Perlindungan Konsumen

5. Perlindungan Konsumen

a. Pengaturan

Hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen tercipta akibat adanya proses penawaran dan penerimaan. Proses tersebut harus diadakan bagi para pihak dalam kedudukan yang seimbang, dengan maksud agar tidak ada pihak yang mengalami kerugian. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merupakan langkah pemerintah memberikan kesimbangan antara pelaku usaha dengan konsumen serta memberikan kepastian hukum kepada konsumen terhadap hak-haknya. Esensi dari undang-undang ini adalah mengatur perilaku pelaku usaha dengan tujuan agar konsumen terlindungi secara hukum.

Apabila dikaitkan dengan perjanjan asuransi maka pemegang polis atau Tertanggung dalam perjanjian asuransi dapat dikatakan sebagai konsumen sebagai pemakai jasa dari perusahaan asuransi atau Penanggung dan perusahaan asuransi

67 Ibid. 68 Zian Farodis. Op. Cit. hlm. 20.

atau Penanggung dapat dikatakan sebagai pelaku usaha yang menjalankan kegiatan usaha dalam bidang jasa, yaitu industri asuransi.

Akibat dari diadakannya suatu perjanjian menimbulkan suatu hak dan kewajiban bagi para pihak yang mengadakannya. Hak dan kewajiban pelaku usaha dengan konsumen dijelaskan pada Pasal 4 – Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :

1) Hak Konsumen

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

2) Kewajiban Konsumen

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

3) Hak Pelaku Usaha

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatunya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatunya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

4) Kewajiban Pelaku Usaha

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan

g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

b. Asas-Asas Perlindungan Konsumen

Asas-asas yang mendasari perlindungan konsumen dijelaskan dalam Pasal

2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :

1) Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

2) Asas keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3) Asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.

4) Asas keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5) Asas kepastian hukum, dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 asas yaitu : 69

1) Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen

2) Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan, dan

3) Asas kepastian hukum.

c. Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Berdasarkan penjelasan Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa “ Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”. Maka perusahaan asuransi bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerugian yang diderita pemegang polis. Namun hal ini tidak berlaku apabila perusahaan asuransi dapat membuktikan bahwa kerugian yang diderita oleh pemegang polis merupakan kesalahan dari pemegang polis itu sendiri.

Memerhatikan substansi Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha, meliputi : 70

1) Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan

2) Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran, dan

3) Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen

69 Ahmad Miru dan Sutarman Yodo. Op. Cit. hlm. 26. 70 Ibid. 129.

Jadi, ganti kerugian dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hanya meliputi pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nlainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan

yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 71

Kemudian, apabila pelaku usaha menolak atau tidak menanggapi untuk melakukan pembayaran ganti kerugian, konsumen dapat menggugat pelaku usaha melalui jalur litigasi maupun non-litigasi, hal ini tercantum dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa “Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen ... , dapat digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan ”.

d. Penyelesaian Sengketa

Berdasarkan ketentuan Pasal 23 dan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa penyelesaian sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen dapat dilakukan melalui litigasi maupun non- litigasi .

Litigasi atau melalui pengadilan berarti penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu kepada ketentuan peradilan umum yang berlaku di Indonesia. Sedangkan non-litigasi berarti penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan

71 Ibid. 140.

terjadinya kembali kerugian yang diderita konsumen, berdasarkan penjelasan Pasal

47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

Ada 3 cara penyelesaian sengketa melalui non-litigasi, berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Konsumen, yaitu :

1) Konsiliasi Pasal 1 angka 9 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor

350/MPP/Kep/12/2001 di dalam kepmen tersebut menjelaskan bahwa konsiliasi adalah “Proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK untuk mempertemukan pihak yang bersengketa, dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak”. Penyelesaiaan dengan cara ini

dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh majelis yang bertindak pasif sebagai konsiliator, berdasarkan Pasal 5 ayat 1 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001.

2) Mediasi Penyelesaian sengketa dengan cara mediasi berdasarkan Pasal 1 angka 10

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 menjelaskan bahwa mediasi merupakan, “Proses penyelesaian sengketa konsumen

di luar peradilan dengan peraturan BPSK sebagai penasehat dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Penyelesaian dengan cara ini dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh majelis yang bertindak aktif di luar peradilan dengan peraturan BPSK sebagai penasehat dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Penyelesaian dengan cara ini dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh majelis yang bertindak aktif

3) Arbitrase Berdasarkan Pasal 1 angka 11 Keputusan Menteri Perindustrian dan

Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 arbitrase adalah, “Proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang dalam ini para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian kepada BPSK ”. Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada

perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa. 72 Jika para pihak tersebut telah mencantumkan klausula arbitrase dalam perjanjian yang menjadi pokok sengketa atau mengadakan perjanjian arbitrase setelah timbulnya sengketa di antara para pihak, penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan.

Cara mediasi hampir sama dengan cara konsiliasi dan dilakukan karena para pihak secara sukarela memilih mediasi dan konsiliasis, yang membedakan di antara keduanya adalah dalam mediasi majelis yang dibentuk BPSK bertindak secara aktif, sedangkan cara konsiliasi majelis yang dibentuk BPSK bertindak secara pasif. Sedangkan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrase, majelis yang dibentuk BPSK bersikap aktif dalam mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa dan hasil akhir penyelesaian melalui aribtrase adalah sebuah putusan. Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Putusan arbitrase ini memiliki kekuatan eksekutorial, sehingga apabila pihak yang

72 Ahmad Miru.2000. Op.Cit.hlm. 126-127.

dikalahkan tidak memenuhi putusan secara sukarela, maka pihak yang menang dapat meminta eksekusi ke pengadilan. 73

BPSK menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah “Badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen ”. Tugas dari BPSK sendiri diantaranya adalah melakukan penyelesaian sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen, dengan cara mediasi atau konsiliasi atau arbitrase; konsultasi; pengawasan; melaporkan pada penyidik; menerima pengaduan; meneliti dan memeriksa; memanggil pelaku usaha; menghadirkan saksi dan ahli; meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan saksi dan saksi ahli; meneliti surat dokumen; menetapkan ada atau tidaknya kerugian konsumen; memberikan putusan; menjatuhkan sanksi adminitrasi. Maka fungsi BPSK yaitu sebagai alternatif penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan untuk melindungi hak-hak konsumen karena konsumen pada dasarnya tidak dapat menentukan substansi perikatan, tetapi konsumen hanya tunduk dengan pelaku usaha, sehingga konsumen hanya dapat bersikap “take it or leave it”, dan sebagai tambahan bahwa lembaga ini dibentuk di kabupaten atau kota.

Dalam mengajukan gugatan, ada empat kelompok penggugat yang bisa menggugat atas pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha sebagai berikut : 74

1) Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan

2) Sekelompok konsumen mempunyai kepentingan yang sama

73 Ahmad Miru dan Sutarman Yodo. Op. Cit. hlm. 254. 74 Abdul Halim Barkatullah. 2010. Hak-Hak Konsumen. Nusa Media, Bandung. hlm. 85.

3) Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasar menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya

4) Pemerintah dan/atau instansi terkait yang jika barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

Gugatan yang diajukan oleh Sekelompok konsumen, Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau Pemerintah diajukan ke peradilan umum. Selain itu, konsumen dapat mengajukan gugatan kepada pelaku usaha di tempat konsumen yang bersangkutan berdomisili.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dijelaskan mengenai penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui non-litigasi , khususnya melalui perantara BPSK. Penyelesaian masalah sengketa konsumen melalui badan ini dapat dikatakan dilakuan dengan cepat, murah, sederhana dan tidak berbelit-belit. Sistem penyelesaian yang demikian sangat dibutuhkan dalam dunia bisnis, termasuk dalam penyelesaian sengketa konsumen. Kritikan-kritakan terhadap penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui litigasi, yaitu : 75

1) Penyelesaian sengketa melalui pengadilan sangat lambat

2) Biaya perpekara yang mahal

75 Ahmad Miru dan Sutarman Yodo. Op. Cit. hlm. 242.

3) Pengadilan pada umumya tidak responsif

4) Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah

5) Kemampuan para hakim yang bersifat generalis Tetapi apabila terhadap suatu putusan peradilan yang menurut salah satu

pihak tidak adil, terdapat proses lain dalam sistem peradilan di Indonesia, yaitu adanya upaya hukum terhadap sebuah putusan, baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa. Maka hal tersebut dapat memperpanjang proses penyelesaian sengketa, tetapi di sisi lain akan menghasilkan suatu putusan yang sedail-adilnya.

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Ideologi Ketuhanan dalam Berbagai Kepentingan: Analis wacana kritis Norman Fairclough dalam Buku Tuhan Maha Asyik Karya Sujiwo Tejo dan MN Kamba

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Ideologi Ketuhanan dalam Berbagai Kepentingan: Analis wacana kritis Norman Fairclough dalam Buku Tuhan Maha Asyik Karya Sujiwo Tejo dan MN Kamba

0 0 12

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia dalam Perspektif Hukum Laut Internasional

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Laut Internasional - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia dalam Perspektif Hukum Laut Internasional

0 0 97

BAB III ANALISA A. Kedudukan Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia Menurut Norma-Norma Hukum Laut Internasional - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia dalam Perspektif Hukum Laut Inter

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia dalam Perspektif Hukum Laut Internasional

0 1 13

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Problematika Pelaksanaan Jamsostek Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional: Studi Kasus pada PT. Apac Inti Cor

0 0 20

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN A. KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Problematika Pelaksanaan Jamsostek Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional: Studi Kasus pad

0 0 106

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Problematika Pelaksanaan Jamsostek Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional: Studi Kasus pada PT. Apac Inti Corpora

0 0 16

BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tinjauan Yuridis Putusan Hakim dalam Perkara Perdata tentang Perjanjian Baku: Studi Kasus Putusan MA NO. 560 K/Pdt.Sus/2012

0 0 10