Pengeluaran Mekonium Pertama Komplikasi

diturunkan melalui kromosom sex Kartono,1993; Swenson dkk,1990; Klein,1995; Fujimoto dkk,1996. Dalam penelitian ini, diagnosa penyakit Hirschsprung telah ditegakkan sebelum usia 1 bulan pada sebanyak 45 penderita 46,8, sedangkan sebelum berusia 1 tahun mencapai 71,8 69 kasus. Hal ini tidak berbeda jauh dengan hasil sejumlah penelitian Kleinhaus dkk mendapatkan angka 60 untuk diagnosa sebelum usia 1 tahun, sedangkan Harrison dkk. menyebutkan 37 dari pasien Hisrchsprung yang diamatinya telah tegak diagnosanya dalam usia 1 bulan dan 63 dalam usia 6 bulan Swenson,2002.

V.2. Pengeluaran Mekonium Pertama

Pengeluaran mekonium pertama merupakan tanda khas dari penyakit Hirschsprung pada masa neonatal. Dalam penelitian ini diketahui lebih dari 90 penderita Hirschsprung mengeluarkan mekonium pertamanya diatas 24 jam, bahkan sebanyak 35 kasus 61,4 diketahui mekonium pertama keluar setelah 48 jam. Hal ini tidak jauh berbeda dengan yang diperoleh Swenson yang mendapatkan 94 penderita penyakit Hirschsprung mengeluarkan mekonium diatas 24 jam. Sherry dan Kramer juga mendapati angka yang sama Swenson,2002. Menurut Swenson, keterlambatan pengeluaran mekonium adalah simptom kardinal dari suatu penyakit Hirschsprung. Manakala dijumpai neonati dengan gejala keterlambatan pengeluaran mekonium ini, maka harus dijajaki pemeriksaan lanjutan untuk menyingkirkan penyakit Hirschsprung. Jikalau tidak, maka bayi akan jatuh dalam obstipasi kronis, pemakaian suppositoria untuk mengeluarkan feces, dan akhirnya terjadi enterokolitis Swenson dkk,1990; Swenson,2002.

V.3. Komplikasi

Dari tabel 7 terlihat sejumlah komplikasi yang dijumpai pasca tindakan bedah definitif pull-through, yakni kebocoran anastomose 3 kasus 4,4, obstruksi usus 2 kasus 2,9, enterokolitis 4 kasus 7,5, kecipirit 3 kasus 4,4,, dan kematian 1 kasus 1,4. Kebocoran anastomose merupakan komplikasi yang paling serius pasca tindakan bedah definitif, yang dapat diikuti dengan terbentuknya abses di rongga pelvik, peritonitis umum, sepsis dan kematian. Apabila anastomose dilakukan secara langsung, maka insidens terjadinya kebocoran tinggi. Jikalau dipakai anastomose tidak langsung, artinya anastomose ditunda 10 hingga 14 hari kemudian, seperti pada prosedur Duhamel modifikasi Adang, maka dalam laporannya Kartono mendapatkan angka yang fantastik, yakni tanpa satupun kebocoran anastomose pada 65 pasiennya Kartono,1993. Stenosis rekti merupakan masalah yang harus segera dikenali dan diatasi pada penderita penyakit Hirschsprung pasca tindakan bedah definitif. Pada prosedur Duhamel modifikasi, stenosis disebabkan oleh pemotongan septum yang tidak tuntas atau tidak adekuat. Oleh sebab itu, penatalaksanaannya cukup berupa pemotongan ulang septum Kartono,1993. Pada penelitian ini, dijumpai kejadian enterokolitis pasca tindakan bedah definitif hanya pada 4 kasus 7,5, jauh lebih rendah dari angka yang diperoleh Swenson 12,5, Kleinhaus 10 maupun Kartono sendiri 14,5. Hal ini mungkin disebabkan oleh 2 hal : jumlah sampel penelitian yang relatif kecil, atau adanya under reported mengingat sistem pencatatan rekam medik yang masih kurang baik Fujimoto dkk,1996. ©2003 Digitized by USU digital library 26 Menurut Swenson dan Bill, enterokolitis disebabkan oleh obstruksi usus mekanik yang parsial yang dapat terjadi baik sebelum maupun sesudah tindakan bedah. Oleh sebab itu, enterokolitis pasca tindakan bedah definitif disebabkan oleh stenosis dan spasme dari spinkter ani, baik dengan memakai prosedur Swenson maupun Duhamel modifikasi dimana rektum yang tersisa sebenarnya masih merupakan segmen yang aganglionik. Menurut Kartono , prosedur Duhamel modifikasi memiliki keunggulan dibanding dengan prosedur Swenson, sebab apabila terjadi stenosis dapat dilakukan penuntasan pemotongan septum sedangkan spinkterektomi posterior tidak banyak mengurangi spasme spinkter ani. Hal ini dangan mudah menjelaskan mengapa kejadian enterokolitis pada prosedur Duhamel modifikasi lebih rendah dari prosedur Swenson Kartono,1993; Heij dkk,1995; Swenson dkk,1990. Kecipirit adalah salah satu bentuk manifestasi gangguan spinkter ani, yaitu keluarnya feces lewat anus yang tidak dapat dikendalikan oleh pasien yang terjadi sewaktu-waktu dan pada tempat yang tidak diinginkan penderita. Tentu saja beberapa faktor berperan pening dalam menilai kecipirit, yakni usia penderita, status mental, dan kurun waktu pasca tindakan bedah definitif Ludman dkk,2002. Swenson melaporkan angka 2,1 10 kasus dari 483 pasien untuk terjadinya kecipirit, sedangkan Kartono mendapatkan angka 17,7 untuk prosedur Duhamel modifiaksi dan 16,9 untuk prosedur Swenson. Laporan ini hanya menemukan 4,4 insidens kecipirit melalui penelusuran rekam medik. Angka yang rendah ini mungkin disebabkan under reported kasus kecipirit, yang notabene merupakan komplikasi lanjut pasca tindakan bedah definitif Kartono,1993. Seperti halnya dengan stenosis, kecipirit yang terjadi pasca prosedur Duhamel modifikasi disebabkan oleh sisa septum yang masih panjang, sehingga dengan menuntaskan pemotongan septum akan menyebabkan hilangnya kecipirit. Sedangkan kecipirit pasca prosedur Swenson disebabkan oleh spasme spinkter ani akibat striktur pada garis anastomose, yang meskipun dilakukan spinkterektomi posterior tidak juga banyak membantu. Satu-satunya metoda pull-through yang tidak menimbulkan gangguan spinkter ani adalah metode Rehbein. Hal ini dapat dimengerti sebab prosedur Rehbein tidak melakukan reseksi pada rektum ekstraperitoneal, melainkan jauh diatas pelvic sling yakni di intraabdominal seperti layaknya deep anterior resection. Prosedur ini tentu saja menyisakan segmen aganglionik daerah rektum yang cukup panjang, sehingga kerap kali menimbulkan obstipasi berulang. Justru alasan inilah mengapa prosedur Rehbein kurang begitu disukai para ahli bedah Swenson dkk,1990; Klein dkk,1995; Swenson,2002. Secara keseluruhan, komplikasi operasi pull-through dari berbagai penelitian yang telah dilakukan disajikan dalam tabel berikut. Tabel 16. Tabel komplikasi pull-through pada beberapa penelitian Penelitian No. Komplikasi Swenson Kartono Grob-Martin RSHAMRSPM 1. Bocor anastomose 5,6 2,5 4,4 2. Obstruksi 3,2 1,6 2,9 2,9 3. Enterokolitis 12 14,5 1,9 7,5 4. Kecipirit 8 17,7 5,2 4,4 5. Kematian 2,5 3,2 0,5 1,4 ©2003 Digitized by USU digital library 27

V.4. Fungsi Anorektal Heikkinen