Epidemiologi Diagnosa a. Gambaran Klinis

II.4. Epidemiologi

Insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta Kartono,1993. Menurut catatan Swenson, 81,1 dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-laki. Sedangkan Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor keturunan pada penyakit ini ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga. Beberapa kelainan kongenital dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit Hirschsprung, namun hanya 2 kelainan yang memiliki angka yang cukup signifikan yakni Down Syndrome 5-10 dan kelainan urologi 3. Hanya saja dengan adanya fekaloma, maka dijumpai gangguan urologi seperti refluks vesikoureter,hydronephrosis dan gangguan vesica urinaria mencapai 13 kasus Swenson dkk,1990. II.5. Diagnosa II.5.a. Gambaran Klinis Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan usia gejala klinis mulai terlihat : 1. Periode Neonatal. Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran mekonium yang terlambat lebih dari 24 jam pertama merupakan tanda klinis yang signifikans. Swenson 1973 mencatat angka 94 dari pengamatan terhadap 501 kasus , sedangkan Kartono mencatat angka 93,5 untuk waktu 24 jam dan 72,4 untuk waktu 48 jam setelah lahir. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang manakala mekonium dapat dikeluarkan segera. Sedangkan enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diarrhea, distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam. Swenson mencatat hampir 13 kasus Hirschsprung datang dengan manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah dilakukan kolostomi Kartono,1993; Fonkalsrud dkk,1997; Swenson dkk,1990. Gambar 6 ©2003 Digitized by USU digital library 8 Gambar 6. Foto pasien penderita Hirschsprung berusia 3 hari. Terlihat abdomen sangat distensi dan pasien kelihatan menderita sekali. ii. Anak. Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi kronis dan gizi buruk failure to thrive. Dapat pula terlihat gerakan peristaltik usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi. Gambar 7 ©2003 Digitized by USU digital library 9 Gambar 7. Foto anak yang telah besar, sebelum dan sesudah tindakan definitif bedah. Terlihat status gizi anak membaik setelah operasi. II.5.b. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada penyakit Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar. Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas : 1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya bervariasi; 2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah daerah dilatasi; 3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi Kartono,1993. Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feces. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feces kearah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung ©2003 Digitized by USU digital library 10 namun disertai dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan sigmoid Kartono,1993, Fonkalsrud dkk,1997; Swenson dkk,1990. Gambar 8. Terlihat gambar barium enema penderita Hirschsprung. Tampak rektum yang mengalami penyempitan, dilatasi sigmoid dan daerah transisi yang melebar. ©2003 Digitized by USU digital library 11 II.5.c. Pemeriksaan patologi anatomi Diagnosa histopatologi penyakit Hirschsprung didasarkan atas absennya sel ganglion pada pleksus mienterik Auerbach dan pleksus sub- mukosa Meissner. Disamping itu akan terlihat dalam jumlah banyak penebalan serabut syaraf parasimpatis. Akurasi pemeriksaan akan semakin tinggi jika menggunakan pengecatan immunohistokimia asetilkolinesterase, suatu enzim yang banyak ditemukan pada serabut syaraf parasimpatis, dibandingkan dengan pengecatan konvensional dengan haematoxylin eosin. Disamping memakai asetilkolinesterase, juga digunakan pewarnaan protein S-100, metode peroksidase-antiperoksidase dan pewarnaan enolase. Hanya saja pengecatan immunohistokimia memerlukan ahli patologi anatomi yang berpengalaman, sebab beberapa keadaan dapat memberikan interpretasi yang berbeda seperti dengan adanya perdarahan Cilley dkk,2001. Swenson pada tahun 1955 mempelopori pemeriksaan histopatologi dengan eksisi seluruh tebal dinding otot rektum, untuk mendapatkan gambaran pleksus mienterik. Secara tekhnis, metode ini sulit dilakukan sebab memerlukan anastesi umum, dapat menyebabkan inflamasi dan pembentukan jaringan ikat yang mempersulit tindakan bedah definitif. Noblett tahun 1969 mempelopori tekhnik biopsi hisap dengan menggunakan alat khusus, untuk mendapatkan jaringan mukosa dan sub-mukosa sehingga dapat melihat keberadaan pleksus Meissner. Metode ini kini telah menggantikan metode biopsi eksisi sebab tidak memerlukan anastesi dan akurasi pemeriksaan mencapai 100 Junis dkk, Andrassy dkk. Biasanya biopsi hisap dilakukan pada 3 tempat : 2,3,dan 5 cm proksimal dari anal verge. Apabila hasil biopsi hisap meragukan, barulah dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk menilai pleksus Auerbach. Dalam laporannya, Polley 1986 melakukan 309 kasus biopsi hisap rektum tanpa ada hasil negatif palsu dan komplikasi Kartono,1993; Swenson dkk,1990; Swenson,2002. Gambar 9. Alat biopsi hisap Noblett ©2003 Digitized by USU digital library 12 II.5.d. Manometri anorektal Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan objektif mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan spinkter anorektal. Dalam prakteknya, manometri anorektal dilaksanakan apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis dan histologis meragukan. Pada dasarnya, alat ini memiliki 2 komponen dasar : transduser yang sensitif terhadap tekanan seperti balon mikro dan kateter mikro, serta sisitem pencatat seperti poligraph atau komputer Shafik,2000; Wexner,2000; Neto dkk,2000. Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi penyakit Hirschsprung adalah : 1. Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi; 2. Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen usus aganglionik; 3. Sampling reflex tidak berkembang. Tidak dijumpai relaksasi spinkter interna setelah distensi rektum akibat desakan feces. Tidak dijumpai relaksasi spontan Kartono,1993; Tamate,1994; Neto,2000. II.6 Tindakan Bedah. II.6.a Tindakan Bedah Sementara Tindakan bedah sementara pada penderita penyakit Hirschsprung adalah berupa kolostomi pada usus yang memiliki ganglion normal paling distal. Tindakan ini dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi usus dan mencegah enterokolitis sebagai salah satu komplikasi yang berbahaya. Manfaat lain dari kolostomi adalah : menurunkan angka kematian pada saat dilakukan tindakan bedah definitif dan mengecilkan kaliber usus pada penderita Hirschsprung yang telah besar sehingga memungkinkan dilakukan anastomose Fonkalsrud dkk,1997; Swenson dkk,1990. Gambar 10. Tampak gambar skema dari manometri anorekatal, yang memakai balon berisi udara sebagai transducernya. Pada penderita Hirschsprung kanan, tidak terlihat relaksasi spinkter ani. ©2003 Digitized by USU digital library 13 II.6.b. Tindakan Bedah Definitif i. Prosedur Swenson Orvar swenson dan Bill 1948 adalah yang mula-mula memperkenalkan operasi tarik terobos pull-through sebagai tindakan bedah definitif pada penyakit Hirschsprung. Pada dasarnya, operasi yang dilakukan adalah rektosigmoidektomi dengan preservasi spinkter ani. Dengan meninggalkan 2-3 cm rektum distal dari linea dentata, sebenarnya adalah meninggalkan daerah aganglionik, sehingga dalam pengamatan pasca operasi masih sering dijumpai spasme rektum yang ditinggalkan. Oleh sebab itu Swenson memperbaiki metode operasinya tahun 1964 dengan melakukan spinkterektomi posterior, yaitu dengan hanya menyisakan 2 cm rektum bagian anterior dan 0,5-1 cm rektum posterior Kartono,1993; Swenson dkk,1990; Corcassone,1996; Swenson,2002. Prosedur Swenson dimulai dengan approach ke intra abdomen, melakukan biopsi eksisi otot rektum, diseksi rektum ke bawah hingga dasar pelvik dengan cara diseksi serapat mungkin ke dinding rektum, kemudian bagian distal rektum diprolapskan melewati saluran anal ke dunia luar sehingga saluran anal menjadi terbalik, selanjutnya menarik terobos bagian kolon proksimal yang tentunya telah direseksi bagian kolon yang aganglionik keluar melalui saluran anal. Dilakukan pemotongan rektum distal pada 2 cm dari anal verge untuk bagian anterior dan 0,5-1 cm pada bagian posterior, selanjunya dilakukan anastomose end to end dengan kolon proksimal yang telah ditarik terobos tadi. Anastomose dilakukan dengan 2 lapis jahitan, mukosa dan sero-muskuler. Setelah anastomose selesai, usus dikembalikan ke kavum pelvik abdomen. Selanjutnya dilakukan reperitonealisasi, dan kavum abdomen ditutup Kartono,1993; Swenson dkk,1990. ii.Prosedur Duhamel Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk mengatasi kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip dasar prosedur ini adalah menarik kolon proksimal yang ganglionik ke arah anal melalui bagian posterior rektum yang aganglionik, menyatukan dinding posterior rektum yang aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal yang ganglionik sehingga membentuk rongga baru dengan anastomose end to side Fonkalsrud dkk,1997. Prosedur Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan, diantaranya sering terjadi stenosis, inkontinensia dan pembentukan fekaloma di dalam puntung rektum yang ditinggalkan apabila terlalu panjang. Oleh sebab itu dilakukan beberapa modifikasi prosedur Duhamel, diantaranya : 1.Modifikasi Grob 1959 : Anastomose dengan pemasangan 2 buah klem melalui sayatan endoanal setinggi 1,5-2,5 cm, untuk mencegah inkontinensia; 2. Modifikasi Talbert dan Ravitch: Modifikasi berupa pemakaian stapler untuk melakukan anastomose side to side yang panjang; 3. Modifikasi Ikeda: Ikeda membuat klem khusus untuk melakukan anastomose, yang terjadi setelah 6-8 hari kemudian; 4. Modifikasi Adang: Pada modifikasi ini, kolon yang ditarik transanal dibiarkan prolaps sementara. Anastomose dikerjakan secara tidak langsung, yakni pada hari ke-7-14 pasca bedah dengan memotong kolon yang prolaps dan pemasangan 2 buah klem; kedua klem dilepas 5 hari berikutnya. Pemasangan klem disini lebih dititik beratkan pada fungsi hemostasis Kartono,1993. ©2003 Digitized by USU digital library 14 Gambar 11. Foto prosedur Duhamel modifikasi searah jarum jam . Tampak usus ganglionik diprolapskan melalui rektum posterior, keluar dari saluran anal. 10 – 14 hari kemudian, usus yang diprolapskan tadi dipotong dan di anastomose end to side dengan rektum, kemudian dilakukan pemotongan septum dengan klem Ikeda. iii.Prosedur Soave Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein tahun 1959 untuk tindakan bedah pada malformasi anorektal letak tinggi. Namun oleh Soave tahun 1966 diperkenalkan untuk tindakan bedah definitif Hirschsprung. Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah membuang mukosa rektum yang aganglionik, kemudian menarik terobos kolon proksimal yang ganglionik masuk kedalam lumen rektum yang telah dikupas tersebut Reding dkk,1997; Swenson dkk,1990. iv.Prosedur Rehbein Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana dilakukan anastomose end to end antara usus aganglionik dengan rektum pada level otot levator ani 2-3 cm diatas anal verge, menggunakan jahitan 1 lapis yang dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Pasca operasi, sangat penting melakukan businasi secara rutin guna mencegah stenosis Swenson dkk,1990.

II.7. Komplikasi