Aspek Yuridis Dari Perjanjian Sewa Menyewa Rumah Yang Objeknya Dijaminankan Di Bank

(1)

ASPEK YURIDIS DARI PERJANJIAN SEWA

MENYEWA RUMAH YANG OBJEKNYA

DIJAMINKAN DI BANK

TESIS

Oleh

KELVINA SEFIALORA

087011062/MKn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ASPEK YURIDIS DARI PERJANJIAN SEWA

MENYEWA RUMAH YANG OBJEKNYA

DIJAMINKAN DI BANK

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh gelar Magister

Kenotariatan dalam Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

KELVINA SEFIALORA

087011062/MKn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

ABSTRAK

Penulisan tesis ini menggunakan metode pendekatan secara yuridis normatif dengan cara mencari data atau informasi yang telah ada dan bersifat deskriftif analisis yang menjelaskan secara sistematis mengenai perjanjian sewa menyewa rumah yang objeknya dijaminkan di Bank. Teori yang digunakan dalam penulisan ini adalah berdasarkan Teori Perkembangan Hukum (Law as a tool of Social Engineering) dari ajaran Roscoe Pound yang beraliran Sociological Jurisprudence.

Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang meningkat dan kebutuhan masyarakat yang semakin banyak. Kreditur (Bank) dalam hal ini memberikan kemudahan dengan memberikan izin kepada Debitur untuk dapat menyewakan objek jaminan kreditnya kepada pihak ketiga dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Kreditur (Bank). Kreditur (Bank) memberikan izin kepada Debitur dikarenakan sudah mempunyai kredibilitas yang dapat dipercaya oleh pihak Kreditur (Bank).

Perjanjian kredit antara Bank (Kreditur) dengan Debitur dibuat terlebih dahulu baru setelah itu dilakukan perjanjian sewa menyewa dengan pihak ketiga. Perjanjian kredit ini dengan perjanjian sewa menyewa dibuat secara terpisah yang dibuat di hadapan Notaris. Pihak ketiga dalam hal ini telah mengetahui dan memahami segala konsekwensi yang timbul di kemudian hari sehubungan dengan perjanjian sewa menyewa yang objek sewanya masih terikat sebagai jaminan kredit di Bank. Kreditur (Bank) memberikan waktu 1 (satu) tahun untuk sewa menyewa.

Pihak ketiga dapat menempati objek sewa hingga masa sewa berakhir jika Debitur wanprestasi karena itu masa sewa yang diberikan Kreditur (Bank) hanya 1 tahun untuk memperkecil kemungkinan terjadinya suatu perselisihan antara Kreditur (Bank) dengan Debitur yang dapat menimbulkan dampak kerugian kepada pihak ketiga di kemudian hari nanti. Wanprestasi yang dilakukan Debitur karena telah lalai memenuhi angsuran kreditnya sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati dengan pihak Kreditur (Bank).

Perselisihan yang terjadi antara Kreditur (Bank) dengan Debitur dapat ditempuh melalui jalur pengadilan maupun di luar pengadilan. Kreditur (Bank) lebih memilih penyelesaian melalui jalur di luar pengadilan secara damai dengan pihak Debitur dikarenakan Kreditur (Bank) dalam hal ini tidak ingin memperpanjang permasalahan hingga ke pengadilan guna menghindari proses hukum yang berbelit-belit yang memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit.


(4)

ABSTRACT

The writer of this thesis used the judicial normative approach in searching the available data and information. The method is analytic descriptive which systematically explained the leasing agreement of a house which is guaranteed by the Bank. The theory used in this study was the theory theory of law as a tool of Social Engineering ofkoscoe Pound who followed the Sociological Jurisprudence.

Along with the economic growth and the people's needs, the Creditor (the Bank) has given the permission to the Debtor to rent the mortgage to the third party with the written approval of the creditor (the Bank) since the Debtor is credited by the Creditor (the Bank). Credit agreement between the Creditor and the Debtor should be made before the leasing agreement between them exists. These two agreements are made separately before the notary. The third party should know and understand all he consequences which probably exist in the future since the object he is renting is still a mortgage guaranteed by the Creditor (the Bank) that only gives one year grace period to lease.

The third patry can stay in the leasing object until the leasing time ends up when the Debtor defaults, due to the leasing time which is given by the Creditor (the Bank) is only one year period in order to lessen the possibility of dispute between the Creditor (the Bank) and the Debtor which eventually will harm the third party. The Debtor defaults because he fails to pay off the debt in time as it is stated in the leasing agreement. The dispute between the Creditor (the Bank) and the Debtor can be settled through legal means or outside the courts. The Creditor (the Bank) usually tends to settle the dispute outside the courts because the Creditor (the Bank) wants to streamline the case without wasting a lot of time and a lot of money.


(5)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dan Shalawat salam kepada Nabi Muhammad SAW atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis “Aspek Yuridis Dari Perjanjian Sewa Menyewa Rumah Yang Objeknya Dijaminankan Di Bank” dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Kenotariatan (MKn) pada sekolah Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, arahan, masukan, bantuan dan dorongan semangat dari berbagai pihak, tesis ini tidak dapat diselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya dengan tulus ikhlas kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), selaku rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Runtung, SH, MHum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan sekaligus Ketua Komisi Pembimbing, yang selama ini mengajar sejak awal pendidikan hingga telah berkenan meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, perhatian serta mengarahkan dengan kesabaran dan ketelatenan yang luar biasa kepada penulis dalam menyusun hingga selesainya tesis ini;

4. Bapak Notaris Syafnil Gani, SH, MHum, selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan perhatian, pengarahan, masukan dan dorongan kepada penulis dalam menyusun dan menyelesaikan tesis ini;


(6)

5. Ibu Chairani Bustami, SH, SpN, MKn, selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang telah banyak membantu dengan memberikan arahan, bimbingan, saran dan masukan demi perbaikan tesis ini.

6. Bapak Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn, selaku Dosen Penguji tesis ini yang telah memberikan saran dan masukan demi perbaikan tesis ini;

7. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan sekaligus juga selaku Dosen Penguji tesis ini yang telah memberikan masukan demi perbaikan dan selesainya tesis ini.

8. Bapak-bapak dan ibu-ibu para pengajar serta staf pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan pengajaran dan bantuan selama saya menuntut ilmu di Program Studi Magister Kenotariatan,Universitas Sumatera Utara.

9. Seluruh teman-teman mahasiswa, khususnya Kelas Reguler Grup A terutama Amelia Amanda Putri Damanik, SH, Dina Aditya Ritonga, SH, MKn, Jujur Halasan Bakara, SH, MKn, Dame Silitonga, SH, MKn, Leni Marlina SH, MKn, Veronica Tampubolon, SH, MKn, Maria Barus, SH, MKn, Rizki Febrihadiyatie, SH, MKn, Masita Orbani Nst, SH, MKn atas kebersamaan dalam suka duka selama masa kuliah dan saling memberikan dukungan serta semangat. Mohon maaf kepada teman-teman yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu di sini.

10. Sahabatku tersayang Puteri Malahayati, S. Sos, Sabrina Anggreini, SE, Amighia Munir, S. Sos, Emma Andayani, Amd, Mahalia Irena, Maysitha Simanjuntak, S. Sos dan Inggrid Kesuma Dewi, SH, MKn yang tidak pernah putus untuk terus memberikan dukungan dan semangat kepada penulis selama ini.

11. Untuk yang tersayang Andikha Ramayantra, SE, yang telah memberi semangat, perhatian serta dukungan kepada penulis hingga akhirnya bisa menyelesaikan tesis ini.


(7)

Tidak lupa pula penulis haturkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua, T. Syahrial Yacoeb dan Lyzaria Pane yang dengan segala do’a dan dukungan moril hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara dan kepada adikku tersayang Devie Arina Zaya dan seluruh keluarga besar penulis di Sei Putih yang terus memberi dukungan dan semangat kepada penulis.

Seiring rasa hormat dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Pamanda Firmandez, SE, Ak yang telah memberi motivasi baik moril dan materiil kepada penulis hingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan hingga jenjang Magister

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua.

Wassalam,

Medan, Desember 2010

Penulis


(8)

RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

Nama : Kelvina Sefialora

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 9 September 1981

Status : Belum menikah

Agama : Islam

Alamat : Komp. Taman Setia Budi Indah II Blok IV No. 58, Medan

II. Pendidikan

1. SD Yaspendhar I, Medan

2. SMP Yaspendhar I, Medan

3. SMA Bhayangkari I, Medan

4. Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara (S-1)

5. Sekolah Pascasarjana, Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara (S-2)


(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... ... i

ABSTRACT ... ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 14

C. Tujuan Penelitian ... 14

D. Manfaat Penelitian ... 15

1. Manfaat Teoritis ... 15

2. Manfaat Praktis ... 15

E. Keaslian Penelitian ... 15

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 17

1. Kerangka Teori ... 17

2. Konsepsi ... 21


(10)

1. Jenis Penelitian ... 24

2. Metode Pendekatan ... 25

3. Sumber Data ... 25

4. Teknik Pengumpulan Data ... 26

5. Analisis Data ... 26

BAB II SEWA MENYEWA RUMAH YANG OBJEK SEWANYA DIIKAT SEBAGAI JAMINAN DI BANK ... 27

A. Hakikat Dalam Perjanjian Sewa Menyewa ... 27

1. Perjanjian Sewa Menyewa ... 29

2. Objek Sewa Menyewa ... 37

3. Bentuk Perjanjian Sewa Menyewa yang Dibuat ... 43

B. Ketentuan Kredit di Bank ... 46

1. Perjanjian Kredit Bank ... 48

2. Pengikatan Kredit Bank dengan Objek Jaminan ... 59

3. Persetujuan Penyewaan Jaminan Kredit ... 66

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL JIKA DEBITUR WANPRESTASI TERHADAP KREDITUR (BANK) ... 70


(11)

A. Kedudukan Para Pihak ... 70

1. Kewajiban Pihak yang Menyewakan ... 70

2. Kewajiban Penyewa ... 72

3. Resiko dalam Sewa Menyewa ... 76

4. Gangguan dari Pihak Ketiga ... 78

B. Wanprestasi Dalam Perjanjian ... 79

1. Hal yang Tidak Memutus Sewa Menyewa ... 82

BAB IV UPAYA PENYELESAIAN DARI AKIBAT WANPRESTASI DEBITUR TERHADAP KREDITUR (BANK) ... 85

A. Tanggung Jawab Para Pihak Jika Terjadi Wanprestasi ... 85

B. Penyelesaian Perselisihan Apabila Terjadi Wanprestasi Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa ... 94

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 103

A. Kesimpulan ... 103

B. Saran ... 104


(12)

ABSTRAK

Penulisan tesis ini menggunakan metode pendekatan secara yuridis normatif dengan cara mencari data atau informasi yang telah ada dan bersifat deskriftif analisis yang menjelaskan secara sistematis mengenai perjanjian sewa menyewa rumah yang objeknya dijaminkan di Bank. Teori yang digunakan dalam penulisan ini adalah berdasarkan Teori Perkembangan Hukum (Law as a tool of Social Engineering) dari ajaran Roscoe Pound yang beraliran Sociological Jurisprudence.

Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang meningkat dan kebutuhan masyarakat yang semakin banyak. Kreditur (Bank) dalam hal ini memberikan kemudahan dengan memberikan izin kepada Debitur untuk dapat menyewakan objek jaminan kreditnya kepada pihak ketiga dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Kreditur (Bank). Kreditur (Bank) memberikan izin kepada Debitur dikarenakan sudah mempunyai kredibilitas yang dapat dipercaya oleh pihak Kreditur (Bank).

Perjanjian kredit antara Bank (Kreditur) dengan Debitur dibuat terlebih dahulu baru setelah itu dilakukan perjanjian sewa menyewa dengan pihak ketiga. Perjanjian kredit ini dengan perjanjian sewa menyewa dibuat secara terpisah yang dibuat di hadapan Notaris. Pihak ketiga dalam hal ini telah mengetahui dan memahami segala konsekwensi yang timbul di kemudian hari sehubungan dengan perjanjian sewa menyewa yang objek sewanya masih terikat sebagai jaminan kredit di Bank. Kreditur (Bank) memberikan waktu 1 (satu) tahun untuk sewa menyewa.

Pihak ketiga dapat menempati objek sewa hingga masa sewa berakhir jika Debitur wanprestasi karena itu masa sewa yang diberikan Kreditur (Bank) hanya 1 tahun untuk memperkecil kemungkinan terjadinya suatu perselisihan antara Kreditur (Bank) dengan Debitur yang dapat menimbulkan dampak kerugian kepada pihak ketiga di kemudian hari nanti. Wanprestasi yang dilakukan Debitur karena telah lalai memenuhi angsuran kreditnya sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati dengan pihak Kreditur (Bank).

Perselisihan yang terjadi antara Kreditur (Bank) dengan Debitur dapat ditempuh melalui jalur pengadilan maupun di luar pengadilan. Kreditur (Bank) lebih memilih penyelesaian melalui jalur di luar pengadilan secara damai dengan pihak Debitur dikarenakan Kreditur (Bank) dalam hal ini tidak ingin memperpanjang permasalahan hingga ke pengadilan guna menghindari proses hukum yang berbelit-belit yang memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit.


(13)

ABSTRACT

The writer of this thesis used the judicial normative approach in searching the available data and information. The method is analytic descriptive which systematically explained the leasing agreement of a house which is guaranteed by the Bank. The theory used in this study was the theory theory of law as a tool of Social Engineering ofkoscoe Pound who followed the Sociological Jurisprudence.

Along with the economic growth and the people's needs, the Creditor (the Bank) has given the permission to the Debtor to rent the mortgage to the third party with the written approval of the creditor (the Bank) since the Debtor is credited by the Creditor (the Bank). Credit agreement between the Creditor and the Debtor should be made before the leasing agreement between them exists. These two agreements are made separately before the notary. The third party should know and understand all he consequences which probably exist in the future since the object he is renting is still a mortgage guaranteed by the Creditor (the Bank) that only gives one year grace period to lease.

The third patry can stay in the leasing object until the leasing time ends up when the Debtor defaults, due to the leasing time which is given by the Creditor (the Bank) is only one year period in order to lessen the possibility of dispute between the Creditor (the Bank) and the Debtor which eventually will harm the third party. The Debtor defaults because he fails to pay off the debt in time as it is stated in the leasing agreement. The dispute between the Creditor (the Bank) and the Debtor can be settled through legal means or outside the courts. The Creditor (the Bank) usually tends to settle the dispute outside the courts because the Creditor (the Bank) wants to streamline the case without wasting a lot of time and a lot of money.


(14)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Dalam mencapai kebutuhan hidupnya, manusia memerlukan kerjasama1,

sehingga antara manusia yang satu dengan yang lainnya saling membutuhkan. Mereka saling melibatkan diri untuk membuat suatu perikatan yang dibutuhkannya.

Suatu perjanjian berawal dari suatu perbedaan atau ketidaksamaan kepentingan diantara para pihak. Perumusan hubungan perjanjian tersebut pada umumnya senantiasa diawali dengan proses negosiasi diantara para pihak. Melalui negosiasi para pihak berupaya menciptakan bentuk-bentuk kesepakatan untuk saling mempertemukan sesuatu yang diinginkan (kepentingan) melalui proses tawar menawar.2

Secara yuridis, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.3

Akibat peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian ini menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perikatan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.       

1 

C. S. T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1989), Hal. 246.

2

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Azas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, (Yogyakarta : Laksbang Mediatama, 2008), Hal 1.

3

Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, (Bandung : Mandar Maju, 2000), Hal. 4.


(15)

Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Memang perikatan itu paling banyak lahir dari perjanjian, tetapi ada juga perikatan yang lahir dari Undang-Undang.4 Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan

dapat kita temui landasannya pada ketentuan Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa : Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian baik karena Undang-Undang. Ketentuan tersebut dipertegas lagi dengan rumusan ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa : Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.

Perikatan adalah suatu hubungan hukum, yang artinya hubungan yang diatur dan diakui oleh hukum. Hubungan hukum ini perlu dibedakan dengan hubungan-hubungan yang terjadi dalam pergaulan hidup berdasarkan kesopanan, kepatutan dan kesusilaan. Pengingkaran terhadap hubungan-hubungan semacam itu, tidak akan menimbulkan akibat hukum. Jadi hubungan yang berada di luar lingkungan hukum bukan merupakan perikatan.5

Perikatan melahirkan hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian. Dengan membuat perjanjian, pihak yang mengadakan perjanjian secara sukarela mengikatkan diri untuk menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu guna kepentingan dan keuntungan dari pihak terhadap siapa ia telah berjanji atau       

4

R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa, 1979), Hal. 1.

5


(16)

mengikatkan diri. Dengan sifat sukarela, perjanjian harus lahir dari kehendak dan harus dilaksanakan sesuai dengan maksud dari pihak yang membuat perjanjian.6

Suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai sebagai perjanjian yang sah apabila telah memenuhi syarat-syarat yang di dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.7 Sepakat mereka yang mengikatkan diri adalah asas esensial dari

hukum perjanjian. Asas ini dinamakan juga asas otonomi “konsensualisme”, yang menentukan “ada” nya (raison d’etre, het bestaanwaarde) perjanjian. Asas konsensualisme yang terdapat di dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengandung arti “kemauan” (will) para pihak untuk saling berpartisipasi, ada kemauan untuk saling mengikatkan diri. Asas konsensualisme ini mempunyai hubungan yang erat dengan asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid) dan asas kekuatan mengikat yang terdapat di dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid) berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan “apa” dan dengan “siapa” perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang diperbuat sesuai dengan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini mempunyai kekuatan hukum mengikat.8

Setiap perjanjian yang melahirkan suatu perikatan diantara kedua belah pihak adalah mengikat bagi kedua belah pihak yang membuat perjanjian, hal ini berdasarkan atas ketentuan hukum yang berlaku di dalam Pasal 1338 Kitab Undang-      

6

Kartini Muljadi Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), Hal. 1.

7

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992), Hal. 82.

8

Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001), Hal. 83.


(17)

Undang Hukum Perdata yang berbunyi : Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-Undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menunjukkan kekuatan kedudukan kreditur dan sebagai konsekuensinya perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali secara sepihak. Namun kedudukan ini diimbangi dengan Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Hal ini memberi perlindungan pada debitur dan kedudukan antara kreditur dan debitur menjadi seimbang. Ini merupakan realisasi dari asas keseimbangan.9

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenal berbagai perjanjian10 contoh

dari perjanjian yang sering ditemui dalam kegiatan sehari-hari antara lain seperti : jual-beli; sewa-menyewa; tukar menukar; pinjam meminjam; dan lain-lain.

Sewa menyewa adalah merupakan perjanjian timbal balik yang bagi masing-masing pihak menimbulkan perikatan terhadap yang lain. Perjanjian timbal balik seringkali juga disebut perjanjian bilateral atau perjanjian dua pihak. Perjanjian       

9

Ibid, Hal. 82.

10

Ada 14 jenis perjanjian antara lain : a. Perjanjian timbal balik; b. Perjanjian Cuma-Cuma; c. Perjanjian atas beban; d. Perjanjian bernama; f. Perjanjian obligatoir; g. Perjanjian Kebendaan; h. Perjanjian Konsensual; i. Perjanjian riil; j. Perjanjian Liberatori; k. Perjanjian Pembuktian; m. Perjanjian Untung-Untungan; n. Perjanjian Publik; o. Perjanjian Campuran. Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Ibid, Hal. 66.


(18)

timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban-kewajiban kepada kedua belah pihak, dan hak serta kewajiban itu mempunyai hubungan satu dengan lainnya. Yang dimaksud dengan mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lain adalah bahwa bilamana dalam perikatan yang muncul dari perjanjian tersebut, yang satu mempunyai hak, maka pihak yang lain disana berkedudukan sebagai pihak yang memikul kewajiban.11 Sehingga dalam hal ini terjadi adanya keseimbangan antara

pihak penyewa dan yang menyewakan. Kedudukan pihak penyewa dan yang menyewakan diperkuat dengan adanya dasar hukum yang terdapat di dalam Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Menurut Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi : Sewa menyewa adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari suatu barang selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya. Dari definisi tersebut, maka dapat ditelaah bahwa :

a) Perjanjian sewa menyewa merupakan suatu persetujuan timbal balik antara pihak yang menyewa dengan pihak penyewa, di mana pihak yang menyewakan menyerahkan sesuatu kepada penyewa yang berkewajiban membayar sejumlah harga sewa.

      

11

J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1995), Hal. 43.


(19)

b) Pihak yang menyewakan menyerahkan sesuatu barang kepada si penyewa untuk sepenuhnya dinikmati atau dipakai dan bukan dimiliki.

c) Penikmatan berlangsung untuk suatu jangka waktu tertentu dengan pembayaran sejumlah harga yang tertentu pula.

Perjanjian sewa menyewa menimbulkan suatu perikatan yang bersumber pada perjanjian. Perjanjian ini diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Tentang Perikatan.12

Meskipun demikian, peraturan tentang sewa menyewa yang termuat dalam bab ke tujuh dari Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku untuk segala macam sewa menyewa mengenai semua jenis barang baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang memakai waktu tertentu maupun yang tidak memakai waktu tertentu, oleh karena “waktu tertentu” bukan syarat mutlak untuk perjanjian sewa menyewa.13

Untuk sewa menyewa terhadap benda tidak bergerak seperti rumah, dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 Tentang Penghuni Rumah Oleh Bukan Pemilik, khusus mengenai Perjanjian Sewa Menyewa Rumah haruslah diperbuat dengan suatu batas waktu tertentu dan segala bentuk perjanjian sewa menyewa rumah yang telah diperbuat tanpa batas waktu adalah batal demi hukum.14

      

12

R. Setiawan, Op.Cit, Hal. 3.

13

R. Subekti, Aneka Perjanjian Buku II, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995), Hal. 41.

14

Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, (Bandung : Alumni, 2006), Hal. 185.


(20)

Di dalam sewa menyewa, si pemilik objek hanya menyerahkan hak pemakaian dan pemungutan hasil dari benda tersebut, sedangkan hak milik atas benda tersebut tetap berada di tangan yang menyewakan sebaliknya pihak penyewa wajib memberikan uang sewa kepada pemilik benda tersebut.15

Hubungan hukum yang ada diantara pihak penyewa dengan pihak yang menyewakan telah timbul sejak adanya kesepakatan yang dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis secara notariil ataupun di bawah tangan yang disebut dengan Perjanjian Sewa Menyewa.

Berdasarkan keterangan di atas, maka sewa menyewa rumah adalah keadaan dimana rumah dihuni oleh bukan pemilik berdasarkan perjanjian sewa menyewa.16

Pengertian dari Perjanjian Sewa Menyewa itu sendiri adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga oleh pihak tertentu yang disanggupi pembayarannya.17

Perjanjian sewa menyewa ini seperti juga perjanjian-perjanjian lainnya merupakan suatu perjanjian konsensuil yaitu bahwa perjanjian itu sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya kesepakatan. Mengenai unsur-unsur pokoknya, yaitu barang dan harga.18 Akan tetapi walaupun merupakan perjanjian konsensuil oleh

      

15

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, (Bandung : Sumur Bandung, 1981), Hal. 49.

16

Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1994, Penghunian Rumah Oleh Bukan Pemilik, (Bandung : Pradnya Paramitha, 2000), Hal. 12.

17

R. Subekti, Op. Cit, Hal. 39.

18


(21)

Undang-Undang diadakan perbedaan terutama berdasarkan akibat-akibat yang timbul antara sewa tertulis dan sewa lisan. Jika sewa menyewa itu diadakan secara tertulis, sewa akan berakhir demi hukum apabila waktu yang ditentukan sudah habis tanpa memerlukan suatu pemberitahuan pemberhentiannya. Sebaliknya jika sewa menyewa itu dibuat hanya secara lisan, sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan melainkan jika pihak yang menyewakan memberitahukan kepada si penyewa bahwa hendak menghentikan sewanya. Akan tetapi, pemberhentian ini harus dilakukan dengan memperhatikan jangka waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat. Di dalam penulisan ini perjanjian sewa menyewa dilakukan tertulis secara notariil.

Kalau suatu benda disewakan, maka terjadi perubahan pada hak pemilik karena sekarang hak kebendaan pemilik dibatasi oleh perjanjian obligatoir yang ditutup olehnya.19 Bahkan kebendaan yang mempunyai nilai ekonomis dapat

dijadikan sebagai jaminan suatu perikatan atau utang tertentu dari seorang debitur terhadap krediturnya Dari ketentuan Pasal 499 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, jelas bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenal benda (zaken) yang dapat menjadi objek hak milik berupa benda berwujud atau bertubuh dan benda tidak berwujud atau bertubuh.20

      

19

J. Satrio, Op. Cit, Hal. 17.

20

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok


(22)

Barang tidak bergerak dapat berupa tanah dan benda-benda yang berkaitan (melekat) dengan tanah seperti rumah tinggal, gedung kantor, gudang, hotel, dan sebagainya.21

Terhadap setiap objek jaminan kredit yang diserahkan debitur dan disetujui Bank, harus segera diikat sebagai jaminan utang.22 Objek jaminan berupa tanah dan

rumah haruslah diikat dengan hak tanggungan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di dalam suatu Bank dimana pengajuan kredit itu dilakukan.

Ketentuan tentang objek jaminan yang dibebankan dengan hak jaminan diatur di dalam Undang-Undang berdasarkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 yang mengatur tentang Lembaga Jaminan yang disebut Hak Tanggungan. Lembaga Jaminan Hak Tanggungan digunakan untuk mengikat objek jaminan utang yang berupa tanah atau benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang bersangkutan.23

Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 Undang-Undang Pokok Agraria, bahwa hak-hak atas tanah yang dapat dibebankan dengan hak tanggungan yaitu hak milik.24

Dalam hal ini objek jaminan kredit Bank diikat dengan pemasangan hak tanggungan, karena peminjaman kredit Bank diatas Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) keatas dipasang dengan hak tanggungan sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada Bank.

      

21

M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), Hal. 108.

22

Ibid, Hal. 132.

23

Ibid, Hal. 22.

24


(23)

Hak tanggungan sebagai lembaga hak jaminan atas tanah yang menggantikan

Hypoteek dan Creditverband. Oleh karena itu, dengan mulai berlakunya

Undang-Undang Hak Tanggungan pada 9 April 1996, hak tanggungan merupakan satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah dalam Hukum Tanah nasional yang tertulis.25

Dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a Undang-Undang Hak Tanggungan dinyatakan: Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji, antara lain yang membatasi kewenangan pemberi hak tanggungan untuk menyewakan objek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewa di muka, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang hak tanggungan.

Pasal 12 ayat (2) huruf a Undang-Undang Hak Tanggungan ini memuat janji sewa, yaitu membatasi kewenangan pemberi hak tanggungan untuk :

a) Menyewakan objek hak tanggungan, dan/atau; b) Menentukan jangka waktu sewa, dan/atau; c) Mengubah jangka waktu sewa, dan/atau; d) Menerima uang muka sewa.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a Undang-Undang Hak Tanggungan, pemberi hak tanggungan tidak kehilangan wewenang untuk mengambil tindakan kepengurusan dan kepemilikan terhadap benda yang telah dijaminkan dengan hak tanggungan.

      

25


(24)

Dengan adanya janji sewa tersebut, maka pemberi hak tanggungan dibatasi kewenangan. Namun demikian, ditentukan dalam klausul terakhir dari ketentuan dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a Undang-Undang Hak Tanggungan, yang kemudian dipertegas dalam penjelasannya : Pemberi hak tanggungan masih diperbolehkan melaksanakan kewenangan yang dibatasi dimaksud sepanjang untuk itu telah diperoleh persetujuan tertulis dari pemegang hak tanggungan. Jadi, pemberi hak tanggungan masih dapat melaksanakan kewenangan untuk menyewakan objek hak tanggungan, sepanjang kewenangan menyewakan objek hak tanggungan tersebut telah disetujui pemegang hak tanggungan.26

Hak tanggungan memberikan perlindungan dan kedudukan istimewa kepada kreditur tertentu, tidak hanya itu hak tanggungan memberikan perlindungan kepada debitur serta pemberi hak tanggungan dan pihak ketiga. Perjanjian hak tanggungan bukan merupakan perjanjian yang tidak berdiri sendiri. Keberadaannya adalah karena adanya perjanjian lain yang disebut perjanjian induk. Perjanjian induk bagi hak tanggungan adalah perjanjian utang piutang yang menimbulkan utang yang dijamin. Dengan kata lain, perjanjian hak tanggungan adalah suatu perjanjian accessoir. Dalam butir 8 penjelasan umum Undang-Undang Hak Tanggungan itu disebutkan : Oleh karena hak tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutan atau

accessoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian utang

      

26


(25)

piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya.27

Mengenai sifat perjanjian jaminan lazimnya dikonstruksikan sebagai perjanjian yang bersifat accessoir yaitu senantiasa merupakan perjanjian yang dikaitkan dengan perjanjian pokok, mengabdi pada perjanjian pokok.28 Hak

tanggungan dapat beralih atau dipindahkan seiring dengan beralih atau dipindahkan piutang yang dijamin dengan hak tanggungan tersebut. Apabila perikatan pokoknya hapus, maka perikatannya juga hapus. Perikatan jaminan baru lahir atau mempunyai daya kerja kalau perikatan pokoknya sudah lahir.29

Dalam praktek perbankan perjanjian pokoknya itu berupa perjanjian pemberian kredit atau perjanjian membuka kredit oleh Bank, dengan kesanggupan memberikan jaminan. Kemudian diikuti perjanjian penjaminan secara tersendiri yang merupakan tambahan (accessoir) yang dikaitkan dengan perjanjian pokok tersebut. Dalam praktek perbankan nampak bahwa perjanjian pemberian kredit (perjanjian pokok) dan perjanjian penjaminan (perjanjian

accessoir) itu tercantum dalam formulir (model) atau akte yang terpisah.30

Dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Perbankan ditentukan bahwa “Bank tidak akan memberikan kredit tanpa adanya jaminan”. Jaminan kebendaan mempunyai ciri-ciri kebendaan dalam arti memberikan hak

      

27

ST. Remy Sjahdeni, Hak Tanggungan, (Bandung : Alumni, 1999), Hal. 28.

28

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum

Jaminan dan Jaminan Perorangan, (Yogyakarta : Liberty Offset, 2003), Hal. 37.

29

Rachmadi Usman, Op. Cit, Hal. 335.

30


(26)

mendahului di atas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat dan mengikuti benda yang bersangkutan.

Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan:

“Jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda, yang mempunyai ciri-ciri mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya dan dapat dialihkan”.31

Dengan kata lain jaminan di sini berfungsi sebagai sarana atau menjamin pemenuhan pinjaman atau utang debitur seandainya wanprestasi sebelum sampai jatuh tempo pinjaman atau utangnya berakhir.32

Adapun sifat dari hak-hak jaminan itu dalam praktek perbankan bersifat hak kebendaan. Hak kebendaan memberikan kekuasaan yang langsung terhadap bendanya.33

Banyak hal mengenai jaminan kredit yang dapat dikaitkan dengan ketentuan hukum jaminan. Salah satu contoh adalah tentang penerapan ketentuan Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur tentang kedudukan harta seseorang yang berutang untuk menjamin utangnya.34

Hak jaminan memberikan suatu kedudukan yang lebih baik kepada kreditur yang memperjanjikannya. Lebih baik disini diukur dari kreditur-kreditur yang tidak memperjanjikan hak jaminan khusus, yaitu kreditur konkuren, yang pada asasnya       

31

H. Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), Hal. 23.

32

Rachmadi Usman, Op. Cit, Hal. 69.

33

Sri Soedewi Masjchoen, Op. Cit, Hal. 38.

34


(27)

berkedudukan sama tinggi, sehingga mereka harus bersaing satu sama lain untuk mendapatkan pelunasan atas hasil eksekusi harta debitur. Disamping itu, hak jaminan kebendaan juga memberikan kemudahan kepada kreditur yang bersangkutan untuk mengambil pelunasan, karena kepada kreditur diberikan hak parate eksekusi.35

Pada saat sekarang ini dimana masyarakat yang ada di perkotaan semakin dinamis dan kebutuhan yang sangat tinggi yang dialami masyarakat pada umumnya maka dalam hal ini ada dari beberapa kreditur (Bank) yang memperbolehkan penyewaan objek jaminan kredit Bank yang mana dulu hal ini tidak diperbolehkan oleh kreditur (Bank). Ada terjadi perubahan sistem disini yang terjadi pada kreditur (Bank) kepada debitur. Maka penulis tertarik untuk membuat penelitian tentang

“Aspek Yuridis Dari Perjanjian Sewa Menyewa Rumah Yang Objeknya Dijaminkan Di Bank”.

B. Perumusan Masalah

Permasalahan yang akan dibahas di dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut :

1. Apakah sewa menyewa rumah dapat dilakukan jika objek sewa dijaminkan ke Bank?

2. Bagaimana akibat hukum yang akan timbul terhadap penyewa rumah dalam masa sewa jika debitur wanprestasi terhadap kreditur (Bank)?

3. Bagaimana upaya penyelesaian dari akibat wanprestasi debitur terhadap kreditur (Bank)?

      

35


(28)

C. Tujuan Penelitian

Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini maka dapat dikemukakan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dapat atau tidaknya dilakukan suatu sewa menyewa apabila objek sewa dijaminkan ke Bank.

2. Untuk mengetahui akibat yang akan timbul terhadap penyewa jika debitur wanprestasi.

3. Untuk mengetahui upaya-upaya apa saja yang dapat dilakukan jika terjadi wanprestasi pada debitur terhadap kreditur (Bank).

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum dalam bidang hukum perjanjian dan hukum jaminan khususnya mengenai perjanjian sewa menyewa yang objek sewanya dijaminkan kepada Bank.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan atau informasi bagi para pihak yaitu pihak yang menyewakan dan penyewa yang melakukan perjanjian sewa menyewa rumah yang objeknya dijaminkan kepada Bank dan juga bagi kalangan perbankan yang melakukan pengikatan jaminan kebendaan kredit dengan pemilik rumah.


(29)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran pada kepustakaan, khususnya di lingkungan Perpustakaan Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara sepanjang yang diketahui dari hasil-hasil penelitian yang sudah ada maka belum ada penelitian yang menyangkut masalah “Aspek Yuridis Dari Perjanjian Sewa Menyewa

Rumah Yang Objeknya Dijaminkan di Bank”. Adapun penelitian yang berkaitan

dengan perjanjian sewa menyewa yang pernah dilakukan adalah : 1. Nama : Adelina Lestari Ginting

Nim : 057011002

Judul Tesis : Perjanjian Sewa Menyewa Kios Sebagai Jaminan Kredit Permasalahan :

1. Bagaimana eksistensi hukum perjanjian sewa menyewa kios sebagai objek jaminan kredit?

2. Bagaimana prinsip pengikatan perjanjian sewa menyewa kios sebagai jaminan kredit?

3. Bagaimana akibat hukum terhadap penerimaan perjanjian sewa menyewa kios sebagai jaminan yang tidak didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia?

2. Nama : Rika Fitri Nim : 087011101

Judul Tesis : Tinjauan Yuridis Terhadap Akta Sewa Menyewa Rumah Yang Dibuat Oleh Notaris


(30)

Permasalahan :

1. Bagaimanakah pengaturan klausal akta sewa menyewa yang dibuat Notaris?

2. Bagaimanakah kewajiban pemilik rumah untuk menjamin bahwa hak-hak penyewa itu ada?

3. Bagaimanakah ketentuan asuransi yang dibuat di dalam akta sewa menyewa rumah yang dibuat oleh Notaris?

Dengan demikian penelitian ini adalah asli dan secara akademis dapat dipertanggungjawabkan. Meskipun ada peneliti terdahulu yang pernah melakukan penelitian mengenai masalah perjanjian sewa menyewa, namun secara substansi pokok permasalahan yang dibahas berbeda dengan penelitian ini.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori yang digunakan dalam menganalisa objek penelitian adalah perubahan masyarakat harus diikuti oleh perubahan hukum.36 Dalam kehidupan bermasyarakat

kebutuhan akan hukum sangat diperlukan untuk menjaga agar terjaganya kehidupan masyarakat yang tertib dan aman. Oleh karena itu untuk menjaga perubahan masyarakat di bidang hukum tetap teratur harus diikuti dengan pembentukan norma-norma sehingga dapat berlangsung secara tertib dan harmonis.

      

36


(31)

Teori merupakan keseluruhan pernyataan yang saling berhubungan yang dikemukakan untuk menjelaskan tentang adanya sesuatu.37 Fungsi teori adalah untuk

menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.38

Dalam hal penulisan tesis ini memakai teori perkembangan hukum karena saat sekarang ini yang semakin berkembang dan kebutuhan hidup manusia yang semakin tinggi sehingga terjadi perubahan-perubahan peraturan yang ada di dalam masyarakat.

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, pengembangan Ilmu Hukum yang bercirikan Indonesia tidak saja dilakukan dengan mengoper begitu saja ilmu-ilmu hukum yang berasal dari luar dan yang dianggap modern, tetapi juga tidak secara membabi buta mempertahankan yang asli. Keduanya harus berjalan secara selaras. Selanjutnya dengan mengilhami dari teori Law as a Tool of Social Engineering dari ajaran Roscoe Pound yang beraliran Sociological Jurisprudence Mochtar Kusumaatmadja menghasilkan teori hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat.39

Namun dalam perkembangannya pada masa sekarang ini objek yang menjadi jaminan kredit dapat disewakan kepada pihak ketiga jika dengan persetujuan dari pihak kreditur (Bank). Ada kelonggaran peraturan yang diberikan kepada debitur dari       

37

J. J. H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, dialihbahasakan oleh Arief Sidharta, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999), Hal. 2.

38

J. J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Azas-Azas, editor M. Hisyam, (Jakarta : FE UI, 1996), Hal. 203.

39

Lili Rasyidi dan Bernard Arief Sidharta, Filsafat Hukum : Madzhab dan Refleksinya, (Bandung : Rosdakarya, 1994), Hal. 111.


(32)

pihak kreditur (Bank) karena kebutuhan masyarakat yang semakin tinggi yang membutuhkan dana segar guna kelangsungan usahanya dan keberadaan masyarakat yang semakin dinamis pada saat ini.

Pembangunan yang dilaksanakan tentu saja pembangunan yang memiliki pijakan hukum yang jelas, bisa dipertanggungjawabkan, terarah serta proporsional antara aspek fisik (pertumbuhan) dan non fisik. Apabila diteliti, semua masyarakat yang sedang membangun selalu dicirikan oleh perubahan. Bagaimanapun kita mendefinisikan pembangunan itu dan apapun ukuran yang kita pergunakan bagi masyarakat dalam pembangunan. Peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan suasana damai dan teratur.40

Istilah “pembaharuan hukum” sebenarnya mengandung makna yang luas mencakup sistem hukum.41 Dalam prosesnya, pembangunan ternyata ikut membawa

konsekuensi terjadinya perubahan-perubahan atau pembaharuan pada aspek-aspek sosial lain termasuk di dalamnya pranata hukum. Artinya, perubahan yang dilakukan (dalam bentuk pembangunan) dalam perjalanannya menuntut adanya perubahan-perubahan dalam bentuk hukum. Perubahan hukum ini memiliki arti yang positif

      

40

Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, (Bandung : Bina Cipta, 1986), Hal. 1.

41

Lawrence M. Friedman, American Law, WW Norton & Company, New York, 1930, Pg. 5-6, (Mulhadi : Relevansi Teori Sociological Jurisprudence Dalam Upaya Pembaharuan Hukum di Indonesia, 2005, USU Repository 2006).


(33)

dalam rangka menciptakan hukum baru yang sesuai dengan kondisi pembangunan dan nilai hukum masyarakat.42

Teori Sociological Jurisprudence yang dikemukakan oleh Roscoe Pound, ia mengatakan bahwa hukum sebagai suatu unsur dalam hidup masyarakat harus memajukan kepentingan umum.43 Artinya hukum harus dilahirkan dari konstruksi

hukum masyarakat yang dilegalisasi oleh penguasa. Ia harus berasal dari konkretisasi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Kemajuan pandangan Pound dibandingkan dengan ahli-ahli sebelumnya, ia lebih banyak menekankan arti dan fungsi pembentukan hukum. Dimana hal itu bisa dilihat dari pernyataan di atas yaitu bahwa hukum harus memajukan kepentingan umum. Statement inilah yang dikenal dengan teorinya “Law as a Tool of Social

Engineering” (hukum sebagai alat atau sarana rekayasa atau pembaharuan sosial).44

Di dalam hukum perjanjian terdapat beberapa asas-asas sebagai pendukung dari teori yang telah dipaparkan di atas yaitu :

1. Asas Kebebasan Mengadakan Perjanjian (Asas Kebebasan Berkontrak)

Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia. Di dalam hukum perjanjian nasional, asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab, yang mampu memelihara keseimbangan ini tetap perlu       

42

Abdul Hakim Nusantara dan Nasroen Yasabain, Pembangunan Hukum : Sebuah Orientasi

(Pengantar Editor) Dalam Beberapa Pemikiran Pembangunan Hukum di Indonesia, (Bandung :

Alumni, 1980), Hal. 2.

43

Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta : Kanisius, 2001), hal. 180.

44

Roscoe Pound, An Introduction To the Philosophy of Law, (New Heaven, Yale University Press, 1954), pg. 47, ( Mulhadi : Relevansi Teori Sociological Jurisprudence Dalam Upaya Pembaharuan Hukum di Indonesia, 2005, USU Repository 2006).


(34)

dipertahankan, yaitu “pengembangan kepribadian” untuk mencapai kesejahteraan dan kepribadian hidup lahir dan batin yang serasi, selaras dan seimbang dengan kepentingan masyarakat.

2. Asas Konsensualisme

Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang dirasakan baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.

3. Asas Kekuatan Mengikat

Di dalam suatu perjanjian terkandung suatu asas mengikat. Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral.

4. Asas Keseimbangan

Asas keseimbangan merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat dilihat di sini bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.

5. Asas Kepastian Hukum

Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai Undang-Undang bagi para pihak.45

Jika nantinya di dalam proses kredit debitur mengalami kemacetan kredit maka pihak kreditur disini adalah Bank dapat mengeksekusi objek yang dijaminkan debitur tersebut sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan, yang nantinya ditentukan lebih lanjut oleh Pengadilan.

2. Konsepsi

      

45

Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Hukum


(35)

Kerangka konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum di samping yang lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pemikiran penelitian untuk keperluan analitis.46 Kerangka

konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.47

Konsep merupakan salah satu bagian penting dari sebuah teori. Dalam suatu penelitian konsepsi dapat diartikan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkret, yang disebut definisi operasional (operational

definition). Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan

pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dirumuskan kerangka konsepsi sebagai berikut :

1. Perikatan adalah suatu hubungan hukum, yang artinya hubungan yang diatur dan diakui oleh hukum. Hubungan hukum ini perlu dibedakan dengan hubungan-hubungan yang terjadi dalam pergaulan hidup berdasarkan kesopanan, kepatutan dan kesusilaan. Pengingkaran terhadap hubungan-hubungan semacam itu, tidak akan menimbulkan akibat hukum. Jadi hubungan yang berada di luar lingkungan hukum bukan merupakan perikatan.48

2. Pengertian dari Perjanjian Sewa Menyewa itu sendiri adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada       

46

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1991), Hal. 397.

47

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Raja Grafindo Persada), Hal. 7.

48


(36)

pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga oleh pihak tertentu yang disanggupi pembayarannya.49

3. Perjanjian konsensual, artinya perjanjian itu terjadi (ada) sejak saat tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak. Dengan kata lain perjanjian itu sudah sah dan mempunyai akibat hukum sejak saat tercapai kata sepakat antara pihak-pihak, mengenai pokok perjanjian.50

4. Perjanjian obligator (obligatory), artinya perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum memindahkan hak milik (ownership). Hak milik baru berpindah, apabila diperjanjikan tersendiri yang disebut perjanjian yang bersifat kebendaan (zakenlijke overeenkomst).51

5. Perjanjian timbal balik (bilateral contract) adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Perjanjian timbal balik adalah pekerjaan yang paling umum terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, pemborongan bangunan, tukar menukar.52

6. Arti jaminan menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 diberi “agunan” atau “tanggungan”, sedangkan “jaminan” menurut Undang-Undang       

49

R. Subekti, Loc. Cit, Hal. 39.

50

Abdul Kadir Muhammad, Op. Cit, Hal. 85.

51

Ibid, Hal. 85.

52


(37)

Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, diberi arti lain yaitu “keyakinan atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan-pembiayaan dimaksud sesuai dengan diperjanjikan”.

7. Istilah jaminan merupakan terjemahan dari istilah zekerheid atau cautie, yaitu kemampuan debitur untuk memenuhi atau melunasi perutangannya kepada kreditur, yang dilakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai ekonomis sebagai tanggungan atas pinjaman atau utang yang diterima debitur terhadap krediturnya.53

8. Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepda kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya.54

9. Wanprestasi adalah apabila seorang debitur tidak melakukan prestasi sama sekali atau melakukan prestasi yang keliru atau terlambat melakukan prestasi, maka dalam hal-hal yang demikian inilah yang disebut seorang debitur melakukan wanprestasi.55

      

53

Rachmadi Usman, Op. Cit, Hal. 66.

54

H. Salim HS, Op. Cit, Hal. 95.

55

Qirom S. Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, (Yogyakarta : Liberty, 1985), Hal. 29.


(38)

10.Pembatalan perjanjian pada dasarnya adalah suatu keadaan yang membawa akibat suatu hubungan perikatan itu dianggap tidak pernah ada.56

11.Pemutusan perjanjian pada dasarnya mengakui keabsahan perikatan yang bersangkutan serta mengikatnya kewajiban-kewajiban para pihak, namun karena dalam pelaksanaannya bermasalah sehingga mengakibatkan perikatan tersebut diputus (fase pelaksanaan perjanjian).57

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, artinya bahwa penelitian ini menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara sistematis mengenai perjanjian sewa menyewa rumah yang objeknya menjadi jaminan Bank.

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah metode dengan pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif), yaitu di mana peneliti mencari data atau informasi berdasarkan teori yang sudah ada, yaitu dengan mempelajari buku dan sumber hukum atau data sekunder yang mempunyai kaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini.

3. Sumber Data

      

56

Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisis Kasus, (Jakarta : Kencana, 2004), Hal. 16.

57


(39)

Adapun sumber data dari penelitian ini adalah bahan-bahan hukum yang terdiri dari :

1. Bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang terdiri dari peraturan perUndang-Undangan, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Pemukiman.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu terdiri dari buku-buku, laporan-laporan penelitian dan dokumen yang berkenaan dengan perjanjian sewa menyewa yang objeknya dijaminkan di Bank.

3. Bahan hukum tertier, yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, jurnal ilmiah, majalah dan surat kabar dan internet sebagai tambahan bagi penulis untuk memuat informasi yang berkaitan dengan penulisan ini.

4. Teknik Pengumpulan Data

Data yang diambil dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data yang diperoleh dari lembaga perbankan yaitu Bank sebagi pemberi kredit dan Notaris sebagai Pejabat yang membuat Perjanjian Sewa Menyewa.

Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelusuran (library research) yang berupa literatur untuk mendapatkan


(40)

konsepsi teori, pendapat atau pemikiran konseptual kepustakaan serta dibantu dengan data-data pelengkap yang diperoleh dari lembaga perbankan yaitu Bank dan Notaris.

5. Analisis Data

Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis data kualitatif, yaitu berdasarkan bahan hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan, peraturan perUndang-Undangan dan sumber data-data dokumen yang menjadi penunjang guna kepentingan penulisan penelitian ini. Penelitian ini akan memaparkan sekaligus menganalisis terhadap permasalahan yang ada dengan kalimat yang sistematis untuk memperoleh jawaban serta kesimpulan dari permasalahan dengan menggunakan metode deduktif sehingga diharapkan dapat menjawab permasalahan dari penelitian ini.


(41)

BAB II

SEWA MENYEWA RUMAH YANG OBJEK SEWANYA DIIKAT SEBAGAI JAMINAN DI BANK

A. Hakikat Dalam Perjanjian Sewa Menyewa

Hukum, hak dan kewajiban memiliki hubungan keterkaitan dalam lalu lintas kegiatan ekonomi. Hukum itu memberikan perlindungan pada kepentingan manusia dan membagi hak dan kewajiban. Hak merupakan kenikmatan dan keleluasaan serta kewajiban merupakan beban.

Bahwa di dalam hubungan sewa menyewa yang menyewakan memberi hak pemakaian saja kepada penyewa dan bukan hak milik. Perjanjian sewa menyewa tidak memberikan suatu hak kebendaan, tetapi hanya memberi suatu hak perseorangan, terhadap yang menyewakan ada hak “persoonlijk” terhadap pemilik, akan tetapi hak orang yang menyewakan ini mengenai suatu benda, yaitu suatu barang yang disewakan.58

Dari defenisi Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat dilihat bahwa ada 3 (tiga) unsur yang melekat, yaitu:

1. Barang. 2. Jangka waktu. 3. Pembayaran.

      

58


(42)

Untuk menunjukkan bahwa itu merupakan perjanjian sewa menyewa, maka penyewa yang diserahi barang yang dipakai, diwajibkan membayar harga sewa atau uang sewa kepada pemilik barang.

Pada hakekatnya sewa menyewa tidak dimaksud berlangsung terus menerus, melainkan pada saat tertentu pemakaian dari barang tersebut akan berakhir dan barang akan dikembalikan lagi kepada pemilik semula, mengingat hak milik atas barang tersebut tetap berada dalam tangan pemilik semula.

Walaupun dalam Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dikatakan bahwa sewa menyewa itu berlangsung selama waktu tertentu, yang berarti bahwa dalam perjanjian sewa menyewa harus selalu ditentukan tenggang waktu tertentu, tetapi dalam perjanjian sewa menyewa itu dapat juga tidak ditetapkan suatu jangka waktu tertentu, asal sudah disetujui harga sewa untuk satu jam, satu hari, satu bulan, dan lain-lain. Jadi para pihak bebas untuk menentukan berapa lama waktu tersebut. Dalam praktek pada umumnya perjanjian sewa menyewa ini diadakan untuk jangka waktu tertentu, sebab para pihak menginginkan adanya suatu kepastian hukum.

Dalam perjanjian sewa menyewa selalu terdapat 2 (dua) belah pihak yang selalu mengikatkan diri untuk berprestasi satu sama lain. Pihak inilah yang menjadi subjek sewa menyewa. Subjek sewa menyewa merupakan subjek hukum dimana subjek hukum ini ada 2 (dua) yaitu : orang pribadi dan badan hukum.59

      

59

Hubungan hukum harus terjadi antara dua orang atau lebih. Pihak yang berhak atas prestasi, pihak yang aktif adalah kreditur atau si berpiutang dan pihak yang wajib memenuhi prestasi pihak


(43)

Subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban. Menurut R. Suroso subjek hukum adalah :

“Sesuatu yang menurut hukum berhak/berwenang untuk melakukan perbuatan hukum atau siapa yang mempunyai hak dan cakap bertindak dalam hukum, sesuatu pendukung hak (rechtsbevoedgheid) dan merupakan sesuatu yang menurut hukum mempunyai hak dan kewajiban”.60

Hak dan kewajiban dapat timbul dari adanya suatu perjanjian yang dibuat para pihak ataupun yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan suatu perikatan yang mana perikatan merupakan isi dari suatu perjanjian, jadi perikatan yang telah dilaksanakan para pihak dalam suatu perjanjian memberikan tuntutan pemenuhan hak dan kewajiban terhadap pelaksanaan isi dari perjanjian khususnya perjanjian sewa menyewa ini.

1. Perjanjian Sewa Menyewa

Di dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan definisi mengenai perjanjian sebagai berikut : Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.61

Kata perbuatan pada perumusan tentang persetujuan sebagai yang disebutkan dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata lebih tepat kalau diganti        yang pasif adalah debitur atau si berhutang. Mereka ini yang disebut subjek perikatan, Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perdata Tentang Perikatan, (Medan : Fakultas Hukum USU, 1996), Hal. 3.

60

R. Suroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 1993), Hal. 223.

61


(44)

dengan kata perbuatan hukum/tindakan hukum mengingat bahwa dalam suatu perjanjian, akibat hukum yang muncul memang dikehendaki para pihak.62

Rumusan yang diberikan dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut hendak memperlihatkan bahwa suatu perjanjian adalah :63

1. Suatu perbuatan.

2. Antara sekurangnya 2 (dua) orang.

3. Perbuatan tersebut melahirkan perikatan di antara pihak-pihak yang berjanji tersebut.

Selain yang diberikan oleh Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, beberapa sarjana juga memberikan perumusan mengenai perjanjian :

1. Menurut M. Yahya Harahap

Perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hukum pada satu pihak untuk memperoleh prestasi sekaligus mewajibkan para pihak lain untuk menunaikan prestasi.64

      

62

J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya), Cet. 1, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992), Hal. 7.

63

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Cet. 1, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), Hal. 7.

64


(45)

2. Menurut Wirjono Prodjodikoro

Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak dimana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal.65

3. Menurut Abdul Kadir Muhammad

Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.66

4. Menurut Subekti

Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.67

Perjanjian merupakan sumber yang menimbulkan perikatan. Selain perjanjian, perikatan juga dapat timbul dari Undang-Undang. Suatu perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak yang mengadakan perjanjian.68

Pada umumnya perikatan yang lahir dari perjanjian merupakan yang paling banyak terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari. Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat kita temui landasannya pada ketentuan Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena persetujuan, baik karena Undang-Undang.69

         65

R. Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit, Hal. 9.

66

Abdulkadir Muhammad, Op. Cit, Hal. 78.

67

R. Subekti, Loc. Cit, Hal. 1.

68

Ibid, Hal. 1.

69


(46)

Dari Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat dikatakan bahwa, Pasal itu mengandung suatu pernyataan bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya Undang-Undang. Prinsip yang terkandung dalam ketentuan di atas, jelaslah bahwa suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan dan dapat pula dalam bentuk tulisan. Jika dibuat secara tertulis, hal ini bersifat sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan di kemudian hari.

Pasal 1338 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan : Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-Undang dinyatakan cukup untuk itu. Ada persetujuan-persetujuan dimana untuk setiap salah satu pihak menimbulkan suatu kewajiban yang berkelanjutan, misalnya : sewa menyewa.70

Sementara itu dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan : Semua perjanjian itu harus dilaksanakan dengan itikad baik, dan hakim diberikan kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian, jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan dan keadilan.71

Perjanjian sewa menyewa adalah sebagai salah satu bentuk perjanjian yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan merupakan perjanjian timbal balik yang selalu mengacu kepada asas konsensualitas atau berdasarkan

      

70

R. Setiawan, Op. Cit, Hal. 64.

71


(47)

kesepakatan para pihak dan merupakan salah satu jenis perjanjian yang sering terjadi dalam kehidupan di masyarakat.72

Perjanjian sewa menyewa diatur dalam ketentuan Buku Ketiga Bab Ketujuh Pasal 1548 sampai Pasal 1600 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.73

Perjanjian sewa menyewa pada dasarnya tergolong dalam jenis perjanjian untuk memberikan/menyerahkan sesuatu yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Berdasarkan ketentuan Pasal 1548 Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Perdata, yang dimaksud dengan sewa menyewa adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari suatu barang selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya.74

Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menggunakan istilah sewa menyewa (huur en verhuur). Perkataan tersebut seolah-olah memberikan pengertian yang sama, yang dapat menimbulkan salah pengertian seolah-olah para pihak saling sewa menyewakan antara mereka. Padahal sebenarnya tidak demikian, yang benar-benar terjadi adalah satu pihak menyewakan barang kepada pihak penyewa dan si penyewa membayar sejumlah harga atas barang yang disewakan. Dengan perkataan lain, hanya sepihak saja yang menyewakan dan bukan saling sewa menyewakan       

72

R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perjanjian dan Perikatan, (Jakarta : Pradya Paramita, 1987), Hal. 53.

73

R. Subekti, Loc. Cit, Hal. 1.

74


(48)

antara mereka. Karena itu, yang dimaksud dengan sewa menyewa dalam Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut tiada lain ialah persewaan.

Perjanjian sewa menyewa termasuk dalam perjanjian bernama. Perjanjian ini adalah suatu perjanjian konsensuil, artinya perjanjian ini sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya kesepakatan mengenai unsur-unsur pokoknya, yaitu barang dan harga. Peraturan tentang sewa menyewa ini berlaku untuk segala macam sewa menyewa, mengenai semua jenis barang, baik barang bergerak maupun tidak bergerak, yang memakai waktu tertentu maupun yang tidak memakai waktu tertentu, karena waktu tertentu bukan syarat mutlak untuk perjanjian sewa menyewa.75

Menurut Subekti perjanjian sewa menyewa adalah :

“Suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan suatu benda untuk dipakai selama suatu jangka waktu tertentu sedangkan pihak lainnya menyanggupi akan membayar harga yang telah ditetapkan untuk pemakaian itu pada waktu-waktu yang ditentukan”.76

Adapun pengertian perjanjian sewa menyewa menurut M. Yahya Harahap adalah sebagai berikut :

“Perjanjian sewa menyewa adalah persetujuan antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan atau pemilik

      

75

R. Subekti, Op. Cit, Hal. 1.

76


(49)

menyerahkan barang yang hendak disewa kepada penyewa untuk dinikmati sepenuhnya”.77

Jikalau ditinjau perjanjian sewa menyewa ini adalah merupakan suatu jenis perjanjian yang bebas bentuknya, artinya perjanjian tersebut dapat diperbuat baik secara lisan maupun tertulis tergantung kesepakatan antara pihak penyewa dengan pihak yang menyewakan, akan tetapi segala bentuk perjanjian sewa menyewa khususnya perjanjian sewa menyewa rumah sebaiknya diperbuat secara tertulis dengan tujuan untuk lebih dapat menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.

Terhadap syarat esensial dalam perjanjian sewa menyewa ini, yakni mengenai harga sewa atau sewa haruslah tertentu atau segala sesuatu yang dapat ditentukan dan biasanya harus ditentukan secara tegas perjanjian yaitu dengan penetapan besarnya uang sewa menyewa harus dibayar kepada pihak yang menyewakan. Jangka waktu atau lamanya sewa dapat saja ditentukan secara jelas dalam perjanjian, atau dengan kata lain tidak perlu disebutkan untuk berapa lamakah barang tersebut akan disewa oleh pihak penyewa, tetap telah disetujui oleh kedua belah pihak baik penyewa maupun yang disewakan dalam setiap bulan atau tahunnya.

Jika diperhatikan sewa menyewa ini merupakan suatu bentuk perjanjian yang bersifat perseorangan dari bukan perjanjian yang bersifat hak kebendaan yaitu dengan

      

77


(50)

perjanjian sewa menyewa ini, kepemilikan terhadap rumah sewa tersebut tidaklah beralih kepada penyewa tapi tetap menjadi hak milik dari orang yang menyewakan.78

R. Subekti menyatakan bahwa :

Jika ada suatu perjanjian sewa menyewa rumah yang belum habis masa sewanya. Oleh pemilik rumah atau yang menyewakan melakukan tindakan hukum menjual rumah yang disewakan tersebut, maka pihak penyewa tidak berhak melakukan penuntutan ganti rugi. Namun sebaliknya, bila diperjanjikan secara tegas, maka pihak penyewa dapat melakukan tuntutan hukum ganti rugi kepada pihak penyewa.79

Asas-asas hukum perjanjian sewa menyewa tercantum dalam Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa sewa menyewa merupakan suatu perjanjian dimana terdapat pihak-pihak yang mengikatkan diri yang saling memberi prestasi dan tegen prestasi yaitu pihak yang menyewakan memberikan kenikmatan atas sesuatu barang kepada pihak yang lain selama suatu waktu tertentu dan pihak penyewa memberikan tegen prestasi berupa pembayaran sesuatu harga yang disanggupi dan merupakan kesepakatan antara kedua belah pihak.

Di dalam asas hukum perjanjian sewa menyewa tersebut di atas terdapat unsur-unsur dari sewa menyewa yang antara lain adalah :

a. merupakan suatu perjanjian.

b. terdapat pihak-pihak yang mengikatkan diri.

      

78

Qirom S. Meliala, Op. Cit, Hal. 78.

79


(51)

c. pihak yang satu memberikan kenikmatan atas sesuatu barang kepada pihak yang lain selama suatu waktu tertentu dan pihak yang lain membayar pada sesuatu harga atas kenikmatan yang diperolehnya dari barang tersebut.

Dalam hal penulisan ini perjanjian sewa menyewa dibuat setelah adanya perjanjian jaminan kredit di Bank terlebih dahulu. Di dalam kesepakatan yang dituangkan di dalam perjanjian sewa menyewa di antara debitur dan pihak ketiga dengan ini telah saling setuju dan semufakat. Pihak pertama terlebih dahulu menerangkan dimana objek sewa menyewa berupa bangunan rumah tempat tinggal permanen bertingkat 1 ½ (satu setengah) dan tanah saat ini masih status jaminan kredit di salah satu Bank di kota Medan. Sehingga pihak ketiga telah mengetahui jika rumah tersebut dalam keadaan dijaminkan ke Bank.

2. Objek Sewa Menyewa

Dalam perjanjian sewa menyewa ditemui adanya sesuatu yang menjadi objek. Pada dasarnya apa yang menjadi objek sewa menyewa adalah apa yang merupakan objek hukum. Jadi objek sewa menyewa adalah merupakan objek hukum. Yang dimaksud dengan objek hukum (recht subject) adalah : segala sesuatu yang bermanfaat dan dapat dikuasai oleh subjek hukum serta dapat dijadikan objek dalam suatu hubungan hukum.80

      

80

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta : Liberty, 1999), Hal. 68.


(52)

Demikian pula halnya dengan yang terjadi dalam perjanjian sewa menyewa ini meliputi segala jenis benda baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak asal tidak dilarang oleh Undang-Undang dan ketertiban umum.81

Peraturan tentang sewa menyewa, berlaku untuk segala macam sewa menyewa, mengenai semua jenis barang, baik barang bergerak maupun tidak bergerak yang memakai waktu tertentu maupun yang tidak memakai waktu tertentu, karena perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.82

Menurut Pasal 1549 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa semua jenis barang, baik yang tak bergerak, baik yang bergerak dapat disewakan.

Basrah Lubis mengemukakan bahwa :

Jika benda yang disewa itu musnah sewaktu terjadinya sewa menyewa karena

overmacht maka perikatan sewa menyewa batal demi hukum, dan pihak

penyewa tidak berhak atas ganti rugi, baik benda tersebut secara keseluruhan maupun sebahagian. Apapun pernyataannya batalnya perjanjian itu tidak perlu dimintakan pernyataan dan resiko atas musnahnya objek sewa menyewa secara keseluruhan adalah pihak yang menyewakan (pemilik hak atas benda) serta tidak dapat meminta atau menuntut pembayaran uang sewa kepada pihak penyewa atau dengan tegasnya uang sewa dengan sendirinya gugur, dan sebaliknya pihak penyewa tidak dapat menuntut penggantian barang ataupun ganti rugi dari pihak yang menyewakan (Pasal 1553 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).83

Terhadap setiap objek sewa menyewa yang menjadi jaminan kredit yang diserahkan debitur dan disetujui Bank seharusnya mengikat objek jaminan kredit       

81

Qirom S. Meliala, Op. Cit, Hal. 78.

82

R. Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit, Hal. 4.

83

Basrah Lubis, Sewa Menyewa dan Pembahasan Kasus, (Medan : Diktat Kuliah FH USU , 1993), Hal. 43.


(53)

secara sempurna, yaitu dengan mengikuti ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang mengatur tentang jaminan utang. Pengikatan atau penguasaan jaminan kredit seharusnya dilakukan sebelum diizinkannya debitur menarik dana kredit. Keharusan pengikatan dan penguasaan jaminan kredit merupakan bagian dari persyaratan administratif yang sudah diselesaikan sebelum kredit disalurkan dananya kepada debitur. Sehubungan dengan adanya persyaratan administratif yang ditetapkan dalam peraturan intern Bank, untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan hendaknya bank tidak menyetujui permohonan penarikan kredit yang diajukan debitur sebelum seluruh persyaratan administratif diselesaikan oleh debitur, termasuk mengenai pengikatan dan penguasaan jaminan kreditnya.84

Sebagaimana objek jaminan utang yang lazim digunakan dalam suatu utang piutang, secara umum jaminan kredit perbankan dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu barang bergerak, barang tidak bergerak, dan jaminan perorangan (penanggungan utang). Berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999, barang bergerak terdiri atas yang berwujud dan tidak berwujud.

Oleh karena lembaga jaminan tersebut memiliki tugas melancarkan dan mengamankan pemberian kredit, maka jaminan yang baik (ideal) adalah :85

1. Dapat secara mudah membantu memperoleh kredit itu oleh pihak yang memerlukannya.

2. Tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit untuk melakukan (meneruskan) usahanya.

      

84

M. Bahsan, Op, Cit, Hal. 132.

85 


(54)

3. Memberikan kepastian kepada si pemberi kredit, dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, yaitu bila perlu dapat mudah diuangkan untuk melunasi hutangnya si penerima (pengambil) kredit.

Masing-masing kelompok jaminan kredit tersebut terdiri dari bermacam jenis dan nama yang kadang-kadang sulit untuk dirinci secara tegas. Barang bergerak yang berupa barang berwujud misalnya, adalah sangat banyak jenisnya walaupun masih dapat dibedakan menjadi beberapa sub kelompok, antara lain berupa, barang perhiasan, surat berharga, kendaraan bermotor, perlengkapan rumah tangga, perlengkapan kantor, alat berat, alat transportasi laut dan sungai, alat transportasi udara, barang persediaan, barang dagangan, dan sebagainya.

Barang tidak bergerak dapat berupa tanah dan benda-banda yang berkaitan (melekat) dengan tanah seperti rumah tinggal, gedung kantor, gudang, hotel, dan sebagainya. Barang tidak berwujud dapat berupa tagihan, piutang, dan sejenisnya (tetapi untuk surat yang mempunyai harga mungkin masih perlu penegasan apakah termasuk sebagai barang berwujud atau barang tidak berwujud misalnya saldo tabungan dan saldo giro yang seharusnya dibeakan dari bilyet deposito atau sertifikat deposito).

Sebagian dari objek jaminan kredit sebagaimana yang disebutkan di atas diatur atau berkaitan dengan suatu peraturan perUndang-Undangan yang berlaku. Berdasarkan peraturan perUndang-Undangan yang mengatur atau berkaitan dengan masing-masing barang yang ditetapkan sebagai objek jaminan kredit akan dapat dinilai berbagai hal tentang barang yang bersangkutan.


(55)

Pengaitan dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang mengatur sesuatu objek jaminan kredit adalah untuk memperjelas jenisnya sehingga Bank dapat mempertimbangkannya sesuai dengan kebijakannya tentang jenis-jenis objek jaminan kredit yang dapat diterimanya. Kejelasan jenis objek jaminan kredit antara lain diperlukan pula untuk kemungkinan dilakukannya pengikatan sesuai dengan lembaga jaminan yang berlaku.86

Menurut M. Bahsan praktek perbankan dapat diketahui bahwa tidak semua jenis barang atau bentuk objek jaminan utang dapat diterima Bank dalam rangka kegiatan perkreditannya. Beberapa Bank menetapkan secara tegas jenis objek jaminan kredit yang tidak dapat diterimanya, misalnya yang berupa barang persediaan, tanah yang belum bersertifikat, saham, dan sebagainya.

Kebijakan tersebut ditetapkan Bank berdasarkan alasan-alasan tertentu dengan memerhatikan kepentingannya, antara lain berupa kemudahan pengikatan, kepastian nilai (harga) dari objek jaminan kredit yang bersangkutan, kemudahan pencairan, kemudahan pengawasan dan pemeliharaan, dan sebagainya.

Untuk beberapa Bank tertentu adanya kebijakan mengenai pembatasan jenis objek jaminan kredit yang dapat diterimanya cukup relevan karena akan berpengaruh terhadap peningkatan efisiensi dan kinerjanya sebagai suatu badan usaha.87

      

86

M. Bahsan, Op. Cit, Hal. 108-109.

87


(1)

 

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

1. Kreditur (Bank) dapat memberikan izin kepada debitur untuk menyewakan 1 (satu) rumah yang menjadi objek jaminan kredit Bank kepada pihak ketiga dengan memberikan persetujuan terlebih dahulu atas dasar kepercayaan pihak kreditur (Bank) kepada debitur yang telah mempunyai kredibilitas yang baik di mata kreditur (Bank). Bilamana objek jaminan akan disewakan lebih dari 1 (satu) tahun maka debitur dalam hal ini harus meminta izin terlebih dahulu kepada kreditur (Bank) untuk menyewakan objek jaminan kredit kepada pihak ketiga dengan pertimbangan kembali layak tidaknya debitur untuk menyewakan agunan kredit lebih dari 1 (satu) tahun.

2. Kedudukan pihak ketiga tetap bisa menempati rumah hingga akhir masa sewa menyewa berakhir karena kreditur (Bank) tidak dapat langsung melelang objek jaminan karena harus ada penetapan yang tetap dari Pengadilan, jika debitur wanprestasi terhadap kreditur (Bank).

3. Bank harus menunggu masa kontrak sewa menyewa debitur dengan pihak ketiga berakhir karena dalam hal ini kreditur (Bank) telah mengetahui sejak awal perjanjian sewa menyewa yang dibuat antara debitur dengan pihak ketiga. Pihak kreditur (Bank) lebih memilih menyelesaikan permasalahan di luar Pengadilan guna menghindari proses peradilan yang memakan biaya dan


(2)

B. Saran

1. Kreditur (Bank) dalam hal ini harus lebih ketat dan berhati-hati dalam memberikan izin kepada debitur untuk dapat menyewakan objek jaminan kredit kepada pihak ketiga untuk menghindari kemungkinan perselisihan di kemudian hari. Jika perjanjian sewa menyewa objek jaminan lebih dari 1 (satu) tahun maka harus dibuat perjanjian yang baru lagi.

2. Sebaiknya di dalam klausul perjanjian sewa menyewa dicantumkan lebih tegas lagi kedudukan pihak ketiga agar jika terjadi wanprestasi oleh debitur kedudukan penyewa dalam hal ini tidak dirugikan dan mendapat kepastian hukum. Pihak ketiga yang akan menyewa objek sewa menyewa harus diberi tahu terlebih dahulu jika objek sewa menyewa sedang dalam agunan Bank sehingga pihak ketiga mengetahui segala resiko yang akan terjadi padanya di kemudian hari.

3. Jika terjadi suatu perselisihan antara pihak kreditur (Bank) dan debitur maka kreditur (Bank) harus mementingkan pihak ketiga yang menyewa objek jaminan untuk dapat memberi kesempatan kepada pihak ketiga untuk menempati rumah tersebut hingga akhir masa perjanjiannya.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Badrulzaman, Mariam Darus, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994.

______________________, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.

______________________, KUHP Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, 1996.

______________________, Hukum Perdata Tentang Perikatan, Fakultas Hukum USU, Medan, 1996.

Bruggink, J. J. H., Refleksi Tentang Hukum, dialihbahasakan oleh Arief Sidharta, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992.

Bahsan, M, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.

Dirdjosisworo, Soedjono, Misteri di Balik Kontrak Bermasalah, Mandar Maju, Bandung, 2002.

Dowdy, Lamuel, W, Prepared by Consumer Dispute Resolution Program Staff Attorneys, Dalam Ahmadi Miru, Washington, 1992.

Firdaus, H, Rahmad, dan Ariyanti, Maya, Manajemen Perkreditan Bank Umum, Alfabeta, Bandung, 2003.

Hernoko, Agus Yudha, Hukum Perjanjian Azas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, 2008.

Kansil, C. S. T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989.

Kamello, Tan, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Alumni, Bandung, 2006.

Kashmir, Dasar-Dasar Perbankan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

Kusumaatmadja, Mochtar, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Bandung. 1986.

Lubis, Basrah, Sewa Menyewa dan Pembahasan Kasus, Diktat Kuliah FH USU, Medan, 1993.


(4)

_______________, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.

Hernoko, Agus Yudha, Hukum Perjanjian Azas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, 2008.

Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanya, Djambatan, Jakarta, 2003.

Hartono, Sunaryati, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991.

Harsono, Boedi, dan Wirjodarno, Sudaryanto, Konsepsi Pemikiran tentang UUHT, Makalah Seminar Nasional Kesiapan dan Persiapan Dalam Rangka Pelaksanaan UUHT, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, 1996.

H.S. , H. Salim, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 2001.

Muljadi Kartini, Widjaja Gunawan, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada, 2003.

Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perikatan¸Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992. ___________________, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986.

Meliala, Qirom, S, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta, 1985.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum (suatu pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1999.

Moegeni, Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1979. Mudi, Nawawie, Barda, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1992. Nusantara, Abdul Hakim dan Yasabain, Nasroen, Pembangunan Hukum : Sebuah Orientasi (pengantar editor) Dalam Beberapa Pemikiran Pembangunan Hukum di Indonesia, Alumni, Bandung, 1980.

Nugroho, Sasanti, Adi, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara serta Kendala Implementasinya, Kencana, Jakarta, 2008. Prodjorikoro, Wirjono, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung. 2000. __________________, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu,


(5)

Pound, Roscoe, An Introduction To the Philosophy of Law, Yale University Press, New Heaven, 1954.

Puspa, Yan, Pramadya, Kamus Hukum, Aneka, Semarang, 1977.

Rasyidi Lili, Sidharta, Bernard, Arief, Filsafat Hukum : Mazhab dan Refleksinya, Rosdakarya, Bandung, 1994.

Rahman, Hasanuddin, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.

Reksodiputro, B. Mardjono, Beberapa Catatan Tentang Aspek Hukum Dalam Masalah Periklanan, Departemen Kehakiman RI, Jakarta, 1998.

Setiawan, R, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1987.

Satrio, J. Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.

________, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.

Santoso, Djohari, dan Ali, Achmad, Hukum Perjanjian Indonesia, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1989.

Sjahdeni, ST. Remy, Hak Tanggungan, Alumni, Bandung, 1999.

Sofyan, Sri Soedewi, Masjchoen, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty Offset, Yogyakarta, 2003. Soekanto Soerjono dan Mamudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2002.

Sidabalok, Jannus, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.

Sinungan, Muchdarsyah, Dasar-Dasar Tehnik Managemen Kredit, Bima Aksara, Jakarta, 1987.

Sitorus, Winner, Aspek-Aspek Hukum Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional Melalui Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, Tesis UI, Jakarta, 1998.

Suroso, R, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1993. Suharno, Analisa Kredit, Djambatan, Jakarta, 2003.

Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisis Kasus, Kencana, Jakarta, 2004. Subekti, R, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1979.


(6)

 

_________, Pokok-Pokok Hukum Benda, Intermasa, Jakarta, 1983.

________, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit (termasuk hak tanggungan), Menurut Hukum Indonesia, Citra Bakti, Bandung, 1996.

Suyatno, Thomas, Dasar-Dasar Perkreditan, Cetakan Ketiga, Gramedia, Jakart,a 1990.

Subroto, Thomas, Tanya Jawab Hukum Jaminan Hipotik, Fidusia, Penanggungan dan lain-lain, Dahara Prize, Semarang, 1994.

Supriyadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.

Usman, Rachmadi, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008. Wuisman, J. J. M, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Azas-Azas , editor M. Hisyam, FE UI,

Jakarta. 1996.

Widjaja, Gunawan, dan Yani, Ahmad, Jaminan Fidusia (seri hukum bisnis), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000.

Makalah :

Setiawan, Beberapa Catatan Tentang Perjanjian Franchise, pertemuan Ilmiah Tentang Usaha Franchise dalam menunjang pembangunan ekonomi yang diselenggarakan di BPHN, Jakarta, 1993.

Mulyana W. Kesuma, Should Court – Annexed Alternative Dispute Resolution Mechanism Mandatory, Jurnal Ilmiah Hukum Era Hukum, Nomor 1, Tahun 1994.

Undang-Undang

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Pemukiman Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan