungan Islam-Kristen dalam Pela gandong merupakan suatu relasi konseling.

Praktis hubungan Islam-Kristen dalam Pela Gandong tidak hanya semata-mata merupakan relasi tolong menolong, tetapi lebih daripada itu hubungan tersebut telah mampu menciptakan harmonisasi melalui saling percaya, menerima dan menghargai kepelbagaian, dan bekerjasama memenuhi kepentingan kesejahteraan

individu-komunitas secara menyeluruh. Hal mana sejalan dengan gagasan Engel22

21

Ralph.W. Kraus, Religion, Spiritual, Condurcth of Life: Manners Customs dalam J. D. Engel,

Konseling Pastoral. . . ,(2016), 12

22

J.D. Engel, Konseling Dasar dan Pendampingan Pastoral: Pemahaman dan Pengalaman Dalam Praktek (Salatiga: Widya Sari Press, 2003),1


(18)

131

tentang hakekat hubungan konseling. Dikatakan sejalan karena secara psikologis-sosial hakekat konseling tidak hanya sebatas pada sebuah relasi tolong-menolong, melainkan juga sebagai sebuah proses pemberdayaan diri konselor-konseli untuk memberdayakan sesama.

Perbedaan dan kesamaan dalam hubungan antara Islam-Kristen (konselor-konseli) menunjukan adanya interaksi lintas budaya. Hal tersebut sejalan dengan

gagasan Vontres23 tentang relasi konseling prespektif lintas budaya yang

mencakup perbedaan aspek-aspek kebudayaan yang lebih luas. Dikatakan sejalan karena secara sosiologis hubungan Islam-Kristen di Ambon adalah perjumpaan individu-komunitas yang berbeda identitas keagamaannya dan sekaligus sama

(terintegrasi) dalam identitas budaya (sebagai “orang basudara”) menyiratkan adanya unsur kesamaan sekaligus perbedaan.

Aspek kesamaan dan perbedaan yang dimiliki Islam-Kristen dalam hubungan Pela Gandong merupakan konteks di mana konseling lintas agama dan budaya dapat terjadi. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Sulistyarini & Mohamad

Jauhar24 tentang praktik konseling lintas budaya dapat muncul pada suatu suku

bangsa yang sama, sebab dalam kesamaan jelasnya terdapat indikasi perbedaan. Mengapa demikian, karena secara sosiologis, perbedaan adalah sebuah keniscayaan, perbedaan merupakan fakta eksistensial individu-komunitas sebagai pribadi yang unik. Sementara itu, aspek kesamaan Islam-Kristen dalam hubungan Pela Gandong dari prespektif konseling lintas budaya merupakan unsur penting menentuan keberhasilan proses konseling, hal mana pula telah diungkapkan

Prayitno dan Erman Amti25 bahwa kesamaan harapan tentang tujuan konseling

lintas budaya, saling ketergantungan, keterbukaan, penuh dengan nuansa emosional memungkinkan keefektifan dan keberhasilan konseling. Dikatakan sejalan karena secara kultural hubungan Islam-Kristen dalam bingkai tradisi budaya Pela Gandong berpijak dari kesadaran ekisistensi ke-manusia-an yang berdimensi (nilai) sosial-spiritual.

23

C. E. Vontress. Existentialism as a cross-culturalcounseling modality. In P. Pedersen (Ed. ),

Handbook of cross-culturalcounseling and therapy. (New York: Praeger. 1987), 207-212

24

Sulistyarini & Mohamad Jauhar, Dasar-Dasar Konseling…. . (2014), 274.

25


(19)

132

Kekerabatan Pela Gandong: semua orang mengaggap orang lain sebagai sama-sama orang basudara merupakan suatu kedekatan emosional yang sangat mendalam. Hal tersebut telah terbukti dalam pengalaman konflik yang dihadapi bersama, orang Ambon sadar bahwa sebagai pihak kawan maupun lawan, entah Islam-Kristen tidak lain adalah keluarganya sendiri. Karena itu, peperangan dan perlawanan Islam-Kristen di Ambon adalah perlawanan dan peperangan antar orang basudara. Kesadaran tersebut pada akhirnya juga menggerakan individu-komunitas (masyarakat Ambon) untuk membangun hubungan kerjasama bagi upaya penyelesaian konflik. Faktanya, hubungan Pela Gandong telah menjadi sebuah pendekatan berbasis kultural resolusi konflik antar Islam-Kristen di Ambon.

Kajian diatas hendak memberikan pemamahaman tentang nilai guna hubungan Pela Gandong yang tidak hanya sebatas sebagai resolusi konflik: individu-komunitas berPela Gandong sebagai agen perdamaian konflik Islam-Kristen di AMbon namun sekaligus juga dapat dikembangkan sebagai sebuah pendekatan konseling lintas agama dan budaya (berbasis nilai-nilai spiritual).

E. RANGKUMAN

Keseluruhan isi kajian yang telah terpaparkan pada Bab ini menjelaskan tentang peranan Pela Gandong dalam proses konflik Islam-Kristen di Ambon sebagai Resolusi konflik (Agen Perdamaian) dan sebagai pendekatan konseling lintas agama dan budaya, yang dapat digambarkan dalam bangan dibawah ini:


(20)

133

BAGAN I PROSES KONFLIK ISLAM-KRISTEN DAN HUBUNGAN PELA GANDONG

SEBAGAI RESOLUSI KONFLIK (AGEN PERDAMAIAN) SERTA PENDEKATAN KONSELING LINTAS AGAMA DAN BUDAYA

Fase Laten:

- Perkelahian antar warga (pemuda) anggota komunitas Muslim dan Kristen (Batumerah-Mardika). - Perkelahian antar

warga asli dan pendatang di wilayah pasar

Fase Pemicu :

- Perkelahian antar individu dari suku pendatang dan asli Maluku

- Merebaknya isu & simbolissi agama yang membentuk kognisi masyarakat untuk memahami konflik sebagai konflik antar agama - Keterlibatan TNI yang tidak

netral, bahkan menjadi aktor kekerasan: penyerangan, pembunuhan warga dan komunitas Islam-Kristen

Penyebab Konflik:

- Kecemburuan sosial:

- Pihak Islam merasa dinomorduakan dalam masyarakat dengan adanya ketidakseimbangan keterwakIlan Islam dalam posisi struktural masyarakat.

- Masyarakat asli tidak ingin dikuasai oleh warga pendatang dibidang prekonomin: perdagangan

Eskalasi konflik:

- Polarisasi agama: Islam vs Kristen: individu-kelompok Islam-Kristen tergerak untuk terlibat berkonflik satu dengan yang lain.

- Konflik antar individu berevolusi pada konflik antar kelompok (individu-komunitas Islam-Kristen)

Fase Resolusi Konflik:

I. Hubungan Pela-Gandong (Batumerah-Passo),rekonsiliasi dan pendekatan konseling orang basudara:

- Saling menjaga perdamaian, menciptakan iklim bermasyarakat yang kondusif, serta terjalin komunikasi dan kompromi membangun perdamaian sebagai orang basudara

II. Keterlibatab tokoh-tokoh Adat dan tukoh agama Batumerah-Passo dalam mediasi Malino 2.

- Meningkatnya kerjasama antar warga masyarakat berPela Gandong.

Fase Krisis :

- Kekerasan langsung antar kedua komunitas: agresi, saling menyerang, membunuh dan merusak bahkan membakar rumah dan gedung ibadah. - Pihak-pihak yang berkonflik:

pemeluk Islam-Kristen ditambah dengan TNI dan kelompok-kelompok milisi sipil: Pasukan Jihad dan Agas bersekongkol, bekerjasama merebut wilayah-wilayah atau kantong-kantong komunitas lawan konflik.

Fase Pasca Konflik :

- Hubungan antar pemeluk agama rukun dan harmonis kembali melalui serangkaian kegiatan keagamaan yang digagas dan dilaksanakan bersama.

- Gejolak-gejolak konflik dalam hubungan antar warga dikelola dan diminimalisir dengan kerjasama orang basudara.

- Saling bersilaturahmi, berbagai, dan bekerjasama memenuhi kebutuhan psikis, fisik, ekonomi, dan spiritual

Hubungan Islam-Kristen (Batumerah-Passo) sebelum konflik

- Harmonis: saling

berdampingan, rukun,

toleransi,dan saling

berbagi

- Fenomena konflik internal hubungan Pela-Gandong

Batumerah-Passo dan

penyelesaian

berpendekatan kultur

(upacara panas pela)

Pendekatan konseling Lintas Agama dan Budaya Falsafah Pela Gandong: Orang Basudara

Nilai –nilai Spiritual: - Saling menghargai - Saling menerima - Saling berbagi - Saling melengkapi - Saling memberdayakan


(21)

134

Bagan diatas menggambarkan keterkaitan proses konflik Islam-Kristen dan hubungan Pela

Gandong sebagai resolusi konflik (Agen Perdamaian) yang membentuk lingkaran.

Pertama, hubungan Islam-Kristen (Batumerah-Passo) sebelum konflik,yang mana menunjukan dua kenyataan yang kontra. Pada satu sisi terbangun harmonisasi dalam interaksi sosial mutual: saling berdampingan, saling toleran, dan saling berbagi antar individu-komunitas (masyarakat) yang lintas agama dan etnis. Sementara pada sisi yang

lain ada juga pengalamaan konflik internal yang melibatkan sesama masyarakat berpela

Gandong. Akan tetapi, konflik tersebut dapat terselesaikan secara Adatis, dalam hal ini

termediasi melalui pertemuan dan negosiasi para tokoh Adat, dan akta ritual panas pela

antar kedua masyarakat; kedua, penyebab konflik,khusus menyorotikondisi objektif yang

melatarbelakangi terjadinya konflik antar agama 1999 dalam konteks komunitas Batumerah-Passo, yakni: fenomena kecemburuan sosial, pada wilayah publik: posisi politis, yang mana pihak Islam merasa dinomorduakan dalam kebersamaan masyarakat.

Pihak Islam menilai adanya ketidakseimbangan keterwakilan umat Islam dalam posisi struktural masyarakat, sebelum konflik hanya orang-orang Kristen yang mendominasi dalam kursi kepemimpinan di instansi-instansi birokratif dan akademisi. Karena itu, dalam proses penyelesaian konflik, pihak Islam yang dilibatkan mengusung satu point persetujuan yang disepakati bersama terkait dengan hal tersebut. Selain itu, pada bidang ekonomi, ketika masyarakat asli tidak ingin dikuasai oleh warga pendatang dari suku bugis, yang mendominasi pasar. Para pendatang sendiri telah mengembangkan perserekitan-perserikatan yang sukuisme.

Ketiga, Fase Laten atau konflik tidak terlihat, yakni: terdapat perkelahian antar warga pemuda anggota komunitas Muslim dan Kristen (Batumerah-Mardika) dan perkelahian antar warga asli dan pendatang di wilayah pasar, antara sesama Islam dan juga antar suku. Bagi keduabelah pihak, hal ini adalah fenomena yang biasa dan dianggap tidak memiliki

kaitan dengan konflik. Keempat, Fase pemicu, yakni: konflik berawal dari perseteruan

antar individu masing-masing dari pihak Muslim, pemuda makasar (Sulawesi). Sedangkan, dari pihak Kristen, pemuda Aboru (Maluku Tenggah); kemudian berkembang dengan merebaknya isu-isu dan simbolisasi agama yang membentuk kognisi masyarakat untuk memahami konflik sebagai konflik antar agama; ada juga keterlibatan TNI yang tidak netral, bahkan menjadi aktor kekerasan: penyerangan, pembunuhan warga dan

komunitas Islam-Kristen. Kelima, Fase Eskalasi. Pada fase ini terjadi polarisasi agama:


(22)

135

dengan yang lain; konflik yang awalnya perseteruan antar individu berevolusi menjadi konflik antar kelompok (komunitas Islam-Kristen).

Keenam, Fase Krisis. Pada fase ini, kedua komunitas terlibat dalam kekerasan langsung, agresi, saling menyerang, membunuh dan merusak bahkan membakar rumah dan gedung ibadah; ditambah dengan keterlibatan TNI dan kelompok-kelompok milisi sipil:

“orang luar” pasukan Jihad dan Agas, “yang bermain” merebut wilayah-wilayah atau

kantong-kantong Islam maupun Kristen; ketujuh, Fase Resolusi. Pada fase ini konflik

kekerasan dapat diminimalisir melalui serangkaian tindakan rekonsiliatif -peacekeeping

dan peacemaking- antar komunitas Batumerah-Passo sebagai upaya penyelesaian konflik melalui relasi kerjasama, komunikasi: membatasi eskalasi kekerasan dan memciptakan

iklim bermasyarakat yang kondusif; mediasi Malino 2 yang diupayakan oleh pemerintah –

intervensi pihak ketiga- melibatkan tokoh-tokoh adat dan agama Batumerah-Passodalam

rangkamembangun perdamaian: peacebuilding sebagai orang basudara.

Kedelapan, Fase Pasca Konflik, pada fase ini hubungan antar pemeluk agama rukun dan harmonis kembali melalui kegiatan-kegiatan keagamaan yang digagas dan diatur bersama; konflik dikelola dan diminimalisir dalam kerjasama sebagai orang basudara; meski demikian, saling bersilaturahmi dan bekerjasama menjawab kebutuhan

masing-masing; kesembilan, pendekatan konseling lintas agama dan budaya, merupakan sebuah

pendekatan yang berbasis pada filosofis Pela Gandong: sebagai“orang basudara” dengan

kandungan nilai-nilai spiritual, yakni: saling menghargai, saling menerima, saling berbagi, saling melengkapi, dan saling memberdayakan.


(1)

130

latarbelakang identitas etnis dan agama, telah mendorong mereka untuk segera menyelesaikannya, karena secara sadar atau tidak, individu akan selalu berupaya untuk keluar dari masalah yang tengah dihadapinya. Hal tersebut muncul dari kesadaran spiritual masyarakat. Sejalan dengan gagasan Krauss21 tentang spritual sebagai energi kehidupan. Dikatakan sejalan karena secara historis kultur masyarakat Ambon dalam hubungan pela gandong padanya telah memiliki visi kemanusiaan tersimpul dalam gagasan dan praktik sosial yang tidak lain merupakan kehendak bersama yang disepakati bersama pula.

Konflik juga telah membelajarkan tentang pentingnya kesadaran akan perbedaan, dan bahwa perbedaan dapat berbuah konflik. Artinya bahwa sebesar apapun kesamaan latarbelakang identitas, dalam hal ini Pela Gandong sebagai kultur yang dapat menyatuhkan individu-komunitas tetapi toh tidak dapat diacuhkan bahwa setiap individu yang adalah bagian dari komunitas itu adalah manusia yang unik. Hubungan antar agama (Islam-Kristen) dalam konflik di Ambon yang seperti demikian hendak mengartikan bahwa manusia (individu-kelompok Islam-Kristen) adalah berbeda atau unik sekaligus sama-sama menempati posisi yang saling melakukan dan membutuhkan pertolongan satu dengan yang lain. Hubungan Islam-Kristen dalam Pela gandong sebagai relasi mutual tolong-menolong tersebut sejalan dengan gagasan Engel tentang konseling lintas agama dan budaya. Menurut Engel, Konseling dalam prespektif lintas budaya dan agama merupakan relasi saling memberikan bantuan atau pertolong antar konselor dan klien yang berbeda latar belakang agama dan budaya. Dengan demikian, hubungan Islam-Kristen dalam Pela gandong merupakan suatu relasi konseling.

Praktis hubungan Islam-Kristen dalam Pela Gandong tidak hanya semata-mata merupakan relasi tolong menolong, tetapi lebih daripada itu hubungan tersebut telah mampu menciptakan harmonisasi melalui saling percaya, menerima dan menghargai kepelbagaian, dan bekerjasama memenuhi kepentingan kesejahteraan individu-komunitas secara menyeluruh. Hal mana sejalan dengan gagasan Engel22

21

Ralph.W. Kraus, Religion, Spiritual, Condurcth of Life: Manners Customs dalam J. D. Engel,

Konseling Pastoral. . . ,(2016), 12 22

J.D. Engel, Konseling Dasar dan Pendampingan Pastoral: Pemahaman dan Pengalaman Dalam Praktek (Salatiga: Widya Sari Press, 2003),1


(2)

131

tentang hakekat hubungan konseling. Dikatakan sejalan karena secara psikologis-sosial hakekat konseling tidak hanya sebatas pada sebuah relasi tolong-menolong, melainkan juga sebagai sebuah proses pemberdayaan diri konselor-konseli untuk memberdayakan sesama.

Perbedaan dan kesamaan dalam hubungan antara Islam-Kristen (konselor-konseli) menunjukan adanya interaksi lintas budaya. Hal tersebut sejalan dengan gagasan Vontres23 tentang relasi konseling prespektif lintas budaya yang mencakup perbedaan aspek-aspek kebudayaan yang lebih luas. Dikatakan sejalan karena secara sosiologis hubungan Islam-Kristen di Ambon adalah perjumpaan individu-komunitas yang berbeda identitas keagamaannya dan sekaligus sama

(terintegrasi) dalam identitas budaya (sebagai “orang basudara”) menyiratkan adanya unsur kesamaan sekaligus perbedaan.

Aspek kesamaan dan perbedaan yang dimiliki Islam-Kristen dalam hubungan Pela Gandong merupakan konteks di mana konseling lintas agama dan budaya dapat terjadi. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Sulistyarini & Mohamad Jauhar24 tentang praktik konseling lintas budaya dapat muncul pada suatu suku bangsa yang sama, sebab dalam kesamaan jelasnya terdapat indikasi perbedaan. Mengapa demikian, karena secara sosiologis, perbedaan adalah sebuah keniscayaan, perbedaan merupakan fakta eksistensial individu-komunitas sebagai pribadi yang unik. Sementara itu, aspek kesamaan Islam-Kristen dalam hubungan Pela Gandong dari prespektif konseling lintas budaya merupakan unsur penting menentuan keberhasilan proses konseling, hal mana pula telah diungkapkan Prayitno dan Erman Amti25 bahwa kesamaan harapan tentang tujuan konseling lintas budaya, saling ketergantungan, keterbukaan, penuh dengan nuansa emosional memungkinkan keefektifan dan keberhasilan konseling. Dikatakan sejalan karena secara kultural hubungan Islam-Kristen dalam bingkai tradisi budaya Pela Gandong berpijak dari kesadaran ekisistensi ke-manusia-an yang berdimensi (nilai) sosial-spiritual.

23

C. E. Vontress. Existentialism as a cross-culturalcounseling modality. In P. Pedersen (Ed. ),

Handbook of cross-culturalcounseling and therapy. (New York: Praeger. 1987), 207-212 24 Sulistyarini & Mohamad Jauhar, Dasar-Dasar Konseling…. . (2014)

, 274. 25


(3)

132

Kekerabatan Pela Gandong: semua orang mengaggap orang lain sebagai sama-sama orang basudara merupakan suatu kedekatan emosional yang sangat mendalam. Hal tersebut telah terbukti dalam pengalaman konflik yang dihadapi bersama, orang Ambon sadar bahwa sebagai pihak kawan maupun lawan, entah Islam-Kristen tidak lain adalah keluarganya sendiri. Karena itu, peperangan dan perlawanan Islam-Kristen di Ambon adalah perlawanan dan peperangan antar orang basudara. Kesadaran tersebut pada akhirnya juga menggerakan individu-komunitas (masyarakat Ambon) untuk membangun hubungan kerjasama bagi upaya penyelesaian konflik. Faktanya, hubungan Pela Gandong telah menjadi sebuah pendekatan berbasis kultural resolusi konflik antar Islam-Kristen di Ambon.

Kajian diatas hendak memberikan pemamahaman tentang nilai guna hubungan Pela Gandong yang tidak hanya sebatas sebagai resolusi konflik: individu-komunitas berPela Gandong sebagai agen perdamaian konflik Islam-Kristen di AMbon namun sekaligus juga dapat dikembangkan sebagai sebuah pendekatan konseling lintas agama dan budaya (berbasis nilai-nilai spiritual).

E. RANGKUMAN

Keseluruhan isi kajian yang telah terpaparkan pada Bab ini menjelaskan tentang peranan Pela Gandong dalam proses konflik Islam-Kristen di Ambon sebagai Resolusi konflik (Agen Perdamaian) dan sebagai pendekatan konseling lintas agama dan budaya, yang dapat digambarkan dalam bangan dibawah ini:


(4)

133

BAGAN I PROSES KONFLIK ISLAM-KRISTEN DAN HUBUNGAN PELA GANDONG

SEBAGAI RESOLUSI KONFLIK (AGEN PERDAMAIAN) SERTA PENDEKATAN KONSELING LINTAS AGAMA DAN BUDAYA

Fase Laten:

- Perkelahian antar

warga (pemuda)

anggota komunitas

Muslim dan Kristen (Batumerah-Mardika).

- Perkelahian antar

warga asli dan

pendatang di wilayah pasar

Fase Pemicu :

- Perkelahian antar individu dari suku pendatang dan asli Maluku

- Merebaknya isu & simbolissi

agama yang membentuk

kognisi masyarakat untuk memahami konflik sebagai konflik antar agama - Keterlibatan TNI yang tidak

netral, bahkan menjadi aktor

kekerasan: penyerangan,

pembunuhan warga dan

komunitas Islam-Kristen Penyebab Konflik:

- Kecemburuan sosial:

- Pihak Islam merasa

dinomorduakan dalam

masyarakat dengan

adanya ketidakseimbangan keterwakIlan Islam dalam

posisi struktural

masyarakat.

- Masyarakat asli tidak ingin

dikuasai oleh warga

pendatang dibidang

prekonomin: perdagangan

Eskalasi konflik:

- Polarisasi agama: Islam vs

Kristen:

individu-kelompok Islam-Kristen tergerak untuk terlibat berkonflik satu dengan yang lain.

- Konflik antar individu berevolusi pada konflik antar kelompok (individu-komunitas Islam-Kristen)

Fase Resolusi Konflik:

I. Hubungan Pela-Gandong

(Batumerah-Passo),rekonsiliasi dan pendekatan konseling orang basudara:

- Saling menjaga perdamaian,

menciptakan iklim bermasyarakat yang kondusif, serta terjalin komunikasi dan

kompromi membangun perdamaian

sebagai orang basudara

II. Keterlibatab tokoh-tokoh Adat dan tukoh agama Batumerah-Passo dalam mediasi Malino 2.

- Meningkatnya kerjasama antar warga masyarakat berPela Gandong.

Fase Krisis :

- Kekerasan langsung antar kedua

komunitas: agresi, saling

menyerang, membunuh dan

merusak bahkan membakar

rumah dan gedung ibadah. - Pihak-pihak yang berkonflik:

pemeluk Islam-Kristen ditambah dengan TNI dan kelompok-kelompok milisi sipil: Pasukan Jihad dan Agas bersekongkol, bekerjasama merebut wilayah-wilayah atau kantong-kantong komunitas lawan konflik. Fase Pasca Konflik :

- Hubungan antar pemeluk agama

rukun dan harmonis kembali

melalui serangkaian kegiatan

keagamaan yang digagas dan

dilaksanakan bersama.

- Gejolak-gejolak konflik dalam

hubungan antar warga dikelola dan diminimalisir dengan kerjasama orang basudara.

- Saling bersilaturahmi, berbagai,

dan bekerjasama memenuhi

kebutuhan psikis, fisik, ekonomi, dan spiritual

Hubungan Islam-Kristen (Batumerah-Passo) sebelum konflik

- Harmonis: saling berdampingan, rukun, toleransi,dan saling berbagi

- Fenomena konflik internal hubungan Pela-Gandong Batumerah-Passo dan penyelesaian

berpendekatan kultur (upacara panas pela)

Pendekatan konseling Lintas Agama dan Budaya Falsafah Pela Gandong: Orang Basudara

Nilai –nilai Spiritual:

- Saling menghargai - Saling menerima - Saling berbagi - Saling melengkapi - Saling memberdayakan


(5)

134

Bagan diatas menggambarkan keterkaitan proses konflik Islam-Kristen dan hubungan Pela Gandong sebagai resolusi konflik (Agen Perdamaian) yang membentuk lingkaran.

Pertama, hubungan Islam-Kristen (Batumerah-Passo) sebelum konflik,yang mana

menunjukan dua kenyataan yang kontra. Pada satu sisi terbangun harmonisasi dalam interaksi sosial mutual: saling berdampingan, saling toleran, dan saling berbagi antar individu-komunitas (masyarakat) yang lintas agama dan etnis. Sementara pada sisi yang lain ada juga pengalamaan konflik internal yang melibatkan sesama masyarakat berpela Gandong. Akan tetapi, konflik tersebut dapat terselesaikan secara Adatis, dalam hal ini termediasi melalui pertemuan dan negosiasi para tokoh Adat, dan akta ritual panas pela antar kedua masyarakat; kedua, penyebab konflik,khusus menyorotikondisi objektif yang melatarbelakangi terjadinya konflik antar agama 1999 dalam konteks komunitas Batumerah-Passo, yakni: fenomena kecemburuan sosial, pada wilayah publik: posisi politis, yang mana pihak Islam merasa dinomorduakan dalam kebersamaan masyarakat.

Pihak Islam menilai adanya ketidakseimbangan keterwakilan umat Islam dalam posisi struktural masyarakat, sebelum konflik hanya orang-orang Kristen yang mendominasi dalam kursi kepemimpinan di instansi-instansi birokratif dan akademisi. Karena itu, dalam proses penyelesaian konflik, pihak Islam yang dilibatkan mengusung satu point persetujuan yang disepakati bersama terkait dengan hal tersebut. Selain itu, pada bidang ekonomi, ketika masyarakat asli tidak ingin dikuasai oleh warga pendatang dari suku bugis, yang mendominasi pasar. Para pendatang sendiri telah mengembangkan perserekitan-perserikatan yang sukuisme.

Ketiga, Fase Laten atau konflik tidak terlihat, yakni: terdapat perkelahian antar warga pemuda anggota komunitas Muslim dan Kristen (Batumerah-Mardika) dan perkelahian antar warga asli dan pendatang di wilayah pasar, antara sesama Islam dan juga antar suku. Bagi keduabelah pihak, hal ini adalah fenomena yang biasa dan dianggap tidak memiliki kaitan dengan konflik. Keempat, Fase pemicu, yakni: konflik berawal dari perseteruan antar individu masing-masing dari pihak Muslim, pemuda makasar (Sulawesi). Sedangkan, dari pihak Kristen, pemuda Aboru (Maluku Tenggah); kemudian berkembang dengan merebaknya isu-isu dan simbolisasi agama yang membentuk kognisi masyarakat untuk memahami konflik sebagai konflik antar agama; ada juga keterlibatan TNI yang tidak netral, bahkan menjadi aktor kekerasan: penyerangan, pembunuhan warga dan komunitas Islam-Kristen. Kelima, Fase Eskalasi. Pada fase ini terjadi polarisasi agama: Islam vs Kristen: individu-kelompok Islam-Kristen tergerak untuk terlibat berkonflik satu


(6)

135

dengan yang lain; konflik yang awalnya perseteruan antar individu berevolusi menjadi konflik antar kelompok (komunitas Islam-Kristen).

Keenam, Fase Krisis. Pada fase ini, kedua komunitas terlibat dalam kekerasan langsung, agresi, saling menyerang, membunuh dan merusak bahkan membakar rumah dan gedung ibadah; ditambah dengan keterlibatan TNI dan kelompok-kelompok milisi sipil:

“orang luar” pasukan Jihad dan Agas, “yang bermain” merebut wilayah-wilayah atau kantong-kantong Islam maupun Kristen; ketujuh, Fase Resolusi. Pada fase ini konflik kekerasan dapat diminimalisir melalui serangkaian tindakan rekonsiliatif -peacekeeping dan peacemaking- antar komunitas Batumerah-Passo sebagai upaya penyelesaian konflik melalui relasi kerjasama, komunikasi: membatasi eskalasi kekerasan dan memciptakan iklim bermasyarakat yang kondusif; mediasi Malino 2 yang diupayakan oleh pemerintah – intervensi pihak ketiga- melibatkan tokoh-tokoh adat dan agama Batumerah-Passodalam rangkamembangun perdamaian: peacebuilding sebagai orang basudara.

Kedelapan, Fase Pasca Konflik, pada fase ini hubungan antar pemeluk agama rukun dan harmonis kembali melalui kegiatan-kegiatan keagamaan yang digagas dan diatur bersama; konflik dikelola dan diminimalisir dalam kerjasama sebagai orang basudara; meski demikian, saling bersilaturahmi dan bekerjasama menjawab kebutuhan masing-masing; kesembilan, pendekatan konseling lintas agama dan budaya, merupakan sebuah pendekatan yang berbasis pada filosofis Pela Gandong: sebagai“orang basudara” dengan kandungan nilai-nilai spiritual, yakni: saling menghargai, saling menerima, saling berbagi, saling melengkapi, dan saling memberdayakan.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Sintuwu Maroso Pasca Konflik di Poso dalam Menciptakan Perdamaian T2 752012005 BAB IV

0 0 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pela Gandong sebagai Konseling Orang Basudara dan Agen Perdamaian Konflik Islam-Kristen di Ambon

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pela Gandong sebagai Konseling Orang Basudara dan Agen Perdamaian Konflik Islam-Kristen di Ambon

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pela Gandong sebagai Konseling Orang Basudara dan Agen Perdamaian Konflik Islam-Kristen di Ambon T2 752012008 BAB VI

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pela Gandong sebagai Konseling Orang Basudara dan Agen Perdamaian Konflik Islam-Kristen di Ambon T2 752012008 BAB V

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pela Gandong sebagai Konseling Orang Basudara dan Agen Perdamaian Konflik Islam-Kristen di Ambon T2 752012008 BAB II

3 10 60

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pela Gandong sebagai Konseling Orang Basudara dan Agen Perdamaian Konflik Islam-Kristen di Ambon T2 752012008 BAB I

0 0 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ain Ni Ain sebagai Pendekatan Konseling Perdamaian Berbasis Budaya T2 752015029 BAB IV

0 0 32

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konflik Ambon Dalam Perspektif Teori Identitas Sosial T2 752013009 BAB IV

0 1 9

T2__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Sosial sebagai Ruang Publik Komunitas MudaMudi dalam Ancaman Konflik Ambon Akibat Segregasi T2 BAB IV

0 0 6