Fungsi anorektal pasca tindakan bedah definitif

Tabel 4. Lamanya pengeluaran mekonium pertama . n = 57 Pengeluaran mekonium Kasus 0 – 24 jam 4 7.0 24 – 48 jam 18 31,6 24 jam 35 61,4 Jumlah 57 100,0 IV.3 Komplikasi Penelusuran komplikasi pasca tindakan bedah definitif pada penderita Hirschsprung ini kami lakukan melalui 2 cara, yakni mencatat dari rekam medik untuk sebagian besar kasus, sedangkan dari kasus yang kami lakukan kunjungi melalui pengamatan langsung dan wawancara 24 kasus.Tabel 5 memperlihatkan daftar komplikasi pasca tindakan definitif tersebut. Tabel 5. Komplikasi pasca tindakan bedah definitif. n = 67 Komplikasi Kasus Bocor anastomose 3 4,4 Obstruksi usus 2 2,9 Enterokolitis 5 7,5 Kecipirit 3 4,4 Meninggal 1 1,4 Jumlah 14 20,9

IV.4 Fungsi anorektal pasca tindakan bedah definitif

Pengamatan fungsi anorektal dalam penelitian ini memakai sistem skoring Hekkinen seperti yang telah diuraikan diatas tabel 1. Pengamatan dilakukan dengan mengamati langsung dan wawancara dengan penderita dan orang tua keluarga terdekat. Jumlah penderita yang berhasil dikunjungi adalah 24 orang, berdomisili di kota Medan, Belawan, Lubuk Pakam, Binjai, Tanjung Pura, dan Pangkalan Berandan. Tabel 6 memperilihatkan distribusi penderita di 6 kota sekitar kota medan. Tabel 6. Distribusi tempat tinggal Penderita Hirschsprung yang diamati fungsi anorektalnya pasca tindakan bedah definitif No. Kota Laki-laki Perempuan Jumlah 1. Medan 11 2 13 54,2 2. Belawan 2 - 2 8,3 3. Lubuk Pakam 2 - 2 8,3 4. Binjai 3 - 3 12,5 5. Tanjung Pura 1 1 2 8,3 6. Pkl. Berandan 2 - 2 8,3 Jumlah 21 3 24 100,0 Parameter pertama dari sistem skoring Heikkinen adalah mengenai frekwensi buang air besar bab dalam 1 hari. Frekwensi bab yang dianggap normal adalah 1 – 2 kali, meskipun beberapa penulis mengatakan antara 1 – 3 kali. Buang air besar yang dimaksud adalah melakukan proses defekasi pada tempat yang lazim wc, sungai sesuai kebiasaan normal lingkungan penderita. Tidak termasuk dalam kriteria ini misalnya adalah kecipirit atau buang angin disertai feces kegagalan proses sampling reflex ©2003 Digitized by USU digital library 21 Tabel 7. Frekwensi buang air besar penderita Hirschsprung pasca tindakan bedah definitif pull-through. Frekwensi buang air besar sehari Skor Jumlah 1 – 2 kali 2 15 62,5 3 – 5 kali 1 8 33,3 5 kali 1 4,2 Jumlah 24 100,0 Parameter kedua adalah menilai konsistensi feces, berupa padat, lunak atau berbentuk cair saja. Konsistensi tinja yang dimaksud adalah konsistensi feces yang paling sering dikeluarkan penderita sehari-harinya disaat penderita sehat. Jikalau sulit menilai konsistensi mana yang sebenarnya dimaksud penderita atau orangtuanya misal : padat bercampur lunak,maka penulis memilih konsistensi yang paling dominan atau yang paling tinggi skornya. Tabel 8 memperlihatkan distribusi konsistensi tinja penderita Hirschsprung pasca tindakan definitif. Tercatat bahwa tidak satupun penderita mengalami konsistensi fecesnya selalu cair. Tabel 8. Konsistensi tinja penderita Hirschsprung pasca tindakan bedah definitif pull-through. Konsistensi Tinja Skor Jumlah Padat 2 14 58,3 Lunak 1 10 41,7 Cair 0 Jumlah 24 100,0 Kecipirit adalah parameter yang pertama sekali dipergunakan ahli bedah dalam mengevaluasi spinkter ani pasca bedah. Kecipirit adalah keluarnya bab sedikit-sedikit, tanpa disadari oleh penderita atau tidak mampu ditahan sebelum mendapat tempat yang semestinya sehingga feces biasanya mengotori celana penderita. Dalam sistem skoring Heikkinen ini, kecipirit dibagi dalam 3 katagori yakni : tidak pernah sama sekaliskor 2, selalu jika sedang mengalami stress skor 1 atau selalu sepanjang waktuskor 0. Yang dimaksudkan dengan stress adalah keadaan fisik maupun mental yang dapat mempengaruhi prilaku defekasi penderita. Beberapa faktor yang dapat penulis catat diantaranya: ketika mengikuti ulangan mata pelajaran disekolah atau disuruh guru ke depan kelas untuk mengerjakan sesuatu 2 kasus, dimarahi orang tua guru2 kasus, sedang sakit demam 3 kasus. Sedangkan yang paling banyak adalah ketika sedang menangis oleh karena sebab apapun 7 kasus. Frekwensi kecipirit bervariasi, tergantung besar ringannya stress yang dialami penderita. Umumnya dialami penderita rata-rata 1 – 2 kali dalam seminggu. Sedangkan kecipirit yang terjadi disaat penderita sedang sakit diarrhea tidak dimasukkan kedalam kriteria ini. ©2003 Digitized by USU digital library 22 Tabel 9. Buang air besar tanpa disadari kecipirit penderita Hirschsprung pasca tindakan bedah definitif pull-through. Kecipirit Skor Jumlah Tidak pernah 2 12 50,0 Selalu, jika sedang stres 1 12 50,0 Selalu setiap waktu Jumlah 24 100,0 Perasaan ingin buang air besar adalah salah satu fungsi dari sampling reflex dimana kita mampu mengenali adanya isi rektum setelah propulsi massa feces ke rektum dalam jumlah yang signifikans. Namun dengan sampling reflex pula kita tidak perlu setiap saat melakukan defekasi, dimana terdapat refleks hambatan rektoanal sehingga defekasi hanya terjadi 1-2 kali sehari. Fungsi sampling reflex terdapat pada rektum sebagai reservoar feces. Kegagalan ‘membuat rektum baru’ baik secara anatomis maupun fisiologis akan mengakibatkan kegagalan refleks ini dengan salah satu manifestasinya adalah tidak mengenal adanya rangsangan ingin defekasi ‘kebelet’. Pada prosedur Duhamel modifikasi Adang ,membuat rektum baru adalah salah satu hal yang krusial yakni dengan memotong septum memakai klem lurus atau klem Ikeda. Jika septum tidak terpotong sempurna atau rektum yang aganglionik tersisa cukup panjang, maka dapat menimbulkan stenosis, hilangnya sensasi rektum dan defekasi tanpa disadari kecipirit. Tabel 10 memperlihatkan distribusi sensasi rektum pada penderita penyakit Hirschsprung pasca pull-through . Tabel 10. Perasaan ingin buang air besar ‘kebelet’ pada penderita Hirschsprung pasca tindakan bedah definitif pull-throgh. Perasaan ingin defekasi Skor Jumlah Ada 2 15 62,5 Terus menerus 1 6 25,0 Tidak pernah ada 3 12,5 Jumlah 24 100,0 Lamanya kemampuan menahan rangsangan ingin bab merupakan faktor utama dalam menentukan kontinensia sosial. Perdefinisi, inkontinensia adalah kegagalan menguasai sepenuhnya fungsi spinkter ani sehingga dapat melakukan proses defekasi pada waktu dan tempat yang diinginkan diterima secara sosial. Dalam sistem skoring Heikkinen, kemampuan menahan bab ini dihitung dalam ukuran waktu menit, detik dan tidak mampu sama sekali. Tentu saja akan dijumpai kesulitan mengevaluasi hal ini pada anak pra-sekolah, terutama yang tidak kooperatif. Untuk itu dilakukan penilaian secara tidak langsung yakni menanyakan apakah setelah penderita menyatakan ingin bab, dapat terjadi defekasi pada tempat yang dimaksudkan. Jika selalu berhasil defekasi di tempat yang dimaksudkan, maka diberi skor 2. Jika kadang-kadang berhasil namun kadang tidak , maka penulis masukkan dalam skor 1. Sedangkan jika sama sekali tidak ada tenggat waktu antara menyatakan keinginan bab dengan proses defekasi itu sendiri, penulis memasukkannya kedalam kriteria 3 skor 0. ©2003 Digitized by USU digital library 23 Tabel 11. Lamanya kemampuan menahan keinginan defekasi penderita Hirschsprung pasca tindakan bedah definitif pull-through. Lama menahan defekasi Skor Jumlah Beberapa menit 2 13 54,1 Beberapa detik 1 10 41,7 Tidak mampu 1 4,2 Jumlah 24 100,0 Parameter keenam adalah bagian yang paling sulit dalam mengevaluasi fungsi anorektal penderita, khususnya pada rentang usia 2 – 4 tahun 9 kasus. Parameter ini adalah evaluasi terhadap sampling reflex dimana rektum selain ‘mengenali’ juga mampu ‘memisahkan isinya sehingga tidak saling campur, khususnya antara konsistensi padat dan cair dengan konsistensi gas flatus. Skor 2 berarti penderita mampu memisahkan feces yang padat, lunak maupun gas. Berarti penderita dapat flatus tanpa diiringi dengan keluarnya feces yang padat maupun yang cair. Jika penderita hanya mampu memisahkan gas dengan feces yang lebih padat pada saat defekasi saja, berarti skor 1. Penderita kelompok ini pada saat-saat tidak defekasi, jika flatus dapat diiringi dengan keluarnya sedikit feces, baik padat maupun cair. Hal ini berbeda dengan kecipirit dimana kecipirit terjadi secara spontan tanpa disadari penderita sedangkan ketidakmampuan memisahkan flatus ini dengan feces terjadi secara sadar. Parameter kemampuan memisahkan tinja ini disajikan pada tabel 12. Tabel 12. Kemampuan ‘mengenali’ bentuk tinja yang akan keluar Kemampuan ‘mengenali’ konsistensi tinja Skor Jumlah Mampu 2 14 58,3 Hanya saat defekasi 1 9 37,5 Tidak mampu 1 4,2 Jumlah 24 100,0 Parameter terakhir dan barangkali parameter yang paling mudah dievaluasi adalah perlu tidaknya penderita memakai obat-obat pencahar, baik jenis yang peroral maupun suppositoria. Pemakaian obat-obat golongan ini menandakan adanya obstipasi pada penderita. Pada penderita yang menjalani prosedur Duhamel modifikasi, obstipasi disebabkan oleh septum yang tidak terpotong sempurna atau segmen aganglionik rektum yang ditinggalkan terlampau panjang. Penatalaksanaannya adalah menuntaskan pemotongan septum dengan memakai klem lurus yang panjang atau klem Ikeda. Namun dari 7 penderita yang kami jumpai masih memakai suppositoria untuk memperlancar proses defekasinya, tidak satupun yang berhasrat melanjutkan pengobatan untuk menuntaskan problema tersebut. Frekwensi pemakaian suppositoria ini bervariasi, antara 1 kali dalam seminggu hingga 1 kali dalam sebulan, seperti disajikan pada tabel 13. ©2003 Digitized by USU digital library 24 Tabel 13. Pemakaian obat pencahar untuk memperlancar bab Pemakaian obat pencahar Skor Jumlah Tidak perlu 2 17 70,8 Kadang-kadang 1 7 29,2 Selalu 0 Jumlah 24 100,0 Tabel 14 memperlihatkan kumulasi dari ketujuh parameter fungsi anorektal penderita penyakit Hirschsprung yang dievaluasi. Tabel 14. Hubungan parameter fungsi anorektal dengan skor yang diperoleh. Fungsi anorektal Skor 2 Skor 1 Skor 0 Parameter Jumlah Jumlah Jumlah Frekwensi bab 15 62,5 8 33,3 1 4,2 Konsistensi tinja 14 58,3 10 41,7 0 0 Kecipirit 12 50,0 12 50,0 0 0 Sensasi rektum 15 62,5 6 25,0 3 12,5 Lama menahan bab 13 54,1 10 41,7 1 4,2 Mengenali tinja 14 58,3 9 37,5 1 4,2 Pemakaian pencahar 17 70,8 7 29,2 x 2 = 11,886 df= 12 p = 0,4548 Tabel 15 memperlihatkan distribusi frekwensi usia penderita saat ini dibandingkan dengan fungsi anorektalnya. Pengamatan dimulai pada usia diatas 2 tahun, untuk menghindari bias dengan kemampuan fungsi anorektal pada usia dibawah 2 tahun yang masih dalam tahap belajar proses defekasi. Penderita paling muda berusia 3 tahun 8 bulan sedangkan yang paling tua saat ini berusia 15 tahun 11 bulan. Tabel 15. Hubungan usia penderita saat operasi dengan Fungsi anorektal Fungsi Anorektal Total Normal Baik Sedang Usia tahun Jlh Jlh Jlh Jlh 4 2 8,3 6 25,0 8 33,3 4 – 8 3 8,3 6 25,0 2 8,3 11 45,8 8 0 0 1 4,2 4 16,7 5 20,8 Jumlah 5 20,8 13 54,2 6 25,0 24 100, x 2 = 11,301 df= 4 p = 0,0234

BAB V PEMBAHASAN