Penertiban mengenai Wanita tuna susila di Indonesia

51 daerah selama satu tahun. Ketiga, pezina hamba sahanya, jika hamba sahaya tersebut perempuan dan sudah pernah menikah, maka hukuman hadnya 50 kali cambukan. Sedangkan bagi hamba sahaya yang belum pernah menikah, sebagian Ulama mengatakan dijatuhi hukuman 50 kali cambukan dan sebagian Ulama lainnya berpendapat cukup ta’zir saja. 51 Agama Islam dengan tegas memberikan peringatakan dan hukuman terhadap pelakunya. Hal ini dimaksudkan agar menjadi pelajaran terhadap oranglain sehingga tidak terjerumus untuk melakukan perbuatan keji dan munkar tersebut. Dengan demikian hokum agama Islam mengandung 2 dua aspek yakni: taraf pencegahan dengan peringatan-peringatannya prefentif dan taraf hukuman sehingga pelaku tersebut menjadi sadar kuratif bagi hukumannya tidak sampai hukuman mati seperti rajam atau qisaz. Demikianlah sikap Islam terhadap perzinahan adalah keras dan tegas, karena memang akibat yang di timbulkan oleh perbuatan zina sangat fatal, baik bagi pribadi pelakunya maupun bagi masyarkat dan lingkungannya. Hal ii tidak lain adalah untuk menjaga kesucian derajat manusia agar tidak terjerumuas kedalam pola tingkah laku binatang yang pada akhirnya akan menghancurkan kebudayaan dan peradaban manusia, sebagai solusinya Islam menggariskan syariat perkawinan, agar manusia menyalurkan hasrat seksualnya secara sah dan bahkan ibadah.

5. Penertiban mengenai Wanita tuna susila di Indonesia

51 Ma’ruf Asrori, Op.Cit, H. 206-207 52 Indikator sederhana dari tumbuh dan berkembangnya Wanita tuna susila dapat disimak dari seringnya pelacuran dijadikan sebagai bahan pemberitaan di berbagai media massa, khususnya media cetak. Bahkan ada laporan hasil investigasi wartawan yang kemudian diterbitkan kedalam suatu bentuk buku yang populer. Selai itu ada beberapa karya ilmiah yang berasal dari laporan hasil penelitian mengenai pelacuran yang digunakan untuk memperoleh gelar akademis. 52 Bahkan beberapa waktu yang lalu ada seseorang investor asing dari perancis yang berkeinginan menanamkan modalnya pada bisnis pelacuran di Surabaya dianggap sebagai ladang untuk dunia usaha jasa pramusenggama. Sisi lain dari dunia pelacuran membuktikan bahwa pelacuran juga dapat dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu, meningkatkan karir, memperlancar usaha, atau untuk menjatuhkan orang lain. Tumbuh dan berkembangnya pelacuran ini sebenarnya sering pula dengan berbagai upaya yang dilakukan untuk menanggulanginya, seperti menutup tempat-tempat pelacuran, melokalisasi pelacuran, melakukan pembinaan terhadap pelacuran melalui panti rehabilitasi wanita, melakukan razia pada tempat-tempat tertentu yang biasanya dijadikan sebagai tempat mangkal para pelacur, bahkan ada pula pelacur yang kemudian diproses secara hukum. Sebagai suatu masalah sosial, pelacuran membutuhkan adanya penanggulangannya, banyak pendapat tentang upaya penanggulangan masalah 52 Lihat “Menelusuri Pelacuran Anak” Media Indoensia delik, Tanggal 20 November 1996, hal. 10 53 pelacuran, yang mana masing-masing mempunyai konsep sesuai dengan pandangannya, seperti misalnya menurut Paul B Horton: “….. Believe that law enforcement has been really effevtive in controlling prostitution or even that public opinion is solidly behind the effort at control”. 53 Menurut Albert Jenner : “Varios State Laws on prostitution as one of the most direct from discrimination against women. Perhaps more important, women engaged in prostitution might not be so harshly stigmatized and they would be protected by the law”. 54 Kedua pendapat tersebut menunjukkan perlunya kontrol sosial masyarakat dan atau dukungan perundang-undangan tentang masalah pelacuran. Di Indonesia berdasarkan kenyataan yang ada hingga kini belum ada perundang-undangan khusus tentang penanggulangan masalah pelacuran. Beberapa ketentuan hukum yang berkaitan dengan pelacuran dan sudah ada dewasa ini belum secara jelas mengatur tentang masalah pelacuran, seperti misalnya pasal 506 KUHP menyebutkan bahwa barang siapa sebagai mucikari soutener mangambil untung dari pelacuran perempuan, dihukum kurungan selama-lamanya 3 bulan. Sebagaimana juga pasal- pasal lainnya KUHP, pasal 295 dan 296 haya menunjuk pada orang yang mengadakan perbuatan pelacuran, bukan pada pelaku pelacuran tentang 53 Paul B Horton, The Sociology of Social Problem, Appleton century Crofts, Educational Devinition, Meredith Corporation, New York: 1970, h. 516 54 Jhont Grant, Social Problem as Human Concern, San Francisco: Boyd Fraser Publishing Company, 1976, h. 136 54 penanggulangan masalah pelacuran, atau penanggulangan tentang penanggulangan masalah pelacuran. Departemen Sosial sebagai salah satu unsur pemerintah yang ikut bertanggung jawab dan berupaya menanggulangi masalah pelacuran, sementara ini belum mendasarkan upayanya pada suatu perundang-undangan atau peraturan khusus tentang pelacuran. Adapun Perda No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pelanggaran Prostitusi, yang mengatur hukuman bagi pekerja seks komersial dan laki-laki hidung belang belum mampu membuat jera jika mereka melakukan pelacuran. Perda ini cenderung kurang berjalan dan tidak adanya ketegasan, baik dari pemerintah daerah maupun dinas yang terkait. Kalaupun diadakan operasi bersama untuk merazia, belum dapat dikatakan efektif dan selama ini operasi belum menyentuh akar persoalan. Adapun kegiatan penertiban tidak mampu menyentuh atau memberikan sanksi berat kepada mucikari atau organizer tempat-tempat hiburan. Dengan demikian, kalau kita mengevaluasi kegiatan penertiban selama ini lebih bersifat tidak rutin dan sementara. Bagi pelaku hanya dikenakan sanksi sidang di tempat dan kalau pun ingin bebas bersyarat, dapat membayar denda uang yang besarnya tidak lebih dari Rp 150 ribuorang. 55 Namun demikian, berbagai upaya yang telah dilakukan selama ini seolah-olah bukan merupakan sebagai suatu penghalang bagi gerak tumbuh dan berkembangnya aktivitas wanita tuna susila WTS. Oleh karena itu, melalui penelitian ini di coba 55 Internet 55 untuk mengkaji permasalahan dan kaitannya dengan adanya Peranan Pekerja Sosial dalam Peningkatan Kesejahteraan Sosial Wanita tuna susila. 56

BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Sejarah Singkat Berdirinya Panti

Pelayanan bidang kesejahteraan social merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Setelah Indonesia dilanda badai krisis moneter sejak tahuan 1998, beban Pemerintah Propinsi DKI Jakarta semakin berat dirasakan, sebagai ibukota Negara dan barometer perekonomian bangsa, Jakarta menjadi tujuan utama warga masyarakat dari daerah dan propinsi lain mencoba mengadu nasib. Sebahagian basar warga masyarakat pendatang tersebut, tidak mempunya bekal ketrampilan kerja dan pendidikan yang memadai, sehingga tidak mampu bersaing dalam memasuki lapangan kerja. Pada akhirnya mereka menambah beban ibukota yang sudah padat dan menjadi penyandang masalah kesejahteraan social. Salah satu diantara mereka adalah wanita tuna susila. Atas dasar pertimbangan tersebut, Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta melalui Dinas Bina Mental Spiritual dan kesejahteraan Sosial Propinsi DKI Jakarta mendirikan sebuah panti dengan nama “Panti Sosial Bina Karya Wanita Harapan Mulya Kedoya”, yang beralamat di Jl. Kembangan Raya No. 3 Rt. 001 Rw. 05 Kelurahan Kedoya Selatan Kecamatan Kebon Jeruk Jakarta Barat.