Klausula Baku

4. Klausula Baku

a. Pengaturan

Menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa klausula baku adalah “setiap aturan atau ketentuan

dan syaratsyarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara

50 Ibid. hlm.26.

sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

Ketentuan pencantuman klausula baku terdapat pada Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, bahwa

“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila :

1) Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha

2) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen

3) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang

yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen

4) Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran

5) Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen

6) Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa

7) Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya

8) Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Dengan adanya Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merupakan upaya dalam pemberdayaan konsumen dari kedudukan sebagai pihak yang lemah di dalam perjanjian dengan pelaku usaha.

Kemudian, Pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memuat ketentuan limitatif yang melarang pelaku usaha mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

Pengertian klasula baku tidak sama dengan pengertian klausula eksonerasi. Artinya, klasula baku adalah klausula yang dibuat atau dicantumkan secara sepihak dalam perjanjian oleh pelaku usaha, tetapi isinya tidak boleh mengarah kepada

klausula eksonerasi. 51 Jadi, klausula baku penekanannya pada prosedur pembuatan atau pencantumannya secara sepihak dalam perjanjian, bukan pada isi

perjanjiannya.

Sedangkan klausula eksonerasi tidak hanya menekankan pada prosedur pembuatan atau pencantumannya dalam perjanjian, tetapi juga isinya yang bertujuan pengalihan kewajiban atau tanggung jawab pelaku usaha. 52

51 Muhammad Syaiffuddin. 2012. Hukum Kontrak : Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan) , Mandar Maju, Bandung.

hlm. 236. 52 Ibid. hlm. 237.

Konsekuensi apabila terdapat suatu perjanjian yang melanggar ketentuan Pasal 18 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada dan tidak mengikat para pihak.

b. Klausula Eksonerasi

Menurut Rijken bahwa klausula eksonerasi adalah klausula yang dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang

terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melanggar hukum. 53

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian baku dengan klausula eksonerasi yang meniadakan atau membatasi kewajiban salah satu pihak (Penanggung) untuk membayar ganti kerugian kepada Tertanggung, memiliki ciri-

ciri sebagai berikut : 54

1) Isiniya ditetapkan secara sepihak oleh Penanggung yang posisinya relatif kuat daripada Tertanggung

2) Tertanggung sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian itu

3) Terdorong oleh kebutuhannya, Tertanggung terpaksa menerima perjanjian tersebut

4) Bentuknya tertulis

5) Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual

53 Mariam Darus Badrulzaman.1994. Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung. hlm. 47. 54 Ibid. hlm. 50.

Selain itu, salah satu ciri perjanjian baku yang dikemukakan oleh Mariam Darus Badrulzaman, yaitu bahwa Debitur sama sekali tidak menentukan isi perjanjian itu, juga tidak dibenarkan, karena perjanjian baku pada umumnya dibuat dengan tetap memungkinkan pihak lain (Bukan pihak yang merancang perjanjian baku) untuk menentukan unsur esensial dari perjanjian, sedangkan klausula yang pada umumnya tidak dapat adalah klausula yang merupakan unsur aksidentalia

dalam perjanjian. 55

Pihak yang lebih kuat (Penanggung) biasanya menggunakan kesempatan tersebut untuk menentukan klausula-klausula tertentu dalam perjanjian baku, sehingga perjanjian yang seharusnya dibuat oleh para pihak yang terlibat dalam perjanjian, tidak ditemukan lagi dalam perjanjian baku, karena format dan isi perjanjian dibuat oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat.

Maka dapat dipastikan bahwa perjanjian tersebut memuat klausula-klausula yang menguntungkan seperti meringankan atau menghapuskan kewajiban- kewajiban yang menjadi tanggung jawab Penanggung. Hal yang yang dilakukan oleh Penanggung tersebut dikenal dengan penyalahgunaan keadaan. 56

Sluijter mengatakan bahwa perjanjian baku bukan merupakan merupakan perjanjian, sebab kedudukan pengusaha dalam perjanjian itu adalah seperti pembentuk undang-undang swasta (legio particuliere wetgever). Syarat-syarat

55 Ahmad Miru. 2000. Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Disertasi, Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya. hlm.160-161.

56 Ahmad Miru dan Sutarman Yodo. 2015. Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta. hlm. 117.

yang ditentukan pengusaha dalam perjanjian itu adalah undang-undang, bukan perjanjian. 57

Jadi, perjanjian baku yang memuat klausul-klausul baku merupakan perjanjian yang mengikat para pihak yang mengadakannya, apabila timbul suatu kerugian dikemudian hari akan tetap ditanggung oleh para pihak yang harus melakukan suatu prestasi berdasarkan klausula perjanjian tersebut, kecuali jika klausula tersebut merupakan klausula yang dilarang berdasarkan Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

c. Intervensi Negara dalam Perjanjian Baku

Menurut Sutan Remy Sjahdeini, agar tidak terjadi penyalahgunaan terhadap asas kebebasan membuat perjanjian oleh pihak yang berkedudukan lebih kuat, maka diperlukan intervensi atau campur tangan negara menggunakan undang-

undang dan pengadilan. 58

Intervensi negara dalam perjanjian asuransi dapat dilakukan oleh pemerintah. Melalui OJK (Otoritas Jasa Keuangan), OJK dapat membuat suatu peraturan yang mempertimbangan untuk dilakukannya standarisasi perjanjian dalam perjanjian asuransi.

Anggota Dewan Komisioner Bidang Perlindungan dan Edukasi Konsumen OJK, Tirta Segara, mengatakan pihaknya mempertimbangkan untuk menyeragamkan perjanjian polis asuransi agar tercipta standar perjanjian yang seimbang antara perusahaan asuransi dengan nasabah atau konsumen. Selama ini OJK telah

57 Ibid. hlm. 119. 58 Muhammad Syaifuddin. Op. Cit. hlm. 229.

memiliki perangkat hukum yang mengatur perjanjian produk jasa

keuangan terkait larangan penyusunan klausula baku. 59

Sehingga dengan adanya intervensi negara tersebut perjanjian baku dapat menciptakan sutu perjanjian yang memenuhi keseimbangan, keadilan, dan kewajaran sehingga tidak merugikan konsumen (Tertanggung).

Kemudian, dijelaskan mengenai penyalahgunaan keadaan yang dapat merugikan konsumen melalui Woeker Ordonantie tahun 1938. Berdasarkan Pasal

2 Ordonansi tersebut, para hakim diberikan kewenangan untuk mengurangi kewajiban pihak yang dirugikan atau membatalkan perjanjian dalam hal hakim menemukan adanya ketidakseimbangan yang mencolok antara kewajiban-

kewajiban para pihak. 60

Untuk melaksanakan kewenangan hakim tersebut, maka disyaratkan bahwa: 61

1) Pihak yang dirugikan mengajukan permohonan untuk itu

2) Pihak yang dirugikan tidak secara penuh menyadari segala akibat perjanjian yang telah diadakannya, dan

3) Pihak yang dirugikan ternyata bertindak ceroboh, tanpa pengalaman, atau dalam keadaan darurat

Upaya tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu upaya untuk membatasi kerugian akibat penggunaan klausula eksonerasi dalam perjanjian.

59 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt59d49a552d535/ojk-akan-atur-standardisasi- perjanjian-polis-asuransi, diakses pada tanggal 13 Oktober 2017.

60 Ahmad Miru dan Sutarman Yodo. Op. Cit. hlm. 126. 61 Ibid.

d. Klausula Polis

Perjanjian asuransi selalu memuat janji-janji khusus yang dirumuskan dengan tegas dalam polis, yang lazim disebut klausula polis. Maksud klausula tersebut adalah untuk mengetahui batas tanggung jawab Penanggung dalam pembayaran ganti kerugian, apabila terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian. Jenis-jenis klausulan asuransi itu ditentukan oleh sifat objek asuransi, bahaya yang mengancam dalam setiap asuransi.

Klausula-klausula dimaksud dirumuskan dan diuraikan sebagai berikut :

1) Klausula Premier Risque Klausula ini menyatakan bahwa apabila pada asuransi di bawah nilai benda

terjadi kerugian sebagian (partial loss), Penanggung akan membayar ganti kerugian seluruhnya sampai maksimum jumlah yang diasuransikan (Pasal 253 ayat 3 KUHD). Klausula ini biasa digunakan pada asuransi pembongkaran dan pencurian

serta asuransi tanggung jawab. 62

2) Klausula All Risk Klausula ini menentukan bahwa Penanggung memikul segala risiko atas

benda yang diasuransikan. Ini berarti penanggung akan mengganti semua kerugian yang timbul akibat peristiwa apapun, kecuali kerugian yang timbul karena kesalahan tertanggung sendiri (Pasal 276 KUHD) dan karena cacat sendiri

bendanya (Pasal 249 KUHD). 63

62 Mulhadi. Op. Cit. hlm. 67. 63 Ibid. hlm. 68.

3) Klausula Total Loss Only (TLO) Klausula ini menentukan bahwa Penanggung hanya menanggung kerugian

yang merupakan kerugian keseluruhan/total atas benda yang diasuransikan. 64

4) Klausula Sudah Diketahui (All Seen) Klausula ini digunakan pada asuransi kebakaran. Klausula ini menentukan

bahwa Penanggung sudah mengetahui keadaan, konstruksi, letak, dan cara pemakaian bangunan yang diasuransikan. 65

5) Klausula Renunsiasi (Renunciation) Menurut klausula, Penanggung tidak akan menggugat Tertanggung dengan

alasan pasal 251 KUHD, kecuali jika hakim menetapkan bahwa pasal tersebut harus diberlakukan secara jujur (fair) atau iktikad baik (good faith) dan sesuai dengan kebiasaan. Berarti apabila timbul kerugian akibat evenemen, Tertanggung tidak memberitahukan keadaan benda objek asuransi kepada Penanggung, maka Penanggung tidak akan mengajukan Pasal 251 KUHD dan Penanggung akan

membayar klaim ganti kerugian kepada Tertanggung. 66

6) Klausula Free Form Particular Average (FPA) Bahwa penanggung dibebaskan dari kewajban membayar ganti kerugian

yang timbul akibat peristiwa khusus di laut (particular average) seperti ditentukan dalam Pasal 709 KUHD, dengan kata lain Penanggung menolak pembayaran ganti kerugian yang diklaim oleh Tertanggung yang sebenarnya timbul dari akibat

64 Zian Farodis.2014. Pintar Asuransi, Yogyakarta, Penerbit Laksana. hlm. 18. 65 Ibid. hlm. 19. 66 Mulhadi. Op. Cit. hlm. 69.

peristiwa khusus yang sudah dibebaskan klausula Free Form Particular Average (FPA). 67

7) Klausula Riot, Strike & Civil Commotion (RSCC) Riot (kerusuhan), Strike (pemogokan) dan Civil Commotion (huru-hara)

adalah klausula yang menyatakan apabila pada asuransi terjadi keadaan yang menimbulkan suasana gangguan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan kegaduhan dan menggunakan kekerasan serta rentetan pengrusakan sejumlah besar

harta benda. 68

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Ideologi Ketuhanan dalam Berbagai Kepentingan: Analis wacana kritis Norman Fairclough dalam Buku Tuhan Maha Asyik Karya Sujiwo Tejo dan MN Kamba

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Ideologi Ketuhanan dalam Berbagai Kepentingan: Analis wacana kritis Norman Fairclough dalam Buku Tuhan Maha Asyik Karya Sujiwo Tejo dan MN Kamba

0 0 12

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia dalam Perspektif Hukum Laut Internasional

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Laut Internasional - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia dalam Perspektif Hukum Laut Internasional

0 0 97

BAB III ANALISA A. Kedudukan Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia Menurut Norma-Norma Hukum Laut Internasional - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia dalam Perspektif Hukum Laut Inter

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia dalam Perspektif Hukum Laut Internasional

0 1 13

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Problematika Pelaksanaan Jamsostek Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional: Studi Kasus pada PT. Apac Inti Cor

0 0 20

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN A. KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Problematika Pelaksanaan Jamsostek Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional: Studi Kasus pad

0 0 106

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Problematika Pelaksanaan Jamsostek Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional: Studi Kasus pada PT. Apac Inti Corpora

0 0 16

BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tinjauan Yuridis Putusan Hakim dalam Perkara Perdata tentang Perjanjian Baku: Studi Kasus Putusan MA NO. 560 K/Pdt.Sus/2012

0 0 10